Riwayat (kecil) BARONG DI BALI...


Di tahun 83-an Pesta Kesenian Bali menjadikan barong sebagai tema dalam pawai pembukaanya, tentu saja arak-arakan itu membuat semua mata tercengang karena demikian banyak jenis barong yang ada di Bali, dan boleh lebih terkejut lagi bila sempat hadir dalam upacara pasamuhan barong di tabanan dan sekitarnya (dengan tersenyum, orang bali mengatakan itu konferensi barong!). Namun baru tahun 1986 saya tergugah untuk menemui Bape Bapang Jumpai, ini jelas bukan nama sebenarnya, ini julukan sebagai kepiawaiannya dalam menarikan Barong. Bape bapang Jumpai, yang saya cari ke desa jumpai ternyata sudah pindah ke denpasar, di seputaran jalan by pass Ngurah Rai! Sang guru yang banyak menularkan ilmunya termasuk kepada Dr Dibya itu sungguh membuat saya terkejut-kejut; sebab demikian sederhana namun dengan pengetahuan yang teramat luas mengenai seni menarikan barong. Menurut Pak Dibya dalam percakapan setelah saya menceritakan pengalaman saya menemui Bape Bapang Jumpai itu,"Teknik menarikan dua paying di kaki, itu memang dari bape bapang jumpai," Bapang adalah sebutan lain untuk menyebutkan tarian barong.

Riwayat Barong di Bali terpilah dalam dua alur; alur pertama adalah barong diyakini sebagai kesenian yang sudah ada sejak kebudayaan Austronesia di Indonesia, ini merujuk dari cara pandang antropologi, sebab di desa trunyan sejak ada barong brutuk yang bagi masyarakat Trunyan itu disakralkan, Trunyan adalah desa Baliaga, desa kuna dan barong ini bertopeng pra hindu dengan berbusana dari daun-daun pisang kering. Cerita yang dimainkan adalah kisah Bhatara Pancering Jagat atau Batara Da Tonta dengan istrinya Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar; ini adalah kisah kesuburan. Masih sealur adalah riwayat Barong Landung, yang juga disakralkan, yang ditarikan pada upacara tertentu, yang lelaki disebut dengan Jero Gede dan perempuan di Jro Luh; jika menyusuri desa Batur maka akan bertemu dengan satu Pura yang namanya Dalem Balingkang, yang dalam Lontar Usana Bali disebut keberadaannya, sampai kini disekitar Kintamani ada keturunan masyarakat cina, yang konon dulu menjadi pengiring sang putri cina dan memuja pratima suami-istri itu dengan sebutan Chungkang,dst. Alur yang kedua, adalah barong ket yang kini hampir seluruh masyarakat dunia mengenalinya sebagai trade marknya bali. Barong ket atau ketet, diduga dalam desainnya mendapat pengaruh cina ini juga mengingat adanya ornamen dalam ukiran bali yang menggunakan barong sae dan burung phoenix (patra cina), kisarannya waktu adalah di tahun 1225 masehi mulainya munculnya keterpengaruhan itu.

Namun dalam itihasa bali, cerita suci, bukan dongeng; adanya Barong, Rangda dan telek, ini terkait dengan kisah Siwa disaat mencari saktinya yakni Dewi Uma. Karena itu hampir seluruh desa di Bali, desa kuna dan madya memiliki barong yang disakralkan yang biasanya distanakan di Pura dalem, selalu berbarengan dengan Rangda dan telek plus dengan berbagai jenis topeng lainnya, simbol dari para apsara-apsari,dst. Kemudian dalam tradisi ruwatan, maka di setiap galungan dan kuningan banyak desa di Bali melaksanakan ngelawang, yakni barong ket berkeliling desa, namun ada juga tradisi ngelawang hanya dengan barong bangkal, dst. Tradisi ruwatan yang disakralkan yang melibatkan tari barong adalah ngurek, menusuk diri dengan keris sampai tahun 1936-an ngurek tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki namun juga perempuan. Namun harus diingat, barong profan, yang untuk turis tidak memainkan kisah seperti kisah dalam tari barong sakral. Untuk tourism yang dimainkan adalah kisah kuntisraya. Tidak akan ditemukan bagaimana wajah-wajah telek merah dan putih memperebutkan kuburan.
Awal mulanya barong hadir dalam seni pertunjukan, di luar kepentingan upacara dimulai abad 19 , saat itu Raja kelungkung ( Ida I Dewa Agung Sakti)menginginkan ada pertunjukan wayang wong yang berjumlah 36 orang, sebagian sebagai pasukan raja kera, sebagian sebagai pasukan rahwana. Topeng dikenakan dan busananya dari braksok, semacam serat. Pertunjukan ini kemudian sangat populer maka dikenallah dengan sebutan barong Kadingkling atau Blasblasan, yakni jika berkunjung ke desa, dipercaya akan memberi kesuburan pada pohon kelapa.

Barong juga dikenal di berbagai daerah di Indonesia, di Ponorogo dan sunda ada juga barongan, karena itu, sungguhlah kini kita mesti mulai membuka satu per satu ingatan, refensi untuk mempelajari sejarah seni budaya kita, bila tidak ingin semua proses kreatif bangsa ini diklaim oleh pihak lain, dan sepertinya, sungguh sulit bergantung kepada pemerintah, yang memandang ini sebagai persoalan tourism semata. Aduhai…

No comments:

Post a Comment