Belajar ke Pasar: "MAMEKEN" menemui KERIMIK PEKEN

"Peken":  begitu caranya menyebut pasar tradisional di Bali: "meken"; artinya pergi ke pasar dengan tujuan belanja. "Pekenan" : artinya hari besarnya pasar atau sering di sebut 'beteng', yang suka otak-atik kata mengira-ira 'beteng' ini dari kata 'bet': penuh sesak. Padahal itu terkait dengan 'wewaran'; pasah, beteng, kajeng. Sebab di pasar lain, ada juga yang menggunakan pasah bahkan kajeng sebagai hari pekan alias 'pekenan'.

Menarik sekali, apa yang terjadi pada diri saya dua minggu terakhir ini. Tiba-tiba saya harus sering pergi ke pasar tradisional, karena ibu saya sudah tua dan sedang sedikit sakit, saya harus melakukan hal yang tidak pernah saya lakukan sejak kecil: yaitu 'mameken': pergi ke pasar dan belanja! Ibu saya atau banyak sekali ibu-ibu di tempat kelahiran saya, yang usianya berkisar dari 60-80 tahunan memiliki hobby pergi ke pasar; mungkin kalau sejak dahulu ada mall; ibu saya dan teman-temannya itu dikategorikan: kaum shoppinger, senang sekali belanja ke pasar. Untungnya, ini pasar tradisional. Yang buka dari jam empat pagi dan tutup sekitar jam tiga sore; selebihnya adalah persiapan para pedagang untuk membuka atau menutup dagangan. Bayangkan, jika pasar tradisional sejak dahulu bukanya dua puluh empat jam! Mungkin ibu-ibu angkatan ibu saya akan nongkrong di pasar seharian! Mengingatkan akan hobby ke pasar itu; dari window shopping sampai penyakit gila belanja memang dari zaman ke zaman telah ada; sebab konon di semua pasar tradisional ada energy pemikat hati yang berfungsi meluluhkan semua hati untuk berbelanja (?)

Nah, saya mesti bangun jam lima pagi kadang jam empat pagi; menyetop bemo di depan rumah! Dengan ongkos dua ribu rupiah saya akan tiba di pasar tradisional di kota saya; hal yang mengejutkan saya, ternyata saya sudah lama sekali tidak menumpang bemo! Dan entah mengapa saya merasa 'bangga'  benar saat tahu: ongkos bemo itu jauh dekat; bayarnya tiga ribu rupiah! Pelajaran penting saat naik bemo di pagi hari adalah 'bemo masih sepi': hanya beberapa pedagang yang ikut menumpang dan selama perjalanan akan nampak: banyak orang berolahraga di kiri kanan badan jalan.

Setibanya di pasar: dagang-dagang justru berjejer di luar bangunan pasar; kata seorang buruh, kalau sudah siang barulah para pedagang masuk ke dalam pasar! Jadi, semua trotoar, halaman parkir dipenuhi oleh para pedagang; semuanya sudah mengatur diri sesuai jenis dagangannya;  dari arah timur jejeran mereka saya tandai: mulai dari para pedagang ikan, lalu pedagang daging yang selang seling dengan pedagang sayur; penjual tahu tempe, lalu penjual bumbu, terus melangkah ke barat akan berjejer para pedagang dagang buah, lalu jejeran dagang bumbu lagi!  Lagi dagang bunga……lalu menyeberang jalan, ketemu lagi barisan dagang, dari dagang jajan lempog sampai penjual ayam, babi; dll. Yang menyenangkan mereka adalah tuan atas dagangannya, bukan pelayan, mereka menentukan harga dan tawar menawar; Mereka penuh percaya diri sekalipun dalam suasana pagi yang masih gelap gulita dan para pembeli belum menyesaki belanjaan mereka, mereka tuan atas diri mereka sendiri; Mereka tuan atas diri mereka sendiri! Ya, Berbeda dengan situasi di swalayan ataukah mall: yang berjualan adalah pelayan! Bukan tuan atas dagangan mereka, tak miliki hak apapun atas penentuan nasib barang-barang dagangan mereka. Para pelayan adalah orang upahan dan dimanipulasi untuk bangga dengan dandanan, padahal mereka tak bisa menentukan nasib mereka sendiri. Kemerdekaan itu sesungguhnya saat bertemua para pedagang kecil ini…

Dua ribu untuk bawang putih! Lalu orang-orang sekitar akan menjelaskan bahwa hari ini harga bumbu yang paling mahal adalah kencur! Cabe sedang turun harganya! Ikan laut murah meriah; ikan-ikan sedang 'kalap' itu penjelasan para pedagang ikan yang sibuk menjajakan ikannya; sebab semakin murah harga dagangan, entah kenapa pembeli pasti berkurang jumlahnya!

Daging tetap mahal! Sayur mayur selalu dalam harga tetap, kecuali undis, kacang, tumbuhan yang mengikuti musim selalu menemukan harga naik-turunnya. Ketakjuban saya adalah: betapa jauh lebih murah dan segar dagangan bahan makanan di pasar; walau jebakannya adalah pandai-pandailah menawar dan mendengarkan sekelilingnya, para pembeli yang menyepakati harga yang paling mendasar. Jika ada yang kenal, maka kenalan itu akan segera membimbing kita untuk tidak terjebak dalam harga yang tinggi! Menyenangkan, sebab saya merasa tidak asing di pasar tradisional ini.

Hari pertama, saya masih banyak bertanya-tanya banyak hal kepada siapa saja yang terdekat, hari selanjutnya saya sudah menguasai seluruh sudut pasar dan bergerak dalam gelap mencari bahan belanjaan yang saya perlukan. Bila gerimis tiba, semua kepala para pedagang itu serentak dibungkus tas plastik, dan menyingkir dengan santai, menepi di emperan toko-toko, melanjutkan jualan mereka, dan hingga matahari terbit barulah mereka memasuki bangunan pasar…..barulah nampak pedagang beras,kelontong, pedagang ini-itu, termasuk pedagang nasi! Aroma pun berubah. Tapi saya tahu: pelajaran terpenting dari pergi ke pasar; bahwa 'suara negeri' sesungguhnya adalah suara rakyat itu dan itu adalah suara pasar: yang kelak akan menggugat pemimpinnya! Bila mengabaikan 'suara pasar' yakni suara para pedagang dan pembeli di pasar tradisional; sebab mereka itu adalah subyek, tuan atas dagangannya sendiri, bukan pelayan pada pemilik modal, bukan orang upahan dan bukan pengikut ini-itu!

Pulangnya, saya berjalan kaki, bertegur sapa dengan banyak kenalan, yang nampaknya memilih berangkat ke pasar lebih siang dibandingkan saya. Saya sungguh mendapat pelajaran penting dua minggu ini: bahwa nurani itu justru ada di pasar! Di peken: pada kerimik peken, keluh kesah suara-suara di pasar… (cok sawitri, November 2011)

No comments:

Post a Comment