Mari gunakan hatimu, biarkan pikiran diam.
Biarkan kesadaran akan diri dari hatimu, bukan karena akal sehat yang diagung-agungkan oleh kehidupan masa kini. Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi hatimu, seperti riuhnya isi bumi; seperti sesaknya langit oleh bintang-bintang. Biarkan dirimu menjadi penanya yang rewel, pandir dan menjemukan. Ini hari adalah kesempatan engkau duduk di dekat kaki sang guru, yang tak akan memberimu kelas ataupun tingkatan: bertanyalah dengan semangat, seperti meracau dalam tidur yang gelisah.
Jika hatimu merasakan engkau salah satu mahluk yang lahir, tumbuh dan kelak mati di bumi. Maka bumi akan menjelaskan tentang bumi yang bulat, yang memiliki intinya disebut Kala Gni Rudra, itulah inti yang terpanas, tak terbayangkan panasnya! Kenapa panas itu tak menganggumu, sebab ada tujuh lapis yang menjaga tubuh hidupmu di atas bumi yang disebut sapta patala. Tujuh lapis itu; dimana setiap lapisnya ada penghuninya; lapis yang terdekat dengan permukaan bumi disebut Atala dihuni oleh Mahamaya, kemudian lapis di bawahnya disebut Witala yang dikelola oleh Hatakeswara, dia itu manifestasi Brahman, lapis ketiga disebut Sutala dihuni dipimpin oleh raksasa Bali, lapis selanjutnya disebut Talatala dihuni oleh Maya, lalu lapis kelima disebut Mahatala dihuni oleh para ular raksasa, kaum naga, kemudian lapis keenam disebut Rasatala yang dihuni oleh detya dan Manawa, kemudian lapis yang terdekat dengan inti bumi disebut Patala, itu dikuasai oleh Naga Basuki.
Lalu jika akal sehatmu mulai melintas, hentikan, biarkan hatimu melihat langit: biarkan hatimu mengenal tentang saptaloka, lapis pertama di atasmu berdiri tegak, tiada lain disebut Bhurloka, paling mungkin engkau sentuh, kemudian lapis ke atasnya antara langit dan matahari itu disebut Swahloka atau dikenal pula dengan sebutan swargaloka, di situ Indra berdiam, lapis di atasnya disebut Maharloka kediam Maharsi Bhrigu, di atasnya lagi disebut Janaloka, itu kediaman putra brahma, lalu lapis di atasnya lagi disebut Tapaloka; tempat berdiam Weragi, semacam ras dari mahluk agung, di lapis ke tujuhlah berdiam Brahma, disebut Brahmaloka atau satyaloka.
Kini bayangkan dalam hatimu bagaimana laba-laba memintal sarangnya, demikian pelahan. Jika engkau bertanya tentang awal semesta hidup ini: jika engkau membayangkan sebagai rahim agung yang didalamnya ada janin emas; itu yang disebut Hiranyagharba, atau jika engkau membayangkan Brahman, maka kenalilah bramanda, lalu purusa dan prakiriti, yang bersatu menjadi alam semesta; maka citta, alam pikiran diciptakan dengan tiga pengaruh utamanya satwam, rajas, dan tamas. Maka akan engkau kenal apa yang disebut Triantahkarana; budhi sebagai awal nalurimu, manah sebagai akal pikiran, ahamkara sebagai awal rasa keakuan.
Dengan pelahan, itu berproses tahap demi tahap melahirkan Panca Budhi indria; perhatikanlah baik-baik; yang pertama, Srotendria ini berupa rangsangan pendengar pada telinga, kemudian Twakindria, menjadi awal alat peraba; rangsangan indria pada kulit, lalu Caksuindria rangsang penglihatan; rasakan indria pada mata, selanjutnya disebut Ghranendria rangsang pencium; indria pada hidung dan Jihwendria, ini rangsang pengecap; indria pada lidah.
Lalu kenanglah akan Garbendria, itu yang menjadi penggerak perut; itu indria pada perut, rasakan pula Panindria, itu penggerak di tangan; indria pada tangan, rasakan pula Padendria penggerak kaki; indria pada kaki, selanjutnya Payuindria, itu penggerak organ pelepasan; indria pada organ pelepasan, dan dengan hati-hati bayangkan Upasthendria penggerak alat kelamin; indria pada alat kelamin.
Maka proses berlanjut tahapan itu menuju kepada Pancatanmatra, inilah lima benih yang teramat halus, lebih kecil dari partikel, lebih halus dari titik-titik yang mungkin dapat engkau lihat, kelimanya belum memiliki ukuran, karena itu disebut benih Sabdatanmatra (benih suara), Rupatanmatra (benih penglihatan), Rasatanmatra (benih perasa), Gandhatanmatra (benih penciuman), Sparsatanmatra (benih peraba), maka kini hatimu akan mengenali apa yang disebut Paramanu, ini juga benih, namun sudah mulai berbentuk, namun lebih halus dari atom, benih-benih ini yang disebut Pancamahabhuta: lima unsur zat alam, terdiri dari Akasa (ether), Bayu (zat gas, udara), Teja (plasma, api, kalor),Apah (zat cair), Pertiwi (zat padat, tanah, logam), bayangkan ketika proses ini bergerak, menyusun, kadang apah, zat cair yang dominan, kadang pertiwi, kadang bayu, kadang teja, karena itu isi alam semesta ini beranekaa rupa, matahari didominasi oleh teja, sedangkan bumi oleh pertiwi dan apah; samudera, bintang, segala isi alam semesta semoga terbayangkan, seisi itu ada dalam hatimu; semuanya bergerak terus dengan pelahan, tumbuh terus tak terbayang oleh pikiran, karena itu hatimulah yang kini bekerja.
Jika kemudian kemudian engkau mengira alam semesta ini ada akhirnya, kenanglah lagi bagaimana alam semesta diciptakan, dimusnahkan, lalu seperti otomatis diciptakan berulang-ulang, itu siklus yang berputar abadi, itu yang disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari; ingatlah selalu alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya, itu yang dikenang sebagai Pralaya, kejadiannya akan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma, atau 311 Triliun tahun bagi manusia, itu awal hitungan usia Brahma.
Karena itu, ketika merayakan nyepi, yang gelap itu digelapkan oleh kegelapan, sekalipun engkau mematikan semua cahaya, tetaplah tak terbayangkan awal mulanya kegelapan itu; namun hatimu akan menolong mengenali proses itu, memahami benih-benih awal dari kehidupanmu, benih-benih awal kejadian alam semestamu. Karena itu, yang sesuatu tak ada itu, sesungguhnya sesuatu yang ada. Selamat hari raya nyepi, icakawarsa : 1932, kenanglah dengan hatimu, buang sejenak akal sehatmu, mungkin terasa aneh, sebab kini kebanyakan engkau memuja pikiranmu, hingga lupa: hatimu adalah semesta yang memiliki tujuh lapis ke dasar bumi, tujuh lapis ke inti semesta.
(coksawitri, 2010)
Biarkan kesadaran akan diri dari hatimu, bukan karena akal sehat yang diagung-agungkan oleh kehidupan masa kini. Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi hatimu, seperti riuhnya isi bumi; seperti sesaknya langit oleh bintang-bintang. Biarkan dirimu menjadi penanya yang rewel, pandir dan menjemukan. Ini hari adalah kesempatan engkau duduk di dekat kaki sang guru, yang tak akan memberimu kelas ataupun tingkatan: bertanyalah dengan semangat, seperti meracau dalam tidur yang gelisah.
Jika hatimu merasakan engkau salah satu mahluk yang lahir, tumbuh dan kelak mati di bumi. Maka bumi akan menjelaskan tentang bumi yang bulat, yang memiliki intinya disebut Kala Gni Rudra, itulah inti yang terpanas, tak terbayangkan panasnya! Kenapa panas itu tak menganggumu, sebab ada tujuh lapis yang menjaga tubuh hidupmu di atas bumi yang disebut sapta patala. Tujuh lapis itu; dimana setiap lapisnya ada penghuninya; lapis yang terdekat dengan permukaan bumi disebut Atala dihuni oleh Mahamaya, kemudian lapis di bawahnya disebut Witala yang dikelola oleh Hatakeswara, dia itu manifestasi Brahman, lapis ketiga disebut Sutala dihuni dipimpin oleh raksasa Bali, lapis selanjutnya disebut Talatala dihuni oleh Maya, lalu lapis kelima disebut Mahatala dihuni oleh para ular raksasa, kaum naga, kemudian lapis keenam disebut Rasatala yang dihuni oleh detya dan Manawa, kemudian lapis yang terdekat dengan inti bumi disebut Patala, itu dikuasai oleh Naga Basuki.
Lalu jika akal sehatmu mulai melintas, hentikan, biarkan hatimu melihat langit: biarkan hatimu mengenal tentang saptaloka, lapis pertama di atasmu berdiri tegak, tiada lain disebut Bhurloka, paling mungkin engkau sentuh, kemudian lapis ke atasnya antara langit dan matahari itu disebut Swahloka atau dikenal pula dengan sebutan swargaloka, di situ Indra berdiam, lapis di atasnya disebut Maharloka kediam Maharsi Bhrigu, di atasnya lagi disebut Janaloka, itu kediaman putra brahma, lalu lapis di atasnya lagi disebut Tapaloka; tempat berdiam Weragi, semacam ras dari mahluk agung, di lapis ke tujuhlah berdiam Brahma, disebut Brahmaloka atau satyaloka.
