Tahun 2010 ini, Siwa Ratri Kalpa jatuh pada tanggal 14 Januari, dalam sistem kalender Bali disebut prawani Tilem Kapitu, sehari sebelum bulan mati di bulan ketujuh (kapitu), diyakini itu adalah malam tergelap dalam peredaran surya dan candra di atas bumi. Di hari itu, sebelum matahari terbit bagi umat Hindu penganut paham siwa akan melaksanakan proses brata Siwa Ratri. Brata ini terbagi tiga, yang utama adalah melaksanakan monabrata, yang menengah melaksanakan upawasa dan jagra ,sedangkan yang sederhana melaksanakan jagra saja.
Perayaan Siwaratri ini tidaklah tepat disebut malam penebusan dosa, seperti penjelasan umum yang biasanya digunakan menjelaskan sebagai motivasi kepada anak-anak yang hendak diajarkan brata siwaratri, perayaan ini dalam konteks susastra disebut ' menghormati malam siwa”. Dalam pengertian umum lainnya, seringkali Siwa ditempatkan semata sebagai sang pelebur bahkan konotasinya seram sebagai sang penghancur. Dalam ajaran Siwa Sidhanta, yang umumnya dianut di Bali, Siwa adalah sunya itu sendiri, alam kemoksaan yang hanya dapat dipahami dengan kesadaran yang tinggi oleh seorang mahayogi. Dalam penjelasan yang lebih puitik, ketika cahaya matahari sejuta di dalam diri dan hati, yang dibayangkan dalam diam itu adalah yang tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, berpusar seperti pusaran air, kekal beradaannya, hanya dengan sarana pikiran, pengetahuan yang lepas dari nafsu, di sana di lubuk hati, pada muka wajah dan kepala, dstnya.
Siwa juga dikenal sebagai 'Dia' yang bermata tiga, dalam keseharian orang bali meletakan bija di dahi, sebagai penghormatan akan kemahaan siwa yang serbatahu. Ada ribuan kisah yang dapat menjelaskan siwa dalam pengertian yang mendalam, bukan pengertian dangkal seperti yang dikenal sebatas sebagai sang pelebur atau sang penghancur.
Perayaan Siwa Ratri ini di Bali ditradisikan sejak lama, awalnya dikalangan pandita dan istana,kemudian perayaannya menyebar seiring dengan waktu, kebanyakan perayaan ini ditandai dengan brata jagra yang dilakukan sepanjang 36 jam, dengan tidak tidur sejak prawani, hingga matahari terbit pada sehari setelah tilem kapitu, kemudian yang menggabungkan upawasa dan jagra itu berlaku sepanjang 24 jam, namun sisa menanti matahari terbenam hanya diperkenan memakan makanan serba putih dengan garam, air putih tanpa gula, sedangkan monabrata hanya dilaksanakan oleh orang-orang tertentu, yang harus menyiapkan dirinya untuk tidak makan-minum, tidak bicara, tidak bertemu dengan orang lain, berdiam diri dalam hening, ada yang menggunakan rentang waktu 12 jam ada yang menggunakan rentang waktu 36 jam, tergantung dari pendamping spiritualnya, monabrata tidak dapat dilakukan sendirian, harus selalu ada yang mendampingi, disamping itu ada tata krama proses prascita, pembersihan diri pada awal mulai brata dan disaat mengakhirinya, jadi tidak sekedar kuat-kuatan bedagang atau kuat tidak makan dan minum.
Yang menarik, dalam konteks sastra adalah keberadaan kakawin Siwa Ratri Kalpa, karya Mpu Tanakung yang lebih populer disebut Ludbaka, kisah sang pemburu yang naik sorga, karena pada suatu hari dalam rentang hidupnya tanpa sengaja melakukan yoga di malam siwa melakukan yoga, yakni di hitungan hari keempat belas, bulan ketujuh (kapitu), dari tafsir sastra ini muncul sebutan malam penebusan dosa, padahal jika dikaji lebih jauh, lubdaka sang pemburu itu adalah simbol, manusia itu tidak ubahnya sang pemburu dalam hidupnya, yang dicari adalah sunya, kedamaian sejati. Lubdaka menjadi figur dramatik dalam karya sastra itu, disebabkan latar belakang Mpu Tanakung menuliskannya adalah sebagai strategi memuji Ken Arok, yang dalam perilaku politiknya bagaikan seorang pemburu.
