Cerita Serial: Kalki Bagian 8

Cerita Serial: Kalki
Bagian 8


    Iring-iringan itu sungguh mencolok mata. Kaum Putih! Bergerak dengan kereta-kereta tertutup di kiri kanan barisan lelaki berkerudung begitu khusuk merapal doa. Angin, debu, semua yang menimbulkan suara, kebisingan deru kendaraan seakan terhenti sejenak; Kaum Putih bagai prosesi hening begitu tenang menuju perbatasan Kaum Gunung. Tujuan merek jelas camp pengungsian! Namun cara mereka meninggalkan area kota dimana Kerusuhan terus berlangsung, begitu flamboyan.
    Seperti yang diinformasikan Pere, akhirnya beberapa jenderal utama, pengelola Tentara Kota mengakui bahwa ada kelompok separatis dalam faksi mereka. Kaum politician mulai menampakan diri kembali dilayar-layar televisi dan sengaja mengupload rapat darurat parlemen mereka buat menyatakan bahwa pemilihan pemimpin di area kota ditunda; untuk sementara masih dipercayakan kepada pemimpin lama; Bangsing Hasan nampak ditemani lawan politiknya Jaya Hasbi, begitu pula wajah-wajah para pemimpin kota di seluruh dunia menampakan diri di berbagai saluran informasi secara silih berganti. Namun letupan senjata belumlah berhenti justru tembakan cahaya makin kerap menderap di langit kelam sebagai tanda ada penyergapan dan pelumpuhan-pelumpuhan. Begitu pula Camp pengungsian  makin penuh oleh berbagai kedatangan pengungsi dan belum ada tanda-tanda akan ada yang berhasrat kembali ke area kota, justru rombongan-rombongan berbagai kaum yang tak memiliki kelompok pengamanan makin sering bergerak menuju camp-camp pengungsian.
    Sepertinya kaum putih hari ini agaknya telah menemukan kesepakatan diantara mereka, muncul dengan anggun di jalan utama dalam iring-iringan yang mengundang perhatian semua mata.
    Pintu gerbang camp pengungsian kaum pegunungan: begitu ditulis besar-besar dengan sistem buka tutup; setiap orang ataupun rombongan pengungsi harus menunggu konfirmasi apabila akan memasuki camp pengungsian. Petugas Camp pengungsian  selalu dengan sigap memeriksa hingga jauh ke belakang, meminta izin dengan sopan untuk melongok, memeriksa isi kendaraan; entah kereta, truk bahkan bis, semuanya diperiksa dengan sangat teliti. Orang-orang sakit mendapat pertolongan segera diangkut dengan ambulan menuju rumah perawatan pengungsian, urusan administrasi dilengkapi kemudian.
    "kaum putih…" beberapa pengungsi yang sedang melintas di dekat pintu gerbang pemeriksaan camp pengungsian tanpa sadar mendesis saat tahu bahwa rombongan kereta kuda yang berbaris panjang adalah kaum putih.
    Entah mengapa, walau terlalu sering diucapkan, kadang ditemukan dalam kelompok kecil, namun selalu kehadiran kaum putih dalam jumlah besar mengundang perhatian. Entah karena gaya mereka atau kemisteriusan yang selalu terasa. Tiba-tiba saja banyak orang ke luar dari pondok-pondok pengungsian dan menatapi arah pintu gerbang.
    Cempaka Wangsa, pemimpin penjaga periksa dengan senyum ramah memberi anggukan kepada pimpinan rombongan pengungsian.
    "Saya Sandya Hening, kami dari faksi timur…"
    Cempaka Wangsa mengangguk, "cukup jauh perjalanan yang anda tempuh…"
    "Iya…" dengan suara pelan, nafas halus, Sandya Hening menyodorkan dokumen, "kami harus melewati demarkasi barat lalu selatan, barulah tiba di sini, di demarkasi kami, kaum pegunungan telah menerima beberapa kaum, yang diantaranya tak menyukai kami…karena itu, disarankan agar kami menuju camp pengungsian demarkasi timur.."

    Cempaka Wangsa mengangguk, informasi melalui link kaum gunung telah dia baca sejak kemarin, bahwa penolakan terhadap beberapa faksi kaum putih terjadi di beberapa camp pengungsian. Rata-rata menolak, karena merasa terganggu dengan sikap kaum putih; ah, sok misterius…Kalau marah membawa-bawa nama tuhan! Keluhan itu selalu terdengar dimana-mana. Kaum Putih memang berbeda sikap dan ucapannya, kaum yang dalam sejarahnya dahulu mempengaruhi seluruh umat manusia akan kehidupan sesudah kematian. Mereka adalah keturunan penganut berbagai agama, yang berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing, berperang dahsyat dengan lembaga-lembaga agama bahkan memburu berbagai organisasi agama dan para pedagang spiritual, lalu setelah itu mereka menghilang membangun perkampunganan yang tertutup. Baru setelah perang tinja, kaum putih bermunculan, memasuki berbagai area dan menempati tempat-tempat yang terpencil; jika di kaum nelayan mereka menempati lorong-lorong, di perkotaan mereka akan menempati area pinggiran sedang di area kaum gunung mereka menempati lembah-lembah; mereka menyebarkan kelompok-kelompok kecil dan menetap dengan sikap yang misterius, bekerja seadanya dan seringkali menjajakan beberapa keperluan obat herbal atau pengharum ruangan. Diantara mereka ada yang menjadi pengamen dan pemain sulap juga kadang menjadi pelayan untuk keperluan-keperluan kegiatan sosial. Namun Kaum Putih memiliki asset kekayaan yang luarbiasa, berbagai tempat pemujaaan peninggalan peradaban lampau menjadi hak mereka, dikelola menjadi tujuan wisata dan riset pengetahuan, dari semua itu mereka membangun organisasi pendanaan bagi semua kaum putih dimanapun. Namun ketegangan akibat perbedaan keyakinan kerap membuat perang diantara internal mereka.
    Ini rombongan pengungsian terbesar, semua anggota pengaman camp pengungsian memeriksa barisan Kaum Putih; dari kereta, roda mereka bahkan dengan hati-hati mereka juga meminta bekal makanan baik berupa tong maupun kotak yang dibungkus agar dibuka.
    "Aman tahap pertama…"  Laporan itu terbaca didalam link semua tablet kaum pegunungan, maka derit payung raksasa terdengar sesudah itu, dengan sistem scan, maka akan diketahui apakah ada penyusup bersenjata atau dengan penyakit tertentu yang harus diperiksa.
    Prosedur pemeriksaan berlanjut dengan keputusan penempatan mereka. Camp pengusian kaum gunung ditata mirip tata ruang desa kecil, ada pasar, rumah sakit juga tempat berolahraga. Namun posisi-posisi tempat tinggal mereka diatur sedemikian rupa. Rombongan Kaum putih, faksi timur berjumlah 50 kereta dengan 25 kepala keluarga. Segera mereka diarahkan ke arah paling ujung, intruksi tata krama menempati camp pengungsian segera disebarkan melalui tablet mereka dan dibacakan secara berulang-ulang.
    Sandya hening mengucapkan terima kasih kepada Cempaka Wangsa dan sungguh hatinya tertegun; tak menyangka kaum gunung menata camp pengungsian begitu rupa, terpelihara, semua tanah yang ada dimanfaatkan; barisan tanaman sayur mayur, pohon buah, juga kandang-kandang diatur demikian rapi, saluran airnya pun demikian terjaga.
    Dengan isyarat, rombongan kaum putih itu mengikuti langkah Sandya Hening, sebuah ruangan mirip aula kecil dimasuki oleh mereka. Dengan tertib mereka mencari tempat duduk di lantai, duduk melingkar, anak-anak membuka kerudungnya, memperlihatkan cahaya mata yang gemerlap, yang lainnya segera duduk merunduk. Cempaka Wangsa dengan singkat memberi ucapan penyambutan, lalu menyerahkan pengaturan penempatan pondok kepada Sandya hening.
    "Mereka tertib dan teratur…"
    "aku pikir mereka agak berbeda dengan kaum putih jalanan…" satu sama lain para penjaga camp membicarakan rombongan pengungsi kaum putih, faksi timur yang baru saja tiba.
    Namun segala penyambutan dan pemeriksaan itu hanya sebentar saja, sebab jerit elang terdengar dari berbagai arah, cempaka Wangsa segera berlari ke depan. Pintu gerbang camp pengungsian ditutup cepat. Tablet kerahasiaan menyala, wajah Cempaka Wangsa memucat. Dia menoleh ke arah kanan dan melihat beberapa bayangan begitu cepat mencapai tempat Cempaka Wangsa berdiri, " Mohon, diperiksa ulang…" desisnya, namun tak ada yang menyahut.
    "Tutup pintu gerbang dengan cermat, pasukan telah bersiaga penuh…"
    "akan sulit membuktikan bahwa salah satu dari mereka sebenarnya pengungsi dari kaum perkotaan yang tengah bertingkai…mereka pasti telah disusupi dan belum menyadari atau mereka tengah tersandera…"
    Wajah semua penjaga camp pengungsian berubah tegang. Jerit elang kembali terdengar, link rahasia menyala: bersikap seolah tak tahu apa-apa, namun waspada, camp pengungsian telah terususupi.
    Perang kota mulai memperlihatkan dampaknya, para pengungsilah yang tahu bagaimana keadaaan sesungguhnya. Berita-berita hanya sanggup bertutur dari sisi yang dapat mereka jangkau. Isu penculikan mulai merebak, transportasi mulai terganggu. Para pedagang mulai membayar pengawalan. Kaum cendekia pun mulai memberi isyarat jika keadaan semakin tak jelas, mereka meminta agar kampus-kampus klasik diamankan dan para mahasiswa akan dikembalikan ke kaumnya untuk sementara. Tapi anehnya; kaum politician terus mewartakan; keadaan mulai aman dan terkendali.
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Sandya hening mengangkat tangannya, semua rombongan itu kini duduk dalam posisi meditasi, pelahan mereka menggumamkan nyanyian:

Huru hara yang mengharukan
Hati bumi yang dibumihanguskan
Langit kehilangan matahari
Bulan kehilangan cahaya
Bintang-bintang berjatuhan
Segala yang mencair, mencair
Segala yang membatu, membatu
Manusia memakan kemanusiaannya
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"


    Sandya hening, pemimpin faksi timur? Cempaka Wangsa mengernyitkan dahinya, menoleh ke kiri dan kanan, lesatan-lesatan para prajurit utama nampaknya telah menempati sudut-sudut rahasia di camp pengungsian. Apa yang terjadi?
    Dengan berusaha menenangkan diri Cempaka wangsa mencoba mengkontak prajurit utama kaum gunung; mengkonfirmasi sekali lagi, benarkah rombongan yang baru tiba adalah Sandya hening? Hanya para pemimpin yang tahu dalamnya lautan, perihnya dendam. Hanya yang terpilih akan tahu siapa Sandya hening. Jika benar itu kelompok Sandya Hening maka dari yang bayi hingga yang jompo adalah penguasa ilmu langit; mereka menghidupkan seluruh elemen tubuh mereka, membaca isi tubuh mereka seperti bahan bacaan, dan memerintahkan seperti yang mereka baca. Mereka berdiam dalam kelompok kecil di kaki pegunungan, hidup sungguh-sungguh menjauhi keramaian dan pergaulan. Namun kini, mengapa mereka mengungsi?
    "Kamu bersikap biasa saja…Perlakukan mereka sebagai pengungsi yang sama dengan yang lainnya!" itu saja jawaban yang didapatkan oleh Cempaka Wangsa, yang tetap merasa gundah dan memerintahkan secara diam-diam beberapa anggotanya untuk tetap mengawasi secara tandem.
    "Mereka bukan orang-orang yang lemah…" Larung tiba-tiba muncul di sebelah Cempaka Wangsa, yang tersentak sangat kaget, "Ah, engkau…" keluhnya sedikit kesal.
    Larung menyeringai,"aku diutus guru untuk menemui Sandya Hening…"
    Mengukur jarak ataukah jarak yang terukur? Dengan desir angin ataukah degup jantung? Larung tahu, Sandya hening telah tahu kedatangannya. Barisan pondok yang kini dihuni kaum putih, faksi timur telah bertanda; berupa aroma keharuman yang merebak tak putus lalu gumam nyanyian yang membangkitkan bulu roma dan para lelaki yang nampak sibuk menyiapkan makanan di dapur umum yang terbuka, begitu santun dan lentur geraknya; sungguh, mereka bertubuh tipis tanpa tenaga! Ah, betapa cepatnya mereka bekerja, perbekalan mereka telah ditata dan nampaknya mereka memang telah menyiagakan segala hal. Para nenek tua nampak duduk-duduk menyulam pakaian dengan gerak tangan seakan menari, gilanya mata mereka terpejam! Yang tak nampak  adalah para lelaki muda dan para gadis, sedang anak-anak dengan kepala mereka yang ternyata gundul bersih setelah kerudung mereka dibuka nampak bergerak dengan langkah-langkah halus mengitari kebun-kebun sayur mayur….
    "hanya mata elang yang paham…" Sandya hening menyambut dengan tangan terbuka kedatangan larung, mereka berdekapan sejenak. Lalu Sandya hening mengajak larung ke pojok ruangan aula, sudut yang sudah ditata sebagai tempat sang guru berdiam.
    "Tak mungkin aku mengirim kabar kepada sang guru, jika aku terpaksa melawat jauh, menyaru sebagai pengungsi adalah siasat yang paling mungkin saat ini…"
    Larung mengangguk penuh senyum, "Sang Guru menanti kedatangan anda di gunung, kapan saja, jika tuan sudah menganggap tepat adanya pertemuan…"
    "terima kasih, mata elang tahu hal itu…" Sahutnya tersenyum lembut. Mata Sandya hening begitu tajam, menusuk jauh kebalik relung. Larung menyerahkan secarik kertas, lalu berbisik, "sang penyanyikah sebabnya, tuan?"
    "Faksi gurun sebabnya…" sahutnya penuh kedamaian, "sudah ratusan tahun kami tak meninggalkan lembah kuil, namun kini demi tercegahnya perang besar, kami harus menemui sang guru…Kaum pegunungan di tempat lain, agaknya tengah goyah…sebab ketuaan menuntut pengganti, segala macam informasi telah ditanggalkan oleh keinginan-keinginan…"
    Larung mengangguk dan sepintas matanya menatap sepasang mata yang begitu lembut begitu tegas menatapnya. Siapa dia? Pikirnya dengan dada berdebar. Sandya hening menepuk pundak Larung, " segeralah kembali ke gunung, badai akan tiba…."
    Jerit elang menjauh, Cempaka Wangsa menelan kegundahannya, diperintahkannya seluruh penjaga memeriksa semua pondok dan sudut camp pengungsian, dadanya berdebar, dan kerut dahinya terasa menyakitkan, "apakah aku memasukan naga ke dalam sarang?"

(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment