Cerita Serial: Kalki Bagian 5

Cerita Serial: Kalki
Bagian 5



    "Ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"

    Berapa langkah diperlukan untuk jarak satu kilometer jalan? Apabila itu menanjak ataukah menurun, terjal ataukah berbelok-belok, kaum gunung harus memahami hal itu. Berapa tua sebatang pohon, berapa tua tumpukan batu, semua jejak itu harus menjadi bagian kehidupan kaum gunung.
    Larung melangkah menaiki bebukitan, entah berapa langkah telah dia ayunkan. Entah apa yang akan terjadi lagi, perang gerilya ataukah teroris akan kembali beraksi? Separatis mana lagi yang akan dapat dibeli oleh pihak manapun di muka bumi ini? Ini zaman dihitungan yang begitu susah membayangkan bila dahulu kala di abad 20 ada negara-negara berkuasa penuh diseluruh permukaan bumi, ada perarturan-perarturan yang mengatur setiap perhubungan-perhubungan, yang kemudian luluh lantak oleh berbagai kejadian; dimulai dengan satu negara pecah dan disusul yang lainnya; seperti gelas dibanting; berkeping-keping lalu teroris dan separatis dengan berbagai alasan saling menghantam, menceraiberaikan berbagai hal.
    Namun tak ada lagi pusat kekuasaan, tak ada lagi presiden ataukah raja, tak ada tokoh-tokoh lintas yang berpengaruh. Kaum historian dan para peramal berusaha membangun mimpi akan masa depan manusia di Bumi? Namun melewati seabad ini agaknya perkauman-perkauman, demarkasi-demarkasi yang bukan berdasarkan besaran wilayah dianggap paling damai dan membuat semua kaum dan individu terbebaskan oleh birokrasi dan korupsi yang membelit bumi beratus tahun. Kaum politician berupaya mengubah cara berpikir, menguasai kota-kota dan membangun solidaritas mirip keyakinan akan spiritual…
    Di belokan bukit, diantara lebatnya hutan, Larung berdiri tegak, tabletnya menyala. Kaum Nelayan telah mengirim kabar yang mendebarkan hati, akan ada kekacauan besar. Di dermaga kota dalam garis khatulistiwa, bekas negara kepulauan yang hancur karena korupsi disinyalir ada pengiriman senjata yang diterima oleh kelompok-kelompok bayaran, entah faksi mana yang bermain di area Kaum Perkotaan di saat Kaum Perkotaan tengah melakukan ritual mereka; mengkampanyekan indahnya bernegara dalam demokrasi.
    Larung tersenyum sambil menatap layar tabletnya, telinganya menangkap gemeresak langkah-langkah kaki yang mendekatinya.
    "Seperti tak berpenjaga, tetapi tak tertembus rupanya, Kaum Pegunungan di seantero bumi telah mencapai pemantapan…?"
    Larung menoleh ke arah kanan, dari balik semak-semak bermunculan orang-orang dengan mantel berjuntai dengan kerudung, yang bicara tak lain Panda Gasing, utusan kaum putih, yang tak asing wajahnya, wajah yang cukup populer.
    "Sang Penyanyi masih dalam perawatan…"
    "Kami tahu hal itu, keyakinan tetaplah keyakinan, kelak Kalki akan tiba…"
    "Kekacauan telah dimulai…di sudut area kota, empat panggung kampanye mereka rubuh oleh tembakan laser…" lanjut yang lain, menimpali ucapan Panda Gasing, wajah yang begitu misterius dibalik kerudung.
    "Secepat itukah kejadiannya?" Larung menyela dengan gumam tak yakin, mengerutkan dahinya, apakah Kaum Mayian mulai malas mengup-date pemberitaan? Ataukah ada kekuatan lain menguasai dunia maya?
    "Kami tadi melintasi area kota dan kami menumpang kereta-kereta ke demarkasi utara, dari terminal itu televisi-televisi memberitakan adanya kekacauan…"
    "Lalu tujuan kalian ingin bertemu di bukit pemuja ini, dengan keperluan apakah denganku?"
    "Izinkan pemimpin kami menemui Sang Guru…"
    Larung melengak, pemimpin kaum putih? Benarkah kini mereka ada satu pemimpin? Dalam riwayatnya, berbagai agama satu sama lain merasa lebih unggul, belum lagi sekte dan berbagai kepercayaan, lalu kaum spiritual, semuanya yang merasa hidup untuk kebaikan atas nama keyakinan menyatukan diri sebagai kaum putih, yang menentukan sikap mereka tak memiliki markas, tetapi hidup menyebar disemua kaum, dengan kesetiaan yang tak terduga kepada semua garis keyakinan mereka. Kaum putih sulit dipercaya, Panda Gasing, tokoh yang tak terduga, riwayatnya jelas, dia berasal dari satu agama garis keras, sejak dahulu kala menjadi bagian terpenting munculnya faksi fundamentalis.
Larung tersenyum, "siapa pemimpin kaum putih? Apakah mungkin ada satu pemimpin bagi kaum putih?" Tatapan mata Larung begitu menyelidik
    Panda Gasing terkekeh, "kewaspadaan kaum gunung sungguh menakjubkan…kami telah memiliki kini satu pemimpin…"
    "Siapa? Itu artinya kalian akan memerlukan markas…Mungkinkah tradisi-tradisi keyakinan ada dalam satu area? Tanpa berbenturan…?"
    "Itu urusan internal kami, yang pasti era kaum putih telah dimulai…"
    "Siapakah?"
    Larung memastikan arah angin berdesir darimana, belum tentu Sang Penyanyi satu faksi dengan Panda Gasing, dan belum tentu Panda Gasing datang sebagai seorang kawan.
    "Kami menggunakan kepemimpinan bergiliran…era yang sekarang dipimpin oleh Patik Gurun!"
    Larung mengatupkan gerahamnya, mengangguk pelan. Diplomasi adalah diplomasi, tetapi mempercayai informasi tidaklah mudah di zaman seperti ini.
    "Akan kami sampaikan, dan kelak melalui jalur mayian akan kami sampaikan kabar…"
    "Jangan melalui kaum mayian, kami akan memberikanmu link kaum putih, faksi kami…"
    Larung mengangguk. Memperhatikan layar tabletnya,"link kalian telah masuk," gumam Larung dengan senyum. Panda Gasing mengangguk lalu berpamitan diikuti oleh orang-orang bermantel dengan juntai, kerudung yang mengibaskan misteri.
    Sang Penyanyi, siapakah sebenarnya yang menyerang dia? Larung sungguh mulai merasakan pori-porinya mengembang. Sang Guru telah mengingatkan bahwa mengobati Sang Penyanyi dan membiarkannya bermukim di kampung kaum pegunungan akan memancing perhatian beberapa faksi dan kaum yang  apapun motivnya adalah yang berseberangan dengan tujuan Sang Penyanyi, yakni bumi diselamatkan dikembalikan dalam tata krama bernegara.
    Siul panjang burung elang terdengar, Larung melangkah menuruni bebukitan. Dari berbagai arah semak bermuncul prajurit kaum pegunungan, "mereka hanya lima orang, kami buntuti hingga terminal utara…" Laporan prajurit pemburu hanya ditanggapi anggukan oleh Larung.
    Lalu para prajurit itu menghilang kembali di balik semak-semak. Larung terus melangkah seolah sendirian di lorong jalan tanah bebukitan yang dilebati pohon-pohon besar. Ada seratus murid utama yang dapat diajak berunding, namun hanya dua puluh yang boleh mengambil keputusan. Markas Kaum Pegunungan harus diamankan lebih ketat selama Sang Penyanyi di rawat di area kaum Gunung.
    "Tak ada yang tahu, siapa sebenarnya Sang Penyanyi ini…"
    "Orang-orang yang menghantarkannya, membisu dalam meditasi di depan kamar perawatan, menolak makan dan minum…"
    "Informasi kaum mayian pun sedikit sekali…"
    "Sepertinya, tak akan ada yang tahu, siapa dia…"
    Larung menghela nafas, percakapan dalam pertemuan kemarin malam, masing terekam bagus dalam ingatannya. Hampir semua merasakan, Sang Penyanyi ini adalah figur yang misterius, menurut informasi dari kaum pegunungan di berbagai wilayah di permukaan bumi, mengatakan, pernah mendengar nyanyian mengenai Kalki itu…Namun mereka tak begitu peduli, sebab banyak pengamen berkeliaran di semua demarkasi…
    Penanda itu kini garis lintang, garis khatulistiwa, daratan, lautan, pulau, entahlah, tak pasti untuk memahami, semua ingin membaur, peta-peta tinggal tanda, pembatas kekuasaan telah lama lenyap. Alamat-alamat menggunakan signal dari markas-markas kaum-kaum.
    Larung melangkah memasuki jalan perkampungan. Barisan ladang jagung, barisan sawah-sawah, kebun buah-buah, kolam-kolam ikan, kandang ayam, babi, sapi, kubangan kerbau bahkan penangkaran-penangkaran berbagai binatang telah berabad dilakukan oleh kaum gunung. Kaum Gunung tak takut kehabisan makanan, semua bekerja sesuai dengan keahlian dan melatihkan keterampilan di balai-balai pendidikan, namun di malam hari, semua mendapatkan pelatihan keprajuritan dan doktrin kesetiaan, tata krama hidup di zaman yang tak terduga.
    Kereta-kereta pengangkut barang mulai nampak, truk-truk kecil bersiliran, gudang-gudang pengepakan nampak di sana-sini dan tentu saja bangunan-bangunan pendingin makanan ada di semua rumah. Kaum dimana pun didunia kini selalu harus menyediakan diri mereka stok makanan, kerusuhan setiap saat dapat terjadi, dan disaat seperti itu makanan menjadi sangat sulit dicari.
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Larung terus melangkah memasuki kerimbunan ladang jagung, menghindari siliran truk dan kereta, dia harus mencapai pusat perkampungan dengan menggunakan jalan menerabas. Nyanyian itu terdengar lagi, sayup tetapi. Ah, itu mungkin gaung ingatan. Bukankah Sang Penyanyi tengah dirawat antara hidup dan mati?
    Pondok diujung perkebunan Jagung, luasnya enam are, asap mengepul dari perapian. Larung mendengar kokok ayam dan embikan kambing. Melalui jalan belakang Larung memasuki pondok ujung perkebunan, pondok milik Kembang Gaduh, salah satu murid utama yang memiliki keahlian membuat tepung.
    "Salaam…."
    "Kau Larung? Kemarilah aku di dapur, seisi rumah sedang ke pasar…"
    Larung menuju dapur Kembang Gaduh, pondok yang terpisah dari pondok utama. Kembang Gaduh nampak tengah mengaduk sesuatu dalam kuali.
    "Wah, ada bubur jagung…" Larung menyerangai dengan mata berkedip. Kembang gaduh tertawa bangga, "Makanya, kau seharusnya segera kawin, jadi pondokmu itu akan terus mengepulkan asap…"
    Larung tertawa, memperhatikan gantungan di atas tungku yang penuh dengan daging-daging yang diasapi. Mengeringkan dengan cara mengasapi lebih aman dibandingkan menjemur, sebab cuaca sulit diduga. Hujan dapat turun semau hatinya dan kadang panas berhari-hari terjadi dengan angin yang menderas hingga semua tanaman tertutupi debu tipis.
    "Kau pergi ke bukit?"
    "Iya…" Larung menuju sebuah rak, mengambil satu mug dan mencari cerek air, menuangkan mulutnya ke atas mug, "kau minum air sembung?"
    "Ya…" Larung menegak isi mug dengan lahap. Rasa sembung yang pahit namun gurih terasa merayap ke dalam seluruh urat tubuhnya.
    "Utusan kaum putih…"
    Kembang Gaduh mengangsurkan satu mangkuk bubur, dan mengajak Larung pindah duduk di meja makan, tudung saji diangkat, daging dendeng, daging kuah, sayur daun yang membuat perut Larung menggeliat merasakan rasa lapar.
    Dapur yang luas, meja makan yang nyaman. Isi dapur yang lengkap. Larung tersenyum lebar dan mulai menyuap bubur jagung dan mengambil beberapa potong dendeng.
    "Siapa yang diutus mereka?"
    "Panda Gasing…"
    "Faksi gurun?" Kembang Gaduh tersenyum, "sejak lama faksi mereka tidak jelas kemana berpihak, bahkan kaum nelayan pernah memergoki mereka menyelundupkan bahan-bahan peledak. Laksamana Borus pernah menyampaikan langsung kepadaku saat aku bertugas mengawasi kesepakatan jual beli makanan dengan mereka…"
    "Kaum Putih memang tak terduga…"
    "Panda Gasing itu licin seperti belut sungai di musim badai…" Kembang Gaduh terkekeh ringan, "tetapi kali ini tentunya faksi gurun berhitung dengan cermat, jika memang Sang Penyanyi satu faksi dengan mereka, tentu mereka langsung memasuki perkampungan dan menengok Sang Penyanyi…"
    Larung mengangguk, "mereka menduga-duga jejak terakhir Sang Penyanyi, namun tadi mereka hanya menyampaikan keinginan bahwa pemimpin kaum putih ingin bertemu dengan guru kita…"
    "ha? Aneh sekali, mereka punya pemimpin?"