Dalam tafsir lain, brata Siwa ratri justru mengisyaratkan akan pentingnya kesadaran dalam hidup manusia. Jagra (tidak tidur), bukanlah dalam semata-mata begadang semalam suntuk, namun sesungguhnya menjadikan malam siwa ratri dimulainya kesediaan untuk menyadari tujuan hidup itu sendiri. Keenam indera itu yang ada dalam tubuh membuka peluang untuk munculnya musuh dalam diri, juga kemabukan. Mabuk itu,tidaklah hanya disebabkan alcohol, kini dalam keseharian manusia mabuk kuasa, mabuk harta, mabuk akan penampilan diri, mabuk pujian seolah dermawan, mabuk dipuji sebagai yang taat menjalankan ketentuan agama, banyak sekali mabuk yang menjadi kekisruhan, menipu diri sendiri, subur terjadi dimana-mana, akhirnya, kesadaran akan diri sebagai manusia dengan kemanusiaannya menjadi demikian tipisnya.
Itulah tanda jauh dari kesadaran! Bahkan banyak orang tua saat ini, merasa tidak bersalah melakukan contoh yang tidak baik bagi anak-anaknya baik dalam soal harta maupun dalam kisah asmara juga dalam proses mendewasakan hidupnya, banyak orang tua membenarkan kecurangan anak-anaknya dalam nilai sekolah, atau main sogok untuk mendapatkan sekolah dan pekerjaan. Menyuap dianggap sesuatu yang lumrah. Lalu bahagia ketika sang anak mendapatkan tempat yang didapatkannya dengan cara yang jauh dari kejujuran, anehnya, lingkungan sosial pun seolah menerima keadaan seperti itu, sebab pengertian sukses adalah pencapaian materi, penghormatan kepada manusia kini adalah kepada busana, bukan kepada kebaikan hati, seorang dermawan entah itu hartanya dapat dari merampok akan lebih dikagumi ketimbang juru sapu yang menggunakan jerih payahnya sendiri dalam berbuat kebaikan. Karena itu, Jagra, tidak tidur, itu adalah arti harfiah, namun sadarlah, di malam perayaan siwa itu adalah awalnya, tanpa pertengahan, tanpa jeda dan tanpa akhir.
Nah, bila berani merayakan siwa ratri, itu artinya siap untuk memilih jalan sang pemburu, yang penuh ujian, penuh godaan, penuh dengan suka duka, dimana semua pilihan itu sulit antara himsa dan ahimsa. Bukan berarti dosa telah ditebus seusai melaksanakan Siwa ratri, hukum karma tetaplah berjalan.
Demikianlah, selamat siwa ratri, semoga kesadaran kemanusiaan kembali berpijar, menjadi cahaya matahari sejuta dalam diri di setiap orang yang melaksanakannya.
(cok sawitri, 2010)
Perayaan Siwaratri ini tidaklah tepat disebut malam penebusan dosa, seperti penjelasan umum yang biasanya digunakan menjelaskan sebagai motivasi kepada anak-anak yang hendak diajarkan brata siwaratri, perayaan ini dalam konteks susastra disebut ' menghormati malam siwa”. Dalam pengertian umum lainnya, seringkali Siwa ditempatkan semata sebagai sang pelebur bahkan konotasinya seram sebagai sang penghancur. Dalam ajaran Siwa Sidhanta, yang umumnya dianut di Bali, Siwa adalah sunya itu sendiri, alam kemoksaan yang hanya dapat dipahami dengan kesadaran yang tinggi oleh seorang mahayogi. Dalam penjelasan yang lebih puitik, ketika cahaya matahari sejuta di dalam diri dan hati, yang dibayangkan dalam diam itu adalah yang tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, berpusar seperti pusaran air, kekal beradaannya, hanya dengan sarana pikiran, pengetahuan yang lepas dari nafsu, di sana di lubuk hati, pada muka wajah dan kepala, dstnya.
Siwa juga dikenal sebagai 'Dia' yang bermata tiga, dalam keseharian orang bali meletakan bija di dahi, sebagai penghormatan akan kemahaan siwa yang serbatahu. Ada ribuan kisah yang dapat menjelaskan siwa dalam pengertian yang mendalam, bukan pengertian dangkal seperti yang dikenal sebatas sebagai sang pelebur atau sang penghancur.
Perayaan Siwa Ratri ini di Bali ditradisikan sejak lama, awalnya dikalangan pandita dan istana,kemudian perayaannya menyebar seiring dengan waktu, kebanyakan perayaan ini ditandai dengan brata jagra yang dilakukan sepanjang 36 jam, dengan tidak tidur sejak prawani, hingga matahari terbit pada sehari setelah tilem kapitu, kemudian yang menggabungkan upawasa dan jagra itu berlaku sepanjang 24 jam, namun sisa menanti matahari terbenam hanya diperkenan memakan makanan serba putih dengan garam, air putih tanpa gula, sedangkan monabrata hanya dilaksanakan oleh orang-orang tertentu, yang harus menyiapkan dirinya untuk tidak makan-minum, tidak bicara, tidak bertemu dengan orang lain, berdiam diri dalam hening, ada yang menggunakan rentang waktu 12 jam ada yang menggunakan rentang waktu 36 jam, tergantung dari pendamping spiritualnya, monabrata tidak dapat dilakukan sendirian, harus selalu ada yang mendampingi, disamping itu ada tata krama proses prascita, pembersihan diri pada awal mulai brata dan disaat mengakhirinya, jadi tidak sekedar kuat-kuatan bedagang atau kuat tidak makan dan minum.
Yang menarik, dalam konteks sastra adalah keberadaan kakawin Siwa Ratri Kalpa, karya Mpu Tanakung yang lebih populer disebut Ludbaka, kisah sang pemburu yang naik sorga, karena pada suatu hari dalam rentang hidupnya tanpa sengaja melakukan yoga di malam siwa melakukan yoga, yakni di hitungan hari keempat belas, bulan ketujuh (kapitu), dari tafsir sastra ini muncul sebutan malam penebusan dosa, padahal jika dikaji lebih jauh, lubdaka sang pemburu itu adalah simbol, manusia itu tidak ubahnya sang pemburu dalam hidupnya, yang dicari adalah sunya, kedamaian sejati. Lubdaka menjadi figur dramatik dalam karya sastra itu, disebabkan latar belakang Mpu Tanakung menuliskannya adalah sebagai strategi memuji Ken Arok, yang dalam perilaku politiknya bagaikan seorang pemburu.
Dalam tafsir lain, brata Siwa ratri justru mengisyaratkan akan pentingnya kesadaran dalam hidup manusia. Jagra (tidak tidur), bukanlah dalam semata-mata begadang semalam suntuk, namun sesungguhnya menjadikan malam siwa ratri dimulainya kesediaan untuk menyadari tujuan hidup itu sendiri. Keenam indera itu yang ada dalam tubuh membuka peluang untuk munculnya musuh dalam diri, juga kemabukan. Mabuk itu,tidaklah hanya disebabkan alcohol, kini dalam keseharian manusia mabuk kuasa, mabuk harta, mabuk akan penampilan diri, mabuk pujian seolah dermawan, mabuk dipuji sebagai yang taat menjalankan ketentuan agama, banyak sekali mabuk yang menjadi kekisruhan, menipu diri sendiri, subur terjadi dimana-mana, akhirnya, kesadaran akan diri sebagai manusia dengan kemanusiaannya menjadi demikian tipisnya.
Itulah tanda jauh dari kesadaran! Bahkan banyak orang tua saat ini, merasa tidak bersalah melakukan contoh yang tidak baik bagi anak-anaknya baik dalam soal harta maupun dalam kisah asmara juga dalam proses mendewasakan hidupnya, banyak orang tua membenarkan kecurangan anak-anaknya dalam nilai sekolah, atau main sogok untuk mendapatkan sekolah dan pekerjaan. Menyuap dianggap sesuatu yang lumrah. Lalu bahagia ketika sang anak mendapatkan tempat yang didapatkannya dengan cara yang jauh dari kejujuran, anehnya, lingkungan sosial pun seolah menerima keadaan seperti itu, sebab pengertian sukses adalah pencapaian materi, penghormatan kepada manusia kini adalah kepada busana, bukan kepada kebaikan hati, seorang dermawan entah itu hartanya dapat dari merampok akan lebih dikagumi ketimbang juru sapu yang menggunakan jerih payahnya sendiri dalam berbuat kebaikan. Karena itu, Jagra, tidak tidur, itu adalah arti harfiah, namun sadarlah, di malam perayaan siwa itu adalah awalnya, tanpa pertengahan, tanpa jeda dan tanpa akhir.
Nah, bila berani merayakan siwa ratri, itu artinya siap untuk memilih jalan sang pemburu, yang penuh ujian, penuh godaan, penuh dengan suka duka, dimana semua pilihan itu sulit antara himsa dan ahimsa. Bukan berarti dosa telah ditebus seusai melaksanakan Siwa ratri, hukum karma tetaplah berjalan.
Demikianlah, selamat siwa ratri, semoga kesadaran kemanusiaan kembali berpijar, menjadi cahaya matahari sejuta dalam diri di setiap orang yang melaksanakannya.
(cok sawitri, 2010)
Hanya dua kata buat artikelnya
ReplyDelete" TOP BGT "