Matinya Penguasa : bagian 2

KALAPA (MATINYA PENGUASA BAGIAN 2)
sebuah novel

      Riuh buruh pelabuhan terdengar seperti nyanyian, semua tangan semangat menarik tali-tali yang terjurai dari Jung yang tengah merapat.Pelabuhan Kalapa hari itu bermandikan cahaya matahari, panas demikian menyengat.Jung dari Cina telah tiba! Sorak sorai para buruh dan pedagang silih berganti terdengar. Sejak semalam pasar pelabuhan telah ramai. Para pedagang telah menjejerkan gerobak dan keranjang di tempat-tempat yang dipajaki, yang dijaga centeng dan buruh-buruh angkut yang siap mengekori kemanapun juragannya melangkah.
     Di bawah pohon ketapang yang rindang, agak jauh dari Balai tempat Syahbandar duduk mengawasi melabuhnya Jung dari Cina; Wari, istri Mungmang membuka dagangannya, tuak manis milik  Aki Burun, gula aren buatannya sendiri serta daging babi yang diasapi dengan bara unggun yang diratakan segi empat, terus menerus mengepulkanasap karena diumpan daun-daun waru kering. Mungmang tampak sibuk menyalakan api di tungkunya sendiri, bersiap membakar ikan dengan bumbu garam, terasi dan cabe rawit yang akan membuat lidah pembeli melengkung karena pedasnya.
     Riuh rendah suara buruh mulai menghilang, kini para awak Jung yang rindu daratan melompat satu per satu; nampak wajah-wajah itulegam berminyak, mata kuyup menahan lapar perut dan birahi.
     Pembeli pertama telah tiba dihadapan dagangan Wari. Langsung memesan sebungkus daging babi yang diasapi dan satu cekel tuak manis. Matanya menusuk menatap Wari yang tersenyum manis melirik ke arah Mungmang. Sebagai isyarat agar si pembeli jangan macam-macam. Para pelaut yang pulang ke daratan,kadang kehilangan akal bila melihat perempuan.
     Ki Juluk bertugas menerima bayaran dari setiap pembeli. Menghitung cermat kepeng demi kepeng. Berbeda dengan para awak laut yang tidak perhitungan saat berbelanja, para buruh sebaliknya, walau telah menerima upah menggotong barang-barang ke balai syahbandar, mereka penuh gerutuan saat berbelanja, meminta harga murah setiap bumbung tuak yang ditegak.
     Ikan bakar buatan Mungmang laris manis bahkan banyak yang membeli untuk di bawa pulang. Matahari makin terik. Masih ada dua paha kaki babi, tuak sudah hampir habis, Wari memeriksa dagangannya saat Mungmang memberi isyarat agar Wari merapikan diri.
      Ki Juluk mendongak, tercengang melihat rombongan kecil dengan seorang lelaki yangdipayungi, tengah berjalan dengan sorot mata begitu tajam. Lalu seperti mimpir ombongan itu berhenti di depan tempat Wari jualan.
      Wajah Mungmang memucat demikian pula Wari, Ki Julukdengan lugu menyapa, "adakah yang hendak di beli tuan-tuan?"
      Mungmang tercekat mendengar suara Ki Juluk dan dengan gelisah mendongak hati-hati, lalu  cepat Mungmang kembali menunduk saat melihat tatapan bayangkara yang seakan hendak menangkapnya, "hhe he…Juru bahasa, coba jelaskan apa yang dikatakan si penjual tuak…"
     Ki Juluk terpana. Seorang lelaki muda dengan bahasa yang aneh, bercakap dengan seorang lelaki bermata sipit, yang pakaiannya demikian aneh, diapit oleh beberapa lelaki dengan pedang di punggung.
      Oh,inikah saudagar cina itu? Belum selesai pikiran Ki Juluk menerka-nerka, "baiklah,ambil tikar. Kita mencoba tuak manis dan daging babi asap….Ikan bakar….."
      Mungmang dan Wari, bagai dua orang bodoh kehilangan akalnya. Berbedadengan Ki Juluk yang dengan ramah bertanya, apa mau minum tuak dalam cekel atau bambu? Mau daging asap atau ikan bakar? Akhirnya, Wari dengan tangan gemetar mulai menata daun-daun di atas piring tanah liat yang dibakar hitam.Yang minumtuak dan makan daging asap hanya dua lelaki, yang satu pastilah saudagar cinaitu, yang satunya mungkin seorang bangsawan! Namun tubuhnya terlalu kekar untuk disamakan dengan bangsawan, mungkin seorang pimpinan prajurit? 
     Para bayangkara yang tadinya berdiri, setelah tuannyaduduk segera menjauh, duduk dengan mata tetap awas. Hanya juru bahasa yangterus menerus sibuk bicara. Ki Juluk sungguh kagum kepada juru bahasa yang menyambungkan percakapan dua orang, yang sama-sama tidak mengerti bahasa satusama lain.
     "Tambah lagi…" Juru bahasa meminta kepada Ki Juluk untuk tambahan secekel tuak, ternyata juragan cina itu menyukai tuak manis. Kembali percakapan dilanjutkan, pelahan Ki Juluk paham, jadi inikah penguasa Kalapa? Syahbandar itu? Yang duduk dikelilingi bayangkara, yang biasanya ditandu itu?
     Tiba-tiba bulu kuduk Ki Juluk meriang, terasa mendingin wajahnya. Pantas Mungmang dan Wari ketakutan dan seperti orang bodoh saat rombongan ini mendekat.
      Ki Juluk meladeni dengan dada berdebar-debar. Setiap juru bahasa itu meminta tambahan ikan ataukah daging, jantung  berdetak kuat.    Ah, betapa lamanya mereka bercakap-cakap. Berbagai persoalan yang tidak dipahami Ki Juluk, dibicarakan dalam dua bahasa. Kedua bahasa itu tidak terlalu dipahaminya, bahasa sunda dan bahasa cina. Sampai akhirnya, keduanya berdiri dan para bayangkara segera mendekat, memapah agar keduanya tidak sempoyongan. Lalu seperti mimpi, satu bungkus, sebesar sekepalan tangan lelaki dewasa,  dilemparkepangkuan Ki Juluk sebagai bayaran tuak dan makanan.
      Ketiganya masih menunduk, walau rombongan  telah jauh dari jangkauan pandangan. Sampai pembeli  lain datang, barulah ketiganya berani saling menoleh, "sudah, sudah, mereka sudah menjauh…Masihtuakmu…?" Tegur si pembeli, memahami keadaan sambil tertawa kecil.
      Mungmang menyeringai jengah menatap Ki Juluk denganpenuh terima kasih. Wari segera kembali celotehnya meladeni pembeli dengan suara nyaring dan kadang-kadang genit galak. Telah lenyap rasa kecut di hati. Hinggasore barulah mereka menutup dagangan.
Setibanya di rumah, barulah Wari membuka bungkusan yang dilempar oleh Syahbandar ke pangkuan Ki Juluk. Mungmang melongok penuh ingin tahu, dan terpana matanya, di dalam bungkusan sekepalan tangan ituberisi  keping emas dan perak! 
Wari menatap setengah tak percaya sampai Mungmangmencubitnya pelahan,"Ini anugrah, Wari. Kita bisa membeli anak babi….Jugamembeli beberapa potong kain…"
     "Ini cukup membeli sepetak sawah Mungmang bahkan lebih…"Sahut Wari dengan suara gemetar,"Ah, sudahlah, besok kita bikin selamatan. Sekarangaku mau memasak untuk kalian, memanggang ayam dan sambel terasi pedas…"
      Mungmang tertawa mendengar suara Wari yang kembali riang lalu  menepuk pundak Ki Juluk, "apa yang kaupikirkan?"
      "Betapa kayanya Syahbandar…" Ki Juluk bergumam kagum.
      "Bukan kaya saja, berkuasa atas seluruh Kalapa ini.Memimpin kota pelabuhan tidak mudah, setiap hari harus cermat mengamati jung,perahu dan jukung yang merapat, kalau lalai, bisa-bisa musuh menyusup. Dulu,katanya pasukaan Sriwijaya tiba-tiba menyerbu pelabuhan ini…" Mungmang memangpemanting yang cermat. Pengamat yang tak akan melalaikan sepatah katapundisekitar telinganya.
      "Di musim seperti sekarang, saat angin tenang danhujan jarang, ombak tak terlalu besar, jung yang merapat tidak dari Malaka saja.Jung yang tadi itu sebenarnya dari Malaka, milik saudagar cina; biasanya jugadatang jung dari Sumatera, Palembang, Lawe, juga dari Jawa dan Madura…"
       Ki Juluk hampir melompat,"Kapan jung dari Jawamerapat?" tanyanya dengan suara tercekat.
       Mungmang tertawa,"Juluk, engkau harus belajar menahandiri. Tenanglah, bila tiba saatnya engkau akan menumpang Jung yang besar untukkembali ke Jawa…"
        Ki Juluk menunduk kelu.
       Mungmang mengerti perasaan Ki Juluk,"bersabarlah…Akansegera tiba kau kembali ke Jawa.Dulu, aku pun sama sepertimu, merasa terbuangdan dilupakan. Namun kini aku justru tidak betah di Jawa. Sesekali pulang,balik kembali ke sini…"
       "Aku tidak mungkin menetap di sini seperti engkau!" KeluhKi Juluk dengan suara parau. Mungmang menghela nafas,"Karena itu lakukantugasmu dengan semangat…"
       "Aku masih menunggu enam purnama  lagi, baru bisa memulai tugasku. Lontar-lontaritu masih belum kering…Belum direbus,…." Suara Ki Juluk seperti merajuk,membuat Mungmang tertawa, menertawai sikap kekanakan Ki Juluk,"Hayolah, enam purnama waktu yang pendek…Sibukkan dirimu dengan berbagai cara. Banyak yang bisa kaukerjakan atau engkau ingin…" setengah berbisik Mungmang menawari Ki Juluk untuk mengencani para perempuan, yang biasanya disaat musim seperti sekarang, mereka banyak berdatangan dari berbagai pelosok. Mereka banyak ada di sekitar tempat para pelaut menginap, mereka menyewa pondok-pondok milik nelayan, dekat sandaran jukung.."
       Ki Juluk menggeleng,"sudahlah Mungmang, aku belum tertarik dengan hal-hal semacam itu…"
Mungmang tertawa hebat, membuat Wari tertarik ingin tahu,"Kenapa kau tertawa seperti setan gila?"
       "ini, si Juluk…Kalau bosan di rumah kuperbolehkan jalan-jalan ke pondok-pondok dekat sandaran jukung…"
        "Aih, Mungmang, tak pantas engkau mengajari Juluk tabiat yang demikian, jangan ikuti ajaran buruknya.." Wari dengan gemas memukul pundak Mungmang,mengerti benar seperti apa pondok-pondok dekat sandaran jukungyang dimaksudkan Mungmang," hayo, sana, bantu aku memanggang ayam, nasi telah kutanak…" Wari mengusir Mungmang lalu menatap Ki Juluk,"jangan kau mencoba-cobake tempat semacam itu, sudah banyak yang kena masalah akibat ikut-ikutan bergaya seperti para pelaut itu…"
        Ki Juluk menyeringai, menganggukan kepalanya, laluberanjak menuju dapur, suara Wari kembali terdengar,"Setelah manggang ayam jangan lupa memilih kelapa, besok aku mau membuat minyak…"
        Malam itui Mungmang menyalakan beberapa obor,menancapkan di tengah halaman dan menyalakan pelita di depan dapur  dan pondok yang ditempati Ki Juluk.
         Setelah selesai makan, barulah Mungmang mengajak Ki Juluk memilih kelapa di bawah penerangan obor, sedangkan Wari merebus keladi dan air jahe sambil terus menerus mengingatkan Mungmang agar besok pergi melaut,"sudah musimnya menjemur ikan…"
        Di tengah kesibukan memilih kelapa, tiba-tiba Mungmang memberi isyarat dengan suara berdesis penuh tekanan,"Masuk ke dapur…"
        Ki Juluk masuk ke dapur dan segera memberi isyarat Wari agar diam.Angin malam mendesau aneh. Mendatangkan aroma yang menekan. Warimengangguk paham. Mungmang telah memadamkan obor dan membiarkan hanya pelitayang menyala. Lalu ia berindap merapat di balik dinding dapur. Wari menarik KiJuluk ke bawah balai dapur. Mereka tiarap di sana,"Diamlah...Peganglah alu disebelahmu.."
         Ki Juluk meraba dan ada kayu sebesar lengannya, iatarik hati-hati. Tak lama terdengar seperti suara siulan burung yangbersahut-sahutan,"papanjingan…" DesisWari dengan gemetar.  Ki Julukmemasang telinganya baik-baik. Lamat-lamat memang seperti ada yangberindap-indap. Berapa orangkah? Ki Juluk merapatkan gerahamnya, ia percayakemampuan Mungmang, pelahan hatinya menjadi tenang.
          "Ssiuh…" Suara Mungmang tiba-tiba terdengar mengandunggeram. Lalu senyap yang asing. Mencekam perasaan. Dan langkah-langkah beratseolah terhenti di tengah halaman,"Aku Mungmang! Dari langkah kalian, kukenaliasal kalian…Pergilah sebelum darah jatuh…"
         Tak ada sahutan, yang terdengar keresaklangkah-langkah seperti berlari menjauh, dilanjutkan dengan suara desau-desauyang tidak dikenali oleh  Ki Juluk.Membuatnya tak tahan untuk diam, dengan tergopoh ia menarik diri dari bawahbalai, menarik alu kayu dan melangkah ke pintu dapur," Diam di situ Juluk…"Suara mungmang terdengar pelahan, namun penuh tekanan. Lalu obor-obor itumenyala.     Wari ternyata telah berdiri pula di belakang Ki Juluk, melihat kehalaman. Seorang lelaki tengah berjongkok di hadapan Mungmang, telah terikat keduatangannya.
         Wari segera memukul kentongan dengan ketukan tertentu,tangannya jelasnya gemetar. Tak lama terdengar sahutan. Makin lama dimana-mana suara kentongan terdengar. Mungmang menyuruh Ki Juluk menyalakan beberapa oborl agi dan memancangnya di depan pintu halaman. Tak beberapa lama Aki Burunbersama Si Bangu disusul oleh beberapa orang lainnya, yang tidak dikenali oleh Ki Juluk, segera mendekati lelaki yang tengah duduk terikat tali di halaman.
      "Papanjingan…"desis Si Bangu dengan wajah sedikit ciut.
Ki Juluk tak mengerti apa artinya papanjingan,"Mereka mau merampok?" Tanyanya setengah berbisikkepada Si Bangu.
       "Tidak hanya merampok, mereka bertabiat  tak senonoh kepada para perempuan…"jelas Si Bangu dengan suara berdesis.
       "Hm…Asal Jung mulai datang, mulai pula penyakit ini muncul kembali…" Aki Burun mengulurkan tangan, menjambak rambut lelaki yangmerunduk lunglai,"Perlihatkan wajahmu…"
        "Aiiih…." Tiba-tiba Wari menjerit,"Dia yang belanja kepadaku tadi siang…"
       Mungmang menarik obor mendekatkan cahayanya,"Iya…Kamu rupanya, dimana kalian bersarang? Siang menyaru jadi buruh…Malam nyantroni rumah?"
        Lelaki itu cuma diam. Membeku dengan wajah bagaitembaga. Ki Juluk baru memperhatikan dahi lelaki itu benjol, memar mengandung darah. Mungmang tak membawa senjata tajam. Dari mana memar itu berasal? Pelahan Ki Juluk memperhatikan pinggang Mungmang.      Ternyata sabetan katapel Mungmang telah melumpuhkan lelaki ini.
       "Dimana sarang kalian…?"
       "Pastilah dekat sandaran jukung…"
       "Bukan orang Kalapa…?"
        Lelaki itu tetap diam. Pastilah memilih mati daripada membuka mulut. Aki Burun memberi isyarat pada Mungmang,"Berapa orang tadi…"
       "Kira-kira enam orang…Menuju arah pantai.."
       "Pastilah di pondok-pondok itu…Menyaru dengan para pelacur…"
       "Kita serahkan ke bhayangkara?"
Aki Burun mengangguk,"Besok kita serahkan, sebaiknyamalam ini kita kumpulkan anak dan istri-istri kita di sini saja…Agar mudahmengawasi…"
       Tak disangka malam itu pondok Wari dan Mungmang jadiramai dan penuh sesak. Anak-anak ditidurkan di dapur ditemani ibunya, yanglainnya di pondok yang ditempati Ki Juluk, di halaman pun digelar tikar dandaun-daun kelapa, agar dapat menjadi tempat merebahkan diri. Wari menyalakanperapian membuat jahe aren, merebus kembali semua keladi dan ubi yang masih adadi keranjang.
       Malam itu Ki Juluk mendengarkan para lelaki dewasamembicarakan keadaan di Kalapa,"Kalau satu Jung tiba, para begal, maling,copet, perogoh…Mulai pula berdatangan. Ini mengherankan, baru satu Jung sudahada papanjingan…"
       "Masih untung kita belum pergi melaut…"
       "Iya..agaknya ini sudah mulai berbeda…"
        Si Bangu dan beberapa lelaki lain kembali memukul kentongan dan tak lama kentongan dikejauhan pun menyahuti,"Sepertinya, pondok ini yang pertama disasar, sudah kepergok…"
       "Kami baru memilah kelapa, jadi menyalakan obor…" Jelas Mungmang kenapa dalam keadaan siaga ketika para penyusup ini mendekati rumahnya," Teringat sayasiulan itu, Aki…"
       Aki Burun terlonjak,"Oh, jadi kamu bawaan si Bopeng…?"
       Lelaki itu kini merunduk dalam.
       Siulan itu! Mungmang teringat beberapa tahun yang laluketika baru mengawini Wari. Malam itu, beberapa tahun yang lalu, Ayah Warisampai tertebas perutnya saat disantroni oleh para penyusup. Untungnya, malamitu Mungmang dan Aki Burun tak jadi melaut dan berniat singgah untuk minumjahe. Selamatlah keluarga Wari. Mungmang teringat saat mendekati rumah, iamendengar siulan, yang saat itu Aki    Burun mengatakan,"Itu mungkin burungkesasar…"
        "Bukannya Si Bopeng sudah di hukum buang?" Aki Burunmendekati kembali lelaki malang yang duduk dengan tubuh terikat tali-talipenjaring ikan,"Kamu jika menjawab akan kami lepas…Apakah kamu bawaan si Bopengatau kamu diajak oleh anak buahnya si Bopeng?"
        "Nyalakan sabut kelapa, buat dia mengaku…"
        "….Ampun Aki…" lelaki itu kini bersuara," Ampun…"
        "Iya, katakan…Siapa saja kawan-kawanmu…"
         "…Ampun…"
         Akhirnya, lelaki itu mengatakan siapa-siapa kawannya dan siapa pimpinannya. Semua terdiam saat lelaki itu menyebut nama pimpinannya,"Hm…Jadi, kamu mau melibatkan seorang bhayangkara?…" Aki Buruntidak mudah percaya,"Sumpah demi lingga…Demi leluhur…" Lelaki itu mulaimeratap,"Kami berada di rumah jaga…"
        "Baiklah, besok kita hadapkan dia ke junjungan…"
        "Ampuuun…."
        Mungmang dengan cepat memberi isyarat pada Aki Burun,agar menjauh dari lelaki itu. Tak lama suara siulan terdengar. Semua wajah segera menegang dan serentak mematikan obor. Bangu memukul kentongan tanda bahaya. Siulan itu terdengar kembali walau masih jauh, mungkin diantara pohon-pohon kelapa. Mungmang membisikan sesuatu kepada Aki Burun.
        Dengan cepat Aki Burun menarik lelaki itu ke dekatdinding dapur dan Bangu menggelindingkan kelapa sebanyak mungkin ke tengahhalaman. Siulan itu tak terdengar lagi, semua kini terdiam beku. Keheninganmenyergap, membuat desah nafas terdengar jelas.
        Siulan itu terdengar lagi. Gelap gulita tak ada yang bisa melihatsiapapun. Ki Juluk tiarap sambil memegang alu kayu. Kini mereka datang untukmelepas kawan mereka atau membunuh kawan mereka agar tidak membuka rahasia. Hm,jadi benar ada petinggi bhayangkara yang terlibat?
        Belum selesai pikiran Ki Juluk bergerak menduga,lesatan angin menancap di tengah halaman. Kebentur kelapa tentunya sehingga menimbulkan suara melesak. Lalu desau lain terdengar, itu pasti lepasan batudari katapel Mungmang. Ki Juluk merayap hati-hati mendekati pintu halaman.Dalam gelap ia melihat samar-samar sosok yang berdiri. Belum rayapan Ki Juluk setengah dari tempatnya semula tiba-tiba terdengar jerit di dekat pintu halaman. Suara siulan terdengar menjauh dan kaki-kaki berlarian menjauh kini jelas terdengar.
        "Nyalakan obor…" Suara Aki Barun memecah keheningan. Segera obor-obor menyala, di depan ambang pintu halaman rumah sesosok tubuh nampak rebah terjengkang dan segera Aki Barun bersama para lelaki mendekati,menyeretnya membawa ke tengah halaman.
       "Mungmang mana.."
       Kegentingan tiba-tiba terasa, Mungmang tak tampak. Si Bangu membunyikan kentongan tak lama terdengar suara Mungmang di  kejauhan,"Cepat kesini…."
       Aki Barun ditemani beberapa orang melesak berlari ke arahsuara Mungmang. Tak lama mereka datang kembali menyeret seorang lelaki dengan kepala yang bocor terkena katapel. Ketiganya disiram air lalu diikat tali.Ketiganya kini di bawah obor, nampak meringis menahan perih akibat memar dikepala masing-masing.
Kentongan kini dipukul seriuh mungkin. Malam jadi ramaioleh suara kentongan sahut menyahut. Tak lama kemudian berduyun-duyunorang-orang berdatangan. Aki Barun segera menjelaskan kejadian demi kejadian.Ketiga lelaki itu kini diseret beramai-ramai menuju rumah Syahbandar.
          Malam kini terasa mencekam.
          Senyap yang aneh.
           Ki Juluk dan Si Bangu dan beberapa lelaki lain ditugaskanmenjaga anak-anak dan para perempuan. Sampai kokok ayam terdengar, barulah rombongan Aki Barun dan Mungmang kembali ke pondok.
          Ki Juluk bernafas lega dan Wari segera menyambut suami dan saudara-saudara yang lain. Ternyata hampir semua penghuni pondok-pondok disekitaran adalah keluarga Wari. Hanya dalam semalam Ki Juluk mengenali keluarga Wari. Keluarga yang sebagian besar menguasai ladang-ladang kelapa didekat pelabuhan kalapa. Keluarga yang turun temurun menjadi peladang sekaligus nelayan, yang menyaksikan dari satu kekuasaan berpindah ke penguasa yang lainnya.
           Kini, Ki Juluk memahami mengapa penting Mungmang mengawini Wari, andai tak mau mengawini Wari tidak mungkin Mungmang mendapatkanl adang kelapa sekalipun bersedia membeli dengan mahal.
          "Jadi, benar ada bhayangkara yang terlibat?"
          Ki Juluk menatap Mungmang dan Aki Barun silih berganti.
         "Dua yang tadi ditangkap Mungmang memang bhayangkaramuda…Sekarang sudah ditangani junjungan. Agaknya ada sesuatu yang dimainkanpimpinan bhayangkara di pelabuhan…"
Ki Juluk tak utuh mendengar penjelasan Mungmang. Ia mulai merasakan kantuk yang dahsyat menyerang matanya,  segera ia menuju pondok, merebahkan diri diantara para lelakilainnya yang telah mendahului lelap. Suara tangis anak-anak terdengar dari dapur. Ki Juluk segera jatuh lelap saat mendengar kokok ayam turun ke halaman.

(KALAPA (MATINYA PENGUASA/ COK SAWITRI, BAGIAN II)

No comments:

Post a Comment