Sebagai orang bali yang dari kecil mengenali tari pendet sebagai 'tarian wajib' pada masa kanak, jadi tersenyum ketika mendengar, membaca berita bahwa Negara Malaysia mengklaim Tari Pendet itu dalam proklamir iklan 'visit malaysia'; juga tersenyum maklum untuk reaksi juga protes yang tentu saja akan bermunculan; di koran lokal bali; Balipost akhirnya nampak salah satu guru tari yang dihormati yakni ibu Arini, dalam posisi 'ngagem'; itu dilakukan ketika sarasehan tari pendet (22 agustus 09), 'dadakan' sebagai reaksi terhadap sikap iklan visit to malaysia dilakukan! Setelah tentu, kalau mau jujur, tari pendet sebagai salah satu tari yang tertua dalam tradisi seni tari bali; kerap diabaikan oleh pemerintah juga sanggar dan sekolah seni, yang tetap hidup adalahi 'memendet' di pura atau 'nyiwagare' menari dengan sajen dijunjung di kepala; juga ada desa-desa yang menyebut 'ngedari' meniru perilaku para bidadari sebagai bagian penting menyambut kedatangan prosesi para dewa dan betara lan betari dikala odalan, upacara besar,dsbnya. Namun tentu 'memendet, nyewagare ataupun ngedari' tidak akan sama dengan tari pendet yang diajarkan kepada hampir seluruh anak di bali, terutama generasi 70-an dan 80-an pastilah disamping mendapat dasar legong juga memendet. lalu setelah era sekolah seni menjadi 'kesayangan' pemerintah jalin menjalin dengan pesta kesenian bali, tari pendet yang pernah pavorit dijadikan sebagai tarian penyambutan digantikan, tari pajembrama, kemudian puspawresti...dstnya. Sama persis dengan nasib tari-tarian tunggal di Bali, mulai jarang dipentaskan sebab digantikan oleh acara yang padat oleh pidato, dll: Dahulu jika tujuh belas, perpisahan sekolah akan penuhlah tarian panggung-panggung di Bali: dari tari tenun sampai tari nelayan; ini tematik karya yang berkaitan dengan semangat pembangunan bahkan sampai ada tari lalat, ini berkaitan dengan kampanye kesehatan. Kini kita pun harus menahan nafas jika melihat tari jauk manis, baris, teruna jaya, panji semirang, joged pingitan (tinggal men cenik); kita mesti tersenyum untuk mengingat, bahwa semua itu masih ada dan hidup dalam tradisi bali ini, tradisi menari yang juga telah melahirkan kreasi baru, namun tentu saja: ketika bicara tari pendet, itu membuat semua orang akan bertanya, kenapa reaksinya tidak akan henti sebatas sarasehan?
Bagi yang senang berkunjung ke bali, tentu tidak akan banyak bertanya mengenai sejarah tari bali, apalagi dari kaca mata tourism, tentulah yang akan dipikirkan semakin atraktif, semakin unik, semakin sensasional, itulah tari bali, juga dengan kompromi: durasi tarian, kisah yang dipentaskan disesuaikan dengan kebutuhan para turis. Kita tentu tidak akan pernah lelah juga menegur kepada semua pihak yang membiarkan tari legong kraton yang durasinya dipenggal, kemudian tarian barong, sang hyang jaran, dst. Demi kalimat pariwisata budaya, maka kita sesak nafas para seniman, budayawan di bali harus terdiam, sebab jika kritis terhadap perilaku eksploatasi pariwisata terhadap kesenian bali; nanti dikira tidak mendukung, bahkan bisa dituduh konservatif dan feodal! Kita pun harus mengurut dada melihat nasib Pesta Kesenian Bali, tapi tentu saja, siapa penguasa dialah tentu yang lebih tahu segala-galanya termasuk dalam kesenian (?)
Saya tersenyum, tidak tahu mesti berkomentar apa: sebab pemerintah Indonesia tentu telah 'implisit' melalui UU Pronografi, yang tentu dengan pengecualiannya, memang tidak akan perduli dengan tari-tarian yang memperlihatkan bahu dan leher secara terbuka; kalau ada anggota DPR katanya ikut meramaikan; saya jadi skeptis sebab sepanjang yang saya dapat ingat, tidak pernah DPR serius berpikir mengenai apapun yang berkaitan dengan kesenian apalagi kebudayaan; kecuali nanggap dangdut untuk keperluan kampanye! Soal hak paten yang diusulkan, soal inventarisasi; berbagai usulan formalisasi seolah perhatian kepada kesenian itu membuat saya hampir tersendak, hampir tertawa.
Kini malaysia menggunakan tari pendet dalam iklannya; pertama, itu pengakuan bagi daya tarik menggunakan kesenian untuk berdagang jasa (tourism itu jual-beli jasa, masuk dalam urusan ekonomi). Jadi kalau hitungannya jumlah wisata yang datang ke malaysia kelak, itu mungkin boleh diklaim sebagai penghasilan Indonesia, itu logikanya barangkali dengan 'hak paten' itu, kait mengkait dunia kreatif dengan perdagangan di dunia tanpa batas. Kedua, kalau bicara soal eksistensi, martabat dan harkat kebangsaan, melalui seni sebagai daya kekuatan diplomasi, ini tidak bisa dengan sekedar sarasehan, tidak sebatas soal tari pendet yang ditampilkan dalam iklan. Namun ini memerlukan kebijakan pemerintah untuk mengakui bahwa memang selama ini tidak serius mengurusi kekayaan bangsa; dalam soal kesenian dan kebudayaan: ini tentu saja bermuara dari kebhinekaan Indonesia, yang dalam era sepuluh tahun belakangan ini justru tersudut oleh jargon-jargon fashion religius, fashion humanis, yang membiasakan semua orang seolah-seolah tengah menyeimbangkan hidupnya dengan dampak kemajuan phisik; yang dimanfaatkan justru untuk politik sempit, menjadi hitungan massa pendukung, ketika demokrasi menempatkan mayoritas sebagai kebenaran. maka jual beli kebijakan pun terjadi, termasuk ketika menyoal kesenian, proses kreatif....dst;
Ah, sudahlah, soal klaim itu, dalam senyum saya justru berpikir dengan takjub kepada sekian ribu perempuan tua bali, yang pernah saya saksikan langsung melakukan 'nyewagare', 'ngedari' tidak di depan tourism, namun untuk keyakinannya. Tak perduli ada yang memotret untuk dijadikan post card ataukah kemudian direkam, lalu dikeluarkan di you tube...saya pun jadi tetap ingin belajar 'nyewagare' bila kelak usia saya 50-an, ikut menjunjung sajen di kepala, menari dari hati untuk keharmonian: bukan hanya untuk bali, bukan hanya untuk indonesia, tapi untuk seluruh semesta: di situ, saya jadi makin tersenyum, memaklumi bahwa keterbatasan hidup ini, tak bisa diselesaikan hanya dengan debat dan wacana, bersikap jauh ke dalam diri dalam berkesenian, itu lebih meyakinkan gerak hati, ketimbang: tiba-tib ikut larut dalam protes, namun tetap terlibat dalam 'jual-beli' jasa atas nama pariwisata budaya; sambil kemudian bicara gagah soal ekssitensi, martabat dan harkat, kepemilikan.
Saya mohon maaf, untuk senyum saya yang terus berkembang. sudah tiba saatnya kini, semua tertegun bagaimana menyikapinya....berharap kepada siapa, bergantung sama siapa? pasti tidak kepada pemerintah...aduhai, saya gemetar juga akhirnya: menjadi sendiri menikmati khayalan, menari dengan suara hati ini...
No comments:
Post a Comment