Calon Bupati


    Dengan kumis tipis, bibir bawah mengatup, tatapan yang seolah tak melihat siapapun, Gede Bagus mengangguk sekenanya. Duduk bersila di bale gede, bale warisan kakeknya yang sudah direnovasi tiga kali dan kini sudah menyala-nyala, bale yang berwibawa karena diukir dan didempul cat prada , dimport dengan harga mahal, "jadi begitulah tanggapan mereka, Bli…" Dalam keheningan rumah berhalaman luas, tepatnya diperluas, kebun belakang sudah dijadikan bangunan, ladang kiri kanan sudah jadi show room. Dulu, rumah kakeknya hanya seluas tiga are, tetapi kakeknya juga memiliki kebun dan ladang sebelah menyebelah dengan rumah, kini sudah ditatanya, sudah dipilah dengan perhitungan asta kosala kosali. Penataan rumah itu dimulai ketika almarhum ayahnya diangkat jadi pejabat di awal reformasi, dan meninggal mendadak saat Gede Bagus baru saja menikahi Gek Ayu, tetapi untunglah sewaktu ayahnya diangkat jadi pejabat, Gede Bagus membuka restauran, jual beli mobil dan juga jual beli tanah, "mereka katakan, Bli sudah mulai melakukan manuver…"

    Mendengar perkataan itu, yang diucapkan secara lirih seolah takut didengar, Gede Bagus makin menaikan bibir bawahnya, makin mendorong bibir atasnya, nampak manyun sekarang. Dengan pandangan yang nyaris melamun, teringat kematian ayahnya yang mendadak; konon ayahnya meninggal karena kena serangan magic, kata dokter itu serangan jantung, tapi para balian yang ditemui oleh ibunya memberi jawaban yang hampir sama, "arwah ayahnya mengatakan, dirinya memang lalai, jadi kena serangan ilmu, namun kini ayahnya sudah menjadi pelayan di pura dalem…"
   
    "Tapi itu katanya itu omongan orang, sudahlah! Yang penting niatmu baik, Bli…" Suara lain terdengar menyahuti, seolah membantah, seolah berusaha menghibur. Rumah itu senyap, rumah yang begitu luas, bersih tertata; ada beberapa pembantu dan satpam yang mengurus dari dapur sampai garase, sebab istrinya sibuk mengurus restauran, ibunya masih aktiv menjaga show room, kedua adiknya; keduanya perempuan dan sudah menikah. Anak-anaknya sendiri semua masih sekolah di sekolah internasional, ah, sebenarnya tak ada kenyamanan lebih dari ini. Bagi Gede Bagus, inilah proses yang harus dijalani. Namun entah mengapa, dirinya terjerat gossip politik yang tak menyenangkan.

        "Apa sebabnya mereka berpikir begitu…" Itulah kalimat yang tercetus di bibir Gede Bagus, sebab dia memang tidak mengerti, mengapa setelah dia menggagas ‘ngaben massal’ di desanya dan bersedia menjadi penyandang dana, gosip itu muncul; katanya dia akan maju menjadi calon bupati!

    Sejak itu hati Gede Bagus menjadi tak nyaman, walau ‘ngaben massal’ itu sudah usai, walau semua undangan datang dengan bungah meriah; dari berbagai pejabat kabupaten sampai tingkat provinsi, dari camat sampai calon juga para kenalan almarhum ayahnya, baik yang masih aktiv di pemerintahan maupun yang sudah dipensiun ternyata tetap setia berdatangan, sama seperti dahulu, sama seperti ketika ayahnya masih jadi pejabat bila melakukan upacara; selalu banyak undangan yang setia datang, walau kadang tak tujuan kedatangannya…"apa sebabnya mereka berpikir sesempit itu?" keluh hati Gede Bagus. Semua undangan itu, semua orang yang datang tentu saja membludak karena ‘ngaben massal’, semua orang membawa undangan dan kerabatnya juga sebagai penua penyelenggara upacara, Gede Bagus dikenal memiliki pergaulan yang luas bukan semata karena ayahnya dahulu pejabat; beberapa teman-teman sekolahnya kini menjadi wakil rakyat, beberapa pegawai almarhum ayahnya dahulu, kini ada yang menjadi kepala dinas. Semuanya masih berhubungan baik dengannya, sebagai teman, sebagai kenalan, tetapi mengapa gosip itu bisa muncul?
   
    Iparnya, Bagus Jaya memang tokoh partai, kakak Gek Ayu memang mewarisi tradisi berpolitik, tetapi dirinya? Ayahnya sebelum reformasi adalah pegawai negeri biasa yang sepulang kerja mengurus kebunnya, lalu di awal reformasi diangkat menjadi pejabat karena proses karier semata, memang pernah terdengar oleh Gede Bagus; bahwa bisik-bisik jabatan ayahnya itu katanya karena dukungan politik keluarga Gek Ayu. Tetapi benarkah? Entahlah, almarhum mertuanya justru sakit saat ayahnya diangkat menjadi pejabat, mertuanya dirawat di surabaya ketika semua orang yang katanya ‘orang partai’ tiba-tiba memenangkan pemilu, menjadi penguasa baru! Lalu entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba banyak teman Bagus Jaya kala itu, terutama teman-teman iparnya, yang dalam pikiran Gede bagus; sungguh aneh penampilannya, sebab tiba-tiba memakai baju safari tapi dengan keringat berleleran, bicara politik dimana saja seakan dunia berhak dikavling…tetapi itulah politik, politik aneh! Sebab tiba-tiba rombongan teman minum tuak iparnya ikut serta menjadi ‘orang partai’ bahkan kemudian lebih lucunya lagi; teman-teman iparnya itu muncul di tivi, di koran, seolah-olah sejak lama memperjuangkan rakyat, fasih benar mengkritik ini-itu, seolah paham, seolah geretan dengan keadaan.

    Gede Bagus makin memanyunkan bibirnya.

    Pikirannya kemana-mana, entah mengapa, dirinya merasa terusik dengan gosip-gosip itu. Hanya karena dia mendanai ngaben masal? Karena tamu membludak dan prosesi berjalan lancar? Ah, itu mulai terasa makin mengusik saat istrinya sendiri yang bertanya, "Pa, benar ya papa ada keinginan menyaingi Bli Jaya untuk maju jadi bupati?"

    Dengan takjub Gede Bagus memandang istrinya, takjub bahwa ini bukan lagi gossip, tapi sudah jadi pembicaraan keluarga. Lalu setelah itulah beraneka macam orang menemuinya; dari teman-teman iparnya, teman-temannya sendiri, dari yang kini jadi pejabat bahkan sampai yang samar-samar dikenalnya, katanya, mereka itu keluarga si A atau Si B, kepercayaan Pak Ini ataukah Pak itu.

    Gede Bagus menarik nafas panjang, mengerutkan dahi, bibirnya kian manyun. Kenapa tiba-tiba dirinya begitu santer digosipkan ingin maju jadi calon bupati? Padahal dia bukan orang partai, juga tak punya kenalan di Jakarta? Orang pusat! Istilah orang-orang politik itu untuk menyebut penguasa, mengatakan kepadanya tanpa diminta; menjelaskan berbagai tahapan jika ingin sah menjadi seorang calon: semacam brosur lisan, "kalau mau maju, harus dapat restu!" Lalu katanya lagi, ada proses semacam seleksi di partai…..Lalu dikalkukasikan berapa biayanya. Gede Bagus menghela nafas dengan kepala menggeleng, "mereka pikir, uang itu dipetik seperti daun nangka?"  Jelas, tidak akan dirinya membuang-buang uang untuk maju menjadi calon bupati, itu kegilaan namanya. Namun walau sudah tegas dia mengatakan; tidak ada niat maju! Tetapi gossip itu malah makin santer, makin riuh, makin mengacaukan. Anehnya, beberapa contoh proposal tiba-tiba dibawa oleh orang-orang yang hampir tak dikenalinya; entah atas nama partai inilah-itulah, investor anulah,inilah, entah atas nama pribadi atau kelompok, yang katanya mereka mengaku simpati, menaruh harapan, mengingat pula, kata mereka, kebaikan almarhum ayahnya dahulu. Gila!

    Istrinya mulai gelisah, bertanya selalu, ibunya resah, kedua adik perempuannya juga ikutan resah. Astaga.

    Gede Bagus mulai merasa rikuh dan merasa tak nyaman, apalagi ketika para tetangga, ‘nyame braya’ di banjar, di desa juga ikutan berbisik-bisik bila ketemu, "kita akan mendukungmu, De. Maju saja…"

    "Tidak, saya tidak ada niat maju jadi calon, itu gosip, Bli"  Itu yang dia ucapkan tegas dan jelas melalui telepon ketika iparnya Bagus Jaya menelpon, suara iparnya datar, berjarak, dan jelas curiga, "Bli, Bli kenal saya. Tidak mungkinlah saya ada uang untuk maju menyaingi Bli…" Demikian dia berusaha menjelaskan kepada iparnya yang tidak menutupi rasa berang dan gundah karena telah merasa disaingi. Dan percakapan telepon itu tidak menyelesaikan kesalahpahaman, tidak mengusir gosip itu, tidak memperjelas keadaan. Istrinya pun ditelpon, katanya, Bagus Jaya tanpa basa-basi langsung mendamprat keras, "bilangin suamimu itu! Setan apa yang merangsuki dia sehingga membuat kesan kepada masyarakat, aku ini tidak mendapat dukungan dari keluarga sendiri! Sekarang! Dukungan teman partai melemah, secara internal mereka mulai menekanku!! Kamu tahu, suamimu itu diperalat sama lawan politkku! Dan orang pusat sudah tahu hal itu…."

    Istrinya menangis, ibunya menangis, anak-anaknya kebingungan. Gede Bagus apalagi. Hatinya berdetak tak karuan. Tak ada seorang pun yang bisa diajak bicara, yang bersedia mendengarkan, bahwa dirinya tak ada niat untuk memasuki dunia politik! Bahkan dia tak tahu, kapan sebenarnya pilkada itu akan dilaksanakan? Astaga. Berita di Koran apalagi, setiapkali ada berita soal kandidat calon bupati, namanya disebutkan bahkan pernah potretnya dijejerkan dengan iparnya dengan tulisan: kakak dan adik ipar bersaing di bursa pencalonan. Kenapa bisa terjadi? Apalagi kemudian ketika ada piodalan di pura, ada orang kerauhan yang isinya ternyata jika diterjemahkan bebas seperti ini; katanya, sudah saatnya warih ide sesuhunan menjadi pemimpin….astaga! Gede Bagus sungguh-sungguh dipojokan oleh sesuatu yang tak dipahaminya. Tak pernah dipikirannya. Lalu iparnya menjauh, beberapa kegiatan keluarga uang dibuat oleh keluarga istrinya, Gede Bagus tidak diundang.

    Lalu seperti guliran kerikil dari gunung, begitu saja dirinya dibanjiri oleh pernyataan dukungan, pernyataan kesediaan orang-orang menjadi team sukses. Gilanya, para pegawai show roomnya, pegawai restaurannya mungkin mulai melakukan kampanye, seolah-olah memang benar atasannya akan maju

    "bila perlu, kita buat posko…" Itu kata sepupu Gede Bagus dengan penuh semangat, lalu berdirilah posko dengan banner yang memampang wajahnya. Gila. Banjar-banjar di desanya pun mulai memasang spanduk, lalu keluarga ibunya, keluarga ayahnya, klan, soroh…..Gede Bagus tercenung merasa sendirian di Bale Gede warisan kakeknya, terisap dalam kepekatan yang tak dapat dia pahami. Di sekelilingnya duduk beberapa orang, yang seolah-olah hanya bayangan, bayangan yang bicara seperti hantu, " Bli dikatakan melakukan manuver…’

    "Manuver apaan?" Dengan kesal Gede Bagus berteriak.
    "Katanya, orang-orang Bagus Jaya sudah menyeberang ke Bli…katanya…"
    "katanya apa…" sergah Gede bagus kesal. Tak tahukah mereka, akibat gossip yang tak bertanggungjawab itu.

    Situasi keluarganya menjadi tak terkendali; Kakak iparnya yang pada dasarnya emosional dan berangasan sudah menyatakan putus hubungan kekeluargaan. Dan pendukung iparnya pun demikian juga bahkan beberapa pejabat yang dulu menjadi langganan show roomnya menjauh….Astaga.

    Gede Bagus sungguh muak. Kini rombongan orang partai mendatanginya, semua berlagak penting seakan ini masalah terpelik di dunia. Katanya, dirinya membuat manuver dan itu membuat banyak orang gerah. Banyak orang? Siapa saja orang banyak itu?

    Gede Bagus mendecak. Dalam hati ingin berteriak, "bagaimana mungkin orang-orang ini bisa menjadi tokoh masyarakat? Menjadi figur publik? Gaya berpikirnya seperti petajen megang ayam, menghelus-helus agar orang panas, lalu dipasangin taji?"

    Gede Bagus menenangkan dirinya lalu dengan menarik nafas panjang, lalu berkata dengan tenang sekali, " memang! Itu manuver saya. Dan saya tegaskan, saya tidak takut sama orang-orang partai, tidak perlu mendapat restu orang pusat….Jadi kalian tidak usah risau…tidak menakuti ini-itu, saya tahu undang-undang, tahu hak dan kewajiban, dan jelas saya tidak mau diintimidasi…"

        Seperti yang diduganya, setelah dia bersikap tegas, gosip makin merebak, makin melebar kemana-mana, pastilah nanti Gede Bagus akan maju secara indipenden! Sebab menolak uluran bantuan orang partai: hah! Bantuan apa? Bantuan menyulitkan hidup? Lalu seperti diperkira oleh gede Bagus muncul perdebatan ini-itu; di warung, di Koran, di facebook, dimana saja, lalu akan muncul orang-orang baru yang bergaya sebagai pendukung sejati. Tetapi Gede Bagus sudah muak, tidak mau tertekan lagi karena pikiran orang-orang yang memang aneh jika berkaitan dengan politik. Kepada istri dan ibunya dia diam-diam sudah mengatakan, "saya tidak maju untuk ini-itu, hanya tuhan yang tahu, apa sebenarnya yang terjadi di luar sana itu…."

        Biarlah Bagus Jaya, iparnyaitu seperti cacing kepanasan; mulai melakukan kegiatan sosial, diliput televisi, dimuat di Koran, semuanya harus dibayar, semuanya itu advertorial! Iparnya diliputi media dari menyumbang kambing sampai kerbau ke sebuah upacara, dari menjadi sponsor lomba bola volli sampai menyapu di pura! Tentu saja dengan dikawal orang-orang partai dengan baju adat, ikat kepala bergaya seperti pecalang plus berkacamata hitam. Tetapi istrinya setiap malam dengan setengah berbisik menyampaikan,"ibu menelpon tadi pagi, Bli Jaya jual tanahnya bapak lagi…"

    Gede Bagus menghela nafas. Kasihan ibu mertuanya! Pastilah tak berdaya, sebab sejak lama Bagus Jaya terus menerus menjadi bamper kegiatan partai, mudah dipanasi dengan kata loyalitas dan pengabdian sejati, karena itu menunjukan sikap jiwa besar tidak maju di pencalonan wakil rakyat agar memberi citra pimpinan tidak memperebutkan jabatan! Katanya, lebih mulia dia  melakukan tugas konsolidasi membenahi partai, konsentrasi untuk membangun kader, itu alasannya waktu pemilu yang lalu! Kemudian saat ada pilkada yang terdahulu Bagus Jaya belum diperkenankan maju sebab katanya ada calon yang lebih potensial, entah apa potensialnya kecuali ketika pilkada begitu sibuk menghamburkan bantuan ini-itu….Dan Bagus Jaya sibuk mencarikan dukungan; demi partai! Dan kini nampaknya Bagus jaya tak mau lagi menjadi bamper, dia akan maju! Tetapi dia butuh dana, dan tentu saja dengan gaya hidup selalu menjadi bamper; tanah-tanah warisan pun harus dijual, dan sudah pasti, manalah ada yang mau peduli soal itu…cukup dengan kalimat manis, kan pengabdian pada rakyat? Pada partai?

    Gede Bagus menghela nafas, setengah berbisik bertanya pada istrinya, "sebenarnya, kapan sih pilkada itu?"

    Istrinya tertawa, " mama juga tidak tahu, kapan…tapi kata Koran sudah mulai memanas bursanya…" sahut istrinya terus tertawa. Kesibukan bekerja, membuat mereka berdua sesungguhnya tak tahu kapan Pilkada akan tiba, dan kenapa mereka itu, para pengasong, pemulung politik itu begitu peduli dan seolah tak habis energi hilir mudik menukar cerita?

    Gede Bagus tersenyum pahit, menggelengkan kepala. Biarlah Bagus jaya dengan keasyikannya, tak mungkin lagi diajak bicara. Dengan memilih diam, mengatupkan bibir, memanyunkan bibir sesekali jika bosan; menerima siapa saja yang datang; entah dengan kepentingan apapun! Akan dia terima. Satu hal yang kemudian dia tahu dengan sikapnya yang diam itu; restaurannya tetap laris, jual beli tanah tetap berlangsung dan show roomnya tetap laris. Dan niat hatinya setelah menghitung keuntungan; tahun depan akan menggagas upacara mamukur massal! Apapun kelak gosipnya, toh kini dia akan lebih siap dengan segala macam gosip, yang entah mengapa begitu kuat mendekatinya, sebab dirinya menantu dari seorang tokoh partai, ipar dari seorang bamper organisasi yang royal….

***

        Tiba-tiba istrinya histeris, Gede Bagus melonjak kaget, "ada apa?"
        "Bli jaya…"

    Kenapa? Istrinya mendekap Hp, "ada apa?" Tanyanya dengan jantung berdetak tak nyaman. Istrinya terisak mulai gemetar,  "Bli jaya meninggal, barusan terpeleset sepulang dari kunjungan ke desa tetangga…"

        Malam itu juga seluruh keluarga ke rumah sakit, berharap segalanya hanya mimpi buruk. Namun usia tak mungkin diduga, tak bisa dibujuk dengan mengatakan jangan diputus dulu usia orang ini, ini calon bupati!  Duh, Gede Bagus menenangkan istrinya, menenangkan mertua, menenangkan seisi rumah duduk di bale gede dan menjelaskan dengan terbata-bata, "kakak kami memang benar meninggal tadi malam, dari pemeriksaan dokter, kakak kami terkena serangan jantung, kelelahan…"

    Tangis meledak, orang-orang berdatangan, Gede Bagus sibuk menjadi tuan rumah, sibuk memberi jawaban, sibuk menepis gosip yang bukan-bukan. Sibuk menyiapkan upacara ngaben. Dan memanyunkan bibirnya agar tak terpancing dalam percakapan soal politik. Yang memang gila, bahkan disaat jasad iparnya akan diusung ke kuburan, masih sempatnya ada yang bertanya, "bagaimana Bli, Bli maju saja sekarang, sekarang pasti dukungan sudah mengerucut ke bli saja…"

    Gede Bagus menghela nafas.Matanya memanas, ada kilau perih di dalamnya.

    Iparnya Bagus jaya kini sudah tiada..... Andai masih hidup, ingin rasanya dia bertanya, apa hasilnya dari pengabdian yang aneh ini pada partai? Kecuali kematian, lalu dilupakan, sedangkan yang mendapatkan jabatan?

    Gede Bagus memanyunkan bibirnya, menatap hambar teman-teman politik kakak iparnya yang berdiri bersidekap,berjejer dengan kepala terangguk-angguk berkaca mata hitam, berbaju hitam serta jam tangan keemasan, berkumis pula… Wajah mereka, entah mengapa, dimata Gede Bagus nampak bodoh dan menggelikan!

( bagian latihan menulis cerpen!)

No comments:

Post a Comment