Lalu kau menatapku demikian lama;
wajahmu, wajah purnama yang menentramkan. Kuharap hujan tak turun,teranglah cuaca hati, jangan tersendak rasa bersalah.
Entah kapan mulainya, aku tak lagi bisa percaya akan kesetiaan.
Tanpa keperihan, atas nama cinta, kau pemilik kebebasan burung-burung pagi;
danau di lembah, cemara dipegunungan, terbanglah singgah;
tak juga akan menyarangkan kecemburuan.
Lalu matamu berkerjap perih,
bujukan-bujukan itu kehilangan nyalinya; membentur kesenyapan, membenturkan kerikuhan. Bukankah ini yang diharapkan, tak ada ikatan, tak membebani langkah tujuan; jeda angin mengembalikan kataku pada dendang yang menikam.
Atas nama cinta, riuh rendah kerinduan akan manis bila jarak dibiarkan antara samudera dan muara, pada sungai sesekali pertemuan merumahkan kesejukan di hati; tumpah ruah gundahlah, seperti musim hujan yang tertunda; membuat hati lebih bergetar.
Lalu isakmu terdengar; tak ada yang lain, tak ada, sekalipun engkau mengira ; aku pohon dalam masa pertumbuhan; rimbun ranting dan cabang, penuh kuncup dan tunas. Lalu bibirmu gemetar, membiarkan luka hati mengalirkan retakan;
atas nama cinta, tak akan sungai diselang, bilapun arusnya mesti dibagi, muara itu tetaplah di tepian samudera. Bila hatimu tak miliki lagi keyakinan, biarkan hujan mengajarimu kesenyapan.
Lalu lagi kau lagi menatapku demikian lama; wajahmu, wajah malam menjelang pagi, mendinginkan hati; mengatupkan rahang dalam cekat yang kalut. Tak ada yang kubiarkan menjadi bulan di langit, semuanya bintang-bintang! Tak ada matahari di satu hati, siang pun tak miliki kerinduanku!
Lalu kau tersenyum, seperti senja yang bersiap menimang malam;
atas nama cinta, suatu kali kesabaran muara, ucapnya pelahan: samudera kelembutan adalah arus sungai; barisan hujan, musim-musim menuju satu tujuan. Di situ! atas nama cinta tentukan hatimu; hanya satu mataharikah, hanya satu purnamakah, siang malammu akan bederang, sekalipun atas nama cinta, angin segar memenuhi seluruh tatapan,tanpa kuminta, katamu mirip kutukan; kau hanya miliki satu pemandangan.
Lalu kau menatapku lagi, lagi, lagi membiarkanku jatuh gundah;
entah, tetap saja hati menderak, pemanis asmara ini akan henti bila cecapnya kehilangan pemikat. Entah, kubiarkan tangismu penuhi hari, berharap cinta membuatmu jadi gagah; menyatakan dalam irama duka;
atas nama cinta aku pergi!
Senyap, senyaplah aku saat matamu menatap lekat; tarikan gasingan planet-planet yang memutari satu ritus, menghantamku dalam keasingan senyum yang memerih;
menghantamku dalam pusaran
dimana jemarimu lembut membagi kesejukan;
atas nama cinta, ucapkanlah, bisiknya menggetarkan rasa takutku
jatuh dalam satu matahari
memandang hanya satu purnama
tualang ini...
lumat dalam satu sentuhan
(batu bulan, cok sawitri, 2009)
wajahmu, wajah purnama yang menentramkan. Kuharap hujan tak turun,teranglah cuaca hati, jangan tersendak rasa bersalah.
Entah kapan mulainya, aku tak lagi bisa percaya akan kesetiaan.
Tanpa keperihan, atas nama cinta, kau pemilik kebebasan burung-burung pagi;
danau di lembah, cemara dipegunungan, terbanglah singgah;
tak juga akan menyarangkan kecemburuan.
Lalu matamu berkerjap perih,
bujukan-bujukan itu kehilangan nyalinya; membentur kesenyapan, membenturkan kerikuhan. Bukankah ini yang diharapkan, tak ada ikatan, tak membebani langkah tujuan; jeda angin mengembalikan kataku pada dendang yang menikam.
Atas nama cinta, riuh rendah kerinduan akan manis bila jarak dibiarkan antara samudera dan muara, pada sungai sesekali pertemuan merumahkan kesejukan di hati; tumpah ruah gundahlah, seperti musim hujan yang tertunda; membuat hati lebih bergetar.
Lalu isakmu terdengar; tak ada yang lain, tak ada, sekalipun engkau mengira ; aku pohon dalam masa pertumbuhan; rimbun ranting dan cabang, penuh kuncup dan tunas. Lalu bibirmu gemetar, membiarkan luka hati mengalirkan retakan;
atas nama cinta, tak akan sungai diselang, bilapun arusnya mesti dibagi, muara itu tetaplah di tepian samudera. Bila hatimu tak miliki lagi keyakinan, biarkan hujan mengajarimu kesenyapan.
Lalu lagi kau lagi menatapku demikian lama; wajahmu, wajah malam menjelang pagi, mendinginkan hati; mengatupkan rahang dalam cekat yang kalut. Tak ada yang kubiarkan menjadi bulan di langit, semuanya bintang-bintang! Tak ada matahari di satu hati, siang pun tak miliki kerinduanku!
Lalu kau tersenyum, seperti senja yang bersiap menimang malam;
atas nama cinta, suatu kali kesabaran muara, ucapnya pelahan: samudera kelembutan adalah arus sungai; barisan hujan, musim-musim menuju satu tujuan. Di situ! atas nama cinta tentukan hatimu; hanya satu mataharikah, hanya satu purnamakah, siang malammu akan bederang, sekalipun atas nama cinta, angin segar memenuhi seluruh tatapan,tanpa kuminta, katamu mirip kutukan; kau hanya miliki satu pemandangan.
Lalu kau menatapku lagi, lagi, lagi membiarkanku jatuh gundah;
entah, tetap saja hati menderak, pemanis asmara ini akan henti bila cecapnya kehilangan pemikat. Entah, kubiarkan tangismu penuhi hari, berharap cinta membuatmu jadi gagah; menyatakan dalam irama duka;
atas nama cinta aku pergi!
Senyap, senyaplah aku saat matamu menatap lekat; tarikan gasingan planet-planet yang memutari satu ritus, menghantamku dalam keasingan senyum yang memerih;
menghantamku dalam pusaran
dimana jemarimu lembut membagi kesejukan;
atas nama cinta, ucapkanlah, bisiknya menggetarkan rasa takutku
jatuh dalam satu matahari
memandang hanya satu purnama
tualang ini...
lumat dalam satu sentuhan
(batu bulan, cok sawitri, 2009)
No comments:
Post a Comment