Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Kaki Langit pada November 2009, dengan judul Lasmi, mengambil nama tokoh utamanya Lasmiyati, yang dikenalkan melalui Pemilihan Majelis Daerah di tahun 1957 oleh seorang guru; mengenalkan kepada pembaca "mode busana" apa yang saat itu tengah menandai seorang perempuan terpelajar di sebuah desa; “ Tubuhnya yang ramping dengan tinggi rata-rata perempuan, tampaknya sekitar 156-158 sentimeter, di balut sepotong gaun terusan berbahan dril warna khaki. "Gaun itu sepanjang pertengah betis, berlengan sebatas siku, dan sedikit longgar di bagian kaki. Kulitnya sawo matang tampak lembab berkeringat. Rambutnya yang digelung di atas tengkuk agaknya terlebih dahulu dijalin kepang. Tampak tegas dan bersahaja,” Ini fakta di luar diri penulis, yang menjadi bagian pembuka novel Lasmi sepanjang 228 halaman, dengan 52 catatan kaki, memberi fakta kepada pembaca mengenai pengarang dengan sumber-sumbernya, yang diproseskreatifkan menjadi novel dengan kekhasan tertentu; yakni latar belakang peristiwa di rentang tahun 1957-1965-an.
Nusya Kuswantin adalah "wartawan" pada era tahun-tahun dimana kekuasaan Orde Baru tengah mencapai puncak kekuasaannya. Penguasa yang sensitif dengan latar belakang politiknya mendorong senstifitas pula masyarakat untuk mengetahui kebenarannya; fakta historis adalah peristiwa 30 september 1965, menjadi realitas, sulit dibantah ketika menyoal kematian-kematian yang tragis yang terjadi kala itu, yang dialami oleh masyarakat yang baru mulai melihat jati dirinya sebagai negeri yang merdeka. Gairah membangun diri, diperankan oleh Lasmi yang membebaskan dirinya dari penanda perempuan tradisional ketika menikah dengan Guru Sutikno, penanda kebebasan itu mulai dari soal penggunaan anting, memotong rambut, membangun TK, menyebut langsung nama suami tanpa "mas", penghormatan kepada profesi guru, yang melenyapkan nama menjadi sebutan “nak Guru, mas guru, dst”, kemudian berlanjut dengan masuk menjadi anggota Gerwani. Penanda perempuan yang hendak dilebur dipadu dengan tradisi hubungan orang tua (mertua) dengan anak perempuan dalam tradisi jawa, yang memberi justru keleluasan kepada Lasmi memanfaatkan kemapanan ekonomi orangtuanya—inilah fakta historis, realitas luar diri pengarang yang memberi banyak kesempatan untuk mengenal banyak hal untuk menjelaskan situasional di tahun-tahun 1957-an di sebuah desa di jawa, yang sesekali dibulatkan dengan kehadiran radio RRI dengan pidato soekarnonya, keadaan ekonomi yang carut marut dengan peran penggadaian, yang kemudian mengenalkan Lasmi pada area perjuangan politik; ada tiga "plang" di halaman depan rumah orang tua Lasmi, TK Melati, BTI, Gerwani, menjadi kecirian posisi Lasmi dalam structural keorganisasian yang berbenang merah dengan PKI, yang kemudian menghadirkan kata "ganyang", "setan desa". dst. Jelas bukan karena ideologis, TK yang awalnya didirikan karena empati, memerlukan sokongan dana untuk gaji guru menjadi awal Lasmi mau tak mau melibatkan diri dalam jejaring Gerwani. Samar-samar digambarkan bagaimana cara pandang orangtuanya terhadap agama, bagaimana cara pandang Mas Guru, suami Lasmi terhadap agama; menjadi seolah tidak samar karena berbagai ritus tradisi jawa diikuti dengan beberapa kompromi; dari prosesi perkawinan, ritus penanaman ari-ari anak mereka, atau pergi ke makam memberi penghormatan kepada leluhur.
Lasmi walau secara naratif dikenalkan sebagai perempuan yang tegas dan bersahaja, memiliki hasrat membebaskan diri dari belenggu "keperempuannya", namun jelas menjadi tokoh yang sesungguhnya ngambang; mengikuti arus kejadian-kejadian yang menyeret tidak saja suami, anak, orang tua dan masyarakat desanya, ketika politik di ibu kota menampilkan panggung yang tragis, peristiwa 30 september 1965. Lasmi harus mengungsi akhirnya, ketika "perburuan" kepada pelaku politik dan jejaring PKI, yang tertuduh dalam peristiwa pembunuhan dewan jenderal mulai beringas dan haus darah, tanpa kompromi; menjadi sangat tragis, justru ketika mencermati permohonan maaf Lasmi kepada suaminya, ketika dalam pelarian, Lasmi membayangkan andai dirinya tidak masuk Gerwani, hanya menjadi perempuan biasa-biasa saja, pastilah anak mereka: Gong, tidak meninggal karena penyakit panas, kelelahan, yang tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Tidaklah terjadi "ketegangan dan tekanan" terhadap keluarga maupun handai taulan, yang dalam rentang waktu hanya beberapa tahun telah terbebaskan dari buta huruf, memahami soal keadilan hasil sawah antara pemilik dan penggarap. Tragis ini menjadikan Lasmi jatuh dalam kecengengan, menyerahkan diri untuk dieksekusi, menjadi sebab guncangan mental kepada suaminya, yang "gila" dalam keharuman melati.
Dalam kondisi tertentu, menikmati novel Lasmi memberi kesan akan pandangan secara parsial pengarang kepada fakta histroris yang terjadi antara tahun 1957-1965-an- khususnya yang dialami figur-figur masyarakat di pedesaan, yang jauh dari pusat kekuasaan. Bagaimana mentalitas komunal, mempermudah pengaruh mulia yang dimainkan Lasmi, yang ingin berbagi dalam soal pendidikan; keterampilan baca tulis, keterampilan menjahit, yang mendatangkan tokoh Ibu Sum, Rihot, yang mendorong Lasmi pada lompatan ikut dalam tradisi kegiatan kepartaian. Bagaimana arus yang menjaring sekelompok masyarakat dalam carut marut politik dikemudian hari ketika kekuasaan itu menjadi tragedy berdarah yang memerlukan kambing hitam.
Pada alur novel ini, upaya untuk mengklaim bahwa Lasmi,dkk tidaklah bersalah dan hanya menjadi korban adalah dengan memberi penanda-penanda apa yang disepakati, apa yang ditolak, apa yang dikompromi dalam tindakan Lasmi dalam kesehariannya, sebagai figur perempuan yang memimpin, dengan suami yang penuh pengertian, dengan penanda berprofesi sebagai guru, sebuah simbol yang mengundang senyum, menjadi fungsi menjelaskan bagaimana sesungguhnya situasi masyarakat di kalangan bawah dalam membangun strata sosial melalui jalur baru yakni: jalur pendidikan dan jalur politik; demikianlah di pedesaan, perubahan tengah terjadi bebarengan dengan konfrontasi Malaysia di rentang 1957-1965, menjadi penanda, adanya kesenjangan luar biasa dalam komunikasi saat itu, namun solidaritas, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan kemasyarakat, dimotivasi lebih kepada keinginan untuk kemajuan dalam zaman yang tengah dikemas; tengah dalam masa revolusi. Tampilnya "sihir" pidato Soekarno di radio yang selalu memberi gugahan dan semangat untuk menjadikan semua orang sontak bergairah terlibat dalam pilihan-pilihan kegiatan keorganisasian, yang kelak membelah menjadi dua pihak; (komunis ataukah tidak, simpatisan ataukah non simpatisan), yang tidak disebabkan oleh konflik kepentingan diantara mereka di desa, namun disebabkan perebutan kekuasaan di puncak kekuasaan, jauh dari persoalan-persoalan akar rumput.
