Tari Legong Keraton yang indah itu, yang dikenal di seluruh penjuru dunia memiliki riwayat yang panjang. Bulan Trisna Djelantik misalnya, salah satu penari legong dalam tiga zaman menempatkan motiv gerak tari legong sebagai puitika sedangkan gambuh sebagai prosanya, sedang Yudane, pemusik bali mengatakan; musiknya dahulu tercipta, barulah gerakan, Itu sebabnya gerakan tari legong mengandung ritme yang kompleks! Itu kuncinya pada pangawak; salah satu nama bagian dari partitur musik legong yang biasanya ditabuh pada gamelan semarapagulingan.
Legong memang tak habis-habis menggugah perhatian; riwayatnya pertamakali saya dengar dari almarhum Gung Kak Raka Saba, yang menjelaskan mengenai isi sebuah lontar, yang memuat kisah Cokorda Made Karna, cucu dari Raja kelungkung (Ida Idewa Agung Jambe) yang pada suatu ketika melakukan yoga semadi di pura Jogan Agung, Desa Ketewel, Sukawati-Gianyar; dalam yoga semadi itu Cokorda Made Karana menyaksikan para bidadari menari di Indraloka; para bidadari itu bagaikan boneka emas, memakai gelungan berupa sanggul candirebah, mereka menari dengan sangat halus dan indah. Ketika terjaga dari yoga semadinya, Cokorda Made Karna meminta pemangku pura Jogan Agung menyusun tarian seperti yang dilihatnya dalam yoga semadi. Dengan patuh pemangku itu mengumpulkan semua gadis cilik, namun tak ada yang memenuhi kriteria untuk mendekati bayangan secantik bidadari, karena itulah, dikenakan topeng bidadari untuk tergelarnya tarian, yang dikenal kini sebagai Sang Hyang Legong, tarian bidadari yang memerankan tujuh bidadari yakni Nilotama, kendran, Gagarmayang, Sulasih, Aminaka, Sulasih dan Gudita Sukpraba. Hingga kini tarian ini disakralkan hanya ditarikan di pura Jogan Agung.
Riwayat pun berlanjut, beberapa tahun kemudian, I Gusti Ngurah Djelantik dari Blahbatuh mengajak I Wayan Batu Bulan menyusun Legong baru, dan gagasan keduanya tidak mengenakan topeng bagi penarinya juga penarinya adalah bocah laki-laki yang belum akil balik, inilah asal kelahiran Sang Hyang Nandir, legong yang ditarikan dua bocah laki-laki, tanpa topeng dan menarikan kisah Legotbawa yakni kisah ciwa, wisnu dan brahma mengukur ketinggian dan kedalaman lingga (simbol siwa). Penari yang terkenal di era itu adalah I Gusti Tega dan I Gusti Dauh, kedua penari itu dilatih oleh I Wayan Batu Bulan. Era sebelum tahun 1920-an memang lazim para penari di Bali adalah lelaki. Dan pada suatu hari Raja Gianyar, I Dewa Manggis menyaksikan Sang Hyang Nandir, dan kemudian mengumpulkan para ahli tari dan penabuh dibawah pimpinan I Dewa Gde Rai Perid. Berbulan-bulan bahkan mungkin tahunan kolaborasi yang disponsori raja Gianyar akhirnya berhasil menciptakan Tari Legong Lasem (kini dikenal dengan sebutan Legong Keraton). Awalnya, di tahun 1880 legong ditarikan oleh dua orang, kisah yang ditarikan adalah ketika Prabu Lasem menculik Dewi Rangkesari, dalam perjalanan Prabu lasem diserang burung gagak sebagai isyarat kekalahan yang akan menimpanya, Prabu Lasem tidak memperdulikan isyarat itu, setibanya di Kadiri, Raden Panji menyerang hendak membebaskan Dewi Rangkesari, dan akhirnya Prabu Lasem kalah. Awalnya, legong ini dikenal dengan nama Legong Lasem, yang kemudian berkembang mula-mula ke Saba, di sini diduga tercipta Legong Candra Kanta, kemudian berkembang ke desa Kramas dank e Bedahulu serta Karangasem (Ulakan); sebaran yang pertama tari legong ini dari Saba, karena itu style saba mendasari gaya di Kramas dan bedahulu, baru dari Kramas dan bedahulu berkembang ke Peliatan dan Badung, dan di badung bertemu dengan kejenialan Ida Bagus Buda, yang konon menggagas hadirnya penari condong, penari legong lasem pun menjadi tiga. Dalam perkembangannya dari tahun 1880 sampai tahun 1953 tercatat dalam gendre legong yang dikategorikan klasik adalah legong Kuntir, Legong Kuntul, Candra Kanta dan Legong Smaradahana. Dan legong lasem yang pernah dibawa Raja karangasem ke Solo dan betawi, mulai saat itu mendapat nama legong keraton dan dikenalkan kepada dunia pada tahun 1953 oleh legong peliatan di bawah pimpinan Almarhum Gung kak Mandera.
Pada motiv gerak tari (karana) legong memang bermuara kepada dasar gerak tari gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari perannya, ada banyak jenis agem. Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu kea gem yang lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motiv gerak seperti ngelikas, nyeleog,nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir. Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada yang namanya dedeling, manis carengu, kemudian gerakan leher ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak bahu bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering,girah,nredeh dan termasuk pula aturan menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput…dst
Legong dalam riwayatnya memang terus berproses, kini menjadi gendre tari terpenting di Bali, mempengaruhi berbagai proses kreatif koreografi, puluhan variannya telah lahir dari masa ke masa. Namun legong tetaplah legong, puitika yang bila terus diapresiasi akan terus menggugah inspirasi. Terakhir, saya sempat menyaksikan beragam style legong dari berbagai daerah di Bali ketika festival legong dibuat oleh yayasan walter spies.
Kini sudah barang tentu, mau tak mau semua gendre tari di seluruh nusantara harus mulai dituliskan, digali kembali, ditengah hubungan dunia tanpa batas, maka segala sesuatu dapat bisa terjadi. Bagi Bali mungkin tidak sulit menghadapi klaim pihak lain, namun bagaimana dengan daerah-daerah lain? Kebudayaan Indonesia adalah ditandai oleh berbagai proses cipta, karya-karya seni yang kadang ditempatkan sebagai persembahan, tak perlu mencatatkan nama penciptanya. Duhai, riwayat ini hanyalah untuk menggugah, bahwa sungguhlah perlu negara, melalui pemerintahnya untuk sungguh-sungguh bekerja keras, bukan keasyikan dalam diplomasi kosong. Yang terpenting adalah menghargai seni budaya sendiri, bukan menghitung hasil eksplotasinya baru merasa tergugah untuk mengambil keuntungan dari jual beli….
ternyata awalnya sekali bukan dari peliatan..........
ReplyDeleteyg tiang baca, awalnya dari peliatan.......
suksma informasinya cok..........