Cerita Serial: Kalki Bagian 7

Cerita Serial: Kalki
Bagian 7


    Perang kota dimulai!
    Tak mungkin berdiam diri. Semua kaum segera bersiaga, apapun alasannya, imbas itu akan tiba juga.
    Ah, dahulu kala di abad 20 ada hampir tiga ratus ibukota negara di dunia, berkuasa atas wilayah-wilayah yang luas, menjadi pusat, menjadi penentu, menjadi tuan atas segala hal; dengan wajah sok penuh perhatian membangun dirinya dengan gedung-gedung megah, pusat-pusat perbelanjaan dan segala macam tanda kemajuan yang kemudian menjadi alasan untuk terjadinya kesenjangan luar biasa dengan rakyat yang menjadikannya sebagai pusat kekuasaan. Kini di tahun 2512 kisah-kisah kota-kota itu hanyalah menyisakan kisah ketegangan luarbiasa, wajah lampau, sejenis fosil yang tetap berusaha eksis dengan segala sisa kearoganannya: tetap mengira kota-kota itu akan kembali pusat dan tujuan kepercayaan kekuasaan di dunia sekalipun seperti saat ini; kerusuhan tengah meledak di semua area kota di dunia; kota tetap berusaha memberi kesan bahwa kerusuhan itu terjadi oleh musuh; dan harus ditemukan kambing hitamnya!
Perang kota telah dimulai. Dimulai lagi….

    Cahaya-cahaya tembakan meletup-letup dari berbagai arah; ledakan dibaluti asap tebal tak dapat ditembus oleh pandangan mata biasa silih berganti bergasing dengan pusaran yang membumbung ke langit seperti lajunya badai debu! Suara gemeretak entah bangunan runtuh dan dentam benda jatuh silih berganti, tetapi erangan kesakitan jarang benar terdengar. Perang, kerusuhan dan berbagai perubahan cuaca sejak lima ratus tahun lalu telah menciptakan berbagai cara bertahan untuk hidup di dunia. Yang diserang adalah symbol-simbol kekuasan kota, symbol-simbol kuno yang disakralkan oleh kaum politisi. Bangunan parlemen telah compang camping begitu pula gedung-gedung pemerintahan lainnya; Entah faksi mana yang tak puas dengan perayaan kedemokrasian itu, entah siapa kini yang kembali menggoyang kedamaian. Para pengungsi itu manusia; dari anak-anak hingga orang tua renta, berduyun-duyun meninggalkan area kota dikawal seadanya oleh relawan-relawan yang tak jelas asal kaumnya. Di semua demarkasi; barat, timur, selatan, utara hampir di semua benua dan pulau, di area-area yang masih setia pada sistem tata negara tua: demokrasi dengan ibu kota di sebuah kota besar mendadak kisruh. Pengap oleh ketegangan. Renyah oleh teriakan untuk saling mengingatkan untuk segera menyingkir sejenak dari kota. Penduduk asli kota biasanya akan bertahan di bunker-bunker mereka, kaum politician terutama telah terbiasa membangun bentengnya di bawah tanah. Dari bunker-bunker mereka akan mengendalikan pergerakan tentara kota mereka, mengawasi dermaga juga menjaga titik-titik asset mereka yang penting; bandara, demarkasi, media, juga kontak dengan beberapa kaum dilakukan dengan cepat dan diplomatis.

    Semua tablet kini menyala, semua kaum membuka linknya sendiri; bahu membahu mencari kabar keadaan di seluruh penjuru dunia, "Ini bukan perang, tetapi kerusuhan, kerusuhan yang didalangi oleh saudara-saudara kita sendiri…" suara para pemimpin kota timbul tenggelam berusaha menyela semua kabar berita yang tengah bergerak cepat di semua layar mayian. Tetapi adakah yang peduli jeritan politisi disaat seperti ini?
    "Kau harus melindungi faksiku," bisik Pere kepada Larung saat melewati lapisan penjagaan pertama area Kaum Pegunungan. Larung menoleh dengan dahi terangkat, penuh tanda tanya.
    "Apa yang kau sembunyikan?"
    Pere menunduk, wajahnya nampak pucat, "faksi kami menemukan informasi rencana penyerbuan kota-kota…"
    "siapa?"
    Pere menggeleng, "faksiku, faksi kami hanya memohon perlindungan, disudut terbaik di wilayah kaum gunung…"

    Larung mengerutkan dahinya,"aku tak paham, faksimu?…"
    Pere memandang lama mata Larung, " para tetua kami adalah para hacker di abad 20….dan kami terbagi dua, ada yang bekerja bagi lembaga-lembaga formal, ada yang independen…"
    "tapi bagi kami semua, sulit membedakan kalian…"
    "Kami bisa membedakan diri kami…"
    "Jadi kalian sudah berperang terlebih dahulu di dunia maya? Itu sebabnya tak ada berita apapun mengenai kerusuhan di berbagai kota?"
Pere mengangguk, "tak ada jalan lain, satu per satu kamu menghindari jalan maya untuk meminta pertolongan…"

    Cahaya-cahaya ditembakan secara terus menerus, entah siapa yang menembakan; gemuruh tank-tank mulai terdengar. Lorong-lorong kota sebaliknya senyap, jalanan senyap, listrik dimatikan, semua kegiatan perdagangan seketika terhenti: yang ada adalah hamburan tembakan untuk menghancurkan apa saja. Sayup-sayup terdengar deru pesawat pemburu mengintai di atas langit, bergerak dengan cepat dilangit yang kelam. Langit mulai gelap, hujan deras akan segera turun. Semua area kota divakumkan!
    Larung mematikan tabletnya. Laporan para pewarta kadang makin memperburuk ketakutan. Para pengungsi telah nampak di ujung-ujung batas wilayah kaum gunung. Camp-camp pengungsian telah permanen disediakan sejak ratusan tahun lalu, aturannya telah jelas, jadi tak akan lagi keluh kesah. Bagi semua kaum yang bertikai, jika telah memasuki camp pengungsian harus menghentikan tindakan kekerasan; harus bersedia bersikap netral, mematikan tablet dan istirahat menjaga keluarga dan asset mereka masing-masing. Manusia tetap membutuhkan berkembang biak jika tak mau punah, maka jika sudah memasuki camp pengungsian semua yang berperang harus menghormati. Kesadaran ini membuat semua kaum menghormati camp pengungsian dimanapun.
    "Jadi siapa menyerang siapa ini?"
    Pere tersendak, menunduk lama. Larung tentu saja tak bisa beli kucing dalam karung, menerima satu faksi dalam usulan jaringan besar kaum gunung? Kalau mau, camp pengungsian cukup bagi semua pengungsi tetapi memang bagaimanapun para penyusup akan tetap mencari musuhnya dengan segala cara. Pengungsian khusus yang diminta Pere itu dalam perlindungan prajurit utama Kaum Gunung. Itu statusnya pengungsi politik.
    "Apakah di sini aman bercerita?" Pere balik bertanya, suaranya gundah.
    "Di sini aman, di sebelah ladang jagung dan tembakau itu, itu pondokku…"
    Pere mengedarkan pandangannya, betapa hijaunya pemandangan, tak akan ada yang menyangka ini adalah garis batas terdepan benteng pertahanan kaum gunung. Berkilo-kilo meter jauh ke sana, kea rah yang sulit dijangkau mata; di sana pondok Larung. Kampung Kaum Gunung tak mudah ditembus. Beratus tahun mereka telah menata perkampungan mereka. Semua pondok adalah titik koordinat pertahanan mereka.
    "Kami telah berperang sejak tiga bulan lalu…" Pere memulai ceritanya," Perang di dunia maya adalah hal lumrah, warisan yang kami terima sejak abad dua puluh…"
Larung mengangguk,"aku tahu hal itu, tapi faksi dalam mayian…ini menjadi pertanyaan mendasar bagiku…?"
    "Kami tak sengaja meretas salah satu benteng lawan kami, mereka dari demarkasi barat, dan memiliki kedekatan dengan faksi gurun dari kaum putih…"
    Demarkasi barat?
Larung melengak mengerutkan dahinya, benoa luas dengan ketuaan tradisi kotanya. Dan kemajuan zaman abad dua puluh dimulai dari para pemikir mereka, sayangnya kemudian mereka ingin menguasai dunia dengan kepentingan ekonomi dan ideology, jauh dalam hati mereka selalu merasa dari ras yang unggul. Kini demarkasi barat adalah demarkasi paling mencekam, dikelola oleh berbagai tentara kota yang tak mau berbagi dengan kaum manapun. Rusuh setiap saat dapat terjadi di demarkasi barat. Kota-kotanya lebih banyak dikuasai oleh pemimpin dagang senjata, bukan oleh kaum politician. Jadi ini ada kaitan dengan mereka?
    "siapa mereka?"
Pere tertunduk lama, lalu mendongak, "mereka itu Faksi gurun, mereka bekerjasama sejak lama dengan Panglima tentara Kota di demarkasi barat…"
    Larung tersenyum samar, "Jadi benarlah isu itu? Laksmana Borus sejak lama mencurigai kaum putih…"
    "Bukan kaum putih, ini faksi gurun…"
    "apa target mereka?"
    "menguasai semua kota di dunia, dan kemudian menyerang semua kaum untuk mengembalikan kota sebagai pusat control masing-masing negera sesuai sejarah masa lampau.."
    "Dan itu akan terjadi negosiasi di dalam internal kaum perkotaan, bukan?"
Pere mengangguk, "hanya beberapa penguasa kota yang menentang…"
    "Untuk sementara faksimu mengungsi ke camp pengungsian umum…" Larung tiba-tiba melesat, melompat hilang dari pandangan Pere.
    Pere menghela nafas dan menyalakan tabletnya. Mengkoordinat jalur pengungsian bagi kaumnya. Dikejauhan cahaya-cahaya seperti menoreh langit. Kali ini Pere tak yakin kerusuhan akan segera berhenti, sebab ia tahu, seperti apa persiapan kerusuhan kali ini.

    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"

    Pere melengak, hatinya terkesima, kenapa serasa dekat sekali nyanyian itu? Ah, nujum kisah itu apakah benar dunia akan terbebaskan oleh perang bila percaya kepada kedatangan Kalki? Entah mengapa mata Pere berkaca-kaca, benarkah perang dapat dihentikan? Benarkah ada jalan damai bagi kehidupan kini dan ke masa depan?

(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment