Berapa sesungguhnya biaya yang diperlukan oleh seorang calon wakil rakyat dan calon pimpinan lokal? Dari tingkat kabupaten hingga provinsi? Jawabannya: entah! KPUD baik kabupaten maupun provinsi dalam tugasnya pastilah menganggarkan dalam jumlah milyaran; untuk biaya operasional KPUD itu sendiri, itu bahasa awamnya, tidak perlu masyarakat tahu, sebab sekarang semuanya serba transparan, tidak ragu, peruntukannya jelas kok!
Namun tak pernah jelas kemudian, apakah biaya besar itu termasuk memfasilitasi para calon wakil rakyat dan calon pimpinan lokal? --KPUD , kata seorang teman, adalah lembaga yang paling sibuk mempelajari perubahan perarturan. Setiap saat, KPUD harus meralat informasinya mengenai berbagai perarturan menyangkut proses pemilihan. Berbagai persoalan teknis dari penghitungan suara sampai soal jumlah Tempat Pemungutan Suara, belum lagi soal administrasi pendaftaran, partai-partai baru yang masih ribet dengan eksistensinya selalu akan menjadi pendorong KPUD dimanapun untuk memerlukan 'biaya lembur', menyebakan banyak biaya-biaya yang harus dikeluarkan!
Karena itu daya tahan KPUD mensosialisasikan segala macam perarturan, hanya dapat dilakukan diawal-awal pendiriannya atau menjelang pelaksanaan kampanye: itupun sosialisasinya lebih kepada mengajak agar masyarakat tidak golput atau tatacara pemberian suara. Saat keriuhan seperti itu: semua calon wakil rakyat mulai menghitung-hitung jumlah baliho yang mesti dipasang, perlu atau tidak membuat baju kaos, lalu pendekatan-pendekatan politik; baik melalui individu, komunitas maupun organisasi; semuanya perlu biaya, minimal biaya minum kopi dan jajan! Lalu yang mendapat wilayah yang lebih luas, tingkat provinsi memerlukan biaya transportasi! Hebatnya, semua itu direncanakan kurang lebih dari enam bulan bahkan ada yang dadakan maju sebagai calon untuk penggenap daftar urut!
Tidaklah mesti mengherani jika kemudian; banyak calon wakil yang tidak memahami apa beda bahan kampanye sebagai calon wakil partai di tingkat kabupaten dengan provinsi: bahkan ada yang membuat kelucuan fatal, ada calon wakil rakyat mengira dirinya jika bisa menjadi wakil rakyat akan dapat mengubah harga minyak?! Demikianlah isi demokrasi langsung itu, membuat banyak bibir tersenyum, menghelus dada: melihat tiba-tiba beraneka wajah politisi karbitan….
Jawabannya sederhana: ini kata teman yang lain, yang tidak mau menyalahkan pihak manapun: bahwa partai-partai politik Indonesia tidak (belum) melakukan salah satu tugas pentingnya; yakni pendidikan politik. Masyarakat Indonesia setelah era reformasi tidak (belum) memiliki pengalaman menghadapi proses pemilihan langsung tiba-tiba disodorkan: satu prosedur yang menuntut kemandirian individu dalam rangka mengatur dirinya ketika memasuki ranah politik praktis.
Bandingkan dengan proses pencalonan wakil rakyat di era orde baru, yang persyaratan administrasi diurus oleh 'partai' dan pemerintah (?) Kampanye kemudian lebih kepada penggalangan 'massa mengambang' dilakukan bersama-sama: tapi kini memang sistem dan masalahnya tidak sederhana: dari nomor urut sampai wilayah sasaran pendulangan suara menjadi bahan untuk keluarnya biaya! Bukan lagi urusan bersama, ini urusan pribadi! Tidak mengherankanlah ketika usai pemilihan, banyak calon wakil rakyat yang gugur, gagal terpilih; tiba-tiba menjadi berita media cetak dan elektronik: menagih sumbangannya karena dirinya tidak terpilih; stress lalu mengamuk kepada orang-orang yang selama proses kampanye; katanya telah diberikan uang dan berjanji memilihnya, ternyata ingkar janji!
Padahal, jelas aturannya, pemberian langsung tak langsung itu menyalahi aturan, namun secara 'tahu sama tahu': hampir semua calon wakil rakyat melakukan pemberian tidak langsung ini; entah berupa sumbangan untuk bangun ini-itu, entah model serangan fajar, dsbnya: yang tidak terungkap pembuktiannya karena itu bentuknya rumor. Pembagian benda misalnya berupa kenang-kenangan; dari ikat kepala, dupa, bunga sampai korek api, kopi bubuk dan sampai pasir, beras, batu bata, dsbnya. Kemudian biaya pertemuan-pertemuan lain: dari bebek, dolong, babi sampai kambing. Luar biasa besarnya biaya yang diperlukan oleh seorang calon wakil untuk setingkat kabupaten saja!
Lucunya, semua itu 'diamini' oleh jejaring politik termasuk partai-partai yang sesungguhnya berkepentingan untuk kepentingan umur panjang partainya! Tidak akan pernah terdengar pengurus partai menegur calon-calonnya untuk soal : kode etik dan taat perarturan. Semuanya 'tahu sama tahu': demikian rupa harus sulit dibuktikan. Kecuali ketika media memberitakan amarah calon yang kalah: tetap saja semua seolah mengatakan: salah sendiri, kenapa bodoh dalam pembelian suara! Jelas itu seolah tidak berkaitan dengan perilaku jejaring politik! Padahal, dari situasi itu kelihatan, betapa ada yang salah dalam hubungan partai dengan calon yang diajukan: jelas nampak, sistem ini tidak berpihak kepada rakyat, namun lebih kepada kepentingan kekuasaan dan uang.
Bayangkan kini dalam Pilkada: tanpa membuang prasangka, hampir dipastikan pasangan manapun telah menghitung isi dompetnya: sejak mendaftar di partai, lalu membentuk tim sukses: biaya cetak ini-itu, transportasi ini-itu, biaya komunikasi ini-itu, sumbangan ini-itu, pertemuan ini-itu: biaya iklan ini itu, baju kaos untuk pendukung….dengan gagah seorang aktivis partai, yang tidak saya sebutkan namanya mengatakan kepada saya: memang sudah begini zamannya! Kalau ada uang, baru bisa menjadi pemimpin! Bandingkan dengan ucapan seorang petinggi di pusat, yang malah sibuk mewacana criteria moral: membahas soal berzinah, dsbnya! Kesenjangan itu meruak telah menjadi julang lebar antara kenyataan dan harapan dalam demokrasi Indonesia masa kini.
Duhai, jawaban singkat itu tidak menjelaskan bahwa dalam konteks calon pemimpin kabupaten dan kota misalnya tugas dan wewenang, dua kata ini menjelaskan sesungguhnya jika dilihat dari Undang-Undang yang ada dengan perubahannya sekalipun : bukan uang semata yang dijadikan alasan rakyat memilih. Sebab tugas dan wewenang bupati maupun walikota menjadi alat bagi rakyat menuju perbaikan kesejahteraan. Tugas dan wewenang ini semestinya menjadi bahan kampanye: kemungkinan kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh bupati atau walikota. Demikian juga para wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota akan bersinergi dalam proses pembuktian janji kepada rakyat.
Tapi bila menonton debat dalam kampanye atau memperhatikan baliho dan spanduk. Masyarakat maklum: namanya saja kampanye: harus manis, harus lebay, kata anak muda; agar menarik. Semisal calon bupati/ walikota jeli membicarakan salah tugas wewenangnya soal prasarana umum saja: katakanlah yang berakar pada perjuangan partai; perekonomian rakyat: maka secara instrumental pertanyaannya: apakah bupati/ walikota pernah memikirkan apa dampak mall, mini market yang dizinkan sampai ke wilayah kecamatan? Itu bukan investasi: itu jelas akan membunuh kemandirian rakyat dalam ekonomi usaha kecil, sebab warung-warung dan toko-toko kecil akan pelahan mati. Atau bagaimanakah bupati/walikota akan membicarakan soal pelayanan kesehatan? Benarkah iklan obat generik itu tanda masalah kesehatan dapat diatasi? Sebab jika sakit bisa beli obat? Lalu bagaimana pengelolaan sumber daya alam? Yang ramah menjaga lingkungan? Lalu soal pengelolaan kelautan yang berkaitan juga dengan keamanan? Soal perempuan, soal kesenian, soal proses dinamika budaya: tugas wewenang dalam penyediaan fasilitas umum bukanlah diterjemahkan dengan membangun gedung-gedung mewah! Sepatutnya pengertiannya itu kedalam: bagaimana pendanaan proses kreatif itu kepada para pelaku seni, bukan berdasarkan hubungan 'kedekatan' yang berdasarkan proyek?
Hampir dipastikan selama kampanye Pilkada: kesibukan itu adalah menyampaikan khayalan yang mungkin dilakukan. Atau paling-paling calon baru: menyerang kebijakan lama. Rakyat pun maklum: semua itu akan segera berlalu! Setelah terpilih tidak akan ada yang menyoal lagi, apakah tugas dan wewenang itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh?
Nah, mari bayangkan andai calon pemimpin yang terpilih itu memikirkan: bagaimana membangun instrumental, perubahan structural dan cultural dalam wilayah serta multi stkeholdernya, sehingga kelak proses pemilihan langsung itu, menghasilkan wakil dan pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Bukan berpihak kepada berapa jumlah uang yang berani dikeluarkan; yang jumlahnya: entahlah!!!
(sesi 2: diskusi democrazy….atau demokrasi??)
Namun tak pernah jelas kemudian, apakah biaya besar itu termasuk memfasilitasi para calon wakil rakyat dan calon pimpinan lokal? --KPUD , kata seorang teman, adalah lembaga yang paling sibuk mempelajari perubahan perarturan. Setiap saat, KPUD harus meralat informasinya mengenai berbagai perarturan menyangkut proses pemilihan. Berbagai persoalan teknis dari penghitungan suara sampai soal jumlah Tempat Pemungutan Suara, belum lagi soal administrasi pendaftaran, partai-partai baru yang masih ribet dengan eksistensinya selalu akan menjadi pendorong KPUD dimanapun untuk memerlukan 'biaya lembur', menyebakan banyak biaya-biaya yang harus dikeluarkan!
Karena itu daya tahan KPUD mensosialisasikan segala macam perarturan, hanya dapat dilakukan diawal-awal pendiriannya atau menjelang pelaksanaan kampanye: itupun sosialisasinya lebih kepada mengajak agar masyarakat tidak golput atau tatacara pemberian suara. Saat keriuhan seperti itu: semua calon wakil rakyat mulai menghitung-hitung jumlah baliho yang mesti dipasang, perlu atau tidak membuat baju kaos, lalu pendekatan-pendekatan politik; baik melalui individu, komunitas maupun organisasi; semuanya perlu biaya, minimal biaya minum kopi dan jajan! Lalu yang mendapat wilayah yang lebih luas, tingkat provinsi memerlukan biaya transportasi! Hebatnya, semua itu direncanakan kurang lebih dari enam bulan bahkan ada yang dadakan maju sebagai calon untuk penggenap daftar urut!
Tidaklah mesti mengherani jika kemudian; banyak calon wakil yang tidak memahami apa beda bahan kampanye sebagai calon wakil partai di tingkat kabupaten dengan provinsi: bahkan ada yang membuat kelucuan fatal, ada calon wakil rakyat mengira dirinya jika bisa menjadi wakil rakyat akan dapat mengubah harga minyak?! Demikianlah isi demokrasi langsung itu, membuat banyak bibir tersenyum, menghelus dada: melihat tiba-tiba beraneka wajah politisi karbitan….
Jawabannya sederhana: ini kata teman yang lain, yang tidak mau menyalahkan pihak manapun: bahwa partai-partai politik Indonesia tidak (belum) melakukan salah satu tugas pentingnya; yakni pendidikan politik. Masyarakat Indonesia setelah era reformasi tidak (belum) memiliki pengalaman menghadapi proses pemilihan langsung tiba-tiba disodorkan: satu prosedur yang menuntut kemandirian individu dalam rangka mengatur dirinya ketika memasuki ranah politik praktis.
Bandingkan dengan proses pencalonan wakil rakyat di era orde baru, yang persyaratan administrasi diurus oleh 'partai' dan pemerintah (?) Kampanye kemudian lebih kepada penggalangan 'massa mengambang' dilakukan bersama-sama: tapi kini memang sistem dan masalahnya tidak sederhana: dari nomor urut sampai wilayah sasaran pendulangan suara menjadi bahan untuk keluarnya biaya! Bukan lagi urusan bersama, ini urusan pribadi! Tidak mengherankanlah ketika usai pemilihan, banyak calon wakil rakyat yang gugur, gagal terpilih; tiba-tiba menjadi berita media cetak dan elektronik: menagih sumbangannya karena dirinya tidak terpilih; stress lalu mengamuk kepada orang-orang yang selama proses kampanye; katanya telah diberikan uang dan berjanji memilihnya, ternyata ingkar janji!
Padahal, jelas aturannya, pemberian langsung tak langsung itu menyalahi aturan, namun secara 'tahu sama tahu': hampir semua calon wakil rakyat melakukan pemberian tidak langsung ini; entah berupa sumbangan untuk bangun ini-itu, entah model serangan fajar, dsbnya: yang tidak terungkap pembuktiannya karena itu bentuknya rumor. Pembagian benda misalnya berupa kenang-kenangan; dari ikat kepala, dupa, bunga sampai korek api, kopi bubuk dan sampai pasir, beras, batu bata, dsbnya. Kemudian biaya pertemuan-pertemuan lain: dari bebek, dolong, babi sampai kambing. Luar biasa besarnya biaya yang diperlukan oleh seorang calon wakil untuk setingkat kabupaten saja!
Lucunya, semua itu 'diamini' oleh jejaring politik termasuk partai-partai yang sesungguhnya berkepentingan untuk kepentingan umur panjang partainya! Tidak akan pernah terdengar pengurus partai menegur calon-calonnya untuk soal : kode etik dan taat perarturan. Semuanya 'tahu sama tahu': demikian rupa harus sulit dibuktikan. Kecuali ketika media memberitakan amarah calon yang kalah: tetap saja semua seolah mengatakan: salah sendiri, kenapa bodoh dalam pembelian suara! Jelas itu seolah tidak berkaitan dengan perilaku jejaring politik! Padahal, dari situasi itu kelihatan, betapa ada yang salah dalam hubungan partai dengan calon yang diajukan: jelas nampak, sistem ini tidak berpihak kepada rakyat, namun lebih kepada kepentingan kekuasaan dan uang.
Bayangkan kini dalam Pilkada: tanpa membuang prasangka, hampir dipastikan pasangan manapun telah menghitung isi dompetnya: sejak mendaftar di partai, lalu membentuk tim sukses: biaya cetak ini-itu, transportasi ini-itu, biaya komunikasi ini-itu, sumbangan ini-itu, pertemuan ini-itu: biaya iklan ini itu, baju kaos untuk pendukung….dengan gagah seorang aktivis partai, yang tidak saya sebutkan namanya mengatakan kepada saya: memang sudah begini zamannya! Kalau ada uang, baru bisa menjadi pemimpin! Bandingkan dengan ucapan seorang petinggi di pusat, yang malah sibuk mewacana criteria moral: membahas soal berzinah, dsbnya! Kesenjangan itu meruak telah menjadi julang lebar antara kenyataan dan harapan dalam demokrasi Indonesia masa kini.
Duhai, jawaban singkat itu tidak menjelaskan bahwa dalam konteks calon pemimpin kabupaten dan kota misalnya tugas dan wewenang, dua kata ini menjelaskan sesungguhnya jika dilihat dari Undang-Undang yang ada dengan perubahannya sekalipun : bukan uang semata yang dijadikan alasan rakyat memilih. Sebab tugas dan wewenang bupati maupun walikota menjadi alat bagi rakyat menuju perbaikan kesejahteraan. Tugas dan wewenang ini semestinya menjadi bahan kampanye: kemungkinan kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh bupati atau walikota. Demikian juga para wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota akan bersinergi dalam proses pembuktian janji kepada rakyat.
Tapi bila menonton debat dalam kampanye atau memperhatikan baliho dan spanduk. Masyarakat maklum: namanya saja kampanye: harus manis, harus lebay, kata anak muda; agar menarik. Semisal calon bupati/ walikota jeli membicarakan salah tugas wewenangnya soal prasarana umum saja: katakanlah yang berakar pada perjuangan partai; perekonomian rakyat: maka secara instrumental pertanyaannya: apakah bupati/ walikota pernah memikirkan apa dampak mall, mini market yang dizinkan sampai ke wilayah kecamatan? Itu bukan investasi: itu jelas akan membunuh kemandirian rakyat dalam ekonomi usaha kecil, sebab warung-warung dan toko-toko kecil akan pelahan mati. Atau bagaimanakah bupati/walikota akan membicarakan soal pelayanan kesehatan? Benarkah iklan obat generik itu tanda masalah kesehatan dapat diatasi? Sebab jika sakit bisa beli obat? Lalu bagaimana pengelolaan sumber daya alam? Yang ramah menjaga lingkungan? Lalu soal pengelolaan kelautan yang berkaitan juga dengan keamanan? Soal perempuan, soal kesenian, soal proses dinamika budaya: tugas wewenang dalam penyediaan fasilitas umum bukanlah diterjemahkan dengan membangun gedung-gedung mewah! Sepatutnya pengertiannya itu kedalam: bagaimana pendanaan proses kreatif itu kepada para pelaku seni, bukan berdasarkan hubungan 'kedekatan' yang berdasarkan proyek?
Hampir dipastikan selama kampanye Pilkada: kesibukan itu adalah menyampaikan khayalan yang mungkin dilakukan. Atau paling-paling calon baru: menyerang kebijakan lama. Rakyat pun maklum: semua itu akan segera berlalu! Setelah terpilih tidak akan ada yang menyoal lagi, apakah tugas dan wewenang itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh?
Nah, mari bayangkan andai calon pemimpin yang terpilih itu memikirkan: bagaimana membangun instrumental, perubahan structural dan cultural dalam wilayah serta multi stkeholdernya, sehingga kelak proses pemilihan langsung itu, menghasilkan wakil dan pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Bukan berpihak kepada berapa jumlah uang yang berani dikeluarkan; yang jumlahnya: entahlah!!!
(sesi 2: diskusi democrazy….atau demokrasi??)
No comments:
Post a Comment