    "Mereka bilang internal mereka menyepakati ada pergiliran kepemimpinan…"
    Kembang Gaduh mengerutkan dahinya, "kaum putih tersebar di semua kaum, dan semua masalah mereka kadang tak jelas…"
    "Aku akan menyampaikan pada guru permintaan faksi gurun kaum putih itu, namun tentu saja harus ada penjelasan yang lebih strategis…"
    Kembang Gaduh, "sebaiknya kamu turun gunung, masuki kaum kota yang ada link dengan faksi gurun, dengarkan apa yang sebenarnya terjadi, dan kini saat yang tepat, kaum kota tengah mengkampanyekan impian mereka…"
    "Kekacauan sudah terjadi di beberapa titik signal area kota…"
    "itu ulah faksi kaum kota…tidak usah khawatir…"
    "Menurutmu, apakah para pengawal Sang Penyanyi dapat dipercaya…?"
    Kembang Gaduh tersenyum lebar, " mereka diawasi dengan cermat oleh Elang Sabit"
    "Mereka masih membisu…"
    "itu sikap umumnya kaum spiritual…riwayat mereka dahulu menyebabkan sikap mereka sangat tertutup.."
    Panda Gasing bukan kaum putih sembarang kaum putih, dalam riwayatnya, dia keturunan salah satu pemimpin agama yang memiliki pengikut di seluruh dunia, disaat dunia dilanda kekacauan,  Faksi gurun masih berkutat dengan tafsir keyakinan mereka yang super fanatic lalu tercengang saat di semua wilayah tak hanya kaum penguasa yang menghabisi mereka namun juga semua kaum. Mereka menarik diri menjauhi pergaulan dan melakukan gerilya dan baru muncul ketika terjadi jeda perdamaian oleh bencana cuaca; mereka melakukan proses negosiasi dengan jaringan kaum putih, walau demikian, faksi gurun selalu mengalami hubungan pasang surut dengan semua faksi dalam perkauman kaum putih.
    "Faksi gurun memiliki kedekatan dengan kaum pedagang, dan mereka memiliki banyak asset kekayaan yang membuat mereka dapat membeli di seluruh dunia area-area yang tidak dapat mereka sebut markas tetapi sebenarnya mirip dengan bunker, dari situlah diduga gerakan mereka dilakukan. Tetapi tentu saja mereka tak lagi bisa mengumbar keyakinan mereka, klaim kebenaran atas keyakinan mereka sudah lama tak lagi dapat dijadikan senjata…"
    "Bahkan kita sekarang sudah tak tahu berapa kaum telah terbentuk di seluruh dunia, kampus-kampus klasik tak dapat dijadikan rujukan apakah ada kaum baru yang mengajukan anggotanya untuk memasuki bangku keilmuan klasik…"
    Kembang Gaduh mengakhiri kunyahannya, "beberapa bekas bandara di dunia itu sekarang menjadi demarkasi berbagai kaum, tetapi beberapa secara pengelolaan jatuhnya pada kaum kota dan kaum dagang….itu pangkal sebabnya apabila terjadi kembalinya ketegangan…"
    "Bukankah bandara bukan lagi tujuan favorit dalam melakukan perjalanan?"
    "Tetap utama dan tercepat, melalui laut, beberapa wilayah laut tidak ada yang mau mengamankan, faksi dalam kaum nelayan tidak memiliki kemauan untuk memiliki jaringan dalam mengelola keamanan…"
    "Borus sangat dekat dengan laksamana laut Utara…"
    "hanya karena Borus dapat memasok jagung dan buah ke wilayah kampung mereka, jika tidak, mereka sama sekali tak bertegur sapa sekalipun dalam link yang sama…"
    Larung mengangguk, meraih kembali satu potong dendeng. Suara kereta terdengar di kejauhan, tampaknya istri dan anak-anak Kembang Gaduh telah kembali dari pasar, "aku harus pergi…" Ucap Larung dengan singkat, Kembang Gaduh mengangguk pelan. Tata krama prajurit kaum gunung, tak bertemu dengan keluarga saudara sekaum bila mengurus pekerjaan kaum. Dalam sekejap larung telah lenyap dibalik kerimbunan ladang-ladang jagung.
    "Hoooo……hoooo" Suara perempuan menghentikan laju kuda terdengar begitu nyaring, melengking seolah menyaingi lengking siul burung-burung elang. Sayup Larung melangkah, kembali mendengar nyanyain itu, "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Larung menghela nafas, menghentikan langkah, memejamkan mata, mengaktifkan pendengarannya,"hayolah, bernyannyilah kembali, akan kucari dimana sebenarnya letak asalmu…"
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Lalu nampak tersentak, wajahnya pucat pasi, dengan menghentak Larung melayang, tubuhnya melayang cepat di atas pohon-pohon jagung…..

(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment