Men Ami Disembunyikan Wong Samar....


Sudah jam Sembilan!

    Ini sudah siang, tetapi toko kecil Men Ami belum buka. Biasanya, jam lima pagi sudah dibuka. Kemana Men Ami? Kenapa warungnya tutup tanpa pengumuman? Jika ada upacara atau acara keluarga, sehari sebelumnya biasanya Men Ami sudah bercerita. Beberapa orang yang gagal berbelanja dengan langkah ringan memasuki halaman rumah Men Ami dan bertanya,   "Pak, Men Ami kemana?"

    Pan Ami, suami Men Ami nampak tertegun, balik bertanya "kemana ya?" tanyanya dengan heran dan mulai mengerutkan dahi, membuat orang-orang yang bertanya seketika menyengirkan mulut. Pan Ami dan Men Ami adalah sepasang manula yang memang sejak muda dikenal lugu dan polos; hidupnya baik-baik, semua anaknya berhasil. Tidak hanya memberi cucu tetapi juga kenyamanan hati.

    Men Ami sejak tiga puluh enam tahun yang lalu, sudah  membuka warung disamping kiri pintu depan rumahnya, sedang suaminya petani yang tekun; pemilik ladang yang tak pernah kedengaran mengeluh.

    Pan Ami memang baru tersentak oleh kenyataan, yang dipikirkannya sejak tadi, ketika orang menanyakan istrinya, istrinya tengah ke pasar membeli barang-barang jualan untuk warungnya! Dengan dahi berkerut Pan Ami berusaha mengingat-ingat, bukankah tadi istrinya jam empat sudah mandi dan berpakaian, lalu pamitan mengatakan hendak jalan-jalan?

    Astaga! Dan saat berpakaian, istrinya mengeluhkan kalau kepalanya agak sakit dan ingin berolahraga.
Pan Ami segera melangkah ke luar rumah, melangkah cepat ke rumah saudara sepupunya, "De, istriku ada di situ?"

    Made Gemuh yang tengah membersihkan halaman rumahnya, mendongak, "tak ada, tak kulihat sejak pagi. Mungkin ke tokonya Men Harum…"

    Pan Ami mengangguk kecil, oh iya, bukankah istrinya senang sekali singgah ke toko keponakannya itu, sebab di situ ada anak-anaknya Harum, yang usianya masih kecil-kecil. Dengan langkah cepat Pan Ami menuju tokonya Men Harum, dan jawaban menantu dari ponakannya itu, "Ga ada Pak, ibu ga ada kemari…"

    Rasa meriang mulai terasa di bahu Pan Ami, kira-kira kemana istrinya?

    Hari makin siang. Apakah masih di pasar? Jangan-jangan istrinya pingsan sebab tadi mengeluh sakit kepala. Pan Ami segera menelpon anaknya yang sulung, menceritakan keanehan yang terjadi. Lalu menelpon saudara-saudara istrinya, tak berapa lama menungu, rumah Pan Ami telah dipenuhi keluarga baik dari pihaknya maupun dari pihak istrinya! Semua berdatangan dengan cepat dan tergopoh dengan pandangan penuh tanya. Pan Ami dengan suara kering menceritakan runutan kegiatan istrinya di pagi tadi yang diingatnya dan kini istrinya tak tentu rimbanya.

    Anaknya yang sulung, Putu Ami, akhirnya tiba lengkap dengan suami dan tiga cucunya, yang semua masih memakai baju seragam sekolah. Ketiga cucunya langsung terisak, "dadong kenapa?" Tangis tertahan campuran ketakutan dan rasa cemas, segera menular seperti penyakit flu, membuat semua hidung segera tersumbat, mata berair, semua nampak berkaca-kaca menahan tangis kekhawatiran. Sedang anak Pan Ami yang kedua tiba belakangan juga disertai istri dan dua anak, segera memasuki rumah dengan suara-suara keras, berusaha mengendalikan kecemasan hatinya yang seperti susah dikendalikan.
    "Sudah, jangan menangis. Kita cari ke pasar, yang lain melapor ke polisi…"
    "Ke Polisi?"
    "Iya, polisi segera dilapori. Ini zaman edan, Meme sudah tua, jangan menunda, tak ada ruginya melapor!"
    "ke balian saja…"
    "Ke balian juga!"

    Akhirnya, ada yang melapor ke polisi, ke polsek terdekat. Lalu yang lain pergi ke pasar, tak ada yang melihat Men Ami di pasar, pemilik toko tempat Men Ami langganan pasokan barang dagangan dengan yakin mengatakan, "tak ada, ibumu kemari…"

    Pak Polisi yang menerima laporan tentu saja ingat pada Men Ami. Pemilik warung di jalan belokan desa, keluarga yang ramah, tenang dan damai; Segera polisi mencatat laporan itu dan berjanji akan menyusuri tempat-tempat yang mungkin dikunjungi oleh Men Ami.

    Memasuki jam satu siang, belum juga ada kabar; di pasar, di sawah, di ladang, di rumah sepupu, di rumah tetangga, semua mengatakan, tidak melihat Men Ami. Bulat tekad semua keluarga mencari Balian, "sambil jalan, kita beli canang…" Adik Men Ami, yang baru tiba dari kota Denpasar segera memimpin para ipar perempuan dan memanggil seorang keponakan untuk menyetir mobi, "Di desa sebelah, ada balian yang lumayan bagus…"

    Pan Ami tetap diam di sudut di teras, diam berpikir bolak-balik, tatapannya kosong ke punggung  para cucu, yang duduk berbaris di undakan teras; anak, menantu, cucu, ipar, adik, kakak; semua sudah datang. Para tetangga, kelian banjar dan juga polisi!

    Pan Ami berusaha terus mengingat-ingat, tetapi semua ingatannya seakan berhenti pada satu ingatan; tidak ada sesuatu yang aneh pada istrinya! Hanya keluhan sakit kepala! Istrinya itu terbiasa ke luar rumah di remang pagi, karena akan ke pasar membeli dagangan lalu membuka warung…

***

    Balian itu bernama Jro Gede Sekar, seorang lelaki setengah baya dengan tato di kedua lengannya yang berotot. Dahulunya, saat Jro Gede Sekar masih remaja dikenal nakal dan menjengkelkan di seantero desa sebagai tukang mabuk dan tukang kelahi! Suatu ketika, Jro Gede Sekar jatuh terpelanting ke jurang karena ngebut dalam keadaan mabuk; semua orang mengira Jro Gede Sekar mati saat itu, tetapi ternyata hanya motornya yang remuk, dianya tetap segar bugar dan beberapa bulan kemudian Jro Gede Sekar telah dikenal sebagai Balian sakti.

    Kisah drastis yang dialami oleh Jro Gede Sekar itui selalu menjadi bumbu pengenal, siapa balian sakti itu, yang membuat orang-orang yang mencari alternatif pengobatan menjadi takjub dan tersugesti untuk percaya penuh, "sudah banyak yang sembuh! Dan bahkan banyak pejabat minta jimat pada Jro Gede Sekar…Beliau itu memuja Betari Ayu Yeh Mabyah, penguasa aliran sungai dan jurang diseputaran aliran yang menuju pantai…"

    Siang itu, Jro Gede Sekar dengan tatapan penuh percaya diri mempersilahkan rombongan keluarga Men Ami duduk di amben rumahnya, lalu dengan sikap diam yang nyaris memberi kesan tak peduli, seolah tak begitu serius mendengarkan keluh kesah keluarga Men Ami, yang disampaikan oleh Men Ayu, adik ipar tertua dari Pan Ami, tentu, dengan suara bercampur tangis.
    "Iya…ya, sabar. Sekarang tiang akan memohon kepada sasuhunan tiang, semoga beliau mau kodal.." Lalu dengan sigap seorang lelaki remaja, pelayan sang balian mengatur persembahan di sebuah meja berupa canang sari, beras kopi serta satu kotak dupa; di kamar suci yang letaknya tak jauh dari tempat rombongan Men Ami duduk. Tak lama kemudian Jro Gede Sekar masuk ke kamar suci.
    Semua diam dengan pikiran kemana-mana. Kemana Men Ami, kemana?
    Belum sempat pikiran itu muntah menjadi terkaan, Jro Gede Sekar telah ke luar dari kamar suci, segera berkata dengan suara datar," Ini ada kabar…Cuma janganlah cemas. Sebab kejadiannya baru saja, jadi kemungkinan hidup masih ada…"
    Semua menarik nafas lega, membatinkan di hati,"kemungkinan hidupnya ada…"
    "Men Ami itu disembunyikan oleh wong samar, dan tadi sudah saya tanya, apa maksud dan tujuannya wong samar itu menyembunyikan Men Ami. Kata Wong samar itu, Men Ami polos dan baik, karena itu mereka ingin mengajak Men Ami tinggal bersama mereka…"

