KETIKA AYU LAKSMI MENGUNDANG SAYA

Suatu malam Ayu Laksmi mengundang saya untuk berbincang dan berkemungkinan menuliskan syair lagu, di rumahnya yang asri di seputaran pedungan-denpasar. Penyanyi Bali (saya lebih suka menyebutnya-demikian), yang sejak debut pertamanya bersama dua saudaranya telah merebut hati masyarakat Bali, ternyata tetap melanjutkan pilihannya dalam dunia tarik suara. Kini, dia berubah gaya dan keyakinan dalam keteguhan yang menimbulkan pertanyaan mendalam. Memilih dunia tarik suara sebagai pilihan; terutama dalam pilihan syair dan tujuan bernyanyi, mengubah dari tradisi 'jual-beli' bagian dari industry budaya ke sebuah jalur 'nyanyian sunyi'.

Perubahan itu terasa menyentak, sebab suatu hari, seorang sahabat, Sugi Lanus mengirim sms ke saya: 'cok, tonton TVRI malam ini, ada Ayu Laksmi, kasi komentar terutama soal teaterikalnya!' jadi bukan soal lagunya. Namun yang saya perhatikan justru ketika Ayu Laksmi membawakan 'sasih wimba', sebuah petikan kakawin yang populer dari arjuna wiwaha dengan aksen yang menurut saya mengundang senyum, terasa ganjil namun justru membuat saya terkesan: ada yang berubah dalam gaya dan pilihannya. Namun tentu saja, saya tak berani bertaruh apakah Ayu Laksmi akan bertahan pada proses pencarian barunya itu (?) Dunia tarik suara adalah dunia yang riuh; pasang surut tak dapat diramalkan.

Namun ternyata Ayu Laksmi justru bertahan dalam pilihannya itu; meramu syair-syair 'agung' ke dalam proses kekinian, yang kadang menyentak, kadang ganjil, menjadi idiolek yang khas dalam pengucapannya. Kini proses itu hampir; menjadi undangan pertunjukan, saya terima dengan takjub.  Yang membuat saya tersentuh adalah kalimat yang tertera dalam undangan itu;” Langkah kecil, Langkah besar berawal dari rumah”. dalam penjelasan singkat di lembar kartu undangan tertulis; soft launching albumnya 'Svara Semesta' akan digelar di halaman rumah keluarga besar Ranuh, seorang tokoh kawi kuna, kakek Ayu Laksmi yang barangkali 'membelokan' pilihan Ayu Laksmi secara genetic, untuk kembali mengumandangkan alunan suara semesta, suara-suara arif dalam tata kalimat yang memang selalu memiliki rima yang kuat; Kemenangan kata-kata dengan maknanya, selalu menggetarkan justru pada rimanya. Puitika yang menggugah akan kelak menjadi sentuhan, ah syair-syair itulah yang kini akan menggenapi proses kreatifnya.

Undangan itu saya baca lagi, saya bayangkan andai nanti tanggal 25 september saya datang ke Singaraja, duduk diantara keluarga, sahabat, semua yang mengenal ayu laksmi sejak kecil: alangkah nikmatnya jika ada juga pedagang siobak, Bik Ju, Sate pelecing serta kelakar bulelengan yang khas. Semoga juga tidak hanya menjadi kerinduan pulang, namun mengajak serta 'tanah slaka' demikian Ayu Laksmi menyebut tanah kelahirannya untuk terus menerus melanjutkan tradisi budaya tandingan. Bukankah singaraja selalu demikian karakternya? Siapa tahu jika semua tradisi kuliner itu ikut diundang, dihadirkan dengan suasana yang khas singaraja: undangan, penonton diajak untuk memahami akan dunia yang terbelah: disekitar telah tumbuh puluhan mini supermarket dan toko-toko yang siap menggeser warung-warung kecil.

Betapa puitik, disaat nonton ayu laksmi dalam langkah kecilnya, di halaman rumahnya, kita pun diajak dalam suasana khas, menyantap makanan khas ala singaraja: tawar menawar dengan pedagangnya, menjadi ucapan: inilah gaya singaraja, khas, berani untuk tampil berbeda. Dan selalu demikianlah karakter yang berani melakukan kebaruan. Nah, Undangan ini saya baca lagi. Lalu bersiap untuk mengatur jadwal: semoga tanggal 25 september, jam 19.30 wita di kediaman keluarga besar ranuh, atau di jalan Gajah mada no 111, singaraja: mengawali hitungan satu juga; mulainya langkah besar dimana sekitarnya pun ikut melangkah. (cok sawitri)

No comments:

Post a Comment