Mengadaptasi Pola Dasar Pelatihan Teater Tradisi
Bagaimana mengadaptasi pola dasar pelatihan seni pertunjukan tradisi Bali ke tradisi teater modern; yang hingga kini belum memiliki tradisinya sendiri (?)---Hampir dipastikan hingga kini, bahwa pola pelatihan dasar-dasar teater modern belum memiliki koridornya walau semua paham; bahwa diperlukan pelatihan secara serius dan disiplin kepada para calon aktor atau para pemain drama ini sebelum dinobatkan sebagai pemain teater. Dalam tradisi teater modern selalu terjadi seolah-olah jika telah melakukan olah vokal, olah tubuh, dst (sekedarnya): maka seseorang akan dinyatakan siap memasuki proses pementasan di bawah kepemimpinan seorang sutradara.
Naskah dan sutradara memegang peran dalam kecirian teater modern, katanya; teater tradisi Bali relatif fungsi sutradaranya tidaklah terlalu 'paternalistik' dibandingkan dengan teater modern. Entah apa maksudnya pendapat yang demikian; yang patut diperhatikan bagaimana kemudian merujukan dengan rendah hati ke dalam tradisi teater modern itu; yakni untuk memahami tiga hal yang dimiliki teater tradisi yaitu pola pelatihan dasar teater berupa: wiraga, wirama dan wirasa. Dan bagaimana kemudian memahami; bahwa perkembangan teater modern memerlukan tak semata semangat “kelangenan” atau 'terjebak' karena pergaulan; seolah-olah berada dalam komunitas teater dan akhirnya proses kreatif itu tak beranjak kemanapun, seolah hanya ditentukan oleh inisiatif seseorang dan atau karena tuntutan kegiatan pementasan dalam kerangka pengisian hari-hari perayaan tertentu.
Karena itu, mengadaptasi pola pelatihan dasar teater seni tradisi; yang setidaknya akan membuka wawasan, yang sesungguhnya mencengangkan sekaligus akan menjadi 'teguran' bahwa proses menuju pementasan itu, tidaklah semata-mata karena dinobatkan oleh pentas satu naskah! Namun seorang calon pemain teater akan dikenalkan dengan pelatihan yang disebut wiraga; tata krama tubuh di atas panggung. Kemudian dimulai dengan memahami bagaimana tubuh itu sendiri; kaki, tangan, leher, mata, seluruh indera; dan bagaimana batas-batas eksploarasi pergerakan tubuh menuju estetika dan peniruannya kepada suatu peran yang diperlukan.
Pada wiraga yang menjadi pegangan dalam pelatihan seni tradisi, dikenalkan kepada seseorang calon pemain yakni; bermula dari sikap dasar disebut agem, kemudian gerak peralihan disebut tangkis dan gerakan-gerakan yang mengimajikan penghayatan dinamakan tandang. Jika diperhatikan dalam pementasan sebuah naskah (lakon) dalam teater modern; dikenal beberapa istilah seperti blocking, moving, dst. Bagaimana tata krama bersikap di panggung yang dibutuhkan dalam latihan, biasanya dalam pelatihan teater modern justru tidak jelas tata kramanya; hanya insting mengikuti perintah sutradara semata.
Sebaliknya dalam pelatihan wiraga; peran pelatih demikian penting, menjadi persyaratan utama adalah memahami dasar dan gerak kemudian tujuan kemana pencapaiannya ingin dicapai. Dalam seni pertunjukan Arja, sebagai perbandingan; seni yang pementasannya menggabungkan dialog dan nyanyian; jelas benar peran latihan dasar memegang kendali penting; tata krama di panggung harus dilalui dengan sangat ketat dan disiplin oleh seorang calon pemainnya; dan sulitlah kemudian mengira fungsi sutradara dalam seni tradisi Arja ini sekedar mengatur pergerakan dan plot/alur penceritaan. Sebab dalam arja; beberapa pemeranan seperti mantri manis (protaganis), kemudian mantri buduh (antagonis); kemudian limbur (antagonis), putrinya Galuh Buduh (pandir) dan seorang pelayan (ambigu), kemudian ada Galuh (protagonis) dengan pelayannya, penasar dan wijil. Patokan pola penokohan ini kemudian mendorong sutradara mencari pemain yang memenuhi syarat untuk memainkan peran-peran yang ada; kisahnya boleh jadi berubah-ubah, namun syarat patokan bagi pemainnya untuk memainkan peran yang menjadi pakem; harus terpenuhi. ---Bandingkan; seorang sutradara dalam teater modern akan menetapkan naskah yang dimainkan, lalu mempelajarinya, menyiapkan pementasan dengan memahami peran-peran yang ada dalam lakon; lalu dengan dasar itu akan mencari pemain yang memenuhi syarat untuk peran yang dibutuhkan dalam lakon yang akan dipentaskan. Jelas, ada yang berbeda antara tradisi teater tradisi dengan teater modern; namun apakah dengan demikian lalu menyimpulkan teater tradisi lebih 'kurang maju' dari teater modern? Setidaknya dalam fungsi penyutradarannya.
Dalam konteks pelatihan; seorang calon pemain mantri manis; tidak semata manis wajahnya, namun bentuk tubuhnya pun diisyarati dengan ketinggian tertentu kemudian karakter suara serta sudah tentu akan dilatih menembang dan menarikan pola gerak tari mantri manis; dari cara berdiri, cara membuka langse, melangkah, memainkan kostum dan properti; semisal keris ataukah panah; proses pelatihannya jelas tidaklah mudah dan tidak cepat. Seorang penari hebat belum tentu akan sanggup memerankan mantri manis. Namun seorang mantri manis dapat dipastikan akan dapat menari dengan baik. Peran antagonis misalnya limbur; dalam seni arja; dipastikan dari bentuk tubuh, karakter suaranya berbeda syarat dengan yang diperlukan oleh mantri manis. Peran ini memerlukan pula kecerdasan dialog dan taktis untuk menjadikan alur pementasan menjadi dinamik bahkan memegang kendali untuk menaikan emosi penonton.
Dalam naskah teater modern; jarang benar ditemukan peran yang sekomplek limbur; sekalipun ada antagonis selalu hitam putih sifatnya (keambiguan); dalam tradisi sosial bali yakni rwa bhineda menyebabkan peran antagonis lebih berwarna dan lebih kuat serta kompleks.
Pada wiraga; ditemukan suatu tahapan yang membutuhkan disiplin untuk memasuki tahap siap sebagai calon pemain; bahkan sebutan solah (sikap), bermuara pada bagaimana sikap seseorang dalam memainkan satu perannya dalam satu kisah; dimana tata krama menuntun untuk memahami aturan yang menjelaskan bagaimana plot itu dimainkan; bahwa peristiwa pertemuan antara dua kekasih, pertemuan antara pelayan dengan tuannya, atau antara dua pesaing; menjelaskan pakem-pakem tata krama itu menuju suatu sikap yang mengindikasikan; pastilah melalui pelatihan yang lama dan disiplin. Cara berdiri, melangkah, berputar, dan ekspresi. Pelatihan wiraga menyediakan tiga pegangan dasar yakni agem, tandang dan tangkis. Kemudian barulah memasuki pelatihan bagaimana menjadi siapa, sedang mengapa dalam rangka apa, dst.
Lalu wirama; bagaimana tata krama bicara didasarkan kepada karakter suara yang dilatih tak cuma kemampuaan bernyanyi namun juga memahami kata itu, kapan, kepada siapa dan saat bagaimana diucapkan serta dalam bahasa apa?
Lalu wirasa adalah bagian internalisasi, bagaimana merasakan menyatu sebagai yang tengah diperankan akibat dari kepahaman akan peran dalam kisah itu. Wirasa mengenalkan akan adanya enam rasa dalam hidup; pahit, manis, asin, pekat, dst, dimana semua itu menjadi ekspresi yang muncul dalam ekspresi tubuh dan kata-kata juga nyanyian. Tangisan, raungan, memekik; semuanya ada alasannya; dalam wirasa itulah pelatihannya.
Bandingkan kini dengan pelatihan teater modern; olah tubuh sering diartikan dengan kegiatan olah raga kecil, pemanasan, warming up semata-mata untuk penguatan stamina, lalu olah vokal adalah latihan pengucapan-pengucapan kata, kalimat, dst. Latihan imaji; ekspresi, dst; selalu selintas-selintas dikuatkan ketika penghapalan dialog dilakukan. Pola dasar dalam tradisi teater modern sering terlewati dan terabaikan; akibat ketidaksabaran para calon pemain atau pola pelatihannya; tidak memiliki kerangka tujuan pencapaian atau karena tidak tahu apa sebenarnya pola pelatihan dasar yang seharusnya dilatihkan? Hasilnya, yang sering terjadi; seseorang mengambil naskah, lalu menghapalkan dan mainkan! Dengan tanpa ragu banyak 'kisah' semacam terjadi dalam tradisi teater modern; yakni proses latihan teater modern selalu (keseringan) nyaris diawali dengan ide: ditemukannya sebuah naskah oleh seseorang, lalu bersiap-siap mencari teman; latihan dan pentaskann. Herannya, tetap saja terjadi perdebatan; apakah teater modern di Bali ataukah Indonesia itu berasal dari Barat ataukah sebenarnya pembauran terus menerus terjadi, tanpa ada kemauan untuk mengkaji lebih jauh ke dalam khasanah sekitarnya atau menengok ke akar tradisi itu sendiri, sehingga perdebatan itu jelas menghasilkan; suatu tindakan, jawaban apakah teater modern telah menemukan tradisi dalam proses kreatif dasarnya? (cok sawitri)
No comments:
Post a Comment