Teater Bali: Di Era NARAMANGSA - Manusia Memakan Kemanusiaannya (bag.I)


Di Bali, sejak tahun Caka 818, teater atau drama telah ada. Tidak sebatas sebagai kegiatan pengisi waktu, namun ditempatkan sebagai profesi, yang mendapatkan perlindungan hukum dari penguasa. Juga drama atau teater telah terorganisir sebagai kelompok yang menerima upah serta diduga telah memiliki tradisi kurasi yang berdasarkan track record dan proses kreatif- pengalaman pentas di depan penonton dan penguasa.

Padahal, bagi pengiat teater Bali masa kini; berdasarkan literatur yang beredar dan terbaca, meyakini bahwa teater modern saat ini memandang 'drama atau teater kuna'  dengan menyebutkan 'mereka itu' sebagai teater murni, yang masih sederhana dan bersifat untuk kegiatan upacara, terkait ritus-ritus dan kepercayaan animism, yang seolah tidak terkait dengan keberadaan proses kreatif teater modern saat ini. Sebab, katanya lagi, susah menemukan rasa dan bentuk maupun pola keterhubungannya. Bahkan ada, pelaku teater yang merasa dan percaya bahwa teater modern yang dilakoninya kini adalah sebagai seni ekspresi baru yang dipengaruhi oleh tradisi teater dari negara lain, semisal Yunani, yang jika diusut tak pernah ditonton bahkan jelas lebih sulit mencari keterhubungan dengan konteks proses kreatifnya kini.

Teater Bali Kuna itu, yang dalam batas tertentu akan menjadi argumentasi mengenai 'akar ' seni pertunjukan Bali Modern adalah Seni Topeng dan Kelompok lawak. Bahwa di Bali sejak tahun Caka 818 telah ditemukan pertunjukan keliling oleh kelompok drama/sandiwara/tonil. Bahkan sampai kini pun mempengaruhi pedum karang (blocking), agending (suara, bernyanyi dan berdialog) serta ekspresi, pembagian watak (pemeranan) yang masih digunakan oleh teater modern saat ini dimanapun juga.

Dalam penyusuran, sebagai introspeksi pemikiran riwayat teater/drama di Bali, dapat dilihat dari: Prasasti Bebetin Al berangka Tahun Caka 818, koleksi Goris, dengan tipe Yumu Pakatahu, dituliskan:

"…me anada tu anak musirang ya marumah pande masa, pande bsi. Pande tembaga, pamukul, pagending, pabunjing, papadaha, parbhangci, paratapukan, parbwayang, panekan di hayangapi..."

("…apabila ada penduduk yang mengungsi dan bertempat tinggal seperti padai mas, pandai besi. Pandai tembaga, pemukul gamelan, penyanyi, pemain angklung banmu, pemukul bende/kendang, peniup suling, pemain topeng, pemain wayang….")

Kemudian dengan tegas, ditemukan mengenai sebutan sandiwara/tonil/drama, yang tidak tersamar lagi dibalik sebutan seni pertunjukan atau kelompok seni lain.  Sebutan drama itu mulai ditemukan pada Prasasti era kekuasaan Sri Dharmodayana Warmadewa, yang menyebutkan mengenai pemain sandiwara/drama/tonil tanpa sebutan lain; ini ditemukan pada Prasasti Sading A (923) yang mengungkapkan;

"…gha twa yanda paganding sang sartu ma (ra)nmak, dibanwana, br(y)anna ya ma 1 yan patapukan pamukul menmen banwal pirus sang ratus bryanna ku 2 patulak. Yanambaran ku 1 byanna, yan tani nak biri saha twa, pemantanen kunang ya…"

("apabila ada kelompok penyanyi istana datang di desanya, supaya diberi upah 1 masaka. Apabila pemain topeng, penabuh gamelan, pemain sandiwara (tonil), pelawak dan dagelan istana supaya diberi patulak (semacam ganti rugi) sebesar 2 kupang. Apabila hanya tontonan keliling berilah 1 kupang. Dan apabila menolaknya (tidak menerima) supaya dikenakan pramanten (denda) mengabaikan perintah/peraturan").

Sebetulnya, banyak lagi prasasti-prasasti yang menyebutkan drama dengan jelas, yang membedakan eksistensinya dengan bentuk seni lainnya. Ini dapat dijadikan bukti bahwa seni drama/teater bukanlah milik Bali modern atau generasi muda kini. Namun sesungguhnya, kegiatan teater modern di Bali kini adalah melanjutkan proses kreatif tradisi teater Bali lama, sebagaimana proses yang sama dengan perilaku kita melestarikan seni-seni lain yang ada di Bali. Dan tentu saja, dibandingkan Gambuh misalnya, dalam kerangka tahun pada prasasti-prasasti Bali Kuna yang termaksudkan, didapatkan informasi bahwa topeng, wayang, kelompok lawak dan dramalah yang ternyata lebih tua (?). Sayangnya, tidak pernah diungkapkan bagaimana bentuk dan isi pertunjukanya. Dan ini tentu memerlukan kerja keras lagi untuk mencari bahan-bahan introspeksi baru, sebagai kesadaran penghormatan kepada proses kreatif  warisan  Bali Kuna. 

Dan yang menarik, sejak lama, kelompok drama di Bali telah melakukan pentas keliling dan ada aturan jelas dari penguasa mengenai pengupahan. Pajak dan perlindungan telah diterapkan bahkan tata cara penginapan bagi kelompok-kelompok seni tersebut juga telah diatur. Kemudian beberapa prasasti yang lain menyebutkan bahwa jika ada desa atau kelompok masyarakat menolak kedatangan mereka, para seniman itu, akan dikenai denda. Dan ini tentu saja jika dibandingkan keadaan Bali di masa kini, perlindungan yang diberikan tidak setegas di zaman Bali Kuna. Apalagi ketika kelompok seni tersebut berhubungan dengan kepariwisataan dan hubungan global, peran penguasa di era kini nampaknya sangat lemah dalam itikad memberi perlindungan kepada kelompok dan pelaku seni di Bali. Di era kemajuan ini, Bali justru menghadirkan banyak kisah sedih mengenai eksploitasi seniman dan karyanya, bahkan kasus traficking pelaku seni terlalu sering diabaikan dianggap sebagai dampak yang tidak mungkin tidak akan terjadi ditengah hubungan global.

Kembali pada renungan, pada prasasti-prasasti yang ada di Bali sebagai bahan introspeksi dan penggugah pemikiran. Bahwa tidak terbukti, penguasa Bali di zaman dulu, mengklaim seni sebagai hiburan istana atau semata untuk kegiatan religius. Sebab ditemukan pula bahwa seni kontemporer di era itu, yang sifatnya spontan dilakukan sebagai ekspresi oleh rakyat, yang tetap mendapat pengakuan dan perlindungan serta diapresiasi. Bahkan bila pementasan spontan itu mendapat pujian dan sambutan penonton, maka sang penguasa akan memberi bonus atau upah yang lebih tinggi dari biasanya. Jadi, sesungguhnya, seni di Bali sejak lama mengenal upah, atau disebut ganti rugi. Karena itulah, seniman menjadi profesi yang menjanjikan, dikarenakan penggiatnya tak saja mendapat perlakuan istimewa dari masyarakat dan penguasa, bahkan pernah beberapa penguasa Bali membebaskan mereka; para seniman itu dari kewajiban sosial seperti kegiatan gotong royong, dll.

Demikian pesatnya hasrat dan persaingan seni pertunjukan di era Bali Kuna, karena itu, penguasa Bali pernah juga membentuk semacam Dewan Kesenian disebut Samgat Pamadahi. Dewan ini tugasnya lebih luas dari Listibya ataupun Dewan Kesenian sekarang,  Samgat Pamadahi berlaku dalam era kekuasaan Anak Wungsu. Konsekuensi pesatnya persaingan serta bebasnya ekspresi para seniman pertunjukan kala itu menyebabkan pula di era kekuasaan Sri Maharaja Sri Jayasakti ditemukan adanya semacam Dewan Sensor, yang mengatasnamakan kekuasaan; ini ditemukan dalam prasasti Timpag:

"Hula hujeman pirus menmen atapukan abnawal ringgitan hijo-hijo abusya tatalyatalya abanjuran apakna I haji, nguniweh tan papakna I haji, tan we. Hen ta ya amilang thani amlaku tinanggap I thani timpag, apan tan wurung dumadyaken balaksaya jataka bhatara, kunang yan padmak ri mulajkryya ya a. Ngga papakna I haji ma paweha irioya, yan tan papakna I haji ku paweha iriya, yan tan pakulapakna I haji ku 2 paweha iriya, yan tan papakna I hajiku I. Pweha iriya, pirus, menmen atapukan abnal ringgitang hijo hijo, abannuling abusya abanjuran amulamulatalyatalya, hujeman apakna I ha. Ji ku I paweha iriya satuhan, yan papakna I haji, sa 3 paweha iriya ri sathan".

