Beberapa anak muda telah singgah di teras rumah, mereka pulang karena rindu perayaan nyepi dan seperti biasa semangat pulang dibarengi pula semangat mempertanyakan berbagai tradisinya sendiri. Banyak kisah kepulangan anak-anak muda Bali dengan semangat bertanya; seakan tiba-tiba begitu banyak hal yang tak diketahui dalam agamanya sendiri; yakni agama Hindu Bali atau Gama Tirtha ini, agama yang menandai mereka sebagai orang bali. Mereka kini merasa tak cukup lagi dengan pengetahuan berdasarkan kebiasaan ataukah ajaran lisan, tetapi harus ada referensinya.
Duhai, begitulah kehendak zaman. Agama tidak cukup dengan keyakinan, namun pembuktian seperti memperlakukan ilmu pasti. Rasionalisasi yang berstruktur adalah pola pikir zaman modern. Dan tentu saja sebelum beberapa anak muda ini kehilangan semangatnya, obrolan dimulai dengan kisah bunga, kenapa bunga? Tanya mereka, jawabannya; sebab untuk penjelasan bunga itu saja sebenarnya kalau dibandingkan dengan tradisi sekolahan topik bunga adalah mata pelajaran setahun lebih, tanpa jeda waktu mempelajarinya jika ingin memahami dengan teramat paham; Mereka, anak-anak muda itu tertawa dan barangkali teringat akan kisah asmara; katakanlah dengan bunga jika menyatakan cinta….
Bunga bagi masyarakat Bali dengan keyakinannya begitulah penting; mendasar. Sebab tiada hari tanpa bunga. Dalam keseharian, setiap hari masyarakat bali yang memeluk hindu mempersembahkan minimal canang sekar; canang itu dari bahasa kawi; artinya sirih, karena itu di setiap canang selalu ditemukan pada bagian dasarnya porosan; yang dibuat dari pinang, sirih dan kapur. Itu adalah lambang tri murti; Pinang melambangkan pemujaan kepada dewa brahma, sirih lambang dewa wisnu dan kapur lambang dewa siwa.Jika memperhatikan canang dengan baik; maka susunannya juga ada pelawa (daun-daunan), ini segera ditanyakan oleh salah satu anak muda itu; dimana referensinya itu?
Kalau pelawa itu adanya di Lontar Yadnya Kerti; daun-daunan adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Karena itu sekalipun dalam konteks umum sarana sembahyang salah satunya bunga, namun tidak semua bunga yang ditata dapat disebut canang apabila tidak didasari oleh canang: sirih pinang dan kapur itu. Lalu pembicaraan berlanjut mengenai kewangen; mereka bertanya kalau kewangen ini jenisnya ‘bunga’ yang bagaimana?
Kewangen berasal juga dari bahasa jawa kuno, dari kata ‘wangi’ artinya persembahan keharuman. Dalam lontar Jaya Kesunu, kewangen disebutkan sebagai lambang Ongkara. Pada upacara persembahyangan kewangen diwujudkan sebagai purusa pradhana; mengenai ongkara ini adalah tergolong aksara atau huruf suci yang disebut wijaksara. Aksara bali dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksara biasa, dapat dibagi dua yaitu aksara wreastra, yaitu aksara yang dipakai menulis bahasa bali lumrah atau biasa, dan untuk menulis bahasa kawi disebut aksara Swalalita. Sedangkan aksara suci itu dikenal dengan sebutan modre; dikenal tiga jenis; lokanatha, aksara paten (mati) dan aksara wijaksara. Ongkara juga dipahami dalam konteks berbeda dengan sebutan ekaksara; lambang Sang Hyang Widi, yang kelak berkembang menjadi Dasaksara, digelari pula wicaksara. Dalam tradisi bali inilah disebut mulastawa; awalan pengucapan mantra; menyebutkan Ida Sang Hyang Widi, permohonan izin, sifatnya suci sebab dalam bentuknya akan dipilah; bagian bawahnya itulah ardhacandra, bagian tengah itulah windu dan bagian atas disebut nada. Karena itu kewangen bukanlah sarana sembahyang yang biasa-biasa saja. Ini mungkin kategori bunga yang supermahabunga!
Dalam tradisi bali; bunga tidak hanya sarana sembahyang namun juga termuat hampir disemua sastra agama, menjadi refensi bagi para anak muda mengenai bunga dan ‘eksistensinya’, dalam kisah Ramayana bunga dijadikan lambang restu; disebutkan sebagai gandha kusuma, dalam arjuna wiwaha disebutkan mengenai puspa warsa artinya; hujan bunga sebagai lambang dewa siwa merestui tapa sang arjuna. Kemudian dalam sumanasantaka dikisahkan bagaimana dewi harini terbebaskan kutukannya oleh bunga yang dijatuhkan oleh narada. Kemudian kidung aji kembang, dewata nawasanga disimbolkan dengan teratai, setiap warnanya akan mewakili lambang berbagai dewa. Karena itu Kidung aji kembang dipakai untuk mengantarkan upacara 'ngareka' sebelum abu jenazah dihanyutkan ke laut.
Anak-anak muda itu mulai tersentak; sebab tak menyangka pertanyaan kenapa bunga itu mendapat jawaban yang demikian panjang; dan mungkin mulai terpikir, kenapa selama ini mengira bunga itu sebatas sarana sembahyang sebagai tanda keiklasan semata. Lalu jawaban lain menambahi penjelasan mengenai bunga; pada lontar siwa pakarana; menjelaskan bagaimana lambang teratai itu melukiskan padma astadala, simbol alam semesta stana ida sang hyang widi; disebut juga sebagai sarasija atau pangkaja. Yang lebih menggetarkan adalah bahwa setiap pagi semua pedande di bali disaat melakukan surya sewana menyebutkan hal sebagai: Oh Hyang widi yang berbadan bunga…
Mereka anak muda yang penuh semangat, nampak penuh keinginan rasa tahu; kelak mereka juga akan menanyakan sekar ura, lambang perpisahan, pengantar kematian. Kemudian bunga pun memiliki jenisnya, memiliki sejarah dan kepahlawannya sendiri. Karena itu Kala tatwa mengajarkan mengenai fungsi bunga yang utama adalah alat menghindari santapan kala, juga beberapa jenis bunga dapat dijadikan obat, sedangkan lontar aji janantaka menjelaskan bunga-bunga apa saja yang dapat dipakai sebagai persembahan, sembahyang dan sarana upacara. Bahkan dalam siwagama dijelaskan pula mengapa bunga medori putih dan bambu buluh dipakai memuja pitara atau roh suci leluhur.
Ah, masih banyak lagi refensi yang akan memuaskan kehausan rasionalisasi keyakinan di kalangan anak muda ini; menariknya, mereka kembali untuk tertegun mengenai sebuah tradisi yang sesungguhnya memiliki argumentasi yang detail dan luas; yang dalam keseharian justru diajarkan dengan sederhana; secara gugon tuwon, mengikuti apa yang sudah ada, padahal; barisan anak muda ini kini mulai dengan semangat bertanya, kritis dan menukik; sebab di luar sana; semuanya seolah mempertanyakan agama wali ini, apakah memiliki kitab ataukah tidak….dan seterusnya; maka semangat bertanya dan mencari jawaban justru membuat hati kembali pada dasarnya sang penganut; keyakinan. Sebab anak-anak muda itu pun tak membayangkan kalau kenapa bunga, ternyata jawabannya tak terhinga banyaknya.
Duhai, begitulah kehendak zaman. Agama tidak cukup dengan keyakinan, namun pembuktian seperti memperlakukan ilmu pasti. Rasionalisasi yang berstruktur adalah pola pikir zaman modern. Dan tentu saja sebelum beberapa anak muda ini kehilangan semangatnya, obrolan dimulai dengan kisah bunga, kenapa bunga? Tanya mereka, jawabannya; sebab untuk penjelasan bunga itu saja sebenarnya kalau dibandingkan dengan tradisi sekolahan topik bunga adalah mata pelajaran setahun lebih, tanpa jeda waktu mempelajarinya jika ingin memahami dengan teramat paham; Mereka, anak-anak muda itu tertawa dan barangkali teringat akan kisah asmara; katakanlah dengan bunga jika menyatakan cinta….
Bunga bagi masyarakat Bali dengan keyakinannya begitulah penting; mendasar. Sebab tiada hari tanpa bunga. Dalam keseharian, setiap hari masyarakat bali yang memeluk hindu mempersembahkan minimal canang sekar; canang itu dari bahasa kawi; artinya sirih, karena itu di setiap canang selalu ditemukan pada bagian dasarnya porosan; yang dibuat dari pinang, sirih dan kapur. Itu adalah lambang tri murti; Pinang melambangkan pemujaan kepada dewa brahma, sirih lambang dewa wisnu dan kapur lambang dewa siwa.Jika memperhatikan canang dengan baik; maka susunannya juga ada pelawa (daun-daunan), ini segera ditanyakan oleh salah satu anak muda itu; dimana referensinya itu?
Kalau pelawa itu adanya di Lontar Yadnya Kerti; daun-daunan adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Karena itu sekalipun dalam konteks umum sarana sembahyang salah satunya bunga, namun tidak semua bunga yang ditata dapat disebut canang apabila tidak didasari oleh canang: sirih pinang dan kapur itu. Lalu pembicaraan berlanjut mengenai kewangen; mereka bertanya kalau kewangen ini jenisnya ‘bunga’ yang bagaimana?
Kewangen berasal juga dari bahasa jawa kuno, dari kata ‘wangi’ artinya persembahan keharuman. Dalam lontar Jaya Kesunu, kewangen disebutkan sebagai lambang Ongkara. Pada upacara persembahyangan kewangen diwujudkan sebagai purusa pradhana; mengenai ongkara ini adalah tergolong aksara atau huruf suci yang disebut wijaksara. Aksara bali dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksara biasa, dapat dibagi dua yaitu aksara wreastra, yaitu aksara yang dipakai menulis bahasa bali lumrah atau biasa, dan untuk menulis bahasa kawi disebut aksara Swalalita. Sedangkan aksara suci itu dikenal dengan sebutan modre; dikenal tiga jenis; lokanatha, aksara paten (mati) dan aksara wijaksara. Ongkara juga dipahami dalam konteks berbeda dengan sebutan ekaksara; lambang Sang Hyang Widi, yang kelak berkembang menjadi Dasaksara, digelari pula wicaksara. Dalam tradisi bali inilah disebut mulastawa; awalan pengucapan mantra; menyebutkan Ida Sang Hyang Widi, permohonan izin, sifatnya suci sebab dalam bentuknya akan dipilah; bagian bawahnya itulah ardhacandra, bagian tengah itulah windu dan bagian atas disebut nada. Karena itu kewangen bukanlah sarana sembahyang yang biasa-biasa saja. Ini mungkin kategori bunga yang supermahabunga!
Dalam tradisi bali; bunga tidak hanya sarana sembahyang namun juga termuat hampir disemua sastra agama, menjadi refensi bagi para anak muda mengenai bunga dan ‘eksistensinya’, dalam kisah Ramayana bunga dijadikan lambang restu; disebutkan sebagai gandha kusuma, dalam arjuna wiwaha disebutkan mengenai puspa warsa artinya; hujan bunga sebagai lambang dewa siwa merestui tapa sang arjuna. Kemudian dalam sumanasantaka dikisahkan bagaimana dewi harini terbebaskan kutukannya oleh bunga yang dijatuhkan oleh narada. Kemudian kidung aji kembang, dewata nawasanga disimbolkan dengan teratai, setiap warnanya akan mewakili lambang berbagai dewa. Karena itu Kidung aji kembang dipakai untuk mengantarkan upacara 'ngareka' sebelum abu jenazah dihanyutkan ke laut.
Anak-anak muda itu mulai tersentak; sebab tak menyangka pertanyaan kenapa bunga itu mendapat jawaban yang demikian panjang; dan mungkin mulai terpikir, kenapa selama ini mengira bunga itu sebatas sarana sembahyang sebagai tanda keiklasan semata. Lalu jawaban lain menambahi penjelasan mengenai bunga; pada lontar siwa pakarana; menjelaskan bagaimana lambang teratai itu melukiskan padma astadala, simbol alam semesta stana ida sang hyang widi; disebut juga sebagai sarasija atau pangkaja. Yang lebih menggetarkan adalah bahwa setiap pagi semua pedande di bali disaat melakukan surya sewana menyebutkan hal sebagai: Oh Hyang widi yang berbadan bunga…
Mereka anak muda yang penuh semangat, nampak penuh keinginan rasa tahu; kelak mereka juga akan menanyakan sekar ura, lambang perpisahan, pengantar kematian. Kemudian bunga pun memiliki jenisnya, memiliki sejarah dan kepahlawannya sendiri. Karena itu Kala tatwa mengajarkan mengenai fungsi bunga yang utama adalah alat menghindari santapan kala, juga beberapa jenis bunga dapat dijadikan obat, sedangkan lontar aji janantaka menjelaskan bunga-bunga apa saja yang dapat dipakai sebagai persembahan, sembahyang dan sarana upacara. Bahkan dalam siwagama dijelaskan pula mengapa bunga medori putih dan bambu buluh dipakai memuja pitara atau roh suci leluhur.
Ah, masih banyak lagi refensi yang akan memuaskan kehausan rasionalisasi keyakinan di kalangan anak muda ini; menariknya, mereka kembali untuk tertegun mengenai sebuah tradisi yang sesungguhnya memiliki argumentasi yang detail dan luas; yang dalam keseharian justru diajarkan dengan sederhana; secara gugon tuwon, mengikuti apa yang sudah ada, padahal; barisan anak muda ini kini mulai dengan semangat bertanya, kritis dan menukik; sebab di luar sana; semuanya seolah mempertanyakan agama wali ini, apakah memiliki kitab ataukah tidak….dan seterusnya; maka semangat bertanya dan mencari jawaban justru membuat hati kembali pada dasarnya sang penganut; keyakinan. Sebab anak-anak muda itu pun tak membayangkan kalau kenapa bunga, ternyata jawabannya tak terhinga banyaknya.
No comments:
Post a Comment