Epik dari Putu Satria Kusuma di Sound Garden Denpasar


Catatan pementasan TEATER KAMPOENG BANYOENING BULELENG

Epik dari PUTU SATRIA DI SOUNDGARDEN


Akhirnya 30 November 2013, dimulai tepat pukul 20.00, SoundGarden Denpasar di bawah pimpinan Gung Anom berhasil menghadirkan Sukreni Gadis Bali, dalam pentas teater besutan Putu Satria Kusuma.  Sukreni Gadis Bali adalah salah satu karya Panji Tisna,diterbitkan tahun 1936, konon pada mulanya berbahasa Bali. Di tahun 2013 saat Buleleng, Bali Utara mulai tergugah untuk membuat festival seni dikenal sebagai BUlfest, Putu Satria merasa tidak nyaman, jika sebagai orang Buleleng tetapi tidak membaca karya sastra orang Buleleng. Maka terpilihlah Sukreni Gadis Bali untuk dijadikan pentas teater; peralihan dari teks ke konteks ini kemudian mengalami perubahan muatan; ketika di Bulfest Putu masih merasa harus dalam irama ketika drama modern memasuki Bali melalui singaraja, kala itu di era Belanda masih disebut tonil sebelum disebut sandiwara. Ketika ditampilkan di Sound Garden, dalam program Festival Teater bulanan penuh warna ini, Putu mendorong pentas Sukreni Gadis Bali seperti yang disebut oleh teorinya Brecht,yakni epik suatu antitesis terhadap gaya dramatiknya Aristoteles.

Brecht berpendapat kurang lebih (saya tidak ingat secaradetail) bahwa tujuan utama pertunjukan teater tidaklah sebagai katarsis, tetapi menyadarkan orang-orang yang terlibat di dalamnya,  para pemeran dan penonton mengenai kondisi sosial masyarakat tempat mereka hidup yang niscaya selalu berubah. Nasib manusia, situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya, bukanlah sesuatu yang sudah terberi,  itu semua dalam keyakinan Brecht merupakan suatu konstruksi, buatan manusia, dan karena itu kalau manusia mau,ia dapat mengubahnya. 

Dalam pentas Putu Satria Kusuma kali ini, berulangkali Putu menyatakan di belakang panggung bagaimana mengembalikan ideology tujuanpementasan teater itu dan menjadikan proses dan pementasan teater itu sebagaiupacara. Dan dibentuknya kemudian adalah suatu upaya membawa teks ke dalam konteks kekinian. Kisah Sukreni Gadis Bali adalah kisah klasik, melihat tahun penerbitannya yakni tahun 1936, dapat diperkirakan situasi dan kondisi apa yangterjadi di Bali saat itu ketika Panji Tisna menulis. Isu kelas dalam masyarakat, bahwa yang diuntungkan di era transisi dari era penjajahan ke era kemerdekaan itu tetaplah yang memiliki kekuasaan dan yang dekat kekuasaan;tokoh ibu dan Gusti Tusan, mantri polisi yang dalam situasi kondisi saat itu teramat ditakuti tokoh antagonis yang dalam ramuan pentas gaya lama akan menjadi ‘alat’ sutradara menimbulkan daya cekam dan simpati, empati kepada tokoh sukreni, Ida Gde Suamba, serta tokoh abu-abu yang seorang anak jadah,hasil pemerkosaan, yang didorong tragedik ketika membunuh ayah kandungnya sendiri, tanpa ia ketahui siapa ayah kandungnya, sebaliknya tokoh ibu tak tahu jika Sukreni adalah putrinya sendiri, dan tidak tergugah ketika tahu bahwa gadis yang diumpannya untuk kekuasaan adalah putrinya sendiri yang ditinggalkannya di desa asalnya; desa manggis Karangasem.

Pentas yang hanya berdurasi 40 menit, dengan pengaturan cahaya yang belum maksimal, namun Putu Satria Kusuma mensiasati benar kondisi panggung Sound Garden yang memang relatif kecil. Dari awal pentas dibuka; Putu benar-benar memanfaatkan daya siasat dari memkomposisi semua pemain dalam titik-titik blocking yang rawan, dalam diam dan jika para pemain tidak disiplin karena dekat dengan penonton maka fundamen awal pentas itu akan keropos. Putu berhasil berkat sebelumnya menerapkan keberanian memecat pemain yang tidak disiplin,maka adegan pembuka ini terlewati dengan penyalaan lampu yang jelas nampak terburu-buru, percakapan antara Negari dengan pelanggan, lalu monolog-monolog yang dimainkan oleh seluruh pemain; memberi warna yang menjelaskan posisi epik dimana teks itu dijaga putu sebagai narasi dalam pertunjukan, dengan cerdas mensiasati segala ketidakmampuan memindahkan teks ke dalam konteks pertunjukan. Sebuah novel dibawa ke pentas teater tidaklah mudah. Maka Putu harus utuh menyajikan kisah Sukreni Gadis Bali. Yang paling menarik adalah figur  Ida GdeSuamba, orang kaya pemilik kebun dan diisyaratkan kaya raya, yang menjadi idola para gadis itu, tidak dimunculkan,namun terasa benar justru menjadi tokoh yang konteks mewakili kekinian; tokoh yang memiliki uang, selalu berjarak dengan sekitarnya, dan penguasa adalah centengnya pengusaha.

Jalinan yang menempatkan Putu tengah menggelar epik adalah  ketika Sukreni sebagai teks gadis cantik, diirikan Negari, diincar oleh kaum hidung belang, harus mewakili situasi kondisi saat ini, situasi kondisi Bali;inilah yang kerap disebut bagaimana membawa bentuk (form) ke dalam pola gerak dan narasi bergerak menjauhkan situasi kondisi kelampauan teks (kisah sukreni versi novel) bergerak ke dalam tafsir putu, dan penonton digugah untuk multi menghayati, merasakan, siapa sukreni itu, yang merasa dirinya adalah kintamani,besakih…hutan di jembrana, seluruh pesona bali yang kini menjadi perebutan kelas-kelas penguasa dan pengusaha ini dikoreo dengan khas oleh Putu, dan emosi dijaga untuk tidak menjadi nyinyir. Kemudian figur Gusti Tusan dan Ibu, Negari,dan kakak lelakinya, secara potensi sebagai pemain mereka bertiga bagus,memakai pendekatan konservatif; vokal, kesadaran ruang, pengalaman menjaga tempo permainan, serta taat pada dialog, ketiganya sangat kuat dan justru Putukali ini nampak terjebak untuk menjaga teks itu utuh sebagai tutur dan nyarisjatuh nyinyir ketika Gusti Tusan menuntut balas budi atas kemurahan hatinya kewarung milik tokoh ibu, meminta putri si ibu untuk dikawini. Dan tanpa harus menebak kedatangan Sukreni menjadi bagian adegan yang hampir mementahkan bangunan epik yang tengah dibangun oleh Putu, sukurnya ketika adegan pemerkosaan, gergaji mesin dan kehadiran anak jadah itu dengan digayuti plastik menjaga epik ini terjaga, membawa pada kalam Brecht, bahwa sekalipun ada satu figure tragedik dalam suatu pentas, namun situasi kondisi yang diciptakan itu haruslah tidak membuat penonton larut emosinya, namun penonton harus berpikir, memilih,memilah, benarkah Bali tengah dijual oleh ibu kandungnya sendiri, benarkah parakelas atas bali pengusaha dan penguasa tengah memperkosa Bali itu? benarkah situasi kondisi bali dari alam sampai kemacetan adalah situasi dan kondisi yang diciptakan? Itu semua bukan ciptaan para dewa. Dan artinya dapat dirubah, makaepik putu berharap akan adaa perubahan.

Sound Garden tahun 2013 ini telah memulai suatu tahap penting dalam ketidakmerdekaan berbagai ruang publik di bali dengan membuka ruang pentas teater, dan benar estetika itu adalah personal, namun seni pertunjukan selalu akan menjadi penggugah kesadaran atau dibiarkan menjadi bagian budaya massa, tidak menyadari tujuannya. Dan Sound Garden dengan hati-hati mengawali festival teaternya dengan mengundang Putu Satria Kusuma,dan itu berhasil; sebuah epik telah dihadirkan.

(ampura, bli putu, terpaksa tiang menulis, sebab kitasama-sama tahu, tak akan ada yang menulis kritik teater, dimedia manapun diBali ini)


(by. cok sawitri/2013)

No comments:

Post a Comment