PILKADA…YA???

Obrolan di Bali saat ini, walau tidak begitu hangat: adalah Pilkada. Ada beberapa kabupaten dan kota bulan Mei nanti akan melaksanakan pemilihab bupati dan walikota. Seperti biasa, tandanya adalah banyak baliho dipasang, spanduk ucapan ini-itu: lalu muncul posko-posko pendukung; sesekali di televisi nampak iklan para kandidat. Selebihnya, masyarakat bersikap maklum; ada atau tidak pergantian pimpinan; hidup keseharian tidak akan berubah.

Masyarakat dalam diam pun tahu, hanya orang-orang disekitar kandidat itulah yang aktiv, rajin, penuh semangat bahkan satu dua tampil fanatik; meracau bicara soal kandidat yang didukungnya! Ada juga yang memikirkan peluang-peluang untuk mendapat keuntungan dari para kandidat, yang sudah barang tentu : peluang itu berasal dari : proses keputusan seseorang menjadi kandidat, yang karena alasan itu baru memikirkan: apakah wajahnya dikenal oleh masyarakat pemilihnya? Bagaimana caranya mendapatkan rekomendasi: restu sakti dari partai? Barulah setelah kerepotan itu memikirkan dengan tergopoh-gopoh: dimanakah harus mendapatkan dukungan: banjar A mungkin basis partai C, tapi di situ asalnya salah satu kandidat; Desa X mungkin basis partai E, tapi di situ basis beberapa pemimpin informal yang tidak memiliki kandidat: Mungkin ini maksudnya pemetaan politik: dalam politik praktis dikenal adanya pemetaan berdasarkan sosiologis, psikologis dan rasional! Biasanya, diterjemahkan oleh konsultan politik dengan pemaparan profile pemilih di berbagai pelosok kantong-kantong para pemilih.

Seperti biasanya, itu tidak muncul sebuah proses kampanye yang mendidik, sebab diterjemahkan oleh tim sukses dengan pemasangan Baliho; kunjungan untuk penyerahan sumbangan, lobbi-lobbi tertutup, yang tidak menjelaskan tujuannya apa, prosesnya bagaimana dan mengapa? Debat yang diatur seformal mungkin, dibatasi waktu; hasilnya dianggap berhasil apabila jika sekelompok masyarakat menyatakan diri sebagai pendukung kandidat A atau B: ditayangkan di televisi dan media cetak; tentu sebagai advertorial: yang hanya akan ditonton atau dibaca oleh kelompok pendukung itu saja! Sementara masyarakat yang lain dengan tak peduli mengubah channel televisinya, melewati advertorial politik itu.

Penyebabnya adalah karena perilaku masyarakat yang diabaikan oleh para politisi; yang melupakan pendekatan psikologis masyarakat yang jenuh dengan berbagai tingkah polah politik praktis. Yang bergaung justru: berapa banyak sumbangan yang akan diterima? Untuk dibuatkan apa, kapan cairnya: lalu ini yang kadang dikatakan: ‘rakyat sekarang sudah cerdas, jadi tidak memilih salah satu kandidat dengan gratis’

Apatisme untuk mendapatkan pemimpin yang baik, jujur, cerdas dan berani mengadakan perubahan bagi kehidupan diwilayah setingkat kabupaten dan kota di Bali, sering menjadi tanda tanya: jalan-jalan pastilah akan diperbaiki, sebab tidak mungkin, jalan-jalan dibiarkan rusak. Sekolah, puskesmas, pasar, air dan transportasi: jelas tidak akan berubah oleh seorang pemimpin lokal. Daerah kering tidak akan berubah menjadi daerah subur, daerah yang miskin tidak akan menjadi mapan.
Politik pemilihan langsung yang dijadikan pengalaman oleh masyarakat: ‘setelah dipilih apakah saat pemilihan legislatif, pemilihan gubernur ataukah bupati atau walikota: berakhir dengan rutinitas, perilaku yang sama: sama saja dalam kerangka hubungan struktual, instrumental dan cultural antara penguasa dengan rakyatnya. Akibtanya, terobosan apapun dari kandidat, bahkan yang berupa iming-iming ini-itu: yang maksudnya menyentuh hati pun sulit menggugah hati rakyat. Malah memetikan cibiran secara diam-diam ketika ada kandidat seperti sinterklas: kelak akan membagi-bagi uang untuk ini dan itu dari APBD.

Perilaku politik masyarakat: ‘seolah ikut ada dalam situasional pilkada’ sebetulnya menjadi fenomena, pertanyaan yang mendasar kepada semua partai politik yang ada: apa sesungguhnya kegunaan dan manfaat ada partai-partai ini? Benarkah dapat dijadikan alat oleh rakyat untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan? Hampir dipastikan partai politik; apakah yang baru ataukah partai lama, hanya aktif saat mendekati pemilu legislative, saat pilkada: urusannya adalah seolah urusan para pengurus tingkat tinggi, kadang eksklusif! Tak terjangkau oleh partisipisan: urusan rekomendasi kepada kandidat!

Hampir tidak ada pimpinan partai mengambil insiatif pendidikan politik dan kepemimpinan dalam internal partai; urusan partai nampak semarak hanya untuk kongres atau pemilihan pengurus. Selebihnya, seperti terhuyung-huyung tidak tahu yang mesti dilakukan, kecuali membangun hubungan pertemanan, wara-wiri kesana-kemari, seolah-olah ada kegiatan politik; atau sesekali menemui teman-teman yang sudah dilembaga; pasti tidak dalam kerangka memikirkan rakyat, lebih sering lobi kepentingan; entah mencari anak, istri, menantu kerja atau mengusulkan salah satu kerabat naik pangkat, menduduki jabatan tertentu di birokrasi.

Perilaku politik itu tidak muncul dipermukaan, baru terlihat hasilnya menjelang pemilu: partai-partai harus memiliki kandidat calon, maka mulai terdengar: kalau tak ada uang, pasti susah menjadi calon. Maka nampaklah kemudian jajaran para calon, yang kadang membuat masyarakat terhenyak: kok bisa yah si A, si B: menjadi calon (?). Nah saat hasilnya, masyarakat dipojokan: salah sendiri memilih si A atau Si B…

Pemilihan langsung yang kini diterapkan di seluruh penjuru Indonesia: masih ‘dalam proses’ untuk menjadi ajang kawah candradimukanya penghasil pemimpin dan wakil-wakil yang berpihak kepada rakyat; begitu kalimat penghiburnya ketika banyak kritik dilontarkan mengenai keadaan demokrasi di Indonesia saat ini. Kalau memang ‘dalam proses’: yang ada undang-undangnya, dsbnya: tapi kapan mulainya, kapan ada proses kerja partai yang sungguh-sungguh dalam rekrutmen anggotanya dalam kerangka proses pembelajaran yang juga dalam kerangka proses itu sendiri: pendidikan politik partai dari pengenalan ideology sampai idealisme partai itukah? Kemudian pemetaan sampai manajemen kampanye; bahkan publick speaking. Yang ada: setelah dipilih; para wakil diberi pembekalan, proses pemahaman structural dan instrumental dalam kelembagaan: prosedur keuangan terutama, agar jangan terseret kasus hukum. Tapi latar belakang pengetahuan politik praktis: sosiologis, psikologis dan cultural partai pun masyarakatnya tidak dipahami para wakil. Semuanya meniru tukang pangkas rumput: dimana rumput subur disana berkerumun, yang kering ditinggalkan. Tidak pernah bertumbuh loyalitas, fanatisme dalam pengertian positif kepada perjuangan untuk kepentingan rakyat.

Obrolan pun menemukan titik jenuhnya: ya, sudah yang mau milih, milih saja. Yang tidak sempat, ya terserah. Yang penting menjaga perasaan sekitar: seolah-olah akan lahir pemimpin baru dari sebuah rahim yang memang sengaja dikeringkan secara serentak oleh rasa lelah untuk percaya; kekuasaan itu di zaman kapak pun telah diperingati: tak akan sanggup mengatasi penderitaan dan kemiskinan.


(SESI-1: PERSIAPAN SERIAL DISKUSI: DEMOCRAZY..OR DEMOKRASI)

No comments:

Post a Comment