Ibu, Tradisi Megalungan CIna

Keluarga ibu saya punya kisah indah dengan perayaan tahun baru Imlek, sebab dahulu kala di desa kelahiran ibu saya, di dekat kaki gunung agung ada toko kopra yang sangat besar. Dan itu mungkin tahun-tahun awal kemerdekaan, ingatan masa kecil ibu saya bahwa jarak dari desa ke pelabuhan, saya perkirakan itu ada di Tulamben; bahwa kapal-kapal menuju Singepur (maksudnya Singapura) dan Makasar membawa kopra. Dan betapa takjubnya saya bahwa saat itu, segala permainan termasuk sepur mini (entah apa bedanya dengan kereta api) dijadikan oleh-oleh disamping kain dan emas singapur; segala permen berkelas, dari cokelat sampai kemudian sutera. Keluarga ibu saya termasuk keluarga saudagar yang bahu membahu bersama keluarga Jen yang menyewa tanah sebagai toko dan gudang kopra di depan rumah.

Ibu saya juga bercerita bahwa bakso, tahu, capcay, babi kecap; segala kecap dan taoco adalah pengajaran masak dari keluarga saudagar nyame kelihan ini, orang bali menyebut orang cina dengan nyame kelihan. Nak cina artinya saudara lebih tua.

Dan ibu saya tidak mengenal Imlek, hanya tahu nak cina patuh (sama) jak nak Bali, megalungan mase; merayakan penghormatana kepada leluhur dan bumi. Itu sebabnya saya sejak kecil mempunyai imaji tentang betapa meriahnya galungan cina itu, dengan makanan, kapal-kapal yang berlayar dan kembali membawa oleh-oleh. Sedemikian eratnya hubungan keluarga ibu saya dengan keluarga cina di desa yang makmur itu, sehingga kakak ibu saya diberi nama kecil Jen, mengikuti nama salah satu putri keluarga saudagar itu. Nah, kisah berlanjut, entah tahun berapa toko dan gudang kopra tak boleh di desa-desa, pelabuhan-pelabuhan tiba-tiba disenyapkan, disatukan ke pelabuhan yang lain. Ibu saya hanya mengherani, kenapa setelah merdeka, semuanya harus ke suatu tempat untuk menjadi saudagar; padahal dahulu, walau di kaki gunung, pelabuhan hanyalah beberapa kilometer saja; dan perekonomian tidaklah tunduk pada kekotaan.

Ibu saya kini berusia melewati usia 90-an lebih, jika Galungan cina tiba, tandanya adalah hujan angin dan ibu saya selalu tersenyum;mengingat legitnya rasa taoco dan enaknya babi kecap serta bau dupa yang meledakan hidung karena harumnya. Selamat datang kemakmuran! Hormat pada leluhur dan bumi! (MINUM KOPI DAN BERSIAP MANDI)

1 comment:


  1. Mbak Sawitri
    saya barusan kemarin dari Sidemen. Juga dengan seorang teman keturunan Cina (dia lahir besar di Jakarta)

    mungkin di hari kedua di Sidemen, saya terpikir, "Oya, Cok Sawitri di bali nya di mana ya?"
    saya terpikir itu karena besoknya mau jalan-jalan ke Kintamani, berkunjung ke keluarga di sana. Siapa tahu saya bisa mampir ke rumah Mbak, walau belum berkenalan, mungkin ada angin apa yang bisa mengantarkan, begitu.. hehe

    setelah pulang, begitu sampai di rumah (di bogor), postingan terbaru ini masuk di email saya.
    wah, saya terpikir kembali, "kok bisa begini" ternyata Mbak di Sidemen ya?

    Sebelumnya saya sudah lihat blog ini, tapi kok ndak terpikir, lupa dan sebagainya.

    Mbak, semoga suatu saat yang tidak terlalu lama, kita bisa ketemuan ya Mbak? ngobrol ngopi.

    ReplyDelete