Kepala Yang Menghamburkan Kupu-kupu



Cerpen
By COK SAWITRI
KEPALA YANG MENGHAMBURKAN KUPU-KUPU


           Pagi terasa menyebalkan, Kramo mengaduk kopinya dengan sembarangan, denting sendoknya terdengar nyaring. Semalaman dirinya tak bisa tidur lelap, beberapakali dirinya harus terjaga dan harus memasukan kepala itu ke dalam tembok.
Ah, kepala sialan itu, selalu menyembul  dari tembok dan seperti kepala terbuat dari karet, kepala itu begitu lentur keluar tanpa membuat retakan ataupun rekahan di tembok kemudian kepala yang seperti dibalut plastik tipis membuka mulutnya lebar-lebar; menganga begitu dalam dan dari nganga mulutnya keluarlah ratusan kupu-kupu, yang berhambur berterbangan...
           Jika kepala itu ditarik, lehernya otomatis mengembang liat seperti karet, memanjang dengan lentur. Kramo hampir setiap malam harus mendorong kepala itu kembali masuk ke dalam tembok bahkan kerap dengan susah payah. Biasanya, dalam semalam kepala itu muncul dua kali saja, tetapi kemarin malam kepala itu ke luar tembok lima kali!

          Kramo mendengus. Hantu kepala itu makin kurang ajar, kemarin sembulannya muncul tepat di depan hidung Kramo yang kebetulan tidur dengan posisi wajah menghadap ke tembok, tentu saja ia terkejut dan sempat melihat dengan jelas saat mulut itu menganga pelan-pelan, lalu mengeluarkan kupu-kupunya. Kramo bahkan sempat meraih kepala itu dan menariknya sekuat tenaga, tetapi leher itu melar lentur mirip karet yang ditarik, melar dan liat. Karena tak bisa ditarik ke luar, Kramo kembali menekan kepala itu ke dalam tembok dengan sekuat tenaga. Hasilnya, ia hampir tak tidur hingga matahari terbit tiba. Kala pun matanya terpejam tetapi pikirannya terus membayangkan wajah itu, wajah hantu kepala yang mengangakan mulutnya itu. Wajah yang dibalut oleh semacam kelamar tipis, seperti lapisan kulit ari binatang yang baru lahir..

          Hm. Pagi ini, Kramo sudah bertekad bulat; sebentar lagi dia akan menemui tukang bangunan di ujung gang;  Mas Gempal namanya. Orang itu kelahiran kampung ini juga. Kramo akan meminta bantuan khusus agar tembok tua rumahnya segera mungkin dapat dibongkar, harus dibongkar! dan diganti batako. Kramo untuk sementara akan kost saja atau menempati bilik di bengkelnya di belokan  Gang sebelah.
          Kramo bersungut-sungut, memutar-mutar terus sendok di dalam gelasnya. Tak habis pikir, bagaimana mungkin neneknya mewariskan rumah ini lengkap dengan hantu kepala itu. Ah, hantu! Hantu kepala!  Sejak kecil Kramo sudah mendengar tentang kisah hantu kepala itu. Hanya saja tak pernah ia mendengar baik dari almarhumah neneknya, kemudian almarhumah bibinya, kalau hantu kepala itu keluar dari tembok lalu mengangakan mulutnya selebar mungkin lalu mengeluarkan kupu-kupu yang berterbangan seperti lebah menyiangi diri,  yang dengan suara gemeresak, berputar-putar memenuhi kamar lalu melesat cepat menubrukan diri mereka secara serempak ke langit-langit rumah yang terbuat dari gedeg bambu !
          Gilanya, setiap hari Kramo pasti menyapu remah-remah sayap kupu-kupu itu. Kramo mendesah, dahinya mengkerut, rambutnya kucel karena terus ditarik jemarinya. Ah, jika itu hantu mengapa ada remah sayap-sayap kupu-kupu itu?