Bagaimana kombinasi narasi untuk menggambarkan motif-motif kehidupan masyarakat yang ada dalam jejaring yang terkena "kambing hitam" oleh penguasa; lagu genjer-genjer misalnya yang dalam fakta historisnya tercipta dan sudah populer di zaman Jepang, kemudian menjadi pewarna yang memberi penanda kepada jejaring Lasmi, atau doa sebelum mulai belajar, mengucapkan terima kasih kepada "bu tani dan pak tani"", sebab ini doa yang lebih realitik dimata Lasmi, ketimbang menyampaikan bersukur kepada tuhan, hanya sepintas memberi efek kepada pembacaan, hanya motif, tidak dieksploarasi lebih jauh. Ini sungguh kalah meriah dengan demikian banyak catatan kaki, yang pada awal-awal novel ini memberi informasi mengenai berbagai singkatan nama organisasi yang ada kala itu, namun tidak mengungkap unsur mendasarnya, bagaimana mereka dalam riak kontak persaingan di pedesaan, tidak menjadi bagian alur kisah yang elementer sekalipun! Penekanan yang diharapkan pada plot misalnya, sebab dan akibat pada tokoh Lasmi, yang akhirnya harus melakukan pelarian diri ditemani suami dan anaknya, menjadi sebab kematian anak tunggal mereka, tidak memberi kelengkapan mengenai gejolak yang terjadi kepada Lasmi, seorang ibu, seorang istri yang tiba-tiba menyadari, dirinya penyebab keluarganya terkena arus deras dalam gejolak politik, yang tengah mencari korban kambing hitamnya: tertuduh sebagai komunis, tokoh gerwani, atau dalam bahasa penguasa, membuat seluruh keluarganya tidak lagi "bersih lingkungan".
Tokoh, alur dan plot, pandangan parsial mengenai fakta historis diramu dengan motif-motif tradisi dalam sistem norma Jawa pedesaan, membangun upaya komunikasi, menjelaskan kepada pembaca secara samar, keberpihakan pengarang terhadap sumber fakta historisnya, yang memang lumayan detail, tergambar ketika mengutip pidato soekarno, pada halaman 105-114; yang menjelaskan dalam pemaknaan mengenai suatu rentang waktu yang berjarak geografis antara kejadian di Jakarta dengan di pedesaan, pusat kekuasaan dengan akar rumput, bahwa tragedy politik itu, tragedy kemanusiaan, yang membadan dalam keadaan suami lasmi; menjadi suami, lelaki, ayah yang dikonstruksi dari awal hingga akhir, sebagai lapisan-lapisan, tidak ada inti, tidak ada rahasia, juga tidak ada prinsip yang tidak akan tercemar, semuanya telah dikemas dalam kerinduan akan gejolak keinginan kesetaraan antara perempuan dan lelaki; hampir berupaya mencakup segala wacana gerakan perempuan yang kini masih hangat dikampanyekan, menjadi kesatuan dengan kode-kode yang jelas bahwa kisah Lasmi yang panjang usianya 33 tahun, dipuitikan dalam tembang yang panjang sebagai penutup novel yang merupakan karya pertama Nusya Kuswantin, menarik untuk dibaca sekagilus untuk dijadikan kajian.
(untuk Nusya, aku penuhi janjiku mereview)
Nusya Kuswantin adalah "wartawan" pada era tahun-tahun dimana kekuasaan Orde Baru tengah mencapai puncak kekuasaannya. Penguasa yang sensitif dengan latar belakang politiknya mendorong senstifitas pula masyarakat untuk mengetahui kebenarannya; fakta historis adalah peristiwa 30 september 1965, menjadi realitas, sulit dibantah ketika menyoal kematian-kematian yang tragis yang terjadi kala itu, yang dialami oleh masyarakat yang baru mulai melihat jati dirinya sebagai negeri yang merdeka. Gairah membangun diri, diperankan oleh Lasmi yang membebaskan dirinya dari penanda perempuan tradisional ketika menikah dengan Guru Sutikno, penanda kebebasan itu mulai dari soal penggunaan anting, memotong rambut, membangun TK, menyebut langsung nama suami tanpa "mas", penghormatan kepada profesi guru, yang melenyapkan nama menjadi sebutan “nak Guru, mas guru, dst”, kemudian berlanjut dengan masuk menjadi anggota Gerwani. Penanda perempuan yang hendak dilebur dipadu dengan tradisi hubungan orang tua (mertua) dengan anak perempuan dalam tradisi jawa, yang memberi justru keleluasan kepada Lasmi memanfaatkan kemapanan ekonomi orangtuanya—inilah fakta historis, realitas luar diri pengarang yang memberi banyak kesempatan untuk mengenal banyak hal untuk menjelaskan situasional di tahun-tahun 1957-an di sebuah desa di jawa, yang sesekali dibulatkan dengan kehadiran radio RRI dengan pidato soekarnonya, keadaan ekonomi yang carut marut dengan peran penggadaian, yang kemudian mengenalkan Lasmi pada area perjuangan politik; ada tiga "plang" di halaman depan rumah orang tua Lasmi, TK Melati, BTI, Gerwani, menjadi kecirian posisi Lasmi dalam structural keorganisasian yang berbenang merah dengan PKI, yang kemudian menghadirkan kata "ganyang", "setan desa". dst. Jelas bukan karena ideologis, TK yang awalnya didirikan karena empati, memerlukan sokongan dana untuk gaji guru menjadi awal Lasmi mau tak mau melibatkan diri dalam jejaring Gerwani. Samar-samar digambarkan bagaimana cara pandang orangtuanya terhadap agama, bagaimana cara pandang Mas Guru, suami Lasmi terhadap agama; menjadi seolah tidak samar karena berbagai ritus tradisi jawa diikuti dengan beberapa kompromi; dari prosesi perkawinan, ritus penanaman ari-ari anak mereka, atau pergi ke makam memberi penghormatan kepada leluhur.
