rum melangit melepas tawa, habis kata buat cerita; telah kupatahkan satu hati! jadi rembulan siang, tak ada lagi cahaya, masai-masailah ia. rum melayang menandai semua percakapan, menekan rasa ingin tahu, kabar-kabar yang terlalu biasa, membuat degup dadanya tak nyaman. sebab tangis ada diujung mata, sebab cerita tak temukan ujungnya.hati yang patah itu hanyalah pemain panggung, seorang teman dengan suara berdetak ingatkan rum, melangit temui mendung yang tengah menyusun hujan, benarkah kisah-kisah yang ditebar, diladang sepi menjadi subur, menutup mata hati.
pemain panggung itu habiskan seluruh nafas buat merayu, memahirkan diri dalam duka-duka sesak,pemain pedang tak menjatuhkan lawan dengan pedangnya, penembak ulung tak boleh kehilangan peluru untuk menaklukan lawan. rum merasakan matanya menyurut, ceritanya ditambahkan catatan-catatan; pastikan satu hati patah untukku, rindu menjaringkan kuasanya pada ingatan, sekalipun diam, tak nampak kasat, tak menyapa. rum melangitkan keyakinannya; telah kupatahkan satu hati, tak terbantahkan. satu hati!
satu, dua, tiga….rum menyesali cuaca yang tak ramah. keringat yang lekat terasa aneh. kemanakah orang ini? tak ada pesan, tak ada kabar. lenyap seakan bukan siapa-siapa. manakah keluh rindu, sapa manis pembujuk palingan? rum mengeratkan bibir.pemain panggung itu sedang pentas, kisahnya sama, kata temannya dengan suara menyakitkan; ia telah kupatahkan, rum mendesis menahan gelombang panas di hati. ceritanya mengawang di awan. membuat risau menikam risaunya, menjadi gundah, membuncahlah ingatan, pastikan dimana ia berada, pandang matanya, kau akan lihat kesedihan tak bisa sembunyi, rum melipat-lipat debar, membiarkan diri sebagai si pelupa.
mana lanjutan kisahmu? mana! matahari tak mencuri cahaya bulan, kelam tak mencuri gelap malam. pemain panggungmu bagai gunung dalam sela hutan, menjangkau awan, bercakap dengan matahari, bermesraan dengan rembulan, berdiam tenang di bulan mati. rum mendecakkan lidah. menguatkan derak hati, kemana pesan harus dikirim, dimana canda harus dititipkan; buat pemancing agar cerita dapat dilanjutkan?
rum, kisah yang sama tengah pula didendangkan, seorang gadis membuat kisah yang sama, awalannya mirip puitikamu; telah kupatahkan satu hati! lalu hari bergasing di benak . cerita itu berhalaman sama, si pemain panggung itu tetap tak terjangkau, walau sekali waktu, rum berdebar, pesannya dijawab dengan mesra, namun kegetiran menemukan ketajamannya,”ah, kembali kau membuatku patah, rum!”
rum melangit tinggi, siap pecah dalam airmata. menyimpan cahaya bulan dalam senyumnya, melepas tawa yang menggetarkan, cerita itu diulangnya: telah kupatahkan satu hati! nafas rum tersendak, rasa kering membiak di dada. sedang apakah engkau kini…keluh itu sembunyi jauh dibalik riuh, tak boleh terbaca oleh mata jeli. pemain panggung itu menutup pentasnya.
(batu bulan, cok sawitri, 2009)
pemain panggung itu habiskan seluruh nafas buat merayu, memahirkan diri dalam duka-duka sesak,pemain pedang tak menjatuhkan lawan dengan pedangnya, penembak ulung tak boleh kehilangan peluru untuk menaklukan lawan. rum merasakan matanya menyurut, ceritanya ditambahkan catatan-catatan; pastikan satu hati patah untukku, rindu menjaringkan kuasanya pada ingatan, sekalipun diam, tak nampak kasat, tak menyapa. rum melangitkan keyakinannya; telah kupatahkan satu hati, tak terbantahkan. satu hati!
satu, dua, tiga….rum menyesali cuaca yang tak ramah. keringat yang lekat terasa aneh. kemanakah orang ini? tak ada pesan, tak ada kabar. lenyap seakan bukan siapa-siapa. manakah keluh rindu, sapa manis pembujuk palingan? rum mengeratkan bibir.pemain panggung itu sedang pentas, kisahnya sama, kata temannya dengan suara menyakitkan; ia telah kupatahkan, rum mendesis menahan gelombang panas di hati. ceritanya mengawang di awan. membuat risau menikam risaunya, menjadi gundah, membuncahlah ingatan, pastikan dimana ia berada, pandang matanya, kau akan lihat kesedihan tak bisa sembunyi, rum melipat-lipat debar, membiarkan diri sebagai si pelupa.
mana lanjutan kisahmu? mana! matahari tak mencuri cahaya bulan, kelam tak mencuri gelap malam. pemain panggungmu bagai gunung dalam sela hutan, menjangkau awan, bercakap dengan matahari, bermesraan dengan rembulan, berdiam tenang di bulan mati. rum mendecakkan lidah. menguatkan derak hati, kemana pesan harus dikirim, dimana canda harus dititipkan; buat pemancing agar cerita dapat dilanjutkan?
rum, kisah yang sama tengah pula didendangkan, seorang gadis membuat kisah yang sama, awalannya mirip puitikamu; telah kupatahkan satu hati! lalu hari bergasing di benak . cerita itu berhalaman sama, si pemain panggung itu tetap tak terjangkau, walau sekali waktu, rum berdebar, pesannya dijawab dengan mesra, namun kegetiran menemukan ketajamannya,”ah, kembali kau membuatku patah, rum!”
rum melangit tinggi, siap pecah dalam airmata. menyimpan cahaya bulan dalam senyumnya, melepas tawa yang menggetarkan, cerita itu diulangnya: telah kupatahkan satu hati! nafas rum tersendak, rasa kering membiak di dada. sedang apakah engkau kini…keluh itu sembunyi jauh dibalik riuh, tak boleh terbaca oleh mata jeli. pemain panggung itu menutup pentasnya.
(batu bulan, cok sawitri, 2009)
No comments:
Post a Comment