          Kramo melenguh. Buat apa memikirkan apakah itu hantu, apakah itu penghuni dimensi lain, terserah. Kramo sudah kehilangan rasa takut dan getir sejak lama, sejak istrinya kabur dengan salah satu anak buahnya di bengkel, sejak  itu hatinya kehilangan perasaan untuk merasakan yang menakuti dirinya. Rasa kecewa itu sudah menghanguskan rasa khawatirnya. Tetapi kalau tidurnya sampai terganggu, ini soal yang paling menjengkelkan. Bahunya terasa pegal setiap bangun pagi, selalu ada kebas di punggung seperti masuk angin berat.
Diseruputnya kembali isi gelasnya. Pikirannya menerawang, ia juga harus bertanya kepada orang-orang tua yang mengenal neneknya di sekitar kampung ini. Ah, tapi berapa orang tua lagi yang tersisa, yang seusia neneknya?  Kramo mendengus. Dan apa semua tahu kisah hantu kepala itu?
          Kramo menandaskan isi gelasnya. Meraih handuk kecil  dan melilitkannya ke leher. Hari ini, mau tak mau ia harus menemui tukang bangunan, menghitung biaya pergantian tembok itu; terserahlah, yang penting hantu kepala itu tak lagi bermukim di tembok tanah itu.
         "Minimal tujuh juta, Kramo. Biarpun rumahmu itu kecil dengan tiga kamar, tetapi membongkarnya harus hati-hati, itu rumah model tua, mungkin setua kampung ini usainya. Kenapa harus kau bongkar…Itu model rumah majapahit! Itu yang pernah kudengar…"
         Kramo melengak, model Majapahit? Rumah dengan tembok batu bata tanah, dengan jendela-jendela kecil, lalu kisi-kisinya; memang Kramo tahu, rumah itu sudah sangat tua. Tetapi rumah itu juga terlalu kecil pintunya, kalau mau masuk ke dalam rumah Kramo harus sedikit membungkuk. Tetapi di dalam rumah, udara sangat sejuk sebab lantainya masih dari tanah. Kramo semula tak peduli dengan perubahan berbagai rumah disekitarnya. Tetapi kini,ia berpikir bukan karena ingin ikut mode atau membangun lebih besar, bukan. Ia hanya ingin hantu kepala itu pergi dari tembok rumahnya. Tetapi mana mungkin ia bercerita kepada Mas Gempal, tukang bangunan ini  tentang hantu kepala yang berumah di tembok. Ah, tak akan sudi tukangan bangunan ini mengerjakan rumah berhantu. Kalau soal ongkos, rasanya masih dapat jangkau…

"Ah, mau model majapahit, model apa sajalah, tapi lihatlah, rumah itu seperti rumah mini ditengah semua bangunan modern…"
          "Tidak masalah, kau beruntung Kramo. Kau masih punya halaman depan dan belakang, masih ada ladang di belakang walau tak luas. Kalau menurutku, kalau kau ingin rumah baru, bangun di tanah sebelahnya…"
Kramo tertegun. Tapi berapa biayanya…
           "ah, kamu itu sendiri, buatlah bangunan satu bilik dengan dapur dan kamar mandi, yang paling mahal adalah membuat kamar mandi. Kemudian tambahi teras kecil tempat kau menerima kawan-kawan, buatlah semacam balai-balai dari bambu…"
"Berapa kira-kira biayanya?"
            "tidak sampai lima puluh juta, itu sampai ongkos termasuk membeli bahan bangunan.."
Kramo mengerutkan keningnya, lima puluh juta? Itu artinya isi tabungannya akan terkuras habis. Kramo mendengus. Harus ia pikirkan kembali. Rumah warisan itu memang masih kokoh dan sesungguhnya nyaman. Hanya saja; Hantu kepala itu, mengapa harus ke luar tembok setiap malam?

Ah, hingga matahari meninggi Kramo masih setengah melamun, duduk di belakang meja kumelnya. Keempat anak buahnya tengah sibuk menservis motor pelanggan. Kramo berusaha mengingat-ingat pesan neneknya. Tetapi Kramo sejak kecil jarang ke rumah neneknya, sebab almarhum ayahnya tidak suka kepada almarhumah bibinya. Ayah Kramo malah menyewa tanah di kampung sebelah, di sana membuka warung dan akhirnya membeli sepetak tanah yang kini sudah ditempati adik Kramo dan keluarganya. Ketika Kramo tamat STM, neneknya datang menawarkan warungnya kepada Kramo untuk diubah menjadi bengkel,"Itu tanah milikku, aku sudah lama tidak jualan, kau pakailah sebelum diambil oleh orang-orang yang mengira aku sebatangkara…"
            Kramo setuju, ayahnya hanya menghela nafas dan berpesan pendek,"boleh kau menjadikan warung itu bengkel, tetapi jangan tinggal bersama nenekmu…"
            Ketika kawin, Kramo mengontrak dua kamar di gang sebelah, hingga kemudian istrinya kabur lalu berturut-turut  kematian menghantui keluarganya, yang pertama ayahnyalah  meninggal, kemudian menyusul bibinya dan kemudian neneknya yang terakhir ibunya.    

Saat itu, Kramo sudah tidak kuat dengan rasa getir yang membakar hatinya, setiap kali memasuki kamar kostnya, bayangan istrinya kembali berkelebat, akhirnya ia pindah ke rumah tua itu. Awalnya, sungguh menyenangkan, ia seperti kembali menjejakan kaki ke tanah. Tetapi entah mengapa sejak sebulan lalu, hantu kepala itu muncul ditembok, mula-mula Kramo menganggapnya mimpi buruk, namun karena setiap hari kepala itu muncul dan tidak membuat hatinya takut, Kramo memutuskan tak peduli. Tetapi semalam?...Kramo mulai berpikir, mengapa hantu kepala itu rajin ke luar dari sarangnya? Kurang sajen? Apa sajennya? Kramo menguap lebar. Setngah melamun dipandanginya jalan raya. Siapa yang kenal keluarganya di kampung ini? Semua penghuni rumah-rumah di sekitarnya adalah orang-orang baru, kampung yang dahulu jauh dari jangkauan kini sudah berkembang menjadi kota baru bahkan menurut berita koran, tahun depan kampungnya ini akan maju sebagai kabupaten baru!
           Wak Rumanak! Nama itu tiba-tiba melintas di kepala Kramo. Dahulu kepala adat di sini Wak Rumanak, tetapi setelah anak-anaknya bertengkar soal tanah warisan dan bertikai sampai ke pengadilan, Wak Rumanak mengundurkan diri sebagai kepala adat, lelaki uzur itu tak pernah lagi nampak dimana-mana…atau Wak Gambir?...Kramo mengerutkan dahinya, mengerutkan dahinya. Astaga, ternyata penghuni asli kampung ini sungguhlah sedikit, kecuali di beberapa gang. Di jalur gang rumahnya, rasa-rasanya hanya dirinya yang boleh berkata orang kampung sini!
           "Wak…masih ingat sayakah?"
Wak Rumanak mengangkat dagunya, matanya nampak tajam walau alis dan bulu matanya sudah menjadi tipis,"anak siapa kau?"
           "anak Gasing, dari Nenek Gumrih…"
Wak Rumanak mengangkat alisnya,"siapa?"
           "saya Kramo, cucu Nenek Gumrih…"
Akhirnya suara Kramo didengar Wak Rumanak. Wajahnya seketika mengembangkan senyum,"ah, kau rupanya…kemari, duduk ke sini, aku sudah tuli dan lamur!"
          "Wak dengan siapa di sini?"
"Dengan bibimu, anakku yang bungsu. Yang lain sudah kuusir…Biarlah mereka tak lagi menginjakkan kakinya ke sini…"

           Kramo mengangguk. Maklum akan pecah belahnya keluarga Wak Rumanak.
           "Wak…Ada yang mau saya tanyakan, saya ini lahir di kampung lain dan setelah kawin baru kembali ke kampung ini…"
"Oh, kau sekarang kembali ke rumah tuamu?"
          "Iya Wak…"
Wak Rumanak menunduk sejenak, menarik nafas dan mengusapkan telapak tangannya ke wajah,"apa yang kau mau kau tanyakan? Soal tanah-tanah nenekmu?"
           "Bukan Wak…"
"ah, biasanya, setiap kali anak muda, keturunan kampung ini datang padaku pastilah menanyakan soal duduk perkara tanah-tanah…semua orang begitu serakah hendak menjual tanah-tanah warisan keluarganya…"
          "Tidak Wak..Saya tidak akan menjual tanah, lagi pula tanah nenek tak begitu banyak…"
Wak Rumanak menoleh, memastikan pendengarannya,"apa?"
          "Tanah nenek saya, tak banyak Wak, yang tanah warung sudah saya jadikan bengkel, dan ya tanah ladang di belakang rumah itu…itu saja yang diwariskan nenek!"
          Wak Rumanak menghela nafas,"Itu kesalahan bibimu…bibimu masih hidup?"
"Bibi sudah lama meninggal. Kenapa dengan bibi?"
          "Ah, aku masih kepala adat waktu itu. Bibimu itu kawin dengan ponakan nenekmu, ah lupa aku namanya. Dia itu meminta modal kepada nenekmu, lalu menjual tanah yang sekarang jadi kantor camat itu…Nah nenekmu setuju, tanpa memberitahukan kepada ayahmu. Lalu terjadilah pertengkaran hebat saat tanah dijual, uangnya malah dihabiskan oleh suami bibimu yang diam-diam kawin lagi di kampung lain…sejak itu ayahmu pergi meninggalkan rumah tua itu…"

          Kramo mengangguk, ia tahu cerita itu. Tahu sebab mengapa ayahnya tidak suka dengan almarhumah bibi.
"Wak…"
         "Sekarang kau sudah punya anak?"
"saya belum kawin…dahulu sempat, tetapi istrinya saya tidak tahan dengan kehidupan saya…"
Wak Rumanak tersenyum kecil,"Kau masih muda, carilah lagi istri…"
Kramo hanya menyeringai,"Wak…Saya hendak bertanya sesuatu mengenai rumah warisan itu…"
Wak Rumanak mengernyitkan alisnya,"Apa?..."
"Soal rumah itu Wak?" Kramo mengeraskan suaranya. Wak Rumanak mengangguk, meraih tas kulit tua, mengeluarkan gumpalan sirih pinang. Lalu tatapan mata Wak Rumanak lurus ke depan,"Kau bertanya riwayat atau soal?"
          "Riwayat…"

Wak Rumanak mulai melepit-lepit daun sirih memasukannya ke bumbung kayu kecil, lalu menumbuknya pelan-pelan,"Kalau tidak salah saat aku diangkat jadi kepala adat dan orang-orang masih taat kepada adat, aku diwajibkan mempelajari riwayat kampung ini dan riwayat beberapa keluarga. Keluargamu itu garis kakek adalah perambah hutan di seluruh wilayah kampung-kampung ini karena itu gelarnya harimau putih, sedang dari garis nenek…kau adalah keturunan dukun goa, jadi dahulu itu kata orang-orang leluhur nenekmu itu tinggal di goa-goa dekat dengan tebing di seberang bukit sana…"
          Kramo mengangguk. Samar-samar mulai mengingat, Wak Rumanak sambil menumbuk sirihnya melanjutkan ceritanya, "Harimau putih sebenarnya sudah punya istri saat mengawini leluhur nenekmu. Dan memecah keturunan-keturunannya di Kampung tebing dan di Kampung bawah. Ayahmu lahir dari garis istri pertama seharusnya, tetapi kakek bapakmu mengawini pula keponakan dari garis nenekmu dari kampung tebing. Kembali keluargamu dipecah-pecah. Semua keluarga demikian adanya. Nah, kakekmu kembali mengambil garis keluarga nenekmu yang aslinya dukun goa…Itu ditentang sekali oleh seluruh keluarga besar dari keturunan istri pertama, aku masih muda saat itu…tetapi kakekmu itu tetap mengawini nenekmu…Maka putus hubunganlah kakekmu dengan keluarga lain, juga dengan beberapa pecahan keluarga yang di kampung tebing!"
          Kramo hanya mengangguk berusaha mengerti, soal kampung tebing, kampung itu sampai sekarang masih seperti kampung zaman lampau dan dikenal keramat berbeda dengan kampung bawah, tidak jelas dimana awal tanam batang rumah yang pertama, semua telah berubah. Kampung-kampung yang pecah-pecah itulah kini menjadi desa, menjadi kecamatan….

"Wak…"
           Wak Rumanak mencecapkan sirih, matanya mengawang jauh, nampak sekali kerdipannya begitu uzur,"Kau mau menanyakan apa lagi?"
"Wak…" Kramo tersendat, lalu bercerita tentang hantu kepala yang ke luar dari tembok dan membuatnya susah tidur,"Tetapi saya tidak takut Wak…hanya tidur saya terganggu.."
          Wak Rumanak meludahkan sirihnya, seperti menghembus. Menoleh ke arah Kramo dan menatap lama," Nenekmu tak sempat rupanya bercerita apapun padamu…"
          Kramo mengangguk membenarkan.

Wak Rumanak kembali meludah, mulutnya memerah,"Hantu Kepala itu namanya si Tuan Terbang Wangi, menurut kabar itu adalah tumbal yang dihidupkan oleh leluhur nenekmu, yang mewarisinya sebagai anak gadis yang kawin ke luar warga Dukun Goa…"
"Apakah maksudnya…Dan bagaimana cara mengusirnya?"
           "Tak bisa kau mengusirnya, itu akan melekat dalam dirimu…"
"Diriku?"
           "Iya…"
Kramo terdiam,"Saya tak mengerti wak…"
          "Pergilah ke kampung tebing, cari kepala adatnya…pastilah akan memberitahu jalan terbaik bagi dirimu…"

Kramo pun memutuskan untuk ke kampung tebing, menemui kepala adat di sana. Dengan menyebut nama neneknya, orang-orang di kampung yang masih dikeramatkan itu seolah menerima anak yang pulang. Dengan terbata-bata Kramo menceritakan apa yang dialaminya. Hantu kepala yang membuka mulutnya, mengeluarkan kupu-kupu dan meninggalkan remah-remah sayap di lantai tanah.
          "Sudah saatnya kau mandi di pancuran di asal leluhurmu…Kami para orang tua akan menemanimu…"
Kramo menelan ludahnya. Tidak mengerti mengapa semua menatapnya dengan tatapan genting. Namun demi dipahaminya hantu kepala itu, ia pun mengikuti saran para orang tua di kampung tebing. Di tengah malam ia dimandikan di pancuran tua lalu dinyanyikan entah lagunya apa.   Begitu samar lagu itu memasuki telinganya, suara-suara jengkerik dan jeritan binatang dikejauhan membuat hatinya bergetar aneh. Usai mandi, Kramo dituntun memasuki sebuah goa…
          Setelah upacara mandi itu, Kramo kembali ke rumah tuanya, kembali merundukan kepala saat memasuki rumah. Menghidupkan lampu dan kemudian duduk di kursi yang tua, sebentar lagi pagi. Sepanjang hari ia ke luar rumah, meliburkan bengkelnya. Ia pun duduk dan menghidupkan kompor tanahnya yang diletakan di perapian, ia memanasi air di cerek yang dulu digunakan neneknya. Aneh, kompor itu tak menyala malah perapian itu yang menyala, cerek itu melayang dan seakan meletakan dirinya di atas lubang tungku. Kramo mengerutkan dahinya saat melihat gelas melayang, lalu sendok itu menyendok gula dan kopi, menuangkannya ke gelas. Kopi itu diseduh tepat di hadapan Kramo yang tercengang-cengang.
         "apakah kau yang membuat kopi? Menyahutlah?"
Kramo menoleh kiri kanan, tak ada yang menyahut. Lalu tembok itu menyembul, kepala itu muncul menguap lebar; kupu-kupu berhamburan.   Kramo menyeruput kopinya,"Masuklah ke rumahmu, istirahatlah…"
          Kepala itu lenyap, meninggalkan remah-remah sayap kupu yang berhamburan di meja dan lantai rumahnya. Kramo menghela nafas, kini ia dapat memahami seperti apa hidup neneknya, seperti apa lalu pandangan orang-orang di zaman dahulu terhadap keluarga keturunan dukun goa.
"Aku akan tidur…" Kramo berusaha membiasakan dirinya untuk menganggap hantu kepala itu bisa diajak ngobrol. Kramo tidak menanti sahutan, ia melangkah menuju kamar itu. Menatap ke dinding, apakah kepala itu akan menyembul? Semoga tidak, Kramo merebahkan dirinya.

         Dalam kondisi setengah tidur, ia mendengar suara sapu bergerak, hidungnya samar-samar menghirup bau masakan….Dan sayup-sayup ia mendengar suara seperti suara Mas Gempal yang berteriak ketakutan, yang sepertinya berlari dengan menahan kencing, meninggalkan halaman rumahnya sambil berteriak gagap,"hantu…hantu…"

(LATIHAN MEMBUAT CERPEN YANG KEDUA)

No comments:

Post a Comment