Pesta Kesenian Bali ke-32 mengusung tema Sudamala; yang dalam tradisi Bali, seni yang mengusung kisah sudamala dipahami sebagai Lakon ruwatan; pengobatan bagi jiwa dalam kerangka hubungan perasaan sosial, hubungan manusia dengan alam dan 'hyang' (kuasa hidup asal muasal); berakar kepada beberapa kisah; baik berupa kidung maupun prosa,yang teksnya dikategorikan sastra yang justru rancu jika dirujuk ke dalam kisah-kisah besar seperti Mahabarata (adi parwa); lakon-lakon ruwatan dalam kolom sastra klasik dikategorikan sebagai kisah non sastra; sering hanya ditandai sebagai bentuk kidung ataukah prosa atau jika tokoh-tokohnya dari kisah besar, teksnya sering disebut sebagai 'carangan'; Kisah-kisah yang disusun untuk tujuan historis maupun nasehat-nasehat mulia (tutur).
Dalam tradisi melukat, meruwat, kisah yang populer dalam seni pertunjukan Bali adalah kisah ketika Sadewa, saudara kembar Nakula, yang disuatu waktu dijadikan korban oleh Kunti, sebab Kunti khawatir terhadap Kurawa yang mendapatkan bantuan dua raksasa bernama Kalantaka dan Kalanjaya. Kisah Sudamala, carangan dari Mahabarata ini: berawal dari berbagai kesalahan yang dilakukan oleh beberapa penghuni surga; yang terkena kutuk harus turun ke bumi.
Yang pertama, kutuk kepada Dewi Uma yang membuat sang dewi menjelma menjadi mahluk menyeramkan, ditempatkan di setra gandamayu dan diberi nama Ra Nini, kemudian Citranggada dan Citrasena juga dikutuk atas kesalahan sering bersikap tidak sopan di sorga! Dikutuk menjadi sepasang raksasa; Kalantaka dan Kalanjaya.
Sebutan Sudamala muncul ketika Batara Guru menyusup ke dalam diri Sadewa dan meruwat Ra Nini, mengembalikan Dewi Uma dalam wujudnya semula. Kemudian Dewi Uma , mengajarkan cara 'membersihkan segala noda dan kejahatan'. Kelanjutan dari kisah ini adalah kisah Sri Tanjung, kisah dua cucu Tambapetra, yakni Sidapaksa, putra Sakula dan Sri Tanjung sebagai putri Sadewa. Kisah dua manusia yang kelak mengunjungi surga dengan alasan-alasannya tersendiri, namun diujung kisah mengkisahkan tentang model ruwatan, yang kemudian ditemukan pula dalam kisah Calong arang mengenai caru manca di catus pata. Kemudian Bima Ruci. Kisah Bima diutus Drona untuk mendapatkan air suci; taktik duryodana untuk menjebak Bima, namun Bima justru bertemu dengan Mahadewa dalam wujud anak kecil, yang menuturkan kerahasiaan air suci atau tirta amerta itu.
Lakon ruwatan, mengenai Sudamala ditemukan pula dalam kisah Men Bekung yang suatu ketika menemukan sebutir telur raksasa di tengah kelebatan hutan. Telur yang tercipta disebabkan rasa malu Sang Hyang Siwa dan Dewi Uma, yang mengadu asmara di langit, sehingga seluruh penghuni menertawai dan mengejek keduanya. Keduanya lalu mengubah diri menjadi ular bermahkota dan meninggalkan sebutir telur, yang dipungut dan kemudian direbus oleh Men bekung namun ternyata dari telur itu menetas seorang manusia berbadan setengah ular, lengkap dengan sisiknya.
Manusia setengah ular ini kelak menjadi korban pencaruan untuk keselamatan sebuah kerajaan, yang atas pawisik kepada seorang rsi, lalu memerintahkan memotong-motong manusia setengah ular itu menjadi 'caru' (korban) dengan cara membuang potongan tubuh itu ke berbagai arah angin; usai melakukan upacara itu tiba-tiba Sang Hyang Siwa muncul, mengembalikan wujud manusia setengah ular itu menjadi utuh; yang menjelma menjadi lelaki tampan; dan kemudian memberi petunjuk mengenai prinsip pecaruan jagat; dari kisah ini lalu muncul nama 'daun sudamala', pohon yang disaat pelemparan potongan tubuh manusia ular terkena tetes darahnya; kemudian 'kain sudamala', kain bebali yang digunakan alas saat memotong tubuh manusia setengah ular, pisau yang digunakan memotong kemudian dikenal dengan sebutan 'tiuk sudamala'.
Daun, Kain sampai tiuk (pisau) sudamala hingga kini menjadi perlengkapan ruwatan jagat atau dalam pecaruan agung. Juga digunakan untuk perlengkapan upacara pelukatan. Yang tujuannya adalah 'nyudamala' mengembalikan ke bentuk nurani asalnya; ke bentuk awalnya, menjadi kembali murni, suci dan bersih.
Seni pertunjukan berlakon ruwatan di Bali sangat kaya dan ragam. Dari pewayangan dikenal 'nyapu leger'; ruwatan bagi yang lahir pada wuku wayang. Kemudian untuk ruwatan desa, dikenal kisah calon arang, Basur; keduanya, dikategorikan kisah ruwatan yang dapat dimainkan dalam kerangka pembersihan jagat. Bentuk pertunjukan calon arang tak cuma seni pertunjukan saja; calon arang juga dipentaskan dalam pertunjukan wayang (kini, sangat jarang dipentaskan). Kemudian kisah yang melibatkan Sadewa ditemukan dalam berbagai bentuk; dari seni parwa, prembon, arja, sendratari hinggaseni bapang; seni pertunjukan barong. Seni sebagai pengobatan jagat, dalam kerangka ruwatan juga ditemukan pada : berbagai jenis tari sang hyang, rejang maupun 'nyeraman', baris, beberapa jenis permainan rakyat, perang tipat perang sampian, dll: dalam kolom 'madewa-madewi'.
Sudamala dalam keseharian akan selalu ditemukan pada upacara melukat, yang paling akrab dengan masyarakat adalah 'daun sudamala'; daun yang selalu dijadikan bagian penting peralatan upacara melukat (pembersihan diri).
Nah, di usia 32 tahun, Pesta Kesenian Bali menjadikan Sudamala sebagai tema, berharap semoga kali ini, seni menjadi peruwat negeri; sebab negeri ini memang tengah dilanda berbagai persoalan. Semoga kembali diingat akan jati diri sebagai bangsa yang bhinneka, yang memiliki tujuan keadilan dan kemakmuran bagi semua rakyatnya, bukan sebatas kalangan elitnya semata. Karena itu, senilah dijadikan obatnya dengan mengusung tema sudamala (?)
No comments:
Post a Comment