Surga Itu Seharusnya di Bumi Dahulu...


SELAMAT menuju GALUNGAN DAN KUNINGAN (LAGI) : PERAYAAN SURGA DI BUMI…
OLIH. COK SAWITRI

Galungan dan Kuningan adalah rangkaian upacara yang sering disebut sebagai piodalan jagat; penghormatan dan rasa kasih tak terhingga kepada alam semesta dan leluhur. Hindu Bali memang mendasarkan kepada pemujaan leluhur, penghormatan kepada alam semesta dan kepada penganutan siwa-buddha. Ketiganya terjalin dalam 'kasuksmaan; yang mendalam baik kepada ajaran siwasidhanta maupun Buddha wajrayana (tantrayana); seringkali Hindu Bali ini dikritik karena terlalu banyak upacara, namun tertutup dan pelit dalam menjelaskan kasukmannya (tatwa/teologinya): untuk perayaan Galungan dan Kuningan rujukan kitab sucinya adalah lontar sunarigama atau jayakesunu, sebuah kitab yang menjelaskan tata krama merayakan dan alasannya bergalungan dan kuningan, dan itupun masih dianggap penjelasan yang terlalu singkat. Dan memahami lebih mendalam bagaimana bhuwana alit (mikrokosmos) yang ada di dalam Bhuwana Agung (kesemestaan itu) penganut Hindu Bali berpegang kepada banyak kitab suci: baik dari ajaran suci siwa sidhanta maupun Buddha Wajrayana.

Bagaimana memahami kejauhan dan kedalaman yang tak terbayangkan itu, mengapa agama Hindu Bali bertujuan salah satunya adalah mencapai jagadhita (surga itu seharusnya di bumi dahulu); bagaimana hubungan antar manusia, kemanusiaan itu harus diselesaikan pencapaiannya, kemudian manusia dengan alam dan juga kepada leluhur serta kepada Tuhannya. Keserentakan itu jelaslah tak mungkin dijelaskan dengan mudah dan cepat, setiap saat keterbatasan manusia menjadikan segala macam pertanyaan akan melompat keberbagai hal sebab; segala macam upacara itu sungguh indah dan menawan dan juga memiliki maknanya sendiri. Namun kemajuan zaman, hubungan yang melintas kemana-mana, kekaguman pada prinsip penghormatan kepada alam semesta ini seringkali menuntut jauh ke dalam untuk menjawabnya; sebuah pertanyaan yang sering datang dari mereka tidak memahami Hindu Bali adalah apakah agama anda memiliki tuhan? Sebab begitu banyak dewa, batara, bahkan 'hyang' yang kalian puja? Ejekan yang paling sering menyertai pertanyaan itu adalah bahwa Hindu Bali adalah kaum berhala bahkan kafir. Bahkan beberapa cendekiawan kadang berseru; seharusnya mereka diluruskan, dikembalikan ke jalan weda. Semua itu, mungkin enggan diutarakan secara terbuka. Tetapi dalam perenungan, kejujuran memilih untuk menemui kenyataan; kedamaian dan pengertian akan bertemu apalagi yang mengganjal disampaikan.

Yang diperlukan adalah menjawab dengan tenang bahwa Hindu memang berasal dari India, tetapi Hindu Bali tidak sama dengan Hindu India. Dalam kepahaman siwasiddhanta maka penjelasan dari jnanasiddhanta itu: " Ekatwanekatwa swalaksana bhattara. Ekatatwa ngaranya, kahidep makalaksana ng siwatatttwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana siwa karana juga, tan paprabheda….Aneka ngaranya kahidepan bhattara makalaksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiran sthula sukma parasunya": sifat bhattara adalah eka dan aneka. Eka (satu, esa) artinya Ia dibayangkan bersifat siwatattwa. Ia hanya esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat esa saja sebagai siwakarana, Ia sebagai pencipta, tiada perbedaan. Aneka itu artinya bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah sthula sukma para sunya. Jika ditanya apakah kemudian rujukannya ke ajaran asalnya pada kitab suci weda; maka perhatikanlah isi dari Rg Veda: Idram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman. Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh : mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya yaitu Garitman yang bersayap elok. Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Ketika pertanyaan demi pertanyaan itu muncul, bahkan disaat Galungan dan Kuningan apakah berhenti pada pemaknaan upacara; kepada perayaan diri dalam bagian sang bhawana agung. Bahwa dalam kasukman, ajaran mendasar dalam siwasiddhanta telah dijelaskan; bagaimana menjawab asal muasal ini semua, jika benar engkau sebuah ajaran mulia: Galungan dan Kuningan mengisyaratkan pula akan ajaran bagaimana terjadinya alam semesta; perhatikan pada penjelasan mengenai Pancamahabhuta;…."Sangka ring pancatanmatra mtu tang pancamahabhuta. Akasa mtu saking sabdatanmatra, hawang-hawang huwung-huwung tan pagamongan, maweh awan laksananya, sabda pinaka gunanya, wayu mtu saking sparsatanmatra, riwut pata barat prahara, angulahaken laksananya, sparsa pinaka gunanya. Teja Mtu saka ring rupatanmatra, prakasa pada apanas pinaka gunanya, rupa pinakagunanya. Apah mtu saka ring rasatanmatra, amles laksananya, sadrasa pinaka gunanya. Prthiwi mtu saking gandhatanmatra, akasaganal laksanannya. Gandha pinaka gunanya, ikang gandha tiga prabhedanyanya. Surabhi, asurabhi, sa ca gandha sadharanah, surabhi ngaran awangi, arubahi ngaran abo, sa ca gandha sadharanah, ikang tan awangi tan abo nga; nahan ta laksana nikang prthiwi, yeka pamkas ing tattwa tunggal ganal, ikang prthiwi, apah, teja, wayu, akasa ya ta ginawe bhuwana de bhatara, ardha ruhur suminduhur tatumpang tumpangan laksananya, ikang tattwa I ruhur pinaka guna dening tang tattwa isor"

Dalam tatwajnana, salah satu kitab pegangan suci siwasiddhanta; telah dijelaskan bagaimana asal muasal pancamahabhuta, bagaimana sebenarnya asal alam ini; dan itu menjadi jelas jika kemudian dibaca dalam bhuwana kosa: lwir bhattara siwa magawe jagat, brahma rupa siran pangraksa jagat, wisnu rupa siran pangaraksa jagat. Rudra rupa sira mrlayayaken rat, nihan tawak, bheda nama. Penjelasan dalam bhuawana kosa ini menjelaskan Tri Murti itu; brahma wujud tuhan saat menciptakan dunia, wisnu saat memelihara, rudra saat mempralina; memusnahkan dunia.

Karena itulah pentingnya memahami pancamahabhuta itu; yang disaat galungan dan kuningan akan dikemukakan tentang …Bu Ka, galungan, nga, patitis ikang ajnana sandi,galang apadang,maryakena sarwa byaparaning idep,…..artinya itu Budha galungan adalah mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran. Rangkai awalnya apa yang disebut 'nguncal balung'; bagaimana melepaskan keegoan dalam diri, kemudian segala keinginan yang berkelebihan;dst. Perhatikan salah satu kalimat yang indah ini; Om Kaki Bra Galungan, Bhatara kala, Bhatara jabung, Bhatara kala amangkurat, Sang Kala ejer, sang kala yamaraja, Kaki sang kala Nadah….dst! Kala adalah energi,unsur, dia itu juga berasal dari pancamahabhuta; berasal dari kesemestaan, yang sering kita lupa sebagai manusia, yang mengira tidak memikili kaitan dengan keasalan yang ada didalam bhuwana agung.

Bagaimana kemudian jabarannya akan memahami keberadaan alam ini: dari tumpak wariga, sugihan…..dst; bahwa kemudian manusia si bhuana alit ini menyadari ada dalam bhuwana agung, dan dengan jernih mengheningkan diri mensukuri anugrah tuhan. Dan sesungguhnya, agama itu mengajarkan mari berkejaran untuk membangun bersama surga di bumi; itulah bumi bagi manusia yang menyadari akan kesemestaan.

Kemudian, pada saat hari raya Kuningan, tradisi pemujaan dilakukan di pagi hari, semua persembahan dilakukan sebelum matahari melewati titik tengah putaran sang bumi. Pada masa kecil jika ditanyakan kepada orang tua, kenapa harus pagi-pagi sekali, jawabannya; amun sanje atau melewati tengai tepet, nyanan maan dewa maong atau para leluhur, dewata-dewati telah pulang ke jawa (ke luar sana!, bukan jawa pulau).

Dalam tradisi agama siwa siddhanta, siwa-buddha, yang mana seribu tahun yang lalu Mpu Kuturan melakukan sebuah pesamuhan agung mengenai penyatuan semua 'paksa' atau sekte di Bali. Tujuannya adalah menegaskan bahwa beragama adalah menciptakan surga di bumi. Jangan membiarkan para penganut agama itu terlibat dalam debat dan pertengkaran siapa dewa pujaan yang paling unggul, sebab ketiganya itu tri murthi, tuhan oleh yang bijaksana disebutkan dengan berbagai nama. Ketika kedangkalan kefanatikan tiba, maka para penganutnya akan sibuk bertengkar dan sibuk mengunggulkan manifestasi tuhan itu, akan merusak tujuan sesungguhnya hidup, yakni kedamaian.

Karena itu dengan bahagia, warisan Mpu Kuturan itu dilanjutkan hingga kini oleh semua paksa, sekte, mashab di Bali tersatukan dalam sebutan ajaran siwa siddhanta sebagai sebutan yang dipahami; didalamnya itu ada semua ajaran paksa dan sekte; wilayah pertama itu dalam tattwa, yang tak bisa disebut paling bawah tak juga bisa disebutkan paling atas, namun inilah kepahaman yang paling mudah dipahami oleh kesibukan manusia yang berakal budi dengan segala godaannya; mengenai apa yang disebut tatwa mahesa, dalam tataran sakala, yang muaranya pada Jnana sakti dan Kriya Sakti, keduanya ini paling dekat dan paling mudah dirasakan manusia; pengetahuan dan karya, hasil kerja hidup.

Dalam tatwa mahesa inilah dikenal apa yang disebut mahesamurti, ini yang sering tidak dijadikan perdebatan lagi, dilakukan secara gugon tuwon (mule keto) bahwa bagian tatwa inilah yang menjelaskan mengenai ketiga proses dunia, yaitu Sristi (penciptaan), Sthiti (perlindungan), dan Laya (kehancuran). Ketiganya diwujudkan dalam bentuk pemujaan, itu sekala yang paling dapat dijangkau oleh daya pengertian manusia mengenai tuhan dengan manisfestasinya; baik di parahyangan, pawongan, palemahan. Ketiganya itu kemudian pada Sthiti barulah memahami tri murti; rudra, wishnu dan brahma. Ini pemahaman paling sederhana mengenai bagaimana bhuwana agung itu berkaitan dengan bhuwana alit; bagaimana memahami panca mahabhuta; lima unsur besar dalam kesemestaan yang menjadi elemen pula dalam perwujudan manusia yang sekala, yang nyata.

Dari dasar yang tidak di bawah tak juga di atas ini, barulah memahami ke wilayah Sada Siwa, di tahap inilah memahami apa itu isana, apa itu tat purusha, apa itu sadyojata, aghora bahkan wisnu sekalipun sebagai bagian memahami karmasadakahya. Pada puncak yang sering tak lagi diajarkan adalah bagaimana memahami siwa tatwa, Buddha tatwa; mengenai apa itu yang disebutkan menjadi lima sakti; para shakti, adi, ichacha, jnana dan kriya sakti. Dalam tradisi Hindu Bali, yang mewarisi tradisi luhur (dia yang jauh di sana, dia yang sangat tak terbayangkan); pada tingkat praktiknya pemujaan adalah pada sikap-sikap melakukan apa yang tercakup pada mahesamurti, karena itu di hari Kuningan, upacara segera dilakukan sebelum matahari melewati titik kulminasinya, sebab pada proses itulah kemudian memahami bagaimana atma didalam diri yang tergelapkan oleh kelahiran sesungguhnya juga ada dalam paraattma. Karena itu para dewata-dewati itu dinyatakan akan segera 'mur' (dari asal kata amurttata; niskala pada tatwa sada siwa), pulang kembali ke jauh ke tempat yang tak terbayang. Di situlah kemudian pertanyaan akan muncul, andai selama hidupnya ada dewata-dewati kita melakukan kesalahan karena kriyanya, karena jnananya, bukankah seharusnya di neraka? Bagaimana mungkin kemudian dia datang mengunjungi keturunannya di bumi?

Di sinilah kemudian dijelaskan; bahwa yang disebut sebagai 'alam di sana' tidak sebagaimana sekala yang dipikirkan manusia membayangkan surga dan neraka sebagai tempat. Bahwa semua energi itu yang menjadi asal dan kemudian kembali ketika kematian tiba; menemui 'asali' jnana dan kriyanya. Bahwa semua unsur itu meletakan kesuciannya pada suatu proses yang maha tak terbayangkan. Maka kemudian dalam tingkat pemahaman yang paling sekala, yang paling sederhana; semua leluhur itu tak pernah tiada, dia ada. Sebab selama kita ada, maka dia ada. Itulah kemudian diri ditenangkan, diberikan keyakinan; betapa tugas yang terindah dari hidup adalah menjaga keharmonian. (MERANGKUM TULISAN, UNTUK MERAYAKAN GALUNGAN DAN KUNINGAN TAHUN 2013)

No comments:

Post a Comment