Memaknai OTONAN (ULTAH Kalender BALI)


Entah mengapa, hari ini saya menjadi penuh pertanyaan, mengapa otonan dalam setua usia saya ini masih tetap dilakukan (?) Jujurnya, saya suka melakukannya karena upacara ini benar-benar sifatnya pribadi walaupun ada sajen semayut prasista sudamala, te'enan, mabea kala matur ring pedande; namun jauh dari hura-hura, tidak ada undangan, tidak ada tepuk tangan.Benar-benar sendiri ditemani ibu, bapak dan seorang pembantu. Yang saya ingat, selalu setiap tahun (dalam hitungan kalender bali) ibu, tante, paman dan bahkan sampai sepupu mengingatkan,"jangan lupa,otonanmu lagi beberapa hari.." Biasanya, saya senang, sebab pastilah akan ada ayam panggang, kacang komak, saur....dst.

Tahun ini, otonan saya jatuh di bulan agustus, dalam kalender bali pada sasih katiga, selalu di hari jumat, umanis, wukunyaa ukir. Urutan upacaranya, dimulai dengani mabyakala, lalu sembahyang kemudian ngayab, selalu seperti itu. Namun kali ini, usai ngayab saya sengaja bersimpuh di dekat sang pendeta, yang duduk di balai menatapi saya dengan senyum dimata;barangkali beliau tahu cahaya mata saya; yang kali ini penuh dengan pertanyaan. Entah. kali ini saya ingin bertanya, walaupun juga saya merayakan ulang tahun sesekali, kalau ada waktu berpesta bersama teman-menurut kalender masehi. Namun kali ini entah kenapa, saya seperti tersentak, segala macam upacara yang pernah saya rasakan; dari menek kelih, potong gigi, dsbnya semua saya maknai, saya pelajari, apa alasan, apa tujuannya, tetapi otonan? yang datang setiap tahun sekali (menurut kalender bali) :baru kali ini saya memikirkan....

Pertama, kata sang pendeta, bahwa kelahiran itu anugrah;harus disukuri dengan cara mengenali kelahiran itu sendiri. kelahiran juga penanda dan ditandai. Orang Bali melihat ini dengan sebutan pawukon, bahwa semua kelahiran tentu adalah nasib dari Sang Hyang Widhi Wasa, namun setiap kelahiran akan pula dipengaruhi oleh pala karma, pembawaan lahir, kemudian ada dua belas raja bintang, lalu pengaruh tiga puluh lima rupa hari, pertiti, pancasuda, parawaraan, kemudian 'saat' kelahiran atau disebut dauh (bukan sekedar waktu). Waktu itu pembagian phisik, namun dauh itu ada 'saat lahir', saat terjadi, saat mulai keluar dari tubuh sang ibu. Untuk itu, saat otonan; selesai bersaksi kepada sang surya, mengingatlah brahma sang pencipta, sang pemelihara dan sang pelebur, tri shakti itu; ingatlan pohon asvatta; bahwa akar manusia itu di atas, buyut, kakek, ayah-ibu itu akar di langit, yang wajib diberi penghormatan, itu bakti ring guru rupaka..... Ini pribadi sekali sifatnya! Setelah itu baru mengingat dirimu; duduklah dengan tenang! Yang paling dekat dalam diri seseorang yang telah melewati usia tiga puluhan adalah adanya Tri mala! Itu bibit kebatilan dalam jiwa, yang selalu tergoda untuk keluar dari perilakumu sepanjang hari; setiap saat, karena hidup dalam pergaulan, karena bertemu desa kala patra yang beraneka rupa. Segalanya bergerak cepat dalam keseharian, hari, jam, menit dan detik. Dalam dirimu sang kala juga berputar.

Tri mala ini yang pertama disebut Mithya hrdya; bibit dalam jiwa untuk berperasan dan berpikiran buruk. Siapakah ada manusia, yang dalam sehari lepas dari kecemasan dan kekhawatiran; bukankah teman dekat pikiran buruk ini kadang seolah-olah tengah mengajak diri untuk waspada (?) Kadang seakan tengah mengajak diri berhati-hati! Dapatkah dalam keserentakan seseorang segera memilahnya; antara waspada dengan berprasangka buruk(?) Di jalan, di kantor, di rumah; pikiran buruk itu muncul setiap detik, silih berganti namanya.

Kemudian Mithya wacana; berkata sombong, angkuh dan tidak menepati janji! Sang pendeta bertanya, adakah manusia yang lepas dari mithya wacana? Kesombongan dapat muncul karena kesal, karena merasa tidak dihargai, merasa tidak dianggap, merasa sudah melakukan kebaikan namun tidak dihargai, lalu menjadi keangkuhan. keangkuhan itu rupanya banyak; tidak mengalah, merasa bisa, bertahan karena keyakinan paling benar dan hebat, atau dendam karena ingat akan sikap buruk orang lain; menimbulkan sikap penolakan dalam diri, dalam hati pun keangkuhan itu tetaplah keangkuhan dan adakah manusia yang dapat tulus, terus menerus menepati janji?
Kemudian, Mithya laksana, ini perbuatan curang, licik dan merugikan orang lain.Adakah manusia dalam serba kerja kerasnya, dalam segala macam persaingannya, dalam kompetisinya tidak merugikan orang lain entah sengaja atau tidak sengaja? adakah manusia yang terbebas dari perbuatan curang? sekecil apapun? lalu perilaku licik; atas nama kecerdikan, taktik, perhitungan....ketika manusia bergaul di dunia tak akan terlepas dari semua itu; itu tri mala, itu yang setiap hari kelahiran tiba harus diredam, direnungkan, dimohon ampunkan!
Karena itu mabea kala adalah penanda engkau ingat untuk meneebus hutang-hutang segala kesalahan tri kayamu (wacika, manacika, kayika), itu yang mempribadi, menubuh dalam perjalanan usiamu. Bukan tubuh yang menua, bukan itu ukurannya! Bukan jumlah usia kadarnya; namun seberapa disadari hutang-hutang kesalahanmu dalam tri kaya, tak cuma kepada teman, pacar, pasangan, ayah-ibu juga kepada alam...
maprasista sudamala; itu memberimu kesempatan, menenangkan diri, untuk memperbaiki diri, bahwa kasih sayang itu adalah memaafkan diri, berdamai dengan diri, mengasihi kelahiranmu, itulah pembuangan mala yang paling dasar, barulah disucikan hatimu, dibangkitkan kembali kesadaranmu, untuk terus berusaha berbuat, berpikir dan berkata yang baik. Itu kesadaran untuk dengan berani menemui bahwa semua kelahiran, tidak ada yang sempurna, semuanya ada kekurangannya, maka saat otonan; bukan upacaranya, bukan pestanya; namun duduklah dengan tenang, semadilah, lihat dirimu, menangislah untuk segala kesalahan, namun bersukur saat mengenali kelemahan dan kekurangan, di situ keagungan akan terasa, pencerahan bagai dalam sebuah upacara lokasabha (pencerahan di tengah hari).

Saya jujur, hari ini saya meneteskan airmata saat mendengarkan semua penjelasan itu; menatap wajah sang pendeta dengan kelegaan yang menyesakan dada, yang tetap tersenyum dan mengingatkan saya dengan suara halus: janganlah menebak-nebak pawukonmu, jangan juga meramal-ramal lewat tanda kelahiranmu....hidup itu pohon yang berakar di langit, tak ada manusia yang memiliki mata bersayap, yang bisa melihat awalmu di langit,di akar sang pohon asvatta, begitu pula akhirmu; disaat kelak kematian menjemput...seperti daun,lepas dari tangkainya, jatuh melayang ditangkap angin, itulah ingatan hidup, kemayaan yang selalu kita kira bisa dijaga dengan segala harta benda dan kuasa. Karena itu, otonan itu perlu engkau rayakan, menjadi perayaan pribadimu, antara dirimu dengan hati, ingatanmu....dengan dirimu!

Memucat saya dalam gemetar, ingin rasanya menangis terisak; dengan lembut sang pendeta menyodorkan tiga batang ilalang, pakailah, katanya, hadiah untuk otononanmu! Tiga batang ilalang yang masih hijau saya diselipkan di sanggul rambut saya...pemberkatan yang membuat saya merasa teramat kecil, seperti tercekat dalam kekaguman yang tak terkatakan.

No comments:

Post a Comment