SINOPSIS CANDRA BHERAWA
BAKAL KISAH PENTAS BHUMI BAJRA DITANGGAL 23 JULI
Di suatu masa, ketika perang keluarga kuru telah usai. Dharmawangsa dengan keempat saudaranya memimpin Hastinapura didampingi oleh Sang Kresna. Mereka tak hanya harus membangun kembali Negara yang porak poranda akibat perang, namun juga rasa pedih sebab kematian-kematian akibat perang tak hanya terjadi pada keluarga mereka sendiri, seluruh wilayah Hastina mengalami rasa gamang sebab perang besar di kurusetra telah merampas begitu banyak usia dan melenyapkan semua rasa nyaman di hati semua rakyat. Hampir semua keluarga pastilah mengalami kehilangan saudara lelaki, ayah ataukah sepupu, sahabat ataukah kawan bermain. --Dharmawangsa sekeluarga pun mengalami rasa pedih akibat peperangan itu; semua sepupu mereka telah tiada, demikian pula paman, bibi, sahabat, para handai taulan; tak lagi dapat ditemui. Setiap sudut rumah, istana, jalanan, meninggalkan kenangan kecil ataukah besar akan kehadiran mereka yang pernah hidup. Maka Sang Kresna menyadari benar akan hal itu, bahwa dibalik semangat hati rakyat membenahi Negara, pembangunan Negara yang diselenggarakan dengan penuh kesungguhan rasa gamang tetap terasa menyengat. Karena itu, Sang Kresna menasehati Dharmawangsa: lakukanlah dengan ketat ketentuan-ketentuan upacara agama yang telah diajarkan, sebab selama peperangan begitu banyak upacara tak terlaksanakan; dari bhuta yadnya, manusia yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya dan dewa yadnya.
Dharmawangsa sepakat dengan nasehat Sang Kresna, maka mulailah Negara mendorong semua rakyat menata tempat suci mereka, mulai membiasakan rakyat dengan segala macam tata krama agama. Semua itu tujuannya untuk mengembalikan semangat hidup, mengembalikan keyakinan menjalani hidup. Negara hastina pun menularkan semangat itu kepada semua Negara sekutu maupun yang dalam perang kuru berpihak kepada korawa agar melakukan hal yang sama; tujuannya tiada lain untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Dharmawangsa sungguh senang, sebab hanya dalam waktu singkat semua rakyat di seluruh penjuru hastina, semua rakyat di negeri sekutu maupun yang dulunya berpihak kepada korawa mengikuti himbauannya. Kini tiba saatnya melaksana upacara pelepasan duka dan semua ingatan buruk akan kenangan perang yakni upacara sudamala Negara, upacara agung yang tujuannya meruwat jagat, sekala dan niskala. Untuk itulah dilakukan persiapan secara rinci dan megah, semua Negara sekutu maupun Negara yang dahulu berpihak pada korawa diundang partisipasinya agar tercapai tujuan meruwat jagat; menghilangkan duka nestapa dari akibat kenangan buruk peperangan. Sang Kresna lalu mengingatkan agar juga mengajak Negara-negara yang bersikap netral selama perang kuru, salah satunya, adalah Negara Diwantara. Karena Negara Diwantara bersikap netral dalam peperangan maka tidaklah bisa disampaikan ajakan ikut upacara hanya dengan himbauan, harus dilakukan dengan mengirim utusan; dipilihlah Sang Bima menjadi utusan ke Negera Diwantara.
Sang Bima, pahlawan Negara, pembunuh Sang Duryodana dengan penuh bangga berangkat menuju Negeri Diwantara yang wilayahnya tak jauh dari perbatasan negeri Hastina. Negara kecil yang sejak awal mula tak mau terlibat dalam peperangan, dan dapat dipahami, sebab Negara itu demikian kecil wilayahnya dibandingkan dengan negara-negara lain, dan jumlah rakyatnya pun tidaklah seberapa dibandingkan negara-negara sekutu lainnya, Negara Diwantara bukanlah ancaman bagi Negara manapun, karena itu sikapnya yang netral dihormati oleh semua pihak. Karena itu, Negara Diwantara sangatlah jarang dikunjungi oleh pihak manapun, sehingga sedikit benar yang paham mengenai keadaan Negara Diwantara.
Hanya dengan diiringi pasukan kecil, Sang Bima akhirnya tiba di perbatasan Negara Diwantara, perbatasan yang sejuk dan hijau, hutan kecil menutupi pemandangan ke arah Negara Diwantara namun di sela-sela kerimbunan hutan ada jalan yang cukup buat melintas dua pasang kereta. Sang Bima memutuskan berhenti di bawah sebatang pohon, untuk membenahi dirinya, diperintahkannya pimpinan pasukan kecilnya untuk memeriksa kuda dan mencari air bersih, dia sendiri menaiki sebatang pohon agar dapat melepas lelah dengan rasa aman, sebab di hutan bahaya tak akan dapat diduga. Walau hutan kecil, tidaklah dapat diremehkan.
Sang Bima pun memanjati sebatang pohon, lalu duduk di satu cabang, menyandarkan punggungnya di batang, dan kedua kakinya dibiarkan menjuntai. Setengah mengantuk oleh semilir angin tiba-tiba sang bima tersentak oleh suara-suara, yang makin jelas terdengar ternyata percakapan dua orang, yang satu bernama arya wisnu, yang lainnya bernama arya brahma. Sang Bima mengerutkan dahinya, sedikit agak kebingungan, arya wisnu dan arya brahma? Apakah aku tengah mimpi pikirnya, bagaimana pun para dewa ada di perbatasan negeri diwantara; segeralah Sang Bima melompat turun dengan suara tegas menyapa; hai, siapakah kalian berdua, kenapa kalian seolah menyebut diri satu sama lain dengan sebutan wisnu dan brahma?
Kedua orang itu nampak terkejut lalu tersenyum,"Oh, siapakah engkau yang begitu gagah dan perkasa. Benar, kami berdua bernama arya wisnu dan brama," kedua orang itu dengan mata lembut, senyum menghias seluruh wajah menatapi sang bima. Sang bima mengerutkan dahinya, berpikir keras,"bagaimana mungkin nama kalian menyamai nama para dewa?"
"oh, kami adalah dua mahapatih negara diwantara, tugas-tugas kamilah yang menyebabkan nama kami ada….sebagaimana wisnu, hamba bertugas memperhatikan kenyamanan seluruh mahluk, dari yang bernafas hingga yang tak bernafas, dari berupa jentik sampai berkaki….tak ubahnya perilaku wisnu demikianlah harus hamba lakukan demi hidup di dunia terpelihara"
Sang Bima melengak, pikirannya bergerak takjub,"lalu kamu juga demikian? Merasa bagaikan brahma?" tanyanya setengah tertawa. Dua orang itu dengan lembut mengangguk,"demikian tugas hamba, bagaimana brahma, mendorong penciptaan, semangat berkarya untuk kebaikan semua manusia…."
"baiklah, aku bima…..tidak ada dewa bernama bima, tapi bima bisa mengalahkan para dewa…" kata bima dengan tertawa. Kedua orang itu tersenyum sabar,"Oh, engkaukah sang bima? Pahlawan Negara hastina, Selamat datang di perbatasan diwantara, hamba berdua telah mendengar betapa hebatnya Negara hastina kini membenahi negaranya…"
"iya….dan aku memang bima, kakakku dharmawangsa, penguasa Hastina, aku diutus menemui rajamu untuk menyampaikan sebuah pesan…."
"oh, baiklah, dengan senang hati, kami berdua akan menghantar anda menemui raja kami,Sang Candra Bherawa…"
Segeralah Sang Bima memanggil pasukan kecilnya, kuda-kuda dipersiapkan dan dengan dipandu dua orang yang mengaku mahapatih negeri diwantara, rombongan bima akhirnya memasuki jalanan desa-desa kemudian memasuki pintu gerbang. Sang Bima dengan penuh perhatian memperhatikan sekitarnya begitupula semua pasukannya; semuanya tertegun, sebab semua bentuk rumah, pintunya, selokan….pohon perindang, semua tertata dengan rapi, dan semua orang yang mereka temui tersenyum dan demikian santun. Sang Bima makin terpesona saat di depan pintu gerbang ibu kota tak melihat pasukan penjaga; ada petugas-petugas yang menyambut, menyapa, namun tak ada tanda-tanda bahwa mereka adalah petugas jaga, tak ada selintas pun bentuk senjata. Sang bima menarik nafas, negeri yang aneh, pikirnya, kenapa tak ada penjagaan di pintu gerbang ibu kotanya? Begitu pula pasukan sang Bima merasa tak nyaman berada di atas kuda dengan senja di bahu dan pinggang. Namun kedua orang yang mengaku mahapatih tak meminta mereka meninggalkan senjata di pintu gerbang. Rasa rikuh menjalari perasaan pasukan kecil itu, sebab jalanan ibu kota negeri diwantara begitu ramai namun semua orang berjalan dengan langkah lembut dengan tatapan sejuk.
Negeri yang menarik, pikir Sang Bima, mulai mengingat-ingat, bahwa negeri diwantara adalah negeri yang bersikap netral selama perang kuru. Matanya dengan awas meneliti seluruh keadaan. Ada sesuatu yang seolah hendak dicarinya, atau pikirannya yang terlalu takjub, Sang Bima membisiki pimpinan pasukannya, kamu merasakan ada yang aneh dari semua keelokan ibu kota ini? Pimpinan pasukan sang bima menyahut, iya, tak satu pun hamba melihat ada bangunan suci. Sang Bima tersentak, iya, iya….jeli, itulah yang rasanya sejak tadi pernah dilihatnya.
Namun semua pertanyaan itu disimpan dihati. Sebab pintu gerbang istana telah dibuka, semua pasukan turun dari kudanya, kini mereka harus melangkah menaiki undakan, melewati pemandangan kolam penuh teratai, suara burung bersahutan, nyanyian lembut terdengar…..Terlalu sederhana sebagai istana walau terasa kuat rasa segan bagai menekan saat memasuki ruangannya.
Sang Bima dengan rombongannya dipersilahkan menunggu di ruang paseban, sebuah balai luas dengan penataan yang mengesankan karena demikian sederhananya. Sungguh jauh berbeda dengan istana hastina yang gemerlap dengan penjagaan dimana-mana, nyamuk pun akan takut memasuki ruang paseban Hastina. Tapi, ini adalah kerajaan kecil…..Sang Bima mendengus dan tak lama kemudian suara langkah-langkah kaki terdengar; Sang Bima mengawasi dengan pandangan tajam, itukah raja diwantara?
Raja Diwantara, Candra Bherawa tersenyum lepas menatap lembut kepada rombongan Bima, mempersilahkan duduk di tempat utama yang telah tersedia. Tanpa basa-basi Bima menyampaikan maksud kedatangannya,"Aku ini utusan dari penguasa Hastina, menyampaikan pesan agar penguasa Diwantara ikut serta menuju upacara Sudamala…."
Candra bherawa tersenyum lebar,"terima kasih atas pesan yang telah disampaikan, namun hamba sebelum mengiyakan sewajarnya bertanya, untuk apakah upacara tersebut? Sebab kebiasaan dan keyakinan di negeri kami berbeda dengan negeri hastina.."
Sang Bima mengedikan bahu,"Ya, tujuannya untuk pembersihan mala seluruh rakyat, manusia, semua mahluk hidup…"
"Oh, kalau demikian tidaklah bisa dengan upacara, mala, duka, derita hanya bisa dibersihkan oleh masing-masing diri pribadi…"
"apa maksudmu? Apa anda menolak ajakan mulia dari penguasa hastina, upacara itu untuk kebaikan…"
"tentu hamba tahu itu mulia…namun bukankah seperti yang hamba sampaikan tadi mala, derita, duka, dosa…apa saja ikatan di dunia terhadap kelahiran hanya bisa diselesaikan oleh dirinya sendiri…"
Percakapan itu lama-lama kelama-lamaan menjadi perdebatan, Sang Bima mulai naik darah dan merasa tersinggung,"hei, penguasa diwantara, agaknya kamu memang tak sehati dan tak sejalan dengan kami, apakah kalian ditakut kepada amarah hastinapura?"
Raja Diwantara tersenyum," duh, sang bima, utusan yang hamba hormati, kami tak menyukai peperangan dan kekerasan, namun jika kami diserang sikap bela negaralah yang akan menjadi alasan kami bertahan…namun jika boleh, sebagai raja, hamba tak mau ada korban di pihak rakyat yang tak berdosa…"
Sang Bima makin tersinggung, merasa tersindir sebab perang yang pernah terjadi memang lebih banyak mengorbankan rakyat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Sang Bima meninggalkan balai penghadapan istana diwantara, membawa rombongannya kembali ke hastina dan melaporkan sikap raja diwantara yang agaknya menolak ikut serta mendukung pelaksanaan upacara. Mendengar itu Sang Kresna mengerutkan dahinya,"kirim patih sudarma…janganlah gegabah menyimpulkan…"
Namun Patih sudarma kembali dari diwantara dengan kabar yang sama,"semuanya sesungguhnya menolak namun dibungkus dengan kepandain berdebat, hamba didebat dengan berbagai tatwa, berbagai etika bahkan susila…"
Maka keputusan penting itu diambil, Hastinapura merasa terhina dan tersinggung, niat baiknya dilecehkan oleh negera kecil, karena itu pasukan lengkap disiapkan dengan panglima-panglima yang telah memenangkan perang kuru. Tentu saja kabar persiapan penyerangan itu terdengar segera ke istana diwantara: dengan bijak Candra bherawa memanggil semua menteri, permaisuri dan putrinya, meminta semua untuk tenang dan melarang semua pasukan mengancungkan senjata,"biarlah aku yang maju ke medan laga…biarkan aku menunaikan tugasku sebagai penguasa, jika kalah, pastilah putriku dan istana ini akan jadi pampasan perang, harapanku, jika aku kalah putri diperlakukan dengan terhormat…"
Bagaimanakah nasib candra bherawa di medan laga? Inilah yang akan dipentaskan oleh Bumi Bajra pada tanggal 23 juli 2011. Sebuah kisah yang menjadi filsafat penting dalam keyakinan siwa budha yang ditulis oleh Pedande Made Sidemen. Kisah tadi adalah adaptasi kreatif untuk kepentingan pentas bhumi bajra persembahan untuk Pura Taman Sari Budakeling
No comments:
Post a Comment