Catatan Proses Percakapan Sunya Nirvana (1)


Puyung

Setiap kali mendengar kisah panji, bayangan yang akrab dalam ingatan masyarakat Bali adalah kisah-kisah yang dipentaskan dalam pentas drama gong; kisah yang berkisar tentang sang pahlawan (Inu Kertapati) yang 'tersesat jalan' disaat mencari cintanya yang sejati (Galuh Daha); Peran Protagonis, antagonis, dsbnya hadir begitu jelas dalam pementasan drama gong, biasanya, berakhir happy ending. Dalam tradisi teks, kisah panji yang paling diagungkan bertitel Panji Malat Rasmi; dimainkan dalam palegongan kemudian dalam drama tari Gambuh; pengkisahan kerajaan-kerajaan yang iidentifikasikan sebagai padmawilatika (para penguasa majapahit); dengan pola struktur kekuasaan antara posisi Daha dan Kahuripan yang lebih dimuliakan, menyusul para sepupu Gegelang, pajarakan,Mataum dsbnya. Kisah Panji yang menyusup dalam Gambuh telah melahirkan pola gerak panji, demikian pula dalam drama gong maupun karakter lainnya dalam pementasan lainnya: Panji dari teks menginspirasi 'kecirian' karakater panji dari sifat hingga tata cara berbusana. Tampilan Panji selalu 'dibedakan'. Menggugah sekali bagaimana teks ini menyetir proses pembayangan penjelmaan panji dalam pemanggungan.

Daya pikat tokoh (peran) Panji sejak lama menjadi pemikiran saya. Bukan pada kisahnya, tetapi bagaimana 'penerjemahan teks'  itu ke dalam tarian maupun pemeranannya, yang khas dan mempengaruhi cara pandang masyarakat mengenai penyikapan hidup. Dalam penyusuran panji sebagai teks memang mencengangkan sebab karya nusantara ini sebarannya hingga ke kamboja, kemudian dalam tradisi tari di bali tokoh panji ditemukan pada Tari Gambuh; secara akademik Gambuh disebut sebagai ibu gerak tarian Bali bersejajar dengan sang hyang, tarian yang ditujukan sebagai persembahan (mungkin ditempatkan sebagai sang bapa).

Pada tahun 2007, saya mulai membaca terjemahan panji malat rasmi, koleksi dari Griya Jungutan-Karangasem. Dan baru tahun 2008 akhir mulai mencoba mencari relief kisah-kisah panji di beberapa candi di jawa. Hampir dipastikan hanya di Goa Selomangkleng, Kediri, jatim, kuncennya menjelaskan relief di Goa yang diyakini tempat pertapaan Gili Suci, putri Airlangga mengkisahkan tentang inu kertapati dengan galuh candrakirana (mendekatkan identifikasi mengenai tradisi yang berlanjut dalam politik majapahit, posisi putra mahkota kelak akan manggang di daha). Di candi-candi lain, kisah panji tidak terlalu jelas. Relief dikebanyakan candi yang saya kunjungi berkisah tentang (kalau tidak) bubuksah gagakaking, sri tanjung atau tentu saja petikan kisah Ramayana dan mahabrata. Penyusuran kemudian pada tradisi menari di bali; setelah menunda beberapa kali, setelah membaca ulang beberapa catatan yang sempat saya telantarkan; akhirnya bersama dayu ani, maliana, tara, menuju budhakeling menemui Ida Wayan Padang (berusia sekitar 100 th); pola gerak panji style budhakeling ini hampir dipastikan akan punah, terutama pada 'gerak kupu-kupu' diyakini gerakan ini diajarkan oleh Dang Hyang Astapaka kepada putra-putranya di abad 15-an. Kami merekam Ida Wayan Padang dengan kecemasan, mengingat usia tuanya, yang tetap bersemangat memberikan kami contoh menarikan panji, yang kadang terjeda, sebab beliau lupa. Kemudian interview yang mendalam dengan profesor Made Bandem, yang dengan caranya sendiri memberi jawaban kepada pertanyaan saya mengenai posisi panji dalam tradisi menari di bali, Prof bandeng menjawab dengan menarikan tari topeng Dalem dan meminta saudara perempuannya ibu Candri menarikan mantri dan limbur, lalu beliau mengajak saya dalam diskusi yang sangat panjang: menurut Prof Made Bandem, mengapa dia memberi tarian topeng Dalem dan pola gerak tari arja: ini untuk membuktikan garis kepengaruhan pola gerak panji gambuh ke wilayah-wilayah tari lainnya di bali, secara berurut: topeng dalem ke arja. Bandingkan kemudian bahwa pertapukan (sebutan topeng dalam prasasti) adalah tradisi menari yang lebih dari tua dari gambuh, yang ketika gelgel berkuasa pengkisahannya menggunakan babad yang tentunya melahirkan pola gerakan tambahan.

