Ritus Air

TIRTHA NGARAN AMERTA

Air adalah salah satu dari Panca Mahabhuta (lima energi besar/agung) yang membentuk bhuwana agung juga bhuwana alit. Orang Bali dahulu menyebut agamanya secara karib dengan sebutan “Gama Tirta". Karena itu ada perilaku khas kepada air, yang tidak semata menempatkan air sebagai dua hidrogen dan satu oksigen.Tidak sebatas rumus H2O. Air (aik- we, juga sebutan air diwaktu lampau), yeh, toya, banyu, kemudian air yang dimaknai dan ditempat sebagai 'mahluk agung'  itulah disebut Tirtha.

Perilaku kepada air menyebabkan kosa kata mengenai air ini begitu melimpah; bedak (haus), ngelak (luarbiasa haus),  kasatan (bahasa halus untuk haus) dan situasi kondisi yang dialami melahirkan kata seperti kebus bahaang, tuh gaing, ngerintung,dll: suatu pernyataan kebutuhan akan air. Dan tentu saja menarasi air; perjalanan air, dari ngetel, ngericik, ngebyor, membah, makin mengisyaratkan betapa air begitu lekat dalam hidup keseharian. Peristiwa hujan dalam kosa kata Bali makin menjelaskan betapa air adalah bagian yang sangat naluriah; ujan, sabeh, ngerimis, bales, ngemongmong, nempias, dll, lalu air yang berlebih limpahannya disebut dengan kata medaluran, blabar, ngulung, nyereong (suara mirip raungan di hulu), ngebek, peres; dst. Dan sumber mata air disebut sebagai kelebutan, kata ini akan disamakan dengan 'denyut ubun-ubun' disebut siwadwara. Lalu akan dikenal kedokan ( cerukan kecil, biasanya berjejer ditepi pantai atau sungai), cibukan, semer: wanu, danu, segara, dll dan bali memiliki kekariban dengan groboyogan (air terjun), pancoran, pancuran, kecoran, kemudian air yang digunakan untuk menghitung waktu dari tluktak sampai penalikan, dsb; akan membawa pada gambaran bagaimana air menjadi batang hidup bagi bahan pangan, yakni persawahan.

Di sawah, air adalah senjata sekaligus juga nyawa. Karena itu air dalam tubuh manusia akan memberi isyarat kesehatan atau tengah kesakitan. Ngeyem (badan mendingin), mabuah-buah (semua pori mengeluarkan bintik air seperti embun kecil), leteg (luarbiasa basah disebabkan keringat ), kembah, kembung, lesit:dst. Perhatikan bagaimana ritus membangun 'empelan' ini sebagai lintasan jalannya air, dalam lontar Hempu Kuturan ada mantra yang indah dan mengisyaratkan, 'jalan' untuk air, 'menunda' jalannya air, membelokan air pun ada tata kramanya," Pukulun manusan paduka Bhatara, hatur minta lugraha, hatur huning hangaturin Bhatara, maka pangundang Bhatharii Gangga, malejeg hamor ing kukus ing menyan majagawu, Hyang Siwa Sadha Siwa Parama Siwa, katuran padha tumurun, tumuli tedhun bhatara Sakti, Sang Hyang Tleng ing Madanu, Sang Hyang Nini Gangga Dewi, hiniring den ing widyadhara-widyadhari, hakumpul ring kahyangan pangulun hempelan, mwang sang asedahan Tukad, padha katuran saring ing pamdehak canang banten sarwa suci, katuran hamukti sari, ngayab sarin waha".

Bagaimana air yang melintas sungai-sungai, orang Bali memiliki rasa hormat yang luar biasa kepada sedahan tukad; mereka yang menjaga sungai. Perhatikan ritus yang berkaitan dengan sungai ini, ini dari tradisi Kuturan, jika mempersembahkan sesuatu kepada sungai, maka mantranya,"Pukulan sedahan tukad, kaki sedahan tukad pancing, kaki sedahan empelan, bantang buwah bantang nyuh, bantang tueuh hempelan ingsun. Poma. Poma.poma" perhatikan kemudian bagaimana posisi sang air dalam lanjutan ritus itu," Jeng nini Bhatari Gangga, manawi kurang manawa luput, hangaturan pasajin ingsun ring asedahan tukad, makadi paduka Bhatari gangga, puniki sasantun ingsun. Om AM Um Mam, Om bhur Bhuwah Swaha, sidhir astu ya namah" dan jika pernah mendengar bawungan, bendungan; yang posisinya sebenarnya menampung dan menunda sejenak perjalanan air, selalu ritus menempatkan sang air, agar sudi menolong, tidak menumpahruahkan, tidak menjadi ganas, tidak menjadi penyakit, selalu dimohonkan.
Air itu dalam keyakinan agama Hindu di Bali menjadi mahluk agung, 'tirtha ngaran amerta': air adalah hidup. Kalimat ini sungguh dalam, air itu mahluk, hidup itu tergantung benar kepada sang air. Tidak terbantahkan, tubuh manusia mendekati 80 persen adalah air. Membayangkan kerumitan dan kerahasiaan perjalanan air dalam tubuh, orang Bali membayangkan kesemestaan. Bahwa ada putaran perjalanan air itu tak pernah henti, tak pernah habis. Namun medianya, tubuh dan alam hanyalah media, air bisa datang, dapat juga pergi. Dapat sembunyi, dapat pula memperlihatkan kemegahannya. Air dapat merayu, juga dapat murka semurka-murkanya.  Itu sebabnya air kemudian ditempatkan sebagai tempat peleburan segala kotoran, segala mala, duka cita. Kesegarannya itulah yang menyentuh denyar kesadaran.  “U" Ngaran uddhakam ngaran gangga,ngaran tirtha suci. Uddhaka adalah kata yang tak semata merujuk sebutan pada samudera (laut) namun sebagai tempat suci. Karena itu Air suci atau yang disebut Tirtha, dikenal berjenis-jenis dan bertingkat-tingkat. Ritus perilaku memposisi air sebagai badan suci ini, jika untuk persembahyangan maka dikenal dengan tirtha pembersihan dan wangsuhpada. Keduanya akan hadir dalam awal dan akhir persembahyangan, yang tirtha pembersihan biasanya dibuat oleh Sulinggih atau karena permohonan oleh pemangku;dll.

Ritus 'membadansucikan' air ini membuka wawasan luas, mengenai ritus tua, yang memberikan dasar keyakinan kepada penganut agama Hindu
Bali. Pada tradisi kepamangkuan, terutama yang menjalankan permagin Sang Kul Putih, disebutkan jika untuk diri, dibenarkan membuat tirtha sendiri, " Ong surya maha gangga ya nama swaha, arung nala dewa maha gangga ya nama swaha, ong jagat karana ya nama swaha, ong bhang dewa sakti ya nama swaha, Ong Ah ksama karana ya nama swaha, Ong Ung prastawa ya nama swaha, Ong Pat paramasuka ya nama swaha". Bandingkan kemudian bagaimana para sulinggih membuat tirtha itu, disebut ngarga. Tentu ada proses persiapan yang teliti untuk menetapkan kemudian pengucapan kuta mantra ( etikanya saya tak dapat menuliskan isi mantranya), namun ada langkah-langkah yang menurut keyakinan, bahwa air itu adalah 'mahluk agung' yakni pada proses ketika Sang Sulinggih menulisi air yang diletakan dalam Siwambha, alat tulisnya adalah bunga; yang ditulis adalah tiga huruf suci disertai puja tri Purusa Mantra.  Jika dengan penuh meditatif memperhatikan maka gerakan penulisan itu melintang dari utara ke selatan, kemudian air dalam siwambha itu diputar tiga kali, searah gerak jarum jam dan biasanya akan disertai puja 'Amrta saptawaja'.  Perputarannya menyatukan huruf suci dalam pembayangan menjadi  lambang tuhan dan arah ke kanan itulah amrta: air kehidupan.  Ritus ini memberi pembayangan akan jalannya air, bahwa hulu-hilir, tidak serta merta karena ketinggian dan kerendahan, atau di atas atau di bawah, air memiliki langkah memutar. Hidup itu pun dalam keyakinan orang bali adalah putaran. Jantera. Dalam ritus lainnya, dikenal pula dengan sebutan 'nuur', memohon air suci, dilakukan oleh para pemangku, kadang disebut wangsuhpada, kadang disebut banyun cokor. Dan cara memercikannya pun tak sekedar memercikan air, dalam lontar kusuma dewa perilaku memercikan banyun cokor ini terutama kepada manusia," ong tirtha kamandalu, winadahan cacibuk mangga, asing inum ilang mala, ikang sudamala papa klesa, Ong sri we nama swaha"     

Agama air ini memang  sangat tua, menempatkan air sebagai yang suci, sebagai pengurip, pemberi hidup. Bahkan mendorong penciptaan, bahkan kemudian menyelesaikan tugas hidup. Dalam ritus ngaben misalnya, dikenal sebutan tirtha pemanah, penembak dan pengentas. Jadi lahir, hidup dan mati; air ini yang mengitari. Begitu rupa. Jika jelajah dibuka, dan kini dalam kondisi lingkungan hidup yang penuh dengan kerusakan dan keluhan. Maka kembali mempelajari isyarat-isyarat dari ritus air sungguhlah meyakinkan hati bahwa air itu adalah hidup. Tirtha ngaran Amerta. Karena itu, tidaklah mungkin menghindar untuk tidak melakukan pemeliharaan kepada air sang hidup.

(BAGIAN 1. MELIHAT ANAK KECIL BERMAIN HUJAN, cok sawitri, 2015)

No comments:

Post a Comment