Kini bayangkan dalam hatimu bagaimana laba-laba memintal sarangnya, demikian pelahan. Jika engkau bertanya tentang awal semesta hidup ini: jika engkau membayangkan sebagai rahim agung yang didalamnya ada janin emas; itu yang disebut Hiranyagharba, atau jika engkau membayangkan Brahman, maka kenalilah bramanda, lalu purusa dan prakiriti, yang bersatu menjadi alam semesta; maka citta, alam pikiran diciptakan dengan tiga pengaruh utamanya satwam, rajas, dan tamas. Maka akan engkau kenal apa yang disebut Triantahkarana; budhi sebagai awal nalurimu, manah sebagai akal pikiran, ahamkara sebagai awal rasa keakuan.
Dengan pelahan, itu berproses tahap demi tahap melahirkan Panca Budhi indria; perhatikanlah baik-baik; yang pertama, Srotendria ini berupa rangsangan pendengar pada telinga, kemudian Twakindria, menjadi awal alat peraba; rangsangan indria pada kulit, lalu Caksuindria rangsang penglihatan; rasakan indria pada mata, selanjutnya disebut Ghranendria rangsang pencium; indria pada hidung dan Jihwendria, ini rangsang pengecap; indria pada lidah.
Lalu kenanglah akan Garbendria, itu yang menjadi penggerak perut; itu indria pada perut, rasakan pula Panindria, itu penggerak di tangan; indria pada tangan, rasakan pula Padendria penggerak kaki; indria pada kaki, selanjutnya Payuindria, itu penggerak organ pelepasan; indria pada organ pelepasan, dan dengan hati-hati bayangkan Upasthendria penggerak alat kelamin; indria pada alat kelamin.
Maka proses berlanjut tahapan itu menuju kepada Pancatanmatra, inilah lima benih yang teramat halus, lebih kecil dari partikel, lebih halus dari titik-titik yang mungkin dapat engkau lihat, kelimanya belum memiliki ukuran, karena itu disebut benih Sabdatanmatra (benih suara), Rupatanmatra (benih penglihatan), Rasatanmatra (benih perasa), Gandhatanmatra (benih penciuman), Sparsatanmatra (benih peraba), maka kini hatimu akan mengenali apa yang disebut Paramanu, ini juga benih, namun sudah mulai berbentuk, namun lebih halus dari atom, benih-benih ini yang disebut Pancamahabhuta: lima unsur zat alam, terdiri dari Akasa (ether), Bayu (zat gas, udara), Teja (plasma, api, kalor),Apah (zat cair), Pertiwi (zat padat, tanah, logam), bayangkan ketika proses ini bergerak, menyusun, kadang apah, zat cair yang dominan, kadang pertiwi, kadang bayu, kadang teja, karena itu isi alam semesta ini beranekaa rupa, matahari didominasi oleh teja, sedangkan bumi oleh pertiwi dan apah; samudera, bintang, segala isi alam semesta semoga terbayangkan, seisi itu ada dalam hatimu; semuanya bergerak terus dengan pelahan, tumbuh terus tak terbayang oleh pikiran, karena itu hatimulah yang kini bekerja.
Jika kemudian kemudian engkau mengira alam semesta ini ada akhirnya, kenanglah lagi bagaimana alam semesta diciptakan, dimusnahkan, lalu seperti otomatis diciptakan berulang-ulang, itu siklus yang berputar abadi, itu yang disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari; ingatlah selalu alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya, itu yang dikenang sebagai Pralaya, kejadiannya akan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma, atau 311 Triliun tahun bagi manusia, itu awal hitungan usia Brahma.
Karena itu, ketika merayakan nyepi, yang gelap itu digelapkan oleh kegelapan, sekalipun engkau mematikan semua cahaya, tetaplah tak terbayangkan awal mulanya kegelapan itu; namun hatimu akan menolong mengenali proses itu, memahami benih-benih awal dari kehidupanmu, benih-benih awal kejadian alam semestamu. Karena itu, yang sesuatu tak ada itu, sesungguhnya sesuatu yang ada. Selamat hari raya nyepi, icakawarsa : 1932, kenanglah dengan hatimu, buang sejenak akal sehatmu, mungkin terasa aneh, sebab kini kebanyakan engkau memuja pikiranmu, hingga lupa: hatimu adalah semesta yang memiliki tujuh lapis ke dasar bumi, tujuh lapis ke inti semesta.
(coksawitri, 2010)
No comments:
Post a Comment