Teater Bali: Di Era NARAMANGSA - Manusia Memakan Kemanusiaannya (bag.II)


lanjutan dari : Teater Bali, di Era Manusia Memangsa Kemanusiaannya (Bag.I)

Teater Bali atau dalam bahasa yang karib; seni pertunjukan; disebut demikian dalam rangka membedakan dengan jenis dan bentuk seni lainnya; disebabkan karena ada kisah dengan pemeranan; dari Topeng, Gambuh, Wayang Wong, Parwa, Arja, Drama gong, Sendratari; ini kelompok seni pertunjukan yang masih hidup di Bali hingga kini, yang merupakan warisan masa lampau dari rentang masa tahun yang berbeda-beda; yang tetap akan memberi gambaran jelas tentang panggung (stage), penonton dan proses kreatifnya. Selalu pijakan itu akan dimulai dengan pemahaman desa, kala, patra.


Desa sebagai ruang yang dibatasi, yang difungsikan kemudian sebagai peruangan, penempatan dan pergerakan, yang tidak semata-mata kata 'desa' mengacu kepada wilayah geografis dalam struktur kekuasaan wilayah. Desa adalah juga 'badan', kemudian kala adalah saat peristiwa terjadi dengan motif dan akibatnya (timing) ini akan mempengaruhi nilai dan kadar kejadian, bentuknya dapat sama namun akan tetap dalam rasa berbeda, kemudian patra; cara pandang oleh latar belakang yang berbeda, kepentingan dan kearifan yang berbeda akan menjadikan desa dan kala itu sebagai pertimbangan. Maka di setiap desa, di setiap kala maupun patra; ada yang dimaksudkan dengan sekala dan niskala; yang phisik, kasat mata, terjangkau dengan rasa, kemudian yang diluar jangkauan ukuran hidup, namun memiliki kehidupan agung itu adalah niskala. Prinsip ini yang melahirkan demokratisasi, pembebasan kepada proses tafsir dan tata krama pemanggungan; rasa yang berbeda (turah, cara, dsb); menyebabkan style seni pertunjukan di Bali di berbagai wilayah berbeda-beda; Bali Timur, Utara, Tengah,Selatan dan Barat, ketika memanggungan topeng dalam kisah yang sama akan menghasilkan 'gaya' yang berbeda.

Panggung dalam tradisi seni pertunjukan di Bali bukanlah sebatas stage tempat pertunjukan semata. Panggung adalah kalangan; desa yang sekala dan niskala, dia itu juga ibarat badan; ada hulu, ada tengah dan teben. Kalangan itu sebutannya; adalah wilayah yang telah ditandai untuk kepentingan pemanggungan; bandingkan dengan tradisi masyarakat Bali ketika akan membangun rumah di sebuah area baru; disebut Ngarangin; dari asal kata Karang; wilayah yang ditandai dan disiapkan sebagai hunian. Kalangan tetaplah desa yang akan secara otomatis memiliki desa, kala, patra juga kemudian dalam rasa akan terjadi pembagian mana yang dijadikan parahyangan (area yang suci), pawongan (area manusia) dan palemahan (area realitas hasil dari aksi dan reaksi). Karena itu arah mata angin sangat diperhatikan, kemudian hulu (arah utara) dan teben (arah selatan) menjadi titik pegangan. Gunanya adalah ketika memfungsikan panggung; yakni bagaimana in dan out-nya para pemain dalam kisah yang dimainkan ini kemudian akan menjadi pedum karang (blocking).

Panggung di Bali awalnya selalu dalam bentuk melingkar; arena; dengan satu pintu imajinasi sebagai tempat ke luar masuk yang letaknya di arah angin yang mencerminkan kelahiran; kepala ke kaki. Langse, tirai pembatas belumlah dikenal di era awal-awal seni pertunjukan Bali, langse baru dikenal di era arja berkembang pesat sekitar tahun 1922-30-an. Jadi, panggung akan ditandai dengan satu titik pemujaan yakni arahnya di tenggara, kemudian di belakang panggung akan ada juga titik area pemujaan untuk para pemain dan proses pensucian peralatan. Perhatikan apa yang terjadi di front stage dan back stage; sekala dan niskala itu tetap menjadi kepentingan mendasar untuk keyakinan pemanggungan, apapun kisahnya. Panggung yang telah diruwat, disucikan akan menjadi area yang melahirkan kehidupan baru, memiliki hak dan kewajiban bagi penghuninya; tata krama pemanggungan ini akan menjadi norma pemanggungan. Karena itu, segala macam kritik, sindiran, gosip dan segala macam percakapan, tidak dapat diintervensi atau disensor oleh penonton, sekalipun yang terkena kritik itu penguasa, yang keberadaannya di luar 'karang' yang berbeda.

Tata krama pemanggung akan berkaitan bagaimana pengisian panggung oleh para pemain; pada proses pergerakan (moving) di panggung, nampak jelas bahwa pemain-pemain ini menjaga harmoni panggung dengan menyebut batasannya sebagai satang (dua tombak yang biasanya dijadikan pembatas tepian panggung kiri-kanan, dibariskan berjejer). Pergerakan improvisasi gerak akan menemukan titik batas penghentiannya di tiap titik satang, dalam bahasa sekarang; garis batas panggung; kiri-kanan, depan-belakang. Bagaimana aturan memutar, bagaimana aturan duduk dan bercakap-cakap, bernyanyi; kisah akan mendorong penghayatan memasuki peran yang dimainkan dalam tata krama pemanggungan yang memberi kecirian yang segera dapat dibedakan. Dalam seni pertunjukan topeng; peran raja, peran permaisuri ataukah putri, peran penasar dan wijil; memberi pakem yang jelas dalam hal tata krama geraknya. Bahwa topeng mengenal jenis topeng manis, keras, dsbnya. Namun aturan dialog selalu ketika penguasa bicara dilakukan penerjemahan oleh penasar dan wijil. Ini terjadi pula pada Arja, Parwa dan pada sendratari menggunakan dalang.

Karena itu dalam proses kreatif tradisi seni pertunjukan Bali mengajarkan tiga hal yakni; wiraga, wirama dan wirasa. 

Wiraga adalah tata krama gerak tubuh yang harus dipenuhi kesyaratannya dalam memainkan peran apapun; dalam tarian, wiraga akan dimulai dengan pelatihan agem, tandang dan tangkis. Jadi tubuh dalam pergerakannya memiliki pijakan dasar dan bagaimana menggerakan kaki dan tangan serta kemudian bagaimana peralihan ke bentuk-bentuk pergerakan lain sebagai reaksi atas pergerakan yang lain di atas panggung.  Agem, secara leksikal berarti pegang, ageman; pegangan, yang mendasari sebagai pijakan tak cuma gerak; namun hati dan pikiran; penghayatan, pemahaman akan diri sebagai pemeran tertentu; ini adalah agem. Dimana secara fisik ini adalah proses olah tubuh, bagaimana melenturkan, meliatkan tubuh, membuat gerakan mengalir sebagai gerak alamiah. Apakah mau 'ngagem' jadi raja, jadi patih, jadi putri jelita atau peran gila; 'ngagem' adalah latihan menyiapkan diri untuk peran itu!

Kemudian tandang: artinya memperlihatkan, metandang juga berarti bergaya ke tempat lain, gerakan yang bergaya, tidak seperti gaya sehari-hari, ada muatan estetikanya. Tandang ini akan dihadirkan saat melangkahkan kaki, mengayunkan tangan, melirik, dsbnya; semua tandang itu akan menyatukan pemain dan peran yang dimainkannya; memasuki penghayatan; yakni menjadi pemeran, memasuki tokoh. Lalu Tangkis; adalah proses peralihan; yang dapat terjadi dalam olah emosi atau peralihan pergerakan dalam panggung atau ke peran lain dalam gerakan yang bentuknya berbeda.

Perhatikan kemudian wirama; dalam keseharian, wirama mengacu pada kegiatan membaca sastra; namun dalam seni pertunjukan wirama ini adalah irama tubuh dan suara yang diperlukan dalam pengaliran kisah; dapat berupa gesture dapat juga berupa nyanyian, percakapan dan dialog.  Wirama dikenalkan mulai dari cara menyampaikan dari siapa kepada siapa, apa yang disampaikan dalam tata bahasa apa? Otomatis posisi tubuh, tangan, akan mengikuti segala macam ekspresi ucapan. Tata krama pengucapan ini tidak semata mendorong pemain memiliki vocal bagus; namun lebih kepada pada pengucapan dialog, nyanyian, selalu berkaitan dengan tata krama tubuh dalam peran itu. Seorang raja mengucapkan perintah, gerak tangannya bagaimana dan kemana dia memandang; sebaliknya para patih, sang putri dengan pelayannya; semuanya ada dalam wirama dengan takarannya.

Lalu Wirasa; adalah 'rasa' diartikan sebagai 'ingatan imaji secara emosi dalam peran'; rasa sebagai raja, rasa sebagai putri, dll; yang mendorong pemain ke dalam sense of memori, semakin cerdas pemain maka ruang pencapaian improvisasinya akan makin meluas dan tepat, meruang dan menyatupadukan seluruh kisah dengan semua pemain. Wirasa ini dilatih dengan memahami apa di balik kata, apa dibalik peran; tak semata memahami kisah, namun alasan kisah itu ada, dimana kisah itu dimainkan; batasan desa, kala, patra ini akan mendorong pemain memahami 'pangerasa'; menjaga sentimen perasaan penonton. Sekalipun semisal dialog itu disampaikan dengan tembang; maka tembang itu bukanlah sekedar hafalan, namun tembang yang menjalin kisah; bahkan itu adalah dialog yang dinyanyikan dengan irama tertentu, yang memiliki pakemnya tersendiri.

Teater Modern dalam perkembangannya, tak hanya di Bali ataukah di Indonesia; menunjukan perkembangan proses kreatif yang meluas; namun tetaplah ada panggung, pemain dan penonton. Dasar-dasarnya tetaplah jelas; suatu pertunjukan dengan kisah yang disampaikan oleh para pemainnya. Dalam tradisi seni pertunjukan Bali; sebagai pertunjukan; topeng pajeg adalah pentas dengan 'pemain' hanya seorang untuk memainkan berbagai peran dalam satu kisah; bandingkan dengan monolog yang dikembangkan saat ini, yang kebutuhan memasuki perannya justru tak seluas topeng pajeg. Seni opera misalnya; tak akanlah mungkin bernyanyi dengan improvisasi yang meluas tak terduga seperti dilakukan oleh para pemain arja di bali.

Kemudian beberapa kali selalu ditegaskan pembedanya antara teater modern dengan seni pertunjukan tradisi adalah soal naskah. Katanya, seni tradisi tanpa naskah dan selalu seni teater modern dengan naskah. Naskah dalam seni pertunjukan Bali bentuknya berbeda dengan naskah masa kini. Kisah-kisah yang dimainkan topeng, gambuh dan arja, dll memiliki 'kisah' yang tertulis pula. Itihasa, kisah-kisah suci seperti mahabrata dan Ramayana, kemudian babad; kisah-kisah sejarah dalam tradisi, mitologi yang masuk dalam teks usana; menjadi rujukan yang sahih; kemudian tembang-tembang disusun sebagai dialog yang ditatakramakan ke guru lagu yang ketat, nyanyian penasar, pola pengutipan dari kisah-kisah besar tidaklah sembarangan dilakukan, bahkan cenderung lebih rumit sebab bahasanya berbeda dengan bahasa keseharian; bandingkan dengan teks dan neben teks dalam naskah modern. Dan proses bedah naskah dalam seni pertunjukan Bali adalah proses yang komplit; tak semata ditempatkan sebagai pemahaman akan kisah yang berjarak, namun sebagai kisah dari bagian hidup; ajaran yang akan dipanuti, karena itu memasuki peran dalam pemanggungannya adalah memasuki 'wilayah' yang suci. Seseorang yang akan memainkan peran tertentu dalam tradisi calonarang misalnya; matah gede, tak sekedar memahami siapa peran matahgede itu, namun harus pula memahami konsekuensi niskalanya. Jadi, larut dalam emosi istilah dalam seni pertunjukan modern; muncul dalam light trance di panggung seni pertunjukan tradisi.

Berbagai hal yang dapat membandingkan bagaimana sesungguhnya mencari akar seni teater modern itu, masih perlu kajian yang lebih luas lagi; dalam kerangka untuk kemudian memahami; bahwa pemanggungan dengan panggung manusia keseharian; tidaklah berjauhan; tak sekedar imitasi belaka. Karena itu, seni teater adalah ruang alternative masa ini; untuk menjawab kebuntuan penyampaian aspirasi kenyataan kepada penguasa dan masyarakat, yang sebagai penonton, yang akan menjadikan perenungan dan teguran kepada diri sendiri; karena itu seni teater memiliki potensi paling kuat untuk menjembatani peran teguran sosial kepada proses hidup yang mulai bergeser,yakni pembiaran terjadinya manusia memakan kemanusiaannya; tak cukup lagi memakan kebutuhan makanan bagi tubuhnya. Pertanyaannya kemudian; bagaimanakah kemudian dalam proses di teater modern kini? Apakah cukup kokoh untuk berbandingkan dengan kenyataan kekayaan yang ada dalam seni pertunjukan Bali lama (?) atau proses ini sesungguhnya tengah mulai dan mungkin 'sering' tersesat mengira diri bagaikan pohon tumbuh yang ajaib bila kokoh tak miliki akar.

No comments:

Post a Comment