    Sontak semua wajah memucat, "Miiiih, jangan sampai jro Balian, jangan…tolonglah bujuk wong samar…"
    Jro Gede Sekar mengangkat tangan, "Tenang nggih? Tenang…"
    "Apa caranya? Terserah Jro Balian, yang penting ipar tiang segera kembali…"
    "Nggih…" Jro Gede Sekar segera bersila, mencakupkan tangan di dada, menggumamkan sesuatu di mulutnya, pastilah mantra sakti, pikir rombongan keluarga Men Ami.
    "Segera ini, harus segera menghaturkan pejati, bantennya….harus berisi tebu dan ubi, ini untuk menyenangkan Wong samarnya. Sebab rajanya Wong samar ini memang sulit diajak bicara…"
    "dimana dihaturkan pejati itu, Jro Balian?"
    "Di tepi pantai, usai menghaturkan itu, segera bunyikan beleganjur, agar wong samar ketakutan…."
    "beleganjurnya di bawa ke pantai?"
    "tidak, dibunyikan di sekitar pekarangan dan seputaran tempat-tempat yang ada jalur sungainya…"

    Siang itu, sungguh dengan terburu-buru rombongan keluarga Men Ami berpamitan  dari Jro Gede Sekar, Balian sakti yang sudah berkomunikasi dengan wong samar, yang telah mengakui sebagai penculik Men Ami, dan meminta tebusan berupa sajen pejati dilengkapi tebu dan ubi. Segera rombongan Men ami kembali ke rumah, segera mengontak seorang pemangku dan kelian kelompok pemain beleganjur. Maka dengan cepat cerita Men Ami yang disembunyikan wong samar tersebar di seluruh desa. Berdatanganlah orang-orang dengan langkah terburu, wajah dibaluti cemas, bersiap membantu apa saja; dari menata sajen sampai membuat kopi bagi para tetangga dan kenalan yang datang susul menyusul untuk menyatakan keprihatinan; makin siang mulai berduyun, semuanya bisik berbisik meyakini bahwa di sekitar desa mereka memang masih banyak wong samar, " Pan kerta saja pernah dicekik saat pulang dari denpasar, ketika ditanyakan ke balian, katanya wong samar itu marah, sebab kaki anaknya diserempet motornya Pan Kerta…"

    Makin lama, makin bertambah-tambahlah cerita soal wong samar dengan kelakuannya. Hampir semua punya cerita dalam versi masing-masing, hanya para cucu Men Ami yang terus menangis dan sesekali berucap mirip rintihan,"Dadong disembunyikan wong samar…kasihan dadong!...Kasihan dadong…"

    Akhirnya, persiapan sajen dengan beberapa syarat penebusan Men Ami kepada raj wong samar sudah selesai. Segera  rombongan keluarga Pan Ami berangkat ke pantai; seorang pemangku dengan sabar menenangkan para anggota keluarga yang maunya; cepat-cepat sajen pejati dan tebu beserta ubi diserahkan: terutama tebu dan ubi; kesukaan wong samar  terutama pada raja wong samar! Yang kata balian beristana di ujung muara. Jika terlambat, pikir mereka, nasib Men Ami akan semakin tak jelas. Maka harus diserahkan dengan cepat! Maka demi ketenangan, pemangku yang sabar itu memulai acara doa, dan kemudian meletakan tebu dan ubi di tepian muara.

    Lalu rombongan beleganjur diperintahkan mulai menabuh, bergerak sepanjang tepian aliran sungai, diikuti banyak orang yang bersemangat berteriak-teriak ke segala penjuru semak," Weeeeee….Men Ami mulih…..Weee…." begitu terus menerus teriakan itu terdengar. Namun sampai senja, hingga malam tiba, jam telah menunjukan pukul tujuh malam, Men Ami tak ada kabarnya, tak nampak bayangannya, tak ada jejaknya. Satu per satu orang pergi dari rumah Men Ami, semua mulai menyiapkan diri untuk menerima kabar yang lebih mencemaskan, entah besok ataukah nanti, kalau sudah disembunyikan wong samar, memang nasib hidup sudah susah diterka.

    Pan Ami diam, membiarkan dirinya mematung tetap di sudut teras rumahnya. Kini, di rumahnya yang tadi diramaikan banyak, kini hanya dipenuhi seluruh keluarganya yang terdiam dan menekan rasa cemas dengan berusaha untuk menahan laju dugaan-dugaan jelek dalam pikiran.

    "Hayolah, kita makan malam dulu, jangan sampai jatuh sakit…" Akhirnya, satu orang dalam lamunan kecemasan itu mengingatkan untuk makan. Walau selera makan entah kemana, toh mereka akhirnya makan sambil terus berpikir; kemana Men Ami?

    Kapolsek sudah beberapa kali di-sms, jawabannya selalu sama, "siap, kami sedang mencari…jika ada kabar, segera kami informasikan!"
    "Atau kita mencari balian lain?" Sebuah usulan yang tiba-tiba terdengar cemerlang dalam situasi saat seperti itu, "Ya, sebaiknya kita mencoba, kita harus melakukannya dengan cepat, jangan sampai lewat tengah malam…pikiranku sudah tak enak. aku takut kalau meme kenapa-napa.."
    "aduh, jangan berpikir negatif! meme pasti Selamat.."

    Tetapi mengusir kecemasan, seperti mendorong tembok tebal dengan satu tangan, berat sekali terasa di dada. Pan Ami membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar, rasanya tak ada yang aneh, pikirnya dengan cemas. Istrinya hanya mengeluh sakit kepala, lalu tadi pagi sekitar jam empat pagi ke luar rumah, mengatakan, dia akan jalan-jalan lalu ke pasar atau singgah ke rumah Men Harum.

    Jam berdetak, begitu cepat, begitu menekan.
    Balian yang dicari sebagai alternatif ternyata sedang tak adadi rumahnya! Kabar itu membuat seisi rumah langsung dicekam rasa takut, "seperti pertanda saja…" Keluh Putu Ami, yang segera dibentak adik lelakinya, "diamlah, jangan berpikir aneh-aneh…"
    "kenyataannya, Meme belum ketemu.." Putu Ami meledak dalam tangis, maka tangis itu segera menular, semua serentak sesenggukan; laki perempuan menangis dengan tak tertahankan, pikiran mereka cuma satu; Men Ami disembunyikan wong samar, dan pastilah tak jelas nasibnya entah sampai kapan. Riuh mencekam rumah itu oleh tangis yang sulit benar dihentikan dengan cepat.

    Hingga jarum jam menunjuk pukul sepuluh malam, Men Ami belum ada kabar. Itu artinya sejak jam empat pagi Men Ami tak kabarnya! Polisi sempat singgah mengulangi beberapa pertanyaan kepada Pan Ami, Kelian Banjar juga singgah dan mengulangi lagi pertanyaan seputar bagaimana runutan Men Ami  menghilang, rasanya sungguh tanya jawab yang tak berguna. Semua keluarga hanya berharap, Men Ami segera ditemukan…
***

    "Hallo, Bli Mang? Bli Mang dimana?"
    Komang Juni dengan cepat menyahut, menekan gagang BB-nya ke telinga, "di rumah, kamu dimana? Ning?" Tanya Balik Komang Juni dengan suara ringan.
    "Di rumahlah, eh, mau nanya, benar Men Ami sempat hilang?"
    "Iyaa…waduuh, lupa kita kabari kalian. Dari pagi hilang, baliknya jam dua belas malam…"
    "Gimana sih ceritanya?"
    "Hilang, mulainya ketika banyak orang menanyakan kenapa warungnya Dadong tidak buka, karena banyak pembeli bertanya kepada Pekak. Ya, sampai siang juga tidak ditemukan dimana-mana, ya dilaporkan ke polisi, dicarikan balian, hampir saja dimuat di Koran; eh tahu-tahunya muncul dari arah tokonya Men Harum, jam dua belas malam tepat! kamu tahu ga? Dadong datang-datang sambil tertawa-tawa ketika ditanya dia darimana?....itu kan aneh! Yah…Namanya disembunyikan wong samar, manalah bisa dia cerita, bisanya cengar-cengir saja! Tapi yang penting dadong Selamat. Minggu depan dadong mau diruwat, suruh Bibi supaya pulang ya, tengok dadong ya… semoga dadong  tidak lagi disukai wong samar…"

    Cening, si penelpon segera mematikan Hp-nya, tersenyum lebar lalu cekikikan di sebelah ibunya, "Buuuu, kata Bli Komang, seru sekalian alam kejadiannya sewaktu Men Ami ke rumah kita! Seluruh keluarga sibuk mencari balian, lapor polisi….bahkan hampir diumumkan di Koran, sebab mengira Men Ami hilang…."

    Ibunya Cening terbahak keras,"…Aduh, saudaraku yang satu ini, memang aneh! Sudahlah! Suatu saat kita akan ceritakan apa yang sebenarnya terjadi…"

    Tetapi di rumah Pan Ami, hari itu, disaat rumah lengang, Men Ami dengan suara pelahan bercerita kepada suaminya, "aku itu pergi ke rumah Man Asti, dia sudah ada cucu…"

    "Ha? Cucu? Bukannya anak-anaknya masih sekolah?"
    "Ya, De Agus menghamili pacarnya, jadi kawin yang dirahasiakan. Aku kasihan sama Man Asti, dia itu sejak kecil yatim piatu, dan masih kesal sama keluarga kita karena soal anaknya Yan Gemuh itu; aku sudah janji sama Man Asti, tidak akan menceritakan soal cucunya itu…Jadi, aku diam-diam ke sana, aku merasa walau keluarga kita sedang tak akur, aku mesti menengok dia dan cucunya!"

    Pan Ami tersenyum, menarik nafas lega, ternyata istrinya tidak disembunyikan wong samar! Ternyata seharian itu istrinya pergi ke adik bungsunya! Aha! Jadi balian itu bohong? Waduh, bagaimana kelak jika seluruh keluarga mengetahui cerita sebenarnya kemana istrinya sebenarnya hilang seharian itu?

    Pan Ami tersenyum lebar, menarik nafas, kadang lika-liku hati tak terduga. Ketidakakuran antara ipar bungsunya dengan beberapa ipar lain memang terasa sekali memisahkan. Namun istrinya memilih jalan netral, diam-diam mendatangi upacara tiga bulanan cucu adik bungsunya, walau akibatnya seluruh keluarga heboh.

    Men Ami bersiap kembali membuka warung. Saat pembeli datang silih berganti; sesekali masih ada yang bertanya soal yang sama,"bagaimana rasanya disembunyikan wong samar?’
Men Ami hanya tersenyum, tidak menjawab sepatah pun; Demi adiknya, demi kebaikan hubungan keluarga, demi cucu yang lahir akibat kenakalan keponakannya, dirinya harus bersikap seolah-olah benar telah disembunyikan wong samar!

Men Ami memilih tersenyum untuk setiap pertanyaan mengenai seputaran wong samar. Hingga kelak tiba, dia akan membuka cerita yang sebenarnya, kelak nanti, pasti semua akan tahu cerita sesungguhnya.
(latihan menulis cerpen, BY COK SAWITRI, batubulan, 2011)

No comments:

Post a Comment