Saya tidak bisa segera menuangkan apa yang ingin saya lakukan dalam proses kreatif. Ada sebulan saya meninggalkan Bali kembali menuju Kediri, jawa timur. Kembali menyusuri beberapa candi kemudian saya balik ke bali, bicara dengan dayu ani, keinginan membuat karya baru, yang tidak jelas bentuknya apa. Disela-sela itu Kadek purnami dari UWRF mengirim email ke saya, bertanya, maukah saya tampil di UWRF mementaskan fragmen Sutasoma (?) Saya tidak segera menjawab, beberapa hari saya berpikir, sebab saat itu saya juga punya ide lain dalam teater. Akhirnya, saya jawab, iya! Tentunya kadek purnami tahu konsekuensi mengundang saya, saya tidak pernah akan tanggung-tanggung dalam menuangkan ide saya.

PUYUNG (nol)

Di Bandara Juanda Surabaya, entah mengapa saya teringat desa sidemen, desa yang dalam tradisi sastra bali dijadikan rujukan. Saya menelpon seorang guru, Dayu Ngurah dan otomatis saya meminta dihubungkan dengan sekolah Sma Negeri Sidemen, yang sebelumnya bernama sidha mahan, sekolah menengah atas yang berdirinya memang sejak awal berani memasukan kurikulum kearifan lokal. Dan saya memberanikan diri (nekad) meminta 20 remaja putri dengan syarat: berkulit hitam, agak berminyak dan tidak bisa menari!

Sebulan kemudian setelah itu, barulah saya ke desa sidemen langsung ke sekolah, bertemu dengan para murid, dan esoknya latihan pertama akan dilakukan di Jro gede Sidemen. Dayu Ani belum bisa menemani saya memberi latihan dasar saat itu, sebab ada beberapa kesibukan yang harus dia selesaikan. Saya entah mengapa waktu itu teringat nasihat seorang brahmana,"di puyung-e anak misi bek" (disaat kamu kosong, disaat itu sebenarnya tengah penuh). Saya ingat nasehat itu, "mulainya proses itu seperti perjalanan hari menuju purnama (suklapaksa), pastilah akan mengembang yang akan kamu inginkan, meniru bagaimana purnama terbentuk".

Saya menetapkan jam dan latihan setiap hari. Sebaliknya, setiap malam  saya sendirian di kamar mempelajari berbagai gerakan yang diberikan Ida wayan Padang dan Pak bandem. Pada hari ketiga latihan, saya mulai menamakan: ini pola gerak panji style budhakeling!

Saya ingat juga tentang konsep ngalelente, menari dengan hati, maka saya memberanikan diri, ini polanya, nanti kalau dayu ani datang, pastilah akan dilakukan perombakan, tetapi saya memilih point-point gerak yang khas, yang tak lagi umum ditarikan. 'Rajeg' sebuah pola yang juga dikenal di desa sidemen membuat saya makin yakin, saya harus melewati proses mengajak para remaja ini mengenali proses yang sebenarnya sangatlah berat. Satu per satu para calon penari mengundurkan diri, saat dayu ani datang jumlah calon penari ini sudah berkurang empat orang.

Dayu ani untuk beberapa hari datang mulai melatih menari, anehnya, dia tidak mengubah apapun dari pola gerak itu, namun memilah dan memberi tekanan-tekanan, kemudian mendorongnya menjadi pola tarian. Saat dia pergi lagi karena ada acara lain, saya kembali sendiri melatih anak-anak itu dan akhirnya karena nekad, saya membuatkan pola pemanggungan, yang kemudian menjadi dasar dari koreografi, yang hampir dipastikan disharmoni, sebab saya memang sukanya demikian. Keserempakan tidak pada kesamaan, kerampakan tidak pada keseragaman. Dayu ani kemudian datang lagi, maka, mulai terpikir untuk menjelaskan kisah yang akan dimainkan. Inilah mengapa diberi judul percakapan sunya nirvana.

Saya lalu mengkisahkan bagian yang saya suka dari kakawin Sutasoma: petikan akhir yang mengkisahkan bagaimana perang yang menegangkan itu menjadi hujan bunga dan tebaran keharuman,kematian menjadi kehidupan, hidup menjadi harapan disebab si anak bulan itu (Sutasoma arti harfiahnya putra bulan) yang juga bagian itu menghadirkan percakapan mengenai bhinneka tunggal ika, suatu koreksi yang indah dari Tantular kepada situasi majapahit kala itu. Sambil berproses, dayu ani mulai memikirkan siapa yang akan memainkan jayantaka (porusadha) dan siapa yang akan memainkan Sutasoma. Saya mau gerakan mereka kembar, saya juga mau itu mengambil ritme arja: dayu ani memutuskan memanggil kedua adiknya Dayu Mang Ana dan Dayu Gek An.

Pada awal agustus barulah bisa latihan gabungan, saat bergabung antara pemeran jayantaka-sutasoma dengan para penari pola gerak panji, sambil memasak saya menyusunkan syair surya candra, dayu mang ana yang jenial langsung menembangkannya, dan saya kemudian mengundang dayu ngurah untuk ngewirat nedeng, membacakan petikan kakawin Sutasoma yang sudah saya pilih. Saat proses itu berjalan, saya mesti menyiapkan kostum, mengkontak sahabat saya viebeke untuk memberikan saya dana, dia terkejut saat tahu saya akan mementaskan Sutasoma, tanpa banyak tanya: dia berkata, aku bahagia, akhirnya kamu kembali pentas, aku bantu kamu! Lalu banyak hal yang membuat saya terkejut, betapa proses ini tak sederhana, saya kembali mengkontak beberapa teman untuk membantu proses ini, ada Gus Yudha Triguna, ada Sugi Lanus, bahkan taufik rahzen pun kemudian mengunjungi saya ke desa. Proses yang membuat saya hampir terbenam dari hari ke hari dipenuhi oleh latihan….

Puyung, saya ingat hal itu, saat saya merasa tidak bisa apa-apa. Saat saya sadar, saya hanya paham secara teks, kemudian saya berani berdiri di hadapan anak-anak yang juga dalam kondisi 'puyung'. Nol! Kami berproses dan waktu bergerak begitu cepat, saat anak-anak itu diujicoba pentas, saya malah tak bisa berkomentar, hanya rasa haru, rasa datar, rasa puyung yang makin kuat. Kian penuhkah atau saya makin merasa tidak tengah berproses, banyak hal yang tiba-tiba saya rasa belum saya tahu……seperti itulah percakapan sunya nirvana. Saya dan dayu ani, hampir jarang mendiskusikan mau kemana proses ini, kami selalu diam, asyik dengan proses itu sendiri….seperti diketengahkan kesunyian, demikianlah adanya. Sesungguhnya, kami mungkin tengah dalam situasi kondisi puyung: Nol!

No comments:

Post a Comment