(Kahula, hujeman kumpulan pelawak, kumpulan penari topeng, pertopengan, lelucon, ringgitang, hijo-hijo, abusya, tatalyalta, abanjuran yang berkenan di hati baginda. Apabila tidak berkenan di hati baginda. Tidak diperkenankan seluruh desa melakukan penanggapan di Desa Timpag sebab tidak urung akan menimbulkan kerugian pelaba pura, dan seterusnya…)

Dari kenyataan tersebut, memang, disamping berbangga atas ketuaan seni tari Gambuh, Parwa, Arja, tercatat pula persentuhan dengan seni teater di luar Bali yakni bahwa pada tahun 1945 Bali bergabung sebagai wilayah Indonesia, namun sebelumnya hubungan Jawa- Bali di era penjajahan telah ada berupa hubungan pendidikan, niaga juga politik yang berkembang dalam bentuk yang berbeda dengan pola hubungan Jawa-Bali setelah kemerdekaan. Karena itu, di zaman Belanda masyarakat Bali telah berkesempatan menonton tonil yang berbahasa melayu, entah di Batavia, entah juga di Singaraja (Ibu kota Bali sebelum Denpasar). Dan baru kemudian di era tahun 1950-an mulailah masyarakat menghidupkan teater dengan bahasa Indonesia; Teater yang kelak disebut dengan berbagai sebutan; drama, teater bahkan sebagai seni kontemporer. Namun apapun itu, 'modern' disini hanya untuk membedakan bahasa dan kostum yang kontekstual-lah yang digunakan dalam pertunjukan.

Bila mencermati jenis, bentuk dan kekayaan eksploarasi seni teater modern masa kini, kecuali dalam hal penggunaan teknologi, sesungguhnya yang dulu dan kini masih dalam proses kreatif yang senada-satu garis benang merah. Bahkan belakangan ini jika mengamati perkembangan teater yang mengklaim sebagai jenis happening art (misalnya) 'jangan-jangan' tidak berbeda dengan kelompok-kelompok ambaran di masa Bali Kuna.

Pertanyaannya kemudian, kenapa penguasa di zaman dulu sangat serius mendorong seni (?) Bukankah dari segi ekonomi, dsbnya, mereka mungkin lebih 'mundur' dari masa ini? Ini barangkali memerlukan analisa dan kearifan. Bukankah yang dapat diungkapkan kontribusi proses kreatif dalam perkembangan peradaban kemanusiaan Bali; bahwa etika dan moral, tata hukum, perluasan hubungan antar manusia, perilaku dan system social banyak mendapat kontribusi dari proses kreatif seni (?)

Sejarah teater Bali di era kekuasaan Bali Kuna dan seterusnya, sesungguhnya memberikan suatu model bagaimana gerakan ekspresi dan inspirasi masyarakat tersampaikan kepada masyarakat dan penguasa melalui seni pertunjukan. Dan kemudian bertumbuh menjadi gerakan budaya yang mempengaruhi semangat kemanusiaan untuk bersahabat dengan sesama manusia dan alam. Dimana kemudian proses kreatif tersebut memberi andil dalam membangun peradaban Bali. Baik dalam transportasi, organisasi juga manajemen pertunjukan, yang dalam era kini apapun sebutan dan bentuknya, isinya adalah kehendak proses kreatif pencerahan sebagai tujuan akhir.

Mengapa ini dapat dijadikan sebagai argumentasi perenungan? Sebab andai seni pertunjukan ataukah teater ataukah drama di era |Bali Kuna tanpa manajemen proses kreatif yang baik, tidaklah mungkin usia proses kreatif dan karya mereka melewati uji waktu dan uji publik yang demikian panjang. Karena sebaliknya, walau jatuh bangunnya kelompok/sekeha pendukung seni terus menerus terjadi, namun kenyataannya tidaklah mematikan karya mereka yang dihasilkan dari proses kreatif yang dimanajemen dan memiliki pola jaringan sosial yang kuat. Bahkan menjadi warisan yang tak pernah habis menginspirasi hingga kini. Anehnya, kini ada semacam jarak dan seakan menempatkan diri lebih dari era lalu bahkan seolah gagap mengakui keakaran seni teater modern itu adalah dari akar tradisi tua.  Padahal, jika dikaji, kini masanya diperlukan bahwa dalam proses kreatif diperlukan – disamping pencarian dan pencerahan pribadi –  juga kemauan berbagi untuk mendorong perhatian yang kuat dan serius terhadap manajemen produksi secara mandiri, karena perlindungan kekuasaan zaman baru tidaklah sedetail di era dulu terhadap proses kreatif dan kelompok seni.

Kini, hampir dipastikan proses kreatif sebagai biaya social yang harus ditanggung pelaku itu sendiri. Apalagi di era perubahan hubungan-hubungan antar masyarakat yang kompleks, tidak lagi bersifat lokal, maka eksploatasi akan mudah terjadi. Apalagi tata hukum dan perlindungan penguasa tidak berpihak dan tidak mau tahu mengenai investasi dalam proses kreatif.

Dukungan terhadap proses kreatif ini, bertujuan menyelamatkan kemanusiaan. Dalam arti, bahwa perkembangan seni pertunjukan di Bali, Indonesia dan Dunia, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bertukarnya estetika dan pertukaran wawasan di atas pentas,  bukan pula sebatas urusan menghibur-hibur- showbiz yang hanya mengisi jeda makