Cerita Serial: Kalki Bagian 8

Cerita Serial: Kalki
Bagian 8


    Iring-iringan itu sungguh mencolok mata. Kaum Putih! Bergerak dengan kereta-kereta tertutup di kiri kanan barisan lelaki berkerudung begitu khusuk merapal doa. Angin, debu, semua yang menimbulkan suara, kebisingan deru kendaraan seakan terhenti sejenak; Kaum Putih bagai prosesi hening begitu tenang menuju perbatasan Kaum Gunung. Tujuan merek jelas camp pengungsian! Namun cara mereka meninggalkan area kota dimana Kerusuhan terus berlangsung, begitu flamboyan.
    Seperti yang diinformasikan Pere, akhirnya beberapa jenderal utama, pengelola Tentara Kota mengakui bahwa ada kelompok separatis dalam faksi mereka. Kaum politician mulai menampakan diri kembali dilayar-layar televisi dan sengaja mengupload rapat darurat parlemen mereka buat menyatakan bahwa pemilihan pemimpin di area kota ditunda; untuk sementara masih dipercayakan kepada pemimpin lama; Bangsing Hasan nampak ditemani lawan politiknya Jaya Hasbi, begitu pula wajah-wajah para pemimpin kota di seluruh dunia menampakan diri di berbagai saluran informasi secara silih berganti. Namun letupan senjata belumlah berhenti justru tembakan cahaya makin kerap menderap di langit kelam sebagai tanda ada penyergapan dan pelumpuhan-pelumpuhan. Begitu pula Camp pengungsian  makin penuh oleh berbagai kedatangan pengungsi dan belum ada tanda-tanda akan ada yang berhasrat kembali ke area kota, justru rombongan-rombongan berbagai kaum yang tak memiliki kelompok pengamanan makin sering bergerak menuju camp-camp pengungsian.
    Sepertinya kaum putih hari ini agaknya telah menemukan kesepakatan diantara mereka, muncul dengan anggun di jalan utama dalam iring-iringan yang mengundang perhatian semua mata.
    Pintu gerbang camp pengungsian kaum pegunungan: begitu ditulis besar-besar dengan sistem buka tutup; setiap orang ataupun rombongan pengungsi harus menunggu konfirmasi apabila akan memasuki camp pengungsian. Petugas Camp pengungsian  selalu dengan sigap memeriksa hingga jauh ke belakang, meminta izin dengan sopan untuk melongok, memeriksa isi kendaraan; entah kereta, truk bahkan bis, semuanya diperiksa dengan sangat teliti. Orang-orang sakit mendapat pertolongan segera diangkut dengan ambulan menuju rumah perawatan pengungsian, urusan administrasi dilengkapi kemudian.
    "kaum putih…" beberapa pengungsi yang sedang melintas di dekat pintu gerbang pemeriksaan camp pengungsian tanpa sadar mendesis saat tahu bahwa rombongan kereta kuda yang berbaris panjang adalah kaum putih.
    Entah mengapa, walau terlalu sering diucapkan, kadang ditemukan dalam kelompok kecil, namun selalu kehadiran kaum putih dalam jumlah besar mengundang perhatian. Entah karena gaya mereka atau kemisteriusan yang selalu terasa. Tiba-tiba saja banyak orang ke luar dari pondok-pondok pengungsian dan menatapi arah pintu gerbang.
    Cempaka Wangsa, pemimpin penjaga periksa dengan senyum ramah memberi anggukan kepada pimpinan rombongan pengungsian.
    "Saya Sandya Hening, kami dari faksi timur…"
    Cempaka Wangsa mengangguk, "cukup jauh perjalanan yang anda tempuh…"
    "Iya…" dengan suara pelan, nafas halus, Sandya Hening menyodorkan dokumen, "kami harus melewati demarkasi barat lalu selatan, barulah tiba di sini, di demarkasi kami, kaum pegunungan telah menerima beberapa kaum, yang diantaranya tak menyukai kami…karena itu, disarankan agar kami menuju camp pengungsian demarkasi timur.."

    Cempaka Wangsa mengangguk, informasi melalui link kaum gunung telah dia baca sejak kemarin, bahwa penolakan terhadap beberapa faksi kaum putih terjadi di beberapa camp pengungsian. Rata-rata menolak, karena merasa terganggu dengan sikap kaum putih; ah, sok misterius…Kalau marah membawa-bawa nama tuhan! Keluhan itu selalu terdengar dimana-mana. Kaum Putih memang berbeda sikap dan ucapannya, kaum yang dalam sejarahnya dahulu mempengaruhi seluruh umat manusia akan kehidupan sesudah kematian. Mereka adalah keturunan penganut berbagai agama, yang berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing, berperang dahsyat dengan lembaga-lembaga agama bahkan memburu berbagai organisasi agama dan para pedagang spiritual, lalu setelah itu mereka menghilang membangun perkampunganan yang tertutup. Baru setelah perang tinja, kaum putih bermunculan, memasuki berbagai area dan menempati tempat-tempat yang terpencil; jika di kaum nelayan mereka menempati lorong-lorong, di perkotaan mereka akan menempati area pinggiran sedang di area kaum gunung mereka menempati lembah-lembah; mereka menyebarkan kelompok-kelompok kecil dan menetap dengan sikap yang misterius, bekerja seadanya dan seringkali menjajakan beberapa keperluan obat herbal atau pengharum ruangan. Diantara mereka ada yang menjadi pengamen dan pemain sulap juga kadang menjadi pelayan untuk keperluan-keperluan kegiatan sosial. Namun Kaum Putih memiliki asset kekayaan yang luarbiasa, berbagai tempat pemujaaan peninggalan peradaban lampau menjadi hak mereka, dikelola menjadi tujuan wisata dan riset pengetahuan, dari semua itu mereka membangun organisasi pendanaan bagi semua kaum putih dimanapun. Namun ketegangan akibat perbedaan keyakinan kerap membuat perang diantara internal mereka.
    Ini rombongan pengungsian terbesar, semua anggota pengaman camp pengungsian memeriksa barisan Kaum Putih; dari kereta, roda mereka bahkan dengan hati-hati mereka juga meminta bekal makanan baik berupa tong maupun kotak yang dibungkus agar dibuka.
    "Aman tahap pertama…"  Laporan itu terbaca didalam link semua tablet kaum pegunungan, maka derit payung raksasa terdengar sesudah itu, dengan sistem scan, maka akan diketahui apakah ada penyusup bersenjata atau dengan penyakit tertentu yang harus diperiksa.
    Prosedur pemeriksaan berlanjut dengan keputusan penempatan mereka. Camp pengusian kaum gunung ditata mirip tata ruang desa kecil, ada pasar, rumah sakit juga tempat berolahraga. Namun posisi-posisi tempat tinggal mereka diatur sedemikian rupa. Rombongan Kaum putih, faksi timur berjumlah 50 kereta dengan 25 kepala keluarga. Segera mereka diarahkan ke arah paling ujung, intruksi tata krama menempati camp pengungsian segera disebarkan melalui tablet mereka dan dibacakan secara berulang-ulang.
    Sandya hening mengucapkan terima kasih kepada Cempaka Wangsa dan sungguh hatinya tertegun; tak menyangka kaum gunung menata camp pengungsian begitu rupa, terpelihara, semua tanah yang ada dimanfaatkan; barisan tanaman sayur mayur, pohon buah, juga kandang-kandang diatur demikian rapi, saluran airnya pun demikian terjaga.
    Dengan isyarat, rombongan kaum putih itu mengikuti langkah Sandya Hening, sebuah ruangan mirip aula kecil dimasuki oleh mereka. Dengan tertib mereka mencari tempat duduk di lantai, duduk melingkar, anak-anak membuka kerudungnya, memperlihatkan cahaya mata yang gemerlap, yang lainnya segera duduk merunduk. Cempaka Wangsa dengan singkat memberi ucapan penyambutan, lalu menyerahkan pengaturan penempatan pondok kepada Sandya hening.
    "Mereka tertib dan teratur…"
    "aku pikir mereka agak berbeda dengan kaum putih jalanan…" satu sama lain para penjaga camp membicarakan rombongan pengungsi kaum putih, faksi timur yang baru saja tiba.
    Namun segala penyambutan dan pemeriksaan itu hanya sebentar saja, sebab jerit elang terdengar dari berbagai arah, cempaka Wangsa segera berlari ke depan. Pintu gerbang camp pengungsian ditutup cepat. Tablet kerahasiaan menyala, wajah Cempaka Wangsa memucat. Dia menoleh ke arah kanan dan melihat beberapa bayangan begitu cepat mencapai tempat Cempaka Wangsa berdiri, " Mohon, diperiksa ulang…" desisnya, namun tak ada yang menyahut.
    "Tutup pintu gerbang dengan cermat, pasukan telah bersiaga penuh…"
    "akan sulit membuktikan bahwa salah satu dari mereka sebenarnya pengungsi dari kaum perkotaan yang tengah bertingkai…mereka pasti telah disusupi dan belum menyadari atau mereka tengah tersandera…"
    Wajah semua penjaga camp pengungsian berubah tegang. Jerit elang kembali terdengar, link rahasia menyala: bersikap seolah tak tahu apa-apa, namun waspada, camp pengungsian telah terususupi.
    Perang kota mulai memperlihatkan dampaknya, para pengungsilah yang tahu bagaimana keadaaan sesungguhnya. Berita-berita hanya sanggup bertutur dari sisi yang dapat mereka jangkau. Isu penculikan mulai merebak, transportasi mulai terganggu. Para pedagang mulai membayar pengawalan. Kaum cendekia pun mulai memberi isyarat jika keadaan semakin tak jelas, mereka meminta agar kampus-kampus klasik diamankan dan para mahasiswa akan dikembalikan ke kaumnya untuk sementara. Tapi anehnya; kaum politician terus mewartakan; keadaan mulai aman dan terkendali.
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Sandya hening mengangkat tangannya, semua rombongan itu kini duduk dalam posisi meditasi, pelahan mereka menggumamkan nyanyian:

Huru hara yang mengharukan
Hati bumi yang dibumihanguskan
Langit kehilangan matahari
Bulan kehilangan cahaya
Bintang-bintang berjatuhan
Segala yang mencair, mencair
Segala yang membatu, membatu
Manusia memakan kemanusiaannya
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"


    Sandya hening, pemimpin faksi timur? Cempaka Wangsa mengernyitkan dahinya, menoleh ke kiri dan kanan, lesatan-lesatan para prajurit utama nampaknya telah menempati sudut-sudut rahasia di camp pengungsian. Apa yang terjadi?
    Dengan berusaha menenangkan diri Cempaka wangsa mencoba mengkontak prajurit utama kaum gunung; mengkonfirmasi sekali lagi, benarkah rombongan yang baru tiba adalah Sandya hening? Hanya para pemimpin yang tahu dalamnya lautan, perihnya dendam. Hanya yang terpilih akan tahu siapa Sandya hening. Jika benar itu kelompok Sandya Hening maka dari yang bayi hingga yang jompo adalah penguasa ilmu langit; mereka menghidupkan seluruh elemen tubuh mereka, membaca isi tubuh mereka seperti bahan bacaan, dan memerintahkan seperti yang mereka baca. Mereka berdiam dalam kelompok kecil di kaki pegunungan, hidup sungguh-sungguh menjauhi keramaian dan pergaulan. Namun kini, mengapa mereka mengungsi?
    "Kamu bersikap biasa saja…Perlakukan mereka sebagai pengungsi yang sama dengan yang lainnya!" itu saja jawaban yang didapatkan oleh Cempaka Wangsa, yang tetap merasa gundah dan memerintahkan secara diam-diam beberapa anggotanya untuk tetap mengawasi secara tandem.
    "Mereka bukan orang-orang yang lemah…" Larung tiba-tiba muncul di sebelah Cempaka Wangsa, yang tersentak sangat kaget, "Ah, engkau…" keluhnya sedikit kesal.
    Larung menyeringai,"aku diutus guru untuk menemui Sandya Hening…"
    Mengukur jarak ataukah jarak yang terukur? Dengan desir angin ataukah degup jantung? Larung tahu, Sandya hening telah tahu kedatangannya. Barisan pondok yang kini dihuni kaum putih, faksi timur telah bertanda; berupa aroma keharuman yang merebak tak putus lalu gumam nyanyian yang membangkitkan bulu roma dan para lelaki yang nampak sibuk menyiapkan makanan di dapur umum yang terbuka, begitu santun dan lentur geraknya; sungguh, mereka bertubuh tipis tanpa tenaga! Ah, betapa cepatnya mereka bekerja, perbekalan mereka telah ditata dan nampaknya mereka memang telah menyiagakan segala hal. Para nenek tua nampak duduk-duduk menyulam pakaian dengan gerak tangan seakan menari, gilanya mata mereka terpejam! Yang tak nampak  adalah para lelaki muda dan para gadis, sedang anak-anak dengan kepala mereka yang ternyata gundul bersih setelah kerudung mereka dibuka nampak bergerak dengan langkah-langkah halus mengitari kebun-kebun sayur mayur….
    "hanya mata elang yang paham…" Sandya hening menyambut dengan tangan terbuka kedatangan larung, mereka berdekapan sejenak. Lalu Sandya hening mengajak larung ke pojok ruangan aula, sudut yang sudah ditata sebagai tempat sang guru berdiam.
    "Tak mungkin aku mengirim kabar kepada sang guru, jika aku terpaksa melawat jauh, menyaru sebagai pengungsi adalah siasat yang paling mungkin saat ini…"
    Larung mengangguk penuh senyum, "Sang Guru menanti kedatangan anda di gunung, kapan saja, jika tuan sudah menganggap tepat adanya pertemuan…"
    "terima kasih, mata elang tahu hal itu…" Sahutnya tersenyum lembut. Mata Sandya hening begitu tajam, menusuk jauh kebalik relung. Larung menyerahkan secarik kertas, lalu berbisik, "sang penyanyikah sebabnya, tuan?"
    "Faksi gurun sebabnya…" sahutnya penuh kedamaian, "sudah ratusan tahun kami tak meninggalkan lembah kuil, namun kini demi tercegahnya perang besar, kami harus menemui sang guru…Kaum pegunungan di tempat lain, agaknya tengah goyah…sebab ketuaan menuntut pengganti, segala macam informasi telah ditanggalkan oleh keinginan-keinginan…"
    Larung mengangguk dan sepintas matanya menatap sepasang mata yang begitu lembut begitu tegas menatapnya. Siapa dia? Pikirnya dengan dada berdebar. Sandya hening menepuk pundak Larung, " segeralah kembali ke gunung, badai akan tiba…."
    Jerit elang menjauh, Cempaka Wangsa menelan kegundahannya, diperintahkannya seluruh penjaga memeriksa semua pondok dan sudut camp pengungsian, dadanya berdebar, dan kerut dahinya terasa menyakitkan, "apakah aku memasukan naga ke dalam sarang?"

(BERSAMBUNG)

Cerita Serial: Kalki Bagian 7

Cerita Serial: Kalki
Bagian 7


    Perang kota dimulai!
    Tak mungkin berdiam diri. Semua kaum segera bersiaga, apapun alasannya, imbas itu akan tiba juga.
    Ah, dahulu kala di abad 20 ada hampir tiga ratus ibukota negara di dunia, berkuasa atas wilayah-wilayah yang luas, menjadi pusat, menjadi penentu, menjadi tuan atas segala hal; dengan wajah sok penuh perhatian membangun dirinya dengan gedung-gedung megah, pusat-pusat perbelanjaan dan segala macam tanda kemajuan yang kemudian menjadi alasan untuk terjadinya kesenjangan luar biasa dengan rakyat yang menjadikannya sebagai pusat kekuasaan. Kini di tahun 2512 kisah-kisah kota-kota itu hanyalah menyisakan kisah ketegangan luarbiasa, wajah lampau, sejenis fosil yang tetap berusaha eksis dengan segala sisa kearoganannya: tetap mengira kota-kota itu akan kembali pusat dan tujuan kepercayaan kekuasaan di dunia sekalipun seperti saat ini; kerusuhan tengah meledak di semua area kota di dunia; kota tetap berusaha memberi kesan bahwa kerusuhan itu terjadi oleh musuh; dan harus ditemukan kambing hitamnya!
Perang kota telah dimulai. Dimulai lagi….

    Cahaya-cahaya tembakan meletup-letup dari berbagai arah; ledakan dibaluti asap tebal tak dapat ditembus oleh pandangan mata biasa silih berganti bergasing dengan pusaran yang membumbung ke langit seperti lajunya badai debu! Suara gemeretak entah bangunan runtuh dan dentam benda jatuh silih berganti, tetapi erangan kesakitan jarang benar terdengar. Perang, kerusuhan dan berbagai perubahan cuaca sejak lima ratus tahun lalu telah menciptakan berbagai cara bertahan untuk hidup di dunia. Yang diserang adalah symbol-simbol kekuasan kota, symbol-simbol kuno yang disakralkan oleh kaum politisi. Bangunan parlemen telah compang camping begitu pula gedung-gedung pemerintahan lainnya; Entah faksi mana yang tak puas dengan perayaan kedemokrasian itu, entah siapa kini yang kembali menggoyang kedamaian. Para pengungsi itu manusia; dari anak-anak hingga orang tua renta, berduyun-duyun meninggalkan area kota dikawal seadanya oleh relawan-relawan yang tak jelas asal kaumnya. Di semua demarkasi; barat, timur, selatan, utara hampir di semua benua dan pulau, di area-area yang masih setia pada sistem tata negara tua: demokrasi dengan ibu kota di sebuah kota besar mendadak kisruh. Pengap oleh ketegangan. Renyah oleh teriakan untuk saling mengingatkan untuk segera menyingkir sejenak dari kota. Penduduk asli kota biasanya akan bertahan di bunker-bunker mereka, kaum politician terutama telah terbiasa membangun bentengnya di bawah tanah. Dari bunker-bunker mereka akan mengendalikan pergerakan tentara kota mereka, mengawasi dermaga juga menjaga titik-titik asset mereka yang penting; bandara, demarkasi, media, juga kontak dengan beberapa kaum dilakukan dengan cepat dan diplomatis.

    Semua tablet kini menyala, semua kaum membuka linknya sendiri; bahu membahu mencari kabar keadaan di seluruh penjuru dunia, "Ini bukan perang, tetapi kerusuhan, kerusuhan yang didalangi oleh saudara-saudara kita sendiri…" suara para pemimpin kota timbul tenggelam berusaha menyela semua kabar berita yang tengah bergerak cepat di semua layar mayian. Tetapi adakah yang peduli jeritan politisi disaat seperti ini?
    "Kau harus melindungi faksiku," bisik Pere kepada Larung saat melewati lapisan penjagaan pertama area Kaum Pegunungan. Larung menoleh dengan dahi terangkat, penuh tanda tanya.
    "Apa yang kau sembunyikan?"
    Pere menunduk, wajahnya nampak pucat, "faksi kami menemukan informasi rencana penyerbuan kota-kota…"
    "siapa?"
    Pere menggeleng, "faksiku, faksi kami hanya memohon perlindungan, disudut terbaik di wilayah kaum gunung…"

    Larung mengerutkan dahinya,"aku tak paham, faksimu?…"
    Pere memandang lama mata Larung, " para tetua kami adalah para hacker di abad 20….dan kami terbagi dua, ada yang bekerja bagi lembaga-lembaga formal, ada yang independen…"
    "tapi bagi kami semua, sulit membedakan kalian…"
    "Kami bisa membedakan diri kami…"
    "Jadi kalian sudah berperang terlebih dahulu di dunia maya? Itu sebabnya tak ada berita apapun mengenai kerusuhan di berbagai kota?"
Pere mengangguk, "tak ada jalan lain, satu per satu kamu menghindari jalan maya untuk meminta pertolongan…"

    Cahaya-cahaya ditembakan secara terus menerus, entah siapa yang menembakan; gemuruh tank-tank mulai terdengar. Lorong-lorong kota sebaliknya senyap, jalanan senyap, listrik dimatikan, semua kegiatan perdagangan seketika terhenti: yang ada adalah hamburan tembakan untuk menghancurkan apa saja. Sayup-sayup terdengar deru pesawat pemburu mengintai di atas langit, bergerak dengan cepat dilangit yang kelam. Langit mulai gelap, hujan deras akan segera turun. Semua area kota divakumkan!
    Larung mematikan tabletnya. Laporan para pewarta kadang makin memperburuk ketakutan. Para pengungsi telah nampak di ujung-ujung batas wilayah kaum gunung. Camp-camp pengungsian telah permanen disediakan sejak ratusan tahun lalu, aturannya telah jelas, jadi tak akan lagi keluh kesah. Bagi semua kaum yang bertikai, jika telah memasuki camp pengungsian harus menghentikan tindakan kekerasan; harus bersedia bersikap netral, mematikan tablet dan istirahat menjaga keluarga dan asset mereka masing-masing. Manusia tetap membutuhkan berkembang biak jika tak mau punah, maka jika sudah memasuki camp pengungsian semua yang berperang harus menghormati. Kesadaran ini membuat semua kaum menghormati camp pengungsian dimanapun.
    "Jadi siapa menyerang siapa ini?"
    Pere tersendak, menunduk lama. Larung tentu saja tak bisa beli kucing dalam karung, menerima satu faksi dalam usulan jaringan besar kaum gunung? Kalau mau, camp pengungsian cukup bagi semua pengungsi tetapi memang bagaimanapun para penyusup akan tetap mencari musuhnya dengan segala cara. Pengungsian khusus yang diminta Pere itu dalam perlindungan prajurit utama Kaum Gunung. Itu statusnya pengungsi politik.
    "Apakah di sini aman bercerita?" Pere balik bertanya, suaranya gundah.
    "Di sini aman, di sebelah ladang jagung dan tembakau itu, itu pondokku…"
    Pere mengedarkan pandangannya, betapa hijaunya pemandangan, tak akan ada yang menyangka ini adalah garis batas terdepan benteng pertahanan kaum gunung. Berkilo-kilo meter jauh ke sana, kea rah yang sulit dijangkau mata; di sana pondok Larung. Kampung Kaum Gunung tak mudah ditembus. Beratus tahun mereka telah menata perkampungan mereka. Semua pondok adalah titik koordinat pertahanan mereka.
    "Kami telah berperang sejak tiga bulan lalu…" Pere memulai ceritanya," Perang di dunia maya adalah hal lumrah, warisan yang kami terima sejak abad dua puluh…"
Larung mengangguk,"aku tahu hal itu, tapi faksi dalam mayian…ini menjadi pertanyaan mendasar bagiku…?"
    "Kami tak sengaja meretas salah satu benteng lawan kami, mereka dari demarkasi barat, dan memiliki kedekatan dengan faksi gurun dari kaum putih…"
    Demarkasi barat?
Larung melengak mengerutkan dahinya, benoa luas dengan ketuaan tradisi kotanya. Dan kemajuan zaman abad dua puluh dimulai dari para pemikir mereka, sayangnya kemudian mereka ingin menguasai dunia dengan kepentingan ekonomi dan ideology, jauh dalam hati mereka selalu merasa dari ras yang unggul. Kini demarkasi barat adalah demarkasi paling mencekam, dikelola oleh berbagai tentara kota yang tak mau berbagi dengan kaum manapun. Rusuh setiap saat dapat terjadi di demarkasi barat. Kota-kotanya lebih banyak dikuasai oleh pemimpin dagang senjata, bukan oleh kaum politician. Jadi ini ada kaitan dengan mereka?
    "siapa mereka?"
Pere tertunduk lama, lalu mendongak, "mereka itu Faksi gurun, mereka bekerjasama sejak lama dengan Panglima tentara Kota di demarkasi barat…"
    Larung tersenyum samar, "Jadi benarlah isu itu? Laksmana Borus sejak lama mencurigai kaum putih…"
    "Bukan kaum putih, ini faksi gurun…"
    "apa target mereka?"
    "menguasai semua kota di dunia, dan kemudian menyerang semua kaum untuk mengembalikan kota sebagai pusat control masing-masing negera sesuai sejarah masa lampau.."
    "Dan itu akan terjadi negosiasi di dalam internal kaum perkotaan, bukan?"
Pere mengangguk, "hanya beberapa penguasa kota yang menentang…"
    "Untuk sementara faksimu mengungsi ke camp pengungsian umum…" Larung tiba-tiba melesat, melompat hilang dari pandangan Pere.
    Pere menghela nafas dan menyalakan tabletnya. Mengkoordinat jalur pengungsian bagi kaumnya. Dikejauhan cahaya-cahaya seperti menoreh langit. Kali ini Pere tak yakin kerusuhan akan segera berhenti, sebab ia tahu, seperti apa persiapan kerusuhan kali ini.

    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"

    Pere melengak, hatinya terkesima, kenapa serasa dekat sekali nyanyian itu? Ah, nujum kisah itu apakah benar dunia akan terbebaskan oleh perang bila percaya kepada kedatangan Kalki? Entah mengapa mata Pere berkaca-kaca, benarkah perang dapat dihentikan? Benarkah ada jalan damai bagi kehidupan kini dan ke masa depan?

(BERSAMBUNG)

Cerita Serial: Kalki Bagian 6

Cerita Serial: Kalki
Bagian 6


    Pere!
    Sang Pemilik Kaum Mayian, warung yang terletak diantara lorong-lorong di tengah area kota. Larung ingat wajah itu, wajah Pere! ditariknya nafas, berdiri tenang dikejauhan memandang atap bangunan-bangunan di area demarkasi, sengaja ia berjarak, mengambil rentang pandang saat mengamati. Nalurinya berkata, akan terjadi sesuatu yang tak mungkin terelakan. Kini, ia harus memasuki area kota, yang sibuk dengan kampanye demokrasinya, bermimpi membalikan jalannya kenyataan. Sejarah telah usang, hilang wibawa, negara-negara dengan sistemnya telah menyerpih kemanusiaan-kemanusiaan dalam kaum-kaum, dalam faksi-faksi bahkan suku-suku dalam bangsa-bangsa pun tercerai, semua kekecewaan telah serempak menghabiskan sistem tata kepemimpinan dimanapun di dunia.
    Larung mengatupkan gerahamnya. Matanya makin lurus melepas pandangan. Memasuki kota dengan jalur formal disaat-saat kaum kota merayakan kerepublikan mereka, itu sangat aman.  Walau area demarkasi rentan dengan penyerangan, tetapi area ini jauh lebih aman dibandingkan dengan menggunakan jalan pintas. Tentara Negara Kota sangat telengas untuk urusan pengamanannya, selalu memiliki alasan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada siapapun disaat seperti sekarang ini.
    Larung bertimbang untung ruginya, mengukur segala hal dengan cermat. Kemudian ia melangkah pelahan menuruni jalanan tanah, seperti yang dilakukan banyak orang lainnya, yang memilih jalan setapak menuju area demarkasi; di jalur lain ada jalan beraspal, namun itu jalur-jalur kendaraan dengan berbagai tujuan, terlalu melelahkan jika diseberangi, juga pengawasan teramat ketat bahkan kadang berlebihan.
    Saat Larung memasuki area demarkasi; beberapa kereta telah diparkir di tepi jalan, truk dan kendaraan-kendaraan kecil berjejer rapi dengan symbol-simbol kaum dan faksi-faksi yang melindungi mereka. Tanda peringatan untuk tak mengganggu perayaan demokrasi sudah terpasang, nampak jelas dimana-mana memperingatkan berbagai hal yang biasanya dilakukan bagi yang menentang segala macam mimpi untuk mewujudkan negara kembali.
Larung menghela nafasnya dengan berat dan mengayun langkah diantara ayunan langkah-langkah kaki orang-orang yang entah apa tujuannya ke area demarkasi, entah kendaraan apa yang akan dipilih untuk memasuki area kota; ada kereta bawah tanah, ada bis, banyak model kendaraan yang dapat disewa untuk memasuki area kota.
    Area Demarkasi walau terkesan sebagai area bebas, namun sebenarnya dibawah pengawasan Tentara Negara Kota; ini adalah kesepakatan ratusan tahun lalu; yang kadang menjadi alasan untuk terjadinya ketegangan-ketegangan. Di area ini transaksi perdagangan, transaksi informasi biasanya terjadi  dengan cara sebebas-bebasnya, namun semua tahu, sebebas apapun harus dengan hati-hati sekali.
    "Selamat datang…Selamat datang di area bebas: Demarkasi Timur…."
    Layar televisi hologram tingkat superplasma dinyalakan tepat di area kedatangan dan keberangkatan, siaran cuma satu: laporan persiapan kampanye Bangsing Hasan, penguasa kota yang mencalonkan dirinya kembali dengan saingannya seorang politisi muda: Jaya Hasbi. Wajah keduanya silih berganti ditayangkan, kadang berpedar karena getaran kereta yang datang dan pergi. Kadang membuat mata tertarik untuk melihat, selebihnya kebanyakan orang tak peduli. Di semua sudut nampak kedai-kedai makanan, souvenir, berbagai peralatan rumah; semua kaum seakan-akan terwakili di semua kedai, padahal semua kedai itu milik kaum pedagang yang sudah barang tentu dari zaman ke zaman menikmati keuntungan dalam situasi apapun!
    Larung menuju sebuah kedai, "sebaiknya minum kopi dan makan dahulu, sebelum memasuki kota dan menemui Pere" putusnya dalam hati.
Diantara keramaian dan keriuhan area demarkasi, Larung melangkah tenang. Suara-suara berbagai manusia mirip dengungan, keluh kesah, caci maki juga nyanyian; campur aduk dan membuat hati dilanda ketidaknyamanan. Sedang televisi sibuk menghadirkan analisa politik, siapakah yang akan memenangkan pemilihan umum, apakah Bangsing Hasan ataukah Jaya Hasbi?
    "Paketan atau special?"
    "Paketan…" Larung memilih makanan box. Jika tak habis, bisa dibawa saat menuju area perkotaan. Dipilihnya duduk di sudut, meja kecil yang akan menjauhkannya sedikit dari dengung suara-suara yang mirip dengung jutaan lebah itu.
    "Kerusuhan terjadi lagi…"
    Larung memasang telinganya dengan baik-baik, mengunyah makanan dengan tenang sesekali menyeruput kopinya, telinganya terus terpasang; diantara dengung keriuhan suara-suara yang tak jelas itu, jelas didengarnya ada yang melakukan transaksi informasi, "hebatnya sama sekali tidak diberitakan di satlet kaum kota juga kaum mayian agaknya telah bungkam…Semua link seolah-olah mengesankan keadaan sedang damai seratus persen! Padahal dalam link kami; dari  berbagai penjuru bumi, di semua area kota ada kerusuhan, ini bukan kerusuhan kecil, ini serentak dan massif…"
    "Penculikan pun makin sering terjadi, banyak area demarkasi melaporkan kehilangan orang, tetapi tak ada tindakan sama sekali. Kelompok mana yang memback-up penculik ini? Kalau bukan kaum pedagang, siapa lagi?"
    "entahlah..."
    Larung berusaha menebak-nebak, siapa dengan siapa yang bertransaksi ini, kaum mana dengan kaum apa?
    "berita bawah tanah lebih menakutkan, faksi kaum putih terpecah-pecah, semua tengah mengejar Sang Penyanyi…"
    "Isu sengaja dihembuskan seakan Sang Penyanyi terakhir terlihat di area kota demarkasi timur, artinya Sang Penyanyi tak jauh-jauh dari wilayah garis khatulistiwa?"
    "Mungkin saja, kaum gunung memiliki sistem yang paling tertutup…"
    "Ah, mereka tak akan melakukan konspirasi itu, walau ideology mereka memang kemanusiaan di bumi, tetapi mereka tahu persis resikonya jika kini terlibat dalam ketegangan politik global. Dan link kaum gunung belum memberitakan apapun soal itu, baik secara bahasa sandi maupun lelucon menyebut akan adanya Sang Penyanyi. Aku pikir, kerusuhan di semua kota-kota di dunia, isu Sang Penyanyi; ini satu paket…perang nampaknya akan terjadi lagi, hanya saja kali ini kita tak tahu apakah faksi dalam kota yang radikal yang mensetting semua keanehan ini, termasuk sikap kaum mayian…"
    "satu-satunya kunci pembuka, kaum mayian…"
    "entahlah…apakah mereka juga sebagian budak yang dilepaskan?"
    Larung menyeruput minumannya, pikirannya bekerja dengan hati-hati. Yang tak terungkap sejak dahulu adalah para penculik ini dan bagaimana dewan keuangan melakukan standar nilai uang, yang kini tak lagi menggunakan mata uang atas nama negara tertentu, uang kini dikeluarkan oleh Dewan Keuangan Bumi, dan semua kaum terwakili dalam dewan keuangan itu.
    "memburu para penculik…" Larung tersentak sendiri dengan inspirasi dalam kepalanya, segera ia melangkah meninggalkan kedai itu, menuju pintu pejalan, lebih baik dirinya kembali ke gunung dan mengusulkan pertemuan tertutup; strategi harus dibangun, kaum mayian tak dapat dilibatkan saat ini sebagai sumber informasi.
    Berjalan adalah kebiasaan yang hampir hilang di bumi ini, dan kaum gunung menjadikannya sebagai senjata pergerakan, ratusan tahun kaum gunung berupaya menemukan teknik berjalan yang menyaingi kecepatan kendaraan. Generasi kaum gunung kini dikenal sebagai pejalan cepat dan pejalan layang, dan krisis energy memang kemudian teratasi setelah berbagai bahan bakar bermunculan, namun semua kaum, semua wilayah di muka bumi ini tak lagi dapat sembarangan berjualan kendaraan, sebab bahan bakarnya berbeda-beda merumitkan proses produksi kendaraan. Kaum gunung memiliki bahan bakarnya sendiri segala macam minyak dari tanaman, biooil kaum gunung adalah salah satu yang asset yang paling diincar saat ini.
    "Larung…"
    Larung terus melangkah tak menoleh dan tak bereaksi walau namanya ada yang memanggil. Tubuhnya melewati pintu pemeriksaan, telinganya mendengar namanya dipanggil kembali, namun ia tak akan menoleh di pintu pemeriksaan. Kaki Larung terus melangkah menuju arah Timur, menuju jalan yang menjadi milik kelola Kaum Gunung.
    "Larung…"
    Kereta-kereta dan truk-truk masih terparkir rapat, artinya banyak kaum gunung masih ada di kota dan banyak kaum lain juga sedang ada di pasar kaum gunung. Larung memelankan langkahnya, keramaian seperti ini membuat hatinya lebih nyaman untuk memastikan ada yang memanggilnya.
    "Kau memanggilku?"
    "Iya.."
    "belokan pertama di dekat bunker penjualan bahan bakar…" Larung dengan suara berdesis, tanpa menoleh menyahuti pemanggilnya dan memberi petunjuk dimana dapat bertemu.
    Tiba-tiba hujan luruh dengan deras. Larung mengibas jaketnya yang seketika berubah menjadi mantel penahan hujan. Demikian juga orang-orang nampak seketika memakai mantel penahan hujan dengan aneka warna-warni; payung-payung seketika terkembang. Hujan deras disertai petir seperti biasa bersamaan dengan matahari yang benderang. Cuaca yang lumrah ditahun 2500-an
    Dekat bunker penjualan bahan bakar ada kedai besar milik kaum gunung. Larung mencapai tempat itu saat kilatan petir seperti hendak membelah tanah. Larung menepis ujung jaketnya, seketika mantel hujannya kuncup menjadi jaket yang sedikit basah ujungnya dan segera ia melangkah ke meja paling sudut. Kedai telah penuh sesak, banyak yang tengah berteduh dan duduk-duduk dengan obrolan tak jelas, mengisi waktu buat menanti hujan reda atau istirahat sejenak dari kesibukan. Ah, di sini tak ada televisi superplasma milik kaum kota, aroma kedainya pun berbeda… Larung memanggil pelayan dan memesan minuman dan makanan: Kopi hangat, pisang semental dibakar…
    Larung menanti pesanannya saat itu telinganya menangkap jelas, langkah sepasang kaki begitu halus dan teratur, tak ada detaknya, Larung tersenyum, saat menyadari orang yang memanggilnya telah memasuki kedai, kibasan jaketnya pun sangat halus, artinya bukan penduduk biasa. Larung dengan tatapan beku menatap ke arah pemilik langkah halus itu, "Pere?" desisnya dengan kerut didahi.
    Pere memperlihatkan giginya, tersenyum lebar, segera ia duduk di depan Larung, "sorry, aku memanggilmu di pintu…"
    "Tak apa, kau mau memesan apa?" Larung menyela cepat. Mengalihkan percakapan.
    "Hujan…" keluh pere
    "tak akan lama…"
    Pere mengangguk, memesan menu yang sama dengan Larung.
    "apa kabarmu?" Larung dengan suara mirip gumam, mata yang cermat berusaha menangkap keadaan sekitarnya. Kedai ini bukanlah kedai hanya bagi kaum gunung…segala macam kaum dapat singgah di sini.
    "Baik…" sahut Pere dengan mata berkerjap, melepas isyarat. Larung mengangguk, "Hayolah kita minum dan makan, setelah hujan reda kita memburu jamur di hutan…"
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki"
    Pere mengerutkan dahi, Larung tersenyum,"biarkanlah, mereka pengamen.."
    "Masih juga nyanyian itu beredar, padahal santer dimana-mana dikatakan, Sang Penyanyi menghilang…"
    "Hayolah, buat apa kita pedulikan. Nyatanya, masih mereka bernyanyi, tak ada yang hilang…Isu di masa kampanye kaum kota, selalu dengan tujuan yang tak terduga,"
    Deru hujan tiba-tiba terhenti dan kini berganti dengan desiran angin yang membawa udara yang teramat dingin,"hujan es sebentar lagi…"
    "Ya…"
    Larung memastikan pantauannya, betapa banyak mata-mata yang hilir mudik, menyaru mencari tempat berteduh ke kedai yang dikelola kaum gunung ini. Dan beberapa kaum putih, juga duduk di meja dekat jalan, seperti biasa berkerudung dengan wajah yang memucat; lalu dari kaum nelayan, kaum pedagang…..Larung menggeliatkan punggungnya, berusaha menahan debaran jantungnya; walau samar firasatnya mengatakan, disekitar kedai yang penuh sesak ini ada juga orang-orang tersamar entah itu dari kelompok teroris, separatis, atau kelompok petualang…
    Tiba-tiba petir menyambar demikian dahsyat disertai suara ledakan Guntur, lalu hologram bermunculan dengan suara yang membuat bulu kuduk meremang; "segera menyingkir, amok dikota baru saja terjadi, ada faksi yang melakukan serangan ingin menguasai kota…."
    Dalam gemuruh ledakan Guntur dan kilatan petir, suara-suara cemas berdengung, kegelisahan meruak terasa menyengat disemua sudut warung. Semua pengunjung warung mencoba mencari koneksi dalam tablet mereka dan menggunakan signal pemeta agar dapar dapat gambar terkini dari koordinat yang diinginkan. Larung menatap Pere,"kau sudah tahu rupanya…"
    "Iya, pengungsian akan segera menuju perkampunganmu…" desisnya.
    Larung mengangguk dan segera berdiri, Pere mengikuti. Keduanya tanpa menoleh kiri dan kanan melesat dalam desau angin dingin dibawah kilatan petir dan badai guntur. Perang mungkin akan terjadi lagi! Aungan sirine terdengar tak lama kemudian, siul elang bersahut-sahutan, prajurit kaum gunung bermuncul dari berbagai semak, area yang semula adalah perbatasan sunyi dengan area demarkasi kini telah dibentengi oleh tembok-tembok yang dengan otomatis bermunculan dari balik tanaman-tanaman. Semua area perkampungan dimanapun pastilah kini menyalakan bentengnya.
    Perang akan dimulai lagi?
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"

(BERSAMBUNG)

Cerita Serial: Kalki Bagian 5

Cerita Serial: Kalki
Bagian 5



    "Ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"

    Berapa langkah diperlukan untuk jarak satu kilometer jalan? Apabila itu menanjak ataukah menurun, terjal ataukah berbelok-belok, kaum gunung harus memahami hal itu. Berapa tua sebatang pohon, berapa tua tumpukan batu, semua jejak itu harus menjadi bagian kehidupan kaum gunung.
    Larung melangkah menaiki bebukitan, entah berapa langkah telah dia ayunkan. Entah apa yang akan terjadi lagi, perang gerilya ataukah teroris akan kembali beraksi? Separatis mana lagi yang akan dapat dibeli oleh pihak manapun di muka bumi ini? Ini zaman dihitungan yang begitu susah membayangkan bila dahulu kala di abad 20 ada negara-negara berkuasa penuh diseluruh permukaan bumi, ada perarturan-perarturan yang mengatur setiap perhubungan-perhubungan, yang kemudian luluh lantak oleh berbagai kejadian; dimulai dengan satu negara pecah dan disusul yang lainnya; seperti gelas dibanting; berkeping-keping lalu teroris dan separatis dengan berbagai alasan saling menghantam, menceraiberaikan berbagai hal.
    Namun tak ada lagi pusat kekuasaan, tak ada lagi presiden ataukah raja, tak ada tokoh-tokoh lintas yang berpengaruh. Kaum historian dan para peramal berusaha membangun mimpi akan masa depan manusia di Bumi? Namun melewati seabad ini agaknya perkauman-perkauman, demarkasi-demarkasi yang bukan berdasarkan besaran wilayah dianggap paling damai dan membuat semua kaum dan individu terbebaskan oleh birokrasi dan korupsi yang membelit bumi beratus tahun. Kaum politician berupaya mengubah cara berpikir, menguasai kota-kota dan membangun solidaritas mirip keyakinan akan spiritual…
    Di belokan bukit, diantara lebatnya hutan, Larung berdiri tegak, tabletnya menyala. Kaum Nelayan telah mengirim kabar yang mendebarkan hati, akan ada kekacauan besar. Di dermaga kota dalam garis khatulistiwa, bekas negara kepulauan yang hancur karena korupsi disinyalir ada pengiriman senjata yang diterima oleh kelompok-kelompok bayaran, entah faksi mana yang bermain di area Kaum Perkotaan di saat Kaum Perkotaan tengah melakukan ritual mereka; mengkampanyekan indahnya bernegara dalam demokrasi.
    Larung tersenyum sambil menatap layar tabletnya, telinganya menangkap gemeresak langkah-langkah kaki yang mendekatinya.
    "Seperti tak berpenjaga, tetapi tak tertembus rupanya, Kaum Pegunungan di seantero bumi telah mencapai pemantapan…?"
    Larung menoleh ke arah kanan, dari balik semak-semak bermunculan orang-orang dengan mantel berjuntai dengan kerudung, yang bicara tak lain Panda Gasing, utusan kaum putih, yang tak asing wajahnya, wajah yang cukup populer.
    "Sang Penyanyi masih dalam perawatan…"
    "Kami tahu hal itu, keyakinan tetaplah keyakinan, kelak Kalki akan tiba…"
    "Kekacauan telah dimulai…di sudut area kota, empat panggung kampanye mereka rubuh oleh tembakan laser…" lanjut yang lain, menimpali ucapan Panda Gasing, wajah yang begitu misterius dibalik kerudung.
    "Secepat itukah kejadiannya?" Larung menyela dengan gumam tak yakin, mengerutkan dahinya, apakah Kaum Mayian mulai malas mengup-date pemberitaan? Ataukah ada kekuatan lain menguasai dunia maya?
    "Kami tadi melintasi area kota dan kami menumpang kereta-kereta ke demarkasi utara, dari terminal itu televisi-televisi memberitakan adanya kekacauan…"
    "Lalu tujuan kalian ingin bertemu di bukit pemuja ini, dengan keperluan apakah denganku?"
    "Izinkan pemimpin kami menemui Sang Guru…"
    Larung melengak, pemimpin kaum putih? Benarkah kini mereka ada satu pemimpin? Dalam riwayatnya, berbagai agama satu sama lain merasa lebih unggul, belum lagi sekte dan berbagai kepercayaan, lalu kaum spiritual, semuanya yang merasa hidup untuk kebaikan atas nama keyakinan menyatukan diri sebagai kaum putih, yang menentukan sikap mereka tak memiliki markas, tetapi hidup menyebar disemua kaum, dengan kesetiaan yang tak terduga kepada semua garis keyakinan mereka. Kaum putih sulit dipercaya, Panda Gasing, tokoh yang tak terduga, riwayatnya jelas, dia berasal dari satu agama garis keras, sejak dahulu kala menjadi bagian terpenting munculnya faksi fundamentalis.
Larung tersenyum, "siapa pemimpin kaum putih? Apakah mungkin ada satu pemimpin bagi kaum putih?" Tatapan mata Larung begitu menyelidik
    Panda Gasing terkekeh, "kewaspadaan kaum gunung sungguh menakjubkan…kami telah memiliki kini satu pemimpin…"
    "Siapa? Itu artinya kalian akan memerlukan markas…Mungkinkah tradisi-tradisi keyakinan ada dalam satu area? Tanpa berbenturan…?"
    "Itu urusan internal kami, yang pasti era kaum putih telah dimulai…"
    "Siapakah?"
    Larung memastikan arah angin berdesir darimana, belum tentu Sang Penyanyi satu faksi dengan Panda Gasing, dan belum tentu Panda Gasing datang sebagai seorang kawan.
    "Kami menggunakan kepemimpinan bergiliran…era yang sekarang dipimpin oleh Patik Gurun!"
    Larung mengatupkan gerahamnya, mengangguk pelan. Diplomasi adalah diplomasi, tetapi mempercayai informasi tidaklah mudah di zaman seperti ini.
    "Akan kami sampaikan, dan kelak melalui jalur mayian akan kami sampaikan kabar…"
    "Jangan melalui kaum mayian, kami akan memberikanmu link kaum putih, faksi kami…"
    Larung mengangguk. Memperhatikan layar tabletnya,"link kalian telah masuk," gumam Larung dengan senyum. Panda Gasing mengangguk lalu berpamitan diikuti oleh orang-orang bermantel dengan juntai, kerudung yang mengibaskan misteri.
    Sang Penyanyi, siapakah sebenarnya yang menyerang dia? Larung sungguh mulai merasakan pori-porinya mengembang. Sang Guru telah mengingatkan bahwa mengobati Sang Penyanyi dan membiarkannya bermukim di kampung kaum pegunungan akan memancing perhatian beberapa faksi dan kaum yang  apapun motivnya adalah yang berseberangan dengan tujuan Sang Penyanyi, yakni bumi diselamatkan dikembalikan dalam tata krama bernegara.
    Siul panjang burung elang terdengar, Larung melangkah menuruni bebukitan. Dari berbagai arah semak bermuncul prajurit kaum pegunungan, "mereka hanya lima orang, kami buntuti hingga terminal utara…" Laporan prajurit pemburu hanya ditanggapi anggukan oleh Larung.
    Lalu para prajurit itu menghilang kembali di balik semak-semak. Larung terus melangkah seolah sendirian di lorong jalan tanah bebukitan yang dilebati pohon-pohon besar. Ada seratus murid utama yang dapat diajak berunding, namun hanya dua puluh yang boleh mengambil keputusan. Markas Kaum Pegunungan harus diamankan lebih ketat selama Sang Penyanyi di rawat di area kaum Gunung.
    "Tak ada yang tahu, siapa sebenarnya Sang Penyanyi ini…"
    "Orang-orang yang menghantarkannya, membisu dalam meditasi di depan kamar perawatan, menolak makan dan minum…"
    "Informasi kaum mayian pun sedikit sekali…"
    "Sepertinya, tak akan ada yang tahu, siapa dia…"
    Larung menghela nafas, percakapan dalam pertemuan kemarin malam, masing terekam bagus dalam ingatannya. Hampir semua merasakan, Sang Penyanyi ini adalah figur yang misterius, menurut informasi dari kaum pegunungan di berbagai wilayah di permukaan bumi, mengatakan, pernah mendengar nyanyian mengenai Kalki itu…Namun mereka tak begitu peduli, sebab banyak pengamen berkeliaran di semua demarkasi…
    Penanda itu kini garis lintang, garis khatulistiwa, daratan, lautan, pulau, entahlah, tak pasti untuk memahami, semua ingin membaur, peta-peta tinggal tanda, pembatas kekuasaan telah lama lenyap. Alamat-alamat menggunakan signal dari markas-markas kaum-kaum.
    Larung melangkah memasuki jalan perkampungan. Barisan ladang jagung, barisan sawah-sawah, kebun buah-buah, kolam-kolam ikan, kandang ayam, babi, sapi, kubangan kerbau bahkan penangkaran-penangkaran berbagai binatang telah berabad dilakukan oleh kaum gunung. Kaum Gunung tak takut kehabisan makanan, semua bekerja sesuai dengan keahlian dan melatihkan keterampilan di balai-balai pendidikan, namun di malam hari, semua mendapatkan pelatihan keprajuritan dan doktrin kesetiaan, tata krama hidup di zaman yang tak terduga.
    Kereta-kereta pengangkut barang mulai nampak, truk-truk kecil bersiliran, gudang-gudang pengepakan nampak di sana-sini dan tentu saja bangunan-bangunan pendingin makanan ada di semua rumah. Kaum dimana pun didunia kini selalu harus menyediakan diri mereka stok makanan, kerusuhan setiap saat dapat terjadi, dan disaat seperti itu makanan menjadi sangat sulit dicari.
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Larung terus melangkah memasuki kerimbunan ladang jagung, menghindari siliran truk dan kereta, dia harus mencapai pusat perkampungan dengan menggunakan jalan menerabas. Nyanyian itu terdengar lagi, sayup tetapi. Ah, itu mungkin gaung ingatan. Bukankah Sang Penyanyi tengah dirawat antara hidup dan mati?
    Pondok diujung perkebunan Jagung, luasnya enam are, asap mengepul dari perapian. Larung mendengar kokok ayam dan embikan kambing. Melalui jalan belakang Larung memasuki pondok ujung perkebunan, pondok milik Kembang Gaduh, salah satu murid utama yang memiliki keahlian membuat tepung.
    "Salaam…."
    "Kau Larung? Kemarilah aku di dapur, seisi rumah sedang ke pasar…"
    Larung menuju dapur Kembang Gaduh, pondok yang terpisah dari pondok utama. Kembang Gaduh nampak tengah mengaduk sesuatu dalam kuali.
    "Wah, ada bubur jagung…" Larung menyerangai dengan mata berkedip. Kembang gaduh tertawa bangga, "Makanya, kau seharusnya segera kawin, jadi pondokmu itu akan terus mengepulkan asap…"
    Larung tertawa, memperhatikan gantungan di atas tungku yang penuh dengan daging-daging yang diasapi. Mengeringkan dengan cara mengasapi lebih aman dibandingkan menjemur, sebab cuaca sulit diduga. Hujan dapat turun semau hatinya dan kadang panas berhari-hari terjadi dengan angin yang menderas hingga semua tanaman tertutupi debu tipis.
    "Kau pergi ke bukit?"
    "Iya…" Larung menuju sebuah rak, mengambil satu mug dan mencari cerek air, menuangkan mulutnya ke atas mug, "kau minum air sembung?"
    "Ya…" Larung menegak isi mug dengan lahap. Rasa sembung yang pahit namun gurih terasa merayap ke dalam seluruh urat tubuhnya.
    "Utusan kaum putih…"
    Kembang Gaduh mengangsurkan satu mangkuk bubur, dan mengajak Larung pindah duduk di meja makan, tudung saji diangkat, daging dendeng, daging kuah, sayur daun yang membuat perut Larung menggeliat merasakan rasa lapar.
    Dapur yang luas, meja makan yang nyaman. Isi dapur yang lengkap. Larung tersenyum lebar dan mulai menyuap bubur jagung dan mengambil beberapa potong dendeng.
    "Siapa yang diutus mereka?"
    "Panda Gasing…"
    "Faksi gurun?" Kembang Gaduh tersenyum, "sejak lama faksi mereka tidak jelas kemana berpihak, bahkan kaum nelayan pernah memergoki mereka menyelundupkan bahan-bahan peledak. Laksamana Borus pernah menyampaikan langsung kepadaku saat aku bertugas mengawasi kesepakatan jual beli makanan dengan mereka…"
    "Kaum Putih memang tak terduga…"
    "Panda Gasing itu licin seperti belut sungai di musim badai…" Kembang Gaduh terkekeh ringan, "tetapi kali ini tentunya faksi gurun berhitung dengan cermat, jika memang Sang Penyanyi satu faksi dengan mereka, tentu mereka langsung memasuki perkampungan dan menengok Sang Penyanyi…"
    Larung mengangguk, "mereka menduga-duga jejak terakhir Sang Penyanyi, namun tadi mereka hanya menyampaikan keinginan bahwa pemimpin kaum putih ingin bertemu dengan guru kita…"
    "ha? Aneh sekali, mereka punya pemimpin?"
    "Mereka bilang internal mereka menyepakati ada pergiliran kepemimpinan…"
    Kembang Gaduh mengerutkan dahinya, "kaum putih tersebar di semua kaum, dan semua masalah mereka kadang tak jelas…"
    "Aku akan menyampaikan pada guru permintaan faksi gurun kaum putih itu, namun tentu saja harus ada penjelasan yang lebih strategis…"
    Kembang Gaduh, "sebaiknya kamu turun gunung, masuki kaum kota yang ada link dengan faksi gurun, dengarkan apa yang sebenarnya terjadi, dan kini saat yang tepat, kaum kota tengah mengkampanyekan impian mereka…"
    "Kekacauan sudah terjadi di beberapa titik signal area kota…"
    "itu ulah faksi kaum kota…tidak usah khawatir…"
    "Menurutmu, apakah para pengawal Sang Penyanyi dapat dipercaya…?"
    Kembang Gaduh tersenyum lebar, " mereka diawasi dengan cermat oleh Elang Sabit"
    "Mereka masih membisu…"
    "itu sikap umumnya kaum spiritual…riwayat mereka dahulu menyebabkan sikap mereka sangat tertutup.."
    Panda Gasing bukan kaum putih sembarang kaum putih, dalam riwayatnya, dia keturunan salah satu pemimpin agama yang memiliki pengikut di seluruh dunia, disaat dunia dilanda kekacauan,  Faksi gurun masih berkutat dengan tafsir keyakinan mereka yang super fanatic lalu tercengang saat di semua wilayah tak hanya kaum penguasa yang menghabisi mereka namun juga semua kaum. Mereka menarik diri menjauhi pergaulan dan melakukan gerilya dan baru muncul ketika terjadi jeda perdamaian oleh bencana cuaca; mereka melakukan proses negosiasi dengan jaringan kaum putih, walau demikian, faksi gurun selalu mengalami hubungan pasang surut dengan semua faksi dalam perkauman kaum putih.
    "Faksi gurun memiliki kedekatan dengan kaum pedagang, dan mereka memiliki banyak asset kekayaan yang membuat mereka dapat membeli di seluruh dunia area-area yang tidak dapat mereka sebut markas tetapi sebenarnya mirip dengan bunker, dari situlah diduga gerakan mereka dilakukan. Tetapi tentu saja mereka tak lagi bisa mengumbar keyakinan mereka, klaim kebenaran atas keyakinan mereka sudah lama tak lagi dapat dijadikan senjata…"
    "Bahkan kita sekarang sudah tak tahu berapa kaum telah terbentuk di seluruh dunia, kampus-kampus klasik tak dapat dijadikan rujukan apakah ada kaum baru yang mengajukan anggotanya untuk memasuki bangku keilmuan klasik…"
    Kembang Gaduh mengakhiri kunyahannya, "beberapa bekas bandara di dunia itu sekarang menjadi demarkasi berbagai kaum, tetapi beberapa secara pengelolaan jatuhnya pada kaum kota dan kaum dagang….itu pangkal sebabnya apabila terjadi kembalinya ketegangan…"
    "Bukankah bandara bukan lagi tujuan favorit dalam melakukan perjalanan?"
    "Tetap utama dan tercepat, melalui laut, beberapa wilayah laut tidak ada yang mau mengamankan, faksi dalam kaum nelayan tidak memiliki kemauan untuk memiliki jaringan dalam mengelola keamanan…"
    "Borus sangat dekat dengan laksamana laut Utara…"
    "hanya karena Borus dapat memasok jagung dan buah ke wilayah kampung mereka, jika tidak, mereka sama sekali tak bertegur sapa sekalipun dalam link yang sama…"
    Larung mengangguk, meraih kembali satu potong dendeng. Suara kereta terdengar di kejauhan, tampaknya istri dan anak-anak Kembang Gaduh telah kembali dari pasar, "aku harus pergi…" Ucap Larung dengan singkat, Kembang Gaduh mengangguk pelan. Tata krama prajurit kaum gunung, tak bertemu dengan keluarga saudara sekaum bila mengurus pekerjaan kaum. Dalam sekejap larung telah lenyap dibalik kerimbunan ladang-ladang jagung.
    "Hoooo……hoooo" Suara perempuan menghentikan laju kuda terdengar begitu nyaring, melengking seolah menyaingi lengking siul burung-burung elang. Sayup Larung melangkah, kembali mendengar nyanyain itu, "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Larung menghela nafas, menghentikan langkah, memejamkan mata, mengaktifkan pendengarannya,"hayolah, bernyannyilah kembali, akan kucari dimana sebenarnya letak asalmu…"
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"
    Lalu nampak tersentak, wajahnya pucat pasi, dengan menghentak Larung melayang, tubuhnya melayang cepat di atas pohon-pohon jagung…..

(BERSAMBUNG)