Galungan dan Kuningan itu; adalah Rangkaian Upacara...


GALUNGAN DAN KUNINGAN ITU: ADALAH RANGKAIAN UPACARA!
(catatan kecil buat mengingat-ingat kembali)
Oleh. Cok sawitri

Kita mulai dengan memahami dengan sederhana, bahwa perayaan Galungan dan Kuningan itu adalah 'upacara yang berangkai'  yang kadang dipahami dan dilaksanakan sebagai upacara yang terpisah-pisah. Padahal, inilah upacara yang sesungguhnya mengisyaratkan bahwa agama bali ini, bukanlah agama yang sekadar 'habis-habisan' melakukan upacara. Dalam rangkaian upacara itu jelas diperlihatkan pula bahwa ada upacara yang sesungguhnya adalah symbol dari tindakan melengkapi kebutuhan upacara itu; yakni dari bunga hingga buah-buahan, hingga keperluan akan hewan: ayam, bebek, babi;dst. Perayaan tumpek misalnya; tumpek Kandang, yang berkaitan dengan penghormatan akan keberadaa hidup binatang peliharaan, adalah symbol tindakan bahwa pemeliharaan itu adalah juga utama disamping memanfaatkannya dan dalam tulisan ini sebagai salah satu rangkaian upacara Galungan dan Kuningan yaitu upacara TUMPEK WARIGA, sering disebut tumpek pengarah, tetapi lebih populer disebut tumpek bubuh/ubuh dan di beberapa daerah lain disebut tumpek pengatag; Pengarah, artinya pemberitahuan, pengingat bagi masyarakat bali bahwa terhitung dari hari perayaan tumpek wariga ini, yaitu dua puluh lima hari lagi adalah hari galungan: adanya yang namanya upacara pemberitahuan kepada isi semesta; itu lebih popular disebut tumpek bubuh karena persembahannya (sajennya) berupa bubur dari tepung beras, yang akan ditorehkan di berbagai pohon yang menghasilkan buah, itu adalah persembahan kepada Dewa Sangkara; penguasa tumbuh-tumbuhan, yang pada tumpek wariga dihormati; suatu tindakan introspeksi mengenai hubungan manusia dengan berbagai tumbuhan disekitarnya; bahwa manusia memerlukan tanaman-tanaman itu, karena itu perlu semangat memelihara dan menghormatinya, tidak hanya mengeksploatasinya; Hari itu biasanya tidak diperkenankan memetik buah apapun, sebagai tanda penghormatan kepada proses pertumbuhan. Sehe (mantram bali kuna) yang digunakan saat menghaturkan persembahan kepada semua pohon itu adalah: kaki, kaki....dije i dadong, buin selae dina galungan, mabuah apang nged, nged, nged..." pemberitahuan itu kemudian dilanjutkan penghormatan kepada Sang Sangkara yang biasanya dipusatkan di penunggun karang, yang apabila dilalaikan akan menjadi Sang Hyang Kala raksa. Tumbuhan adalah mahluk tuhan, yang logis seharusnya dijaga dan dipelihara.

Tradisi religi tumpek wariga ini juga adalah penanda rangkai berbagai upacara menuju galungan-kuningan telah dimulai dan di masa kini, ditengah kerisauan akan pengerusakan lingkungan hidup selayaknya pemaknaan tumpek ngatag/bubuh ini makin menjelaskan bahwa kearifan agama lokal itu memang memiliki pandangan jauh ke depan terutama mengenai kesadaran lingkungan dan sudah pasti sifatnya universal; mencintai tumbuhan sekitar, berharmoni dengan alam, dan menjelaskan bahwa kebutuhan bahan upacara itu jauh-jauh hari telah dipersiapkan, dicek ulang. Artinya upacara adalah koordinasi yang panjang, bukan semata membeli dan menghaturkan. Bukan pula tindakan pemborosan.

Karena itu Perayaan Galungan dan Kuningan  tidak berjalan sendiri, ini memang kekhasan Hindu Bali dibandingkan dengan puspa warna Hindu yang ada di berbagai Negara lain, bahkan dengan di India. Belakangan ini memang ada upaya meformalisasi perayaan Galungan dan Kuningan ini, dengan upaya mencari padanan perayaan apa yang sejenisnya, yang ada di India. Dalam batas tertertentu, upaya itu menurut saya; menunjukan arus deras rasionalisasi agama-agama di dunia membuat beberapa tokoh Hindu di Bali merasa akan lebih percaya diri jika ada 'label' indianya. Padahal, jelas sekali Galungan dan Kuningan itu adalah perayaan yang diwariskan oleh proses tradisi kekunaan Bali, yang kemudian bertemu dengan tradisi-tradisi Hindu awal, terutama pada tradisi tantrayana.

Sebagai suatu upacara keagamaan yang terunik di dunia, Galungan dan Kuningan adalah juga 'kalender' yang sebenarnya juga 'manajemen' yaitu pengorganisasi hubungan manusia dengan alam, dan sesamanya. Karena itu bukan hanya pada hari raya Galungan dan kuningan dijadikan puncak, sebab jika memperhatikan dengan baik maka rangkaian itu juga ditandai dari Buda Pon Sungsang ( Rabu, pon, sungsang), disebut Sugihan Pangeten (ngentenin, mengingatkan, membangunkan dari situasi tertidur) atau sebagai tanda mulainya Brata Nguncal Balung yang dilakukan hingga bertemu wuku Pahang ( Buda Kliwon Pahang); jadi ada 49 rentang hari yang dimaksudkan sebagai Nguncal Balung. Arti Nguncal; melepaskan, membuang, mencabuti sedang balung artinya tulang. Jadi rentang 'brata' perayaan Galungan Kuningan itu sepanjang 49 hari.

Pada Nguncal Balung  dimulainya melepas kekuatan-kekuatasa negatif dalam tri kaya, juga proses dimulainya introspeksi, memahami diri menuju kesadaran tinggi. Diibaratkan tubuh yang kokoh, yang disangga tulang-tulang, maka keinginan, hasrat, berbagai hal yang menjadi keangkuhan dan kesombongan yang bermuara pada diri, setiap saat berlebihan karena tidaksadaran harus dilepaskan. Tubuh dimurnikan, jiwa dimurnikan, pikirannya di perhatikan. Sehingga kata, tindakan, pikiran; mulai terjaga, dibangunkan.

Serba godaan itu disebut Sang Hyang Kala Tiga, dimurnikan agar kembali diri dalam proses memikirkan asal muasal bhuana alit dan bhuana agung dari dia yang mahamulia; sang siwa-buddha. Kala dalam konteks Sang Kala Tiga adalah energy yang tak terkirakan kekuatannya, yang jika dalam bentuk purusha maka itulah yang disebut Kala Rudra, dan ketika dalam wujud Pradana; disebut Durga Murti; kekuataan maha dahsyat itu menggoda seisi dari yang bersemayam dalam hidup; menjadi tindakan, perkataan, hasrat, niat, motivasi, dan berbagai hal yang sering tidak produktif terhadap diri sendiri. Karena itu harus ditenangkan, di'somia'kan.

Sugihan pangeten ini juga sering diajarkan melalui mitologi ketika Mpu Bharadah berkunjung ke Bali dalam rangka menemui Mpu Kuturan, untuk meminta izin keturunan Erlangga menjadi penguasa Bali. Sebelum bertemu itu, Mpu Bharadah berada di sebelah Selatan Pasraman Mpu Kuturan. Setelah menyampaikan keinginannya itu kepada Mpu Kuturan, dan ditolak. Mpu Bharadah dilanda rasa marah, tak terkendali dirinya, hingga pergi tanpa pamit kembali ke Daha. Peristiwa hilang kendali diri ini menimbulkan perjalanan Mpu Bharadah ke Daha tersendat dan terganggu. Tujuan mitologi itu mengingatkan, 'ngentenin', bahwa semua manusia, sekaliber Mpu sekalipun akan terkena godaan energy itu, hilang kendali, sebab itu selalu perlu pengendalian diri, dibangunkan kembali.

Dalam keseharian penanda mulainya Nguncal Balung itu adalah mulainya kegiatan ngelawang; barong yang disunggi anak-anak keliling desa; yang mengingatkan pula akan kisah Dewa Tri Murti ketika turun ke bumi menyaru sebagai topeng bang (brahma), Telek (wisnu) dan Barong (ciwa), ketiganya bertujuan menyelamatkan hidup dari berbagai godaan, membangunkan diri dari ketidaksadaran.

