Review Iluminasi: "lebih terang dengan lampu penerang…"

Komik silat Kho Ping Ho dapat menjadi akar 'tandingan' ketika membaca novel Iluminasi, karya Lisa febriyanti, terbitan Kaki Langit Kencana, November 2009. Dalam serial silat Kho Ping Ho: ilmu berbisik jarak jauh, telepati, ilmu terbang melayang, berlari cepat, kemampuan memanjangkan tangan; bak manusia karet, kemampuan mengeluarkan api, termasuk menderukan angin, mendatangkan rasa sedingin salju, dst: terbangun dari kisah pendekar-pendekar pilihan, yang terbelah antara dua, golongan hitam dengan putih, biasanya 'sang hero' memiliki kisah sedih dan menderita di awal kisah, kadang menyendiri, terbuang dalam pulau terpencil, jatuh ke dalam tebing curam, dsbnya dan pewarisan 'kesaktian' memang sering melalui garis 'keturunan', tidak direncanakan, yang didahului dengan liku-liku yang mengejutkan bagi calon 'sang hero'.

Tokoh Ardhanareswari, yang sejak kecil tinggal bersama Oma Amara (nenek), pewaris 'jimat sakti' berupa pendulum yang dipercayai oleh golongan putih dan golongan hitam sebagai 'alat' melompat ke dimensi lain, dimensi yang dianggap akan memberi tanjakan baru bagi evolusi spiritual manusia; dimensi lima; Perseteruan yang berakar pada cara pandang yang berbeda; golongan putih menginginkan membuka portal sebagai solusi 'persoalan' manusia saat ini, dimana manusia-manusia istimewa yang menjadi pionir; pemimpin, dsbnya. Sebaliknya, golongan hitam: mempercayakan biarlah itu terjadi sebagai proses. Perseteruan pun terjadi, ketika dua golongan ini mulai mencium akan bangkitnya manusia istimewa, sang pewaris jimat sakti (pendulum) itu, yang ditimpakan kepada Ardhanareswari, pewaris yang tidak dididik menjadi manusia istimewa oleh neneknya, yang sebenarnya super istimewa; sebab Oma Amara adalah termasuk petinggi di kalangan golongan putih, yang kepemimpinannya kemudian diwarisi oleh Shaman; yang digambarkan sebagai lelaki yang penuh pukau, memiliki kekuatan mengendalikan pikiran orang lain, memindahkan dan mengontrol benda-benda dengan kekuatan super pula; dihadapkan dengan Zero, pimpinan golongan hitam, manusia penyembuh yang immortal, tidak bisa mati (kecuali ketika hampir mati dicekik kekuatan pikiran Shaman(?):

Begitulah kerangka kisah dalam Novel yang panjangnya 443 halaman, dimana perseteruan dua golongan itu berubah menjadi pertarungan dengan satu alasan: mendapatkan pendulum itu, yang diwarisi Ardhanareswari; Pertemuan yang menegangkan, pertarungan di sebuah padang rumput, yang pemiliknya manusia biasa (ordinary)- sebuah sebutan mengingatkan pada kisah Harry Potter, yang menjelaskan bagaimana perbedaan sebutan tukang sihir kepada non tukang sihir! Aturan perseteruan, segala pamer kesaktian itu tidak boleh terlihat oleh manusia biasa, harus dilakukan ditempat,waktu, kejadian yang disepakati, atau boleh pamer hanya diantara para manusia sakti…eh istimewa!.

Pertempuran yang mengingatkan akan film X-Man pun terjadi antara golongan hitam dengan golongan putih. Seperti kisah dalam tradisi silat, 'sang hero' belum paripurna menempuh ilmu, namun karena keadaan, demi menyelamatkan Zero yang diamuk Shaman; karena cemburu dan ambisi, Ardhanareswari memasuki pedar biru yang dikeluarkan oleh pendulum warisan, setahap demi setahap akhirnya memasuki dimensi lima. Sang hero menunaikan nasib kelahirannya, sebagai pewaris tradisi 'sakti', yang kembali dari dimensi lima, dengan pesan: biarkan hidup ini sebagai proses, jangan dipaksakan, tidak boleh ada intervensi. Jadi, golongan hitam dimenangkan; dengan ramuan, kisah cinta segi tiga, antara Shaman, Ardhanareswari dan Zero; yang masa lalunya justru 'pacaran' dengan Oma Amara dibumbui pula kecemburuan, ambisi dan cinta tulus, dst.

Latar penulisan Lisa; jelas memberi gambaran betapa kaya dan luasnya kesukaan perempuan berkacamata ini, dialog-dialog di awal pertemuan Shaman dan Ardhanareswari menyampaikan pengetahuan penulis mengenai sejarah seni, dsbnya. Lalu samar-samar menuntun kepada percakapan yang menguak mengapa ada manusia 'sakti': mengapa ada 'dunia' lain yang berlapis-lapis yang dapat ditembus dengan kesadaran akan 'energi' alam sebagai asupan hidup; bagi peminat kisah dunia paralel, linier, dsbnya; sejarah spiritual, new age, dsbnya: akan senyum lebar; sejenak akan mengira itu datang dari arah yang jauh (barat), namun apabila cermat pada dialog Zero dengan Ardhanareswari, Hal 281: “ kepercayaan klasik mengatakan, selain empat elemen bumi: udara, air, tanah, dan api; ada juga yang disebut elemen kelima:sering disebut eter…dst” : penjelasan Zero atas pertanyaan Ardhanareswari mengenai 'energi' yang ada dalam manusia sakti; kemudian penegasan mengenai manusia sebagai mikrokosmos dan semesta yang berposisi sebagai makrosmos, jelas basisnya adalah spiritual timur, yang dikemas dalam berbagai pendapat dan istilah: dari mengutip teori enstein dengan teori relativitasnya, sebutan atom, partikel, dst: penamaan tokoh, peristiwa, tempat, telah membawa seakan tengah ada di wilayah 'spiritua dan kejadianl' baru.

Dalam tradisi spiritual timur: ada panca mahabhuta, bhuana agung (makrokosmos), Bhuana alit (mikrosomos), Lingga Sarira (dalam novel ini diplesetkan menjadi linga sarira), kemudian dalam tantrayana; segala macam penguasan energy, pelepasan energy, kendali pikiran, dll: masuk dalam jajaran ilmu dasar dilakoni dalam pelatihan yoga, dsbnya. Yang dalam penyebarannya ke nusantara mendapat nama-nama yang membumi, dalam beberapa laku tapa lama di berbagai daerah selalu ditemukan: cara-cara menjadi manusia 'sakti', demikian pula dalam agama-agama: ada 'keyakinan' akan adanya manusia-manusia yang diberkati untuk mendapat pengetahuan lebih dari umat yang lainnya. Di Sumetara Barat, banyak diceritakan dari mulut ke mulut tentang 'kesaktian' para pendekar, dari menjatuhkan daun-daun hanya dengan mengibaskan tangan sampai merubah diri menjadi harimau; di makasar, di NTT, sampaipun di Bali: selalu dikisahkan, 'sang manusia sakti' mendapatkan kesaktiannya dengan proses latihan plus anugrah dari 'kuasa' langit yang tak nampak: bisik berbisik dalam dunia non phisik sudah menjadi kelaziman.

Namun tentulah trend jagat modern yang pernah di'bom' dengan 'penerangan' mengenai metafisika, hermeneutika, yang berawal dari ilmu mentafsir kitab injil; bertemu dengan kemajuan penemuan arkeologi, situs, kepurbaan, tafsir sejarah yang berkembang, teknologi, dst dan ketercengangan akan kemampuan manusia-manusia di masa lampau: memberi ruang lahirnya banyak kisah menakjubkan mengenai perburuan transkrip: entah berbasis pengungkapan rahasia keilahian sampaipun teka-teki kiamat, harta karun, nubuat, kutukan, sihir, dsbnya: ramalan-ramalah, risalah-risalah itu bertemu dengan kecemasan akan kerusakan alam: menyebabkan hubungan manusia dengan alam; idealnya seperti keyakinan pola lampau: tidak dalam konteks industry: alam dieksploatasi. Disitulah, nampak latar belakang Lisa, yang senang 'bertualang' ke alam dengan kameranya, dsbnya; menjadi gambaran, betapa menyenangkan membaca novel ini, yang dalam proses kreatif, berada dalam kolom sebagai resepsi-resepsi yang ditangkap penulis dari berbagai bacaan, tontonan, pengalaman hati, dsbnya: menjadi 'pendulum' yang mendorong: jadilah Iluminasi: dalam leksikal diartikan: penerangan dengan cahaya matahari atau dengan lampu, atau terang oleh sinar buatan!); indah dan cermat diwujudkan covernya, walau disana-sini ada ketidakcermatan editorial, namun novel ini sangat menghibur, dengan gaya penulisan yang khas; dengan pemenggalan-pemengalan kalimat, yang kadang memang bagi yang tak biasa harus menarik nafas sejenak dengan gaya penulisan ini. Dan review ini sengaja ditulis dengan pilihan bahasa yang akrab, tidak meminjam berbagai peristilah dari novel; yang bisa jadi menyebabkan dahi berkerut; Sebagai bandingan, proses itu telah terjadi, maka terjadilah! Lebih terang memang dengan lampu penerang, ketimbang gulita tanpa matahari....

No comments:

Post a Comment