Suatu hari seorang ponakan yang merantau bertanya kepada saya, apakah kita punya doa-doa penyembelihan ayam atau hewan yang akan kita masak? Pertanyaan itu sesungguhnya dimuati oleh perasaan tak nyaman sebab di agama lain ada doanya untuk hal itu dan itu katanya menentukan 'sah' atau tidaknya makanan itu.
Saya sengaja tidak menjawab dengan cepat, sebab doa-doa itu dalam tradisi agama Bali banyak sekali jenisnya --untuk urusan 'sembelih menyemblih', 'potong memotong'- hewan-hewan yang akan digunakan sebagai bahan makanan ataupun untuk upacara; doanya berjenis-jenis.
Dalam tradisi kuliner Bali memang memiliki tata krama yang cukup detail soal 'pemotongan hewan' ; doa-doa yang akan diucapkan sangat tergantung dari jenis hewannya; doa untuk hewan berkaki dua berbeda dengan doa untuk hewan berkaki empat, kemudian ada yang namanya 'yang berkaki delapan' seperti ketam, udang, dan yang sejenisnya itu doanya juga lain, kemudian doa bagi hewan yang diternakan itu pun doanya berbeda lagi, belum lagi doa bagi binatang yang berjalan dengan 'dadanya' dan segala jenis ikan; 'salwiring we' itu juga memiliki doa yang lumayan panjang.
Yang lebih menakjubkan, doa bagi kayu bakar dan daun-daun pun ada. Itu semua untuk doa keseharian, belum lagi kalau itu untuk yadnya, atau upacara, tata krama doanya disertai dengan sajen. Kemudian tradisi ngebat itu tidaklah sekedar melaksanakan kegiatan masak-memasak secara massal, sebab selalu di tempat ngebat (tempat memasak) biasanya di banjar atau dapur akan dibuatkan 'penghuluning pebat' dengan sajen yang dihaturkan oleh pemangku dengan 'sesapa'; doa dalam bahasa bali; masih banyak lagi tata krama yang mengikuti proses masak memasak ini jika itu untuk kegiatan upacara yadnya.
Jawaban saya itu, membuat ponakan saya tertegun dan menatap saya lama sekali, seolah tak percaya, dan saya harus menjelaskan kepadanya lagi; bahwa apapun itu potong memotong, semblih menyemblih, menebang pohon ataukah memetik daun adalah 'imsa karma', itu dikategorikan penganiayaan dan pengkhianatan, karena itu ada tata kramanya, ada aturan petunjuknya; yang ditegaskan dalam Patik wenang; yan noramangkana, hanemu tan rahayu sang hamejah pati wenang ika; jika tidak taat aturan siapapun yang melakukan pembunuhan kepada binatang, tanaman, dia akan tak nyaman semasa hidupnya, dapat menemui hidup yang tercela, jauh dari harapan kesucian, apalagi jika kelak dia mati.
Karena itu, tidaklah benar, bahwa tradisi penampahan, hari dimana masyarakat menyiapkan makanan dengan penyemblihan hewan itu tanpa tata krama dan aturan, sungguhlah banyak doanya, dan biasanya hanya diucapkan dalam hati; dan jika tak hapal doanya, maka dalam tradisi bali diajarkan 'masesapa'; doa dalam bahasa hati, mendoakan roh binatang, kayu, dedaunan itu mencapai 'tempatnya' sesuai dengan karmanya.
Lalu ponakan saya tertegun dan dahinya tetap berkerut, jelas sekali matanya berbinar seolah ada beban yang lepas dari hatinya. (by.cok sawitri)
Saya sengaja tidak menjawab dengan cepat, sebab doa-doa itu dalam tradisi agama Bali banyak sekali jenisnya --untuk urusan 'sembelih menyemblih', 'potong memotong'- hewan-hewan yang akan digunakan sebagai bahan makanan ataupun untuk upacara; doanya berjenis-jenis.
Dalam tradisi kuliner Bali memang memiliki tata krama yang cukup detail soal 'pemotongan hewan' ; doa-doa yang akan diucapkan sangat tergantung dari jenis hewannya; doa untuk hewan berkaki dua berbeda dengan doa untuk hewan berkaki empat, kemudian ada yang namanya 'yang berkaki delapan' seperti ketam, udang, dan yang sejenisnya itu doanya juga lain, kemudian doa bagi hewan yang diternakan itu pun doanya berbeda lagi, belum lagi doa bagi binatang yang berjalan dengan 'dadanya' dan segala jenis ikan; 'salwiring we' itu juga memiliki doa yang lumayan panjang.
Yang lebih menakjubkan, doa bagi kayu bakar dan daun-daun pun ada. Itu semua untuk doa keseharian, belum lagi kalau itu untuk yadnya, atau upacara, tata krama doanya disertai dengan sajen. Kemudian tradisi ngebat itu tidaklah sekedar melaksanakan kegiatan masak-memasak secara massal, sebab selalu di tempat ngebat (tempat memasak) biasanya di banjar atau dapur akan dibuatkan 'penghuluning pebat' dengan sajen yang dihaturkan oleh pemangku dengan 'sesapa'; doa dalam bahasa bali; masih banyak lagi tata krama yang mengikuti proses masak memasak ini jika itu untuk kegiatan upacara yadnya.
Jawaban saya itu, membuat ponakan saya tertegun dan menatap saya lama sekali, seolah tak percaya, dan saya harus menjelaskan kepadanya lagi; bahwa apapun itu potong memotong, semblih menyemblih, menebang pohon ataukah memetik daun adalah 'imsa karma', itu dikategorikan penganiayaan dan pengkhianatan, karena itu ada tata kramanya, ada aturan petunjuknya; yang ditegaskan dalam Patik wenang; yan noramangkana, hanemu tan rahayu sang hamejah pati wenang ika; jika tidak taat aturan siapapun yang melakukan pembunuhan kepada binatang, tanaman, dia akan tak nyaman semasa hidupnya, dapat menemui hidup yang tercela, jauh dari harapan kesucian, apalagi jika kelak dia mati.
Karena itu, tidaklah benar, bahwa tradisi penampahan, hari dimana masyarakat menyiapkan makanan dengan penyemblihan hewan itu tanpa tata krama dan aturan, sungguhlah banyak doanya, dan biasanya hanya diucapkan dalam hati; dan jika tak hapal doanya, maka dalam tradisi bali diajarkan 'masesapa'; doa dalam bahasa hati, mendoakan roh binatang, kayu, dedaunan itu mencapai 'tempatnya' sesuai dengan karmanya.
Lalu ponakan saya tertegun dan dahinya tetap berkerut, jelas sekali matanya berbinar seolah ada beban yang lepas dari hatinya. (by.cok sawitri)
No comments:
Post a Comment