Bagi saya, desa Budhakeling begitu dekat di hati; sejak kecil saya tahu, secara spiritual, keluarga saya 'masurya ke para pendeta budha'. Masa kanak saya pun banyak berhubungan dengan keluarga brahmana budha di Budhakeling. Di setiap upacara keluarga, selalu saya akan bertemu dengan mereka; hubungan yang dekat, hampir tanpa batasan, mirip hubungan keluarga.
Meniru leluhur, kakek, ayah-ibu, saya pun otomatis memiliki hubungan persahabatan dengan putra-putri brahmana di budhakeling; Dayu arya, putri tertua Ida Wayan Granoka; yang melanjutkan tradisi kedekatan pergaulan antar keluarga saya dengan keluarga brahmana di Budhakeling; kami berdua kerap membuat pertunjukan, saling bantu dan kadang saling bertukar pendapat dalam berbagai hal, termasuk mengenai ajaran budha dalam tradisi siwa budha.
Saya terbiasa membaca apapun dengan pikiran nakal, termasuk saat membaca Sang Hyang Kamahayanikan: kitab sucinya penganut budha dalam tradisi siwa budha. Namun tulisan Prof Ida Bagus Mantra yang menggugah saya untuk belajar banyak hal mengenai tradisi budha termasuk sejarahnya di Bali. Ibu saya yang banyak mengajarkan tradisi 'mesurya ke budha' dan mengenalkan berbagai hal yang indah dalam upacara jika pendetanya pedande budha termasuk laku spiritualnya dan juga sikap 'budha' yang kadang memang membuat senyum berkembang.
Bagi saya, selalu mengharukan dan hampir pasti membanggakan di hati, jika sedikit demi sedikit saya mulai memahami bagaimana 'kebudhaan' itu dalam tradisi siwa budha. Bagaimana saya merasa sangat beruntung; diizinkan demikian dekat dengan 'mereka' yang menjadikan nirvana sebagai tujuan, dan hubungan kemanusiaan yang penuh kasih. Saya membaca bubuksah-gagakaking, membuat pementasannya dengan dayu arya dengan judul 'Open' bintang tamunya Dean Moss dari amerika. Begitu pula Badan Bahagia, terus Wisudha Gumi: itu semua proses saya memahami pelahan demi pelahan mengenai apa yang tercantum dalam tradisi teks budha di bali. Puncaknya adalah ketika saya berani menulis novel dengan judul Sutasoma; percakapan saya dengan sugi lanus, dengan wayan juniartha; semua sahabat yang dekat dengan saya, memberikan saya ruang yang luas untuk meyakinkan diri kemudian membuat pentas percakapan sunya nirvana; kini serius berdasarkan teks kakawin Sutasoma.
Saya tahu, suatu saat percakapan sunya nirvana ini pastilah akan 'pulang' ke budhakeling, sebab pola geraknya adalah warisan dari Dang Hyang Astapaka, penata tarinya adalah keturunannya, Dayu Arya; saya bahagia, nanti tanggal 19 oktober, kami akan pentas di sana; sehari menjelang upacara dwijati seorang pendeta budha di griya djelantik budhakeling. Bayangkan, saya akan lebih gugup, lebih demam panggung, ketika ayat demi ayat dibacakan dengan metrum wirat nedeng. Begitu pula dayu arya, kami berdua anak nakal dalam tradisi budha yang disiplin tapi penuh humor. Tapi saya percaya, kami akan pentas dengan kebahagiaan; sebab semua pendeta, keluarga brahmana budha itu akan menonton kami, memberi cadaan, kritik bahkan juga teguran. Sebab kami semua anak-anak yang jarang pulang, yang sesekali ketika pulang selalu menghebohkan semua becingah, halaman rumah yang luas menjadi porak poranda oleh hujan bunga, yang sudah barang tentu susah payah mekarnya di bulan-bulan seperti sekarang ini.
No comments:
Post a Comment