Dan dahulu orang bali seketika akan ingat untuk menghindari melakukan kegiatan membangun rumah, bangunan suci, membeli ternak untuk bibit, tidak melakukan kegiatan pawiwahan juga banyak yang mulai menetapkan dirinya secara individual; memilih brata, bentuk puasa yang aturannya bisa berbagai-bagai. Namun yang utama adalah memahami proses menuju kesadaran tertinggi, sebagai tujuan perayaan galungan

Lalu rangkaian lanjutannya itu adalah HARI SUGIHAN, keduanya jatuh pada Uku Sungsang. Dalam kitab suci Sundarigama, telah dibahas bagaimana sugihan itu, dan sesungguhnya jika ada yang bertanya apakah Hindu di Bali tanpa kitab? Setidaknya upaya menjelaskan dengan sederhana akan membuka wawasan baru serta mengurangi prasangka bagi yang kerap memerlukan rujukan kitab dan ayat ketika bicara soal keyakinan yang berbeda.

Dalam rangkaian galungan maka akan ditemuilah yang disebut sugihan jawa dan Bali, jatuhnya pada Uku Sungsang. Dalam kitab Sundarigama itu dibahas sebagai berikut: “Sungsang, weraspati wage, ngaran parereduan, sugin jawe, kajaring loke, yate peretistan, betara kabeh, arere don ring sanggar muang ring paryangan, kadulurin pangereratan reresik betare, sahe puspa wangi, kunang wang weruhing tatue jenyane, pasang yoge, sang wiku, angarge puje, apan betare tumurun maring madia pade, amukti banten. Anerus tekeng galungan, pakeretining wang, sesayut muang tutuan, pengeredane sake, sukan arania. Sukre keliyon, ngaran sugi Bali, pakenania ameras titaning rage tawulan kewale anadahe tirthe gcara, pangelukatan ring sang pandita paketining wang… “

Terjemahan bebasnya: Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita / pensucian ,para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan. Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi , maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga , sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun ke dunia disertai para Dewa Pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-orang hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan .

Sugihan jawa tidaklah mengacu kepada 'jawa' sebagai tempat. Pengucapan 'j' dan 'b' dalam bahasa seringkali bertukar. Seperti jawatang dapat juga diucapkan bawatang. ada juga yang jawa diartikan yang sebelumnya, di luar jebag (lawang/pintu). Sugihan Jawa adalah penyucian Bhuwana Agung, lebih tepatnya kemungkinan sugihan ini adalah sugihan bawa; bawa juga berarti yang memahkotai kesucian: karena itu pada hari sugihan jawa kasukmaannya adalah melakukan ngarerebu di sanggah, merajan, paibon, dll. Sekala dengan membersihkan ruang-ruang suci; setelah itu melakukan pengeresikan, memakai sarana bunga yang harum-harum. Keharuman yang menandai sugihan jawa, agar jagat ini, alam semesta ini menjadi wangi. Begitu pula diri, menyiapkan diri untuk menegakan hati; boleh memilih sejenak samadhi atau melakukan hening yoga. Demikian kabar yang didapat setelah melakukan pembersihan sekala di sekitar padmasana.

Rangkain selanjutnya yang otomatis bergerak dalam kehidupan umat Hindu di Bali itu memang sering kemudian tanpa penjelasan. Sebab rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan itu bergerak alamiah, yang kerap dijadikan percakapan mungkin persoalan keseharian menuju perayaaan itu. Yang paling diriuhkan dalam persiapan perayaan ada hari penyajaan, penampahan; itu tiga dan dua hari menjelang hari Galungan: pertanyaan yang seringkali muncul disaat penampahan Galungan adalah 'ajikude mepatung?” dan kemudian urusan melakukan upacaranya dilakukan secara otomatis, tanpa pejelasan. Hingga kian lama pemahaman mengenai upacara penampahan galungan berkurang. Lebih sibuk kemudian memikirkan berapa kilo daging babi yang akan dimasak. Padahal, di hari penampahan itu, upacara yang utama dalam rangkaian galungan, yaitu melakukan : Byakala atau Beakaon. Byakala di saat penampahan galungan dilakukan pada sore hari (sandikala), ada juga yang melakukan di tengah hari, tetapi dalam perintah suci lebih disyaratkan dilakukan disaat sandikala.

Di hari penampahan galungan ada dua sebenarnya upacara yang dilakukan yaitu bhuta yadnya yang ditujukan untuk Sang Bhuta Kala Amangkurat/ Sang kala Tiga yaitu berupa segehan agung yang diletakan di pekarangan rumah, halaman rumah dan pintu masuk pekarangan rumah/ lebuh ini yang dihaturkan di siang hari, sedangkan byakala dilengkapi prayascita dan sesayut peminyak kala dilakukan saat sandikala; saat melakukan byakala disertakan semua peralatan yang digunakan bekerja untuk keseharian hidup diprascita; untuk byakala dikecualikan bagi anak yang belum tanggal gigi. Usai byakala dilakukan kemudian natab atau disebut ngayab. Rangkaian upacara ini bisa terjadi perubahan sesuai dengan desa, kala, patra, bahkan sesuai tradisi keluarga masing-masing,

namun pada prinsipnya bermuara pada warah: perintah suci yang disampaikan melalui Sri Jayakesunu, : “Muang ta kita anakku, kita abyakala, tekaning wadwa nira swang rikala Kala telu ring Dungulan luirnya: dangdangan 1, segeha penek 5, iwak jajath 5 katih, gegecok rumbah gile, sasah mentah, pencok kacang ijo, amel-amel, iwak sinujen wakul gangagan sakawali. Genahing caru tengahing natar, sambatin Sang Bhuta nadah, ma. Om Kaki Bra Galungan, Bhatara Kala Bhatara Jabung, Bhatara amangkurat, Sang kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah, away nadah pun anu, apan pun I anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun sira anu sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira tan akuning tan airing sedang bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi, romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala, ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama. Telas."

Tujuan melakukan upacara penampahan galungan jika itu untuk bhuta yadnya; adalah mengembalikan, menyomiakan, ke tempat asalnya semula, kemudian permohonan semoga manusia dalam hidupnya dapat melanjutkan kehidupannya dengan lebih berkesadaran, memahami akan segala emosi dalam diri, segala kekurangan dalam diri, dst.

Yang kini sering tak terdengar dalam upacara penampahan galungan adalah 'sehe' yaitu mantra Bali Kuna, yang merupakan tradisi puja Bali; misalnya untuk menghaturkan segehan, dahulu biasanya kepala rumah tangga atau salah satu keluarga yang sudah diwinten akan memimpin penghaturan segehan itu dengan mengucapkan; “Pukulun, sira kaki Begawan Galungan Betara Kala, Betara Jabung, iki pasuguhan manusanta, lawan sira, sangkala-jabang, iki pasuguhan manusanta, lawan sira, sangkalasama daya, lantarimanen, sasing kirang, asing puput, iki pirak 200, maka pamikunia manusa, anede rahayu, suasti astu suaha. Telas."

Atau jika ada yang ingin lebih lengkap: mengucapkan mantra sehe ini: Om Kaki Bra Galungan, Bhatara Kala Bhatara Jabung, Bhatara amangkurat, Sang kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah, away nadah pun anu, apan pun I anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun sira anu sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira tan akuning tan airing sedang bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi, romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala, ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama.

Perhatikan kemudian ketika Galungan tiba, upacara yang paling pribadi dilakukan masing-masing orang dib alai pesucian atau di dapur, yaitu tradisi ngayab yang diucapkan oleh semua orang yang ngayab: sambil mengulapkan tangan ke arah dada; "ayab sari….rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama."

Artinya secara bebas: berilah kerahayuan, sehat, panjang umur, sekempurnaan, kekebalan dengan baju berkulit tembaga, bertulang besi berotot kawat, terhindar dari segala sakit semoga sebagai penjaga sir jayakesunu…..jagalah selalu, baik pagi maupun sore, siang dan malam. Ya Hyang widhi semoga berkenan kusebutkan permohonan ini atas nama Siwa!

Sedangkan perhatikan kegiatan di hari sehari sebelum penampahan yang disebut Penyajaan Galungan itu, kegiatan membuat jajan, menyiapkan jejahitan; dst itu berasal dari kata 'jajah' artinya penaklukan; pada hari penyajaan ini sesungguhnya dimulainya meningkatkan kewaspadaan diri, bahwa Sang Kala Tiga yang ada dalam diri akan mudah mengundang emosi, amarah, dst. Penyajaan galungan secara awam diartikan pula sebagai proses persiapan pembuatan segala macam jajan upacara. Ini juga benar, sebab 'jaja' itu arti katanya 'dada/batin'. Karena itu proses membuat jajan adalah simbol mengolah isi dada. Karena itu posisi yantra/rekha untuk mempersiapkan persembahan kepada bapa langit- i meme bhumi. Itu sebabnya; semua sajen ada jaja uli merah-putih, jaja gina- juga demikian merah-putih; kedua jajan ini syarat untuk dalam matanding sajen; sebagai yantra bhatara langit dan gumi; tentu saja seringkali banyak yang bertanya, mengapa kedua jajan ini tak boleh tidak, harus ada dalam sajen di semua upacara; sebab keduanya itulah yantra bhatara lalangit, meme bhumi....

Galungan tahun 2013 akan jatuh pada tanggal 26 Maret, tetapi  galungan ini adalah upacara rangkaian yang terpanjang dalam tradisi Hindu di Bali. Dimulai dari perayaan tumpek wariga (tumpek ngatag, bubuh, Uduh, pengarah), lalu berangkai dengan sugihan pengenten, sugihan Jawa, Sugihan Bali, dilanjutkan dengan penyekeban, lalu penyajaan galungan, penampahan dan puncaknya hari galungan, yang kemudian berangkai dengan manis serta paing, yang dilanjutkan kemudian dengan hari pemaridan guru, hari Ulihan dan pemacekan agung; ini rangkaian satu paket galungan, yang dilanjutkan menuju hari raya kuningan, dan berakhir pada Buda keliwon Pahang, atau sering disebut pegat wakan (warah). Rangkaian itu menjadi menarik; sebab diri, alam, leluhur; ketiganya menyatu memuja 'dia' yang maha supermulia...".....Bu,Ka, Galungan, nga, patitis ikang ajnana sandi, galang apadang, maryakena sarwa byaparaning idep" artinya: Buda Keliwon Galungan adalah yang mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pemikiran..." (Petikan Sundarigama):
“Nihan kramaning wus ngencak waru, Dungulan ping 3 wenang makekelud sajeroning Dewa, dening ayam mancawarna, prasyascita durmanggala mwang sesayut sidasampurna, nanceb penjor. Tekaning Dungulan apisan, wenang mabanten canang pamujung, ajuman, canang buratwangi lenga wangi, saha penjor. Teka malih pisan, mabanten nasi sahud-sahudan, sahe penjor. Tekaning ping telu Dungulan wenang ngarebonin, mabanten tumpang sakarepta wenang, sehanane wenang nancebang penjor ring dina a, wa, Dungulan, madaging paholiha ring sawah majonteng kelapa 2, misi sesanganan mwang jejatah, lembat, asem kekuwung, tekaning sampyan, lamak, sahaning iwak. Tekaning wara Bu, Ka, Wara Pahang, nelasang luhun galungan, mabanten tumpeng mapucak manik, canang, sami munggah ring sanggar, raris ngabut penjor, mengeseng lamak, raris matanem ring natar. telas.
Namun kini diakibatkan rasionalisasi agama, matram kuno agama Bali untuk GALUNGAN; mulai jarang terdengar kini yaitu yang disebut sehe, yang biasanya diucapkan dengan cara bagaikan bercakap-cakap: saat Galungan misalnya; disaat menghaturkan caru/ segeh di tengah pekarangan rumah maka diucapkan; Om Kaki Bra Galungan, Bhatara Kala, Bhatara Jabung, Bhatara Kala Amangkurat. Sang Kala Ejer Sang Kala Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah,aywa nadah pun anu, apan pun anu, samakira, angion karaton tkalawan sira, pun anu sih asanak kawalan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira, tan akuning tan aireng sedeng bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi,romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujanakulit, akulit tembagaawalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pangraksa nireng sira Ajikusunu, mangkana pangarsaha nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina wengi, Om nama swaya Namah. Telas
Jadi, perayaan Galungan dan Kuningan itu adalah rangkaian, dan serius membanggakan penganutnya, sebab inilah perayaan yang sangat ramah kepada alam. Dan ditengah arus teknologi, sesungguhnya sangatlah elok apabila perayaan Galungan dan Kuningan juga dijadikan ajang pertukaran informasi pengetahuan keagaaman Hindu Bali.

No comments:

Post a Comment