Lasmi walau secara naratif dikenalkan sebagai perempuan yang tegas dan bersahaja, memiliki hasrat membebaskan diri dari belenggu "keperempuannya", namun jelas menjadi tokoh yang sesungguhnya ngambang; mengikuti arus kejadian-kejadian yang menyeret tidak saja suami, anak, orang tua dan masyarakat desanya, ketika politik di ibu kota menampilkan panggung yang tragis, peristiwa 30 september 1965. Lasmi harus mengungsi akhirnya, ketika "perburuan" kepada pelaku politik dan jejaring PKI, yang tertuduh dalam peristiwa pembunuhan dewan jenderal mulai beringas dan haus darah, tanpa kompromi; menjadi sangat tragis, justru ketika mencermati permohonan maaf Lasmi kepada suaminya, ketika dalam pelarian, Lasmi membayangkan andai dirinya tidak masuk Gerwani, hanya menjadi perempuan biasa-biasa saja, pastilah anak mereka: Gong, tidak meninggal karena penyakit panas, kelelahan, yang tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Tidaklah terjadi "ketegangan dan tekanan" terhadap keluarga maupun handai taulan, yang dalam rentang waktu hanya beberapa tahun telah terbebaskan dari buta huruf, memahami soal keadilan hasil sawah antara pemilik dan penggarap. Tragis ini menjadikan Lasmi jatuh dalam kecengengan, menyerahkan diri untuk dieksekusi, menjadi sebab guncangan mental kepada suaminya, yang "gila" dalam keharuman melati.
Dalam kondisi tertentu, menikmati novel Lasmi memberi kesan akan pandangan secara parsial pengarang kepada fakta histroris yang terjadi antara tahun 1957-1965-an- khususnya yang dialami figur-figur masyarakat di pedesaan, yang jauh dari pusat kekuasaan. Bagaimana mentalitas komunal, mempermudah pengaruh mulia yang dimainkan Lasmi, yang ingin berbagi dalam soal pendidikan; keterampilan baca tulis, keterampilan menjahit, yang mendatangkan tokoh Ibu Sum, Rihot, yang mendorong Lasmi pada lompatan ikut dalam tradisi kegiatan kepartaian. Bagaimana arus yang menjaring sekelompok masyarakat dalam carut marut politik dikemudian hari ketika kekuasaan itu menjadi tragedy berdarah yang memerlukan kambing hitam.
Pada alur novel ini, upaya untuk mengklaim bahwa Lasmi,dkk tidaklah bersalah dan hanya menjadi korban adalah dengan memberi penanda-penanda apa yang disepakati, apa yang ditolak, apa yang dikompromi dalam tindakan Lasmi dalam kesehariannya, sebagai figur perempuan yang memimpin, dengan suami yang penuh pengertian, dengan penanda berprofesi sebagai guru, sebuah simbol yang mengundang senyum, menjadi fungsi menjelaskan bagaimana sesungguhnya situasi masyarakat di kalangan bawah dalam membangun strata sosial melalui jalur baru yakni: jalur pendidikan dan jalur politik; demikianlah di pedesaan, perubahan tengah terjadi bebarengan dengan konfrontasi Malaysia di rentang 1957-1965, menjadi penanda, adanya kesenjangan luar biasa dalam komunikasi saat itu, namun solidaritas, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan kemasyarakat, dimotivasi lebih kepada keinginan untuk kemajuan dalam zaman yang tengah dikemas; tengah dalam masa revolusi. Tampilnya "sihir" pidato Soekarno di radio yang selalu memberi gugahan dan semangat untuk menjadikan semua orang sontak bergairah terlibat dalam pilihan-pilihan kegiatan keorganisasian, yang kelak membelah menjadi dua pihak; (komunis ataukah tidak, simpatisan ataukah non simpatisan), yang tidak disebabkan oleh konflik kepentingan diantara mereka di desa, namun disebabkan perebutan kekuasaan di puncak kekuasaan, jauh dari persoalan-persoalan akar rumput.
Bagaimana kombinasi narasi untuk menggambarkan motif-motif kehidupan masyarakat yang ada dalam jejaring yang terkena "kambing hitam" oleh penguasa; lagu genjer-genjer misalnya yang dalam fakta historisnya tercipta dan sudah populer di zaman Jepang, kemudian menjadi pewarna yang memberi penanda kepada jejaring Lasmi, atau doa sebelum mulai belajar, mengucapkan terima kasih kepada "bu tani dan pak tani"", sebab ini doa yang lebih realitik dimata Lasmi, ketimbang menyampaikan bersukur kepada tuhan, hanya sepintas memberi efek kepada pembacaan, hanya motif, tidak dieksploarasi lebih jauh. Ini sungguh kalah meriah dengan demikian banyak catatan kaki, yang pada awal-awal novel ini memberi informasi mengenai berbagai singkatan nama organisasi yang ada kala itu, namun tidak mengungkap unsur mendasarnya, bagaimana mereka dalam riak kontak persaingan di pedesaan, tidak menjadi bagian alur kisah yang elementer sekalipun! Penekanan yang diharapkan pada plot misalnya, sebab dan akibat pada tokoh Lasmi, yang akhirnya harus melakukan pelarian diri ditemani suami dan anaknya, menjadi sebab kematian anak tunggal mereka, tidak memberi kelengkapan mengenai gejolak yang terjadi kepada Lasmi, seorang ibu, seorang istri yang tiba-tiba menyadari, dirinya penyebab keluarganya terkena arus deras dalam gejolak politik, yang tengah mencari korban kambing hitamnya: tertuduh sebagai komunis, tokoh gerwani, atau dalam bahasa penguasa, membuat seluruh keluarganya tidak lagi "bersih lingkungan".
Tokoh, alur dan plot, pandangan parsial mengenai fakta historis diramu dengan motif-motif tradisi dalam sistem norma Jawa pedesaan, membangun upaya komunikasi, menjelaskan kepada pembaca secara samar, keberpihakan pengarang terhadap sumber fakta historisnya, yang memang lumayan detail, tergambar ketika mengutip pidato soekarno, pada halaman 105-114; yang menjelaskan dalam pemaknaan mengenai suatu rentang waktu yang berjarak geografis antara kejadian di Jakarta dengan di pedesaan, pusat kekuasaan dengan akar rumput, bahwa tragedy politik itu, tragedy kemanusiaan, yang membadan dalam keadaan suami lasmi; menjadi suami, lelaki, ayah yang dikonstruksi dari awal hingga akhir, sebagai lapisan-lapisan, tidak ada inti, tidak ada rahasia, juga tidak ada prinsip yang tidak akan tercemar, semuanya telah dikemas dalam kerinduan akan gejolak keinginan kesetaraan antara perempuan dan lelaki; hampir berupaya mencakup segala wacana gerakan perempuan yang kini masih hangat dikampanyekan, menjadi kesatuan dengan kode-kode yang jelas bahwa kisah Lasmi yang panjang usianya 33 tahun, dipuitikan dalam tembang yang panjang sebagai penutup novel yang merupakan karya pertama Nusya Kuswantin, menarik untuk dibaca sekagilus untuk dijadikan kajian.
(untuk Nusya, aku penuhi janjiku mereview)
No comments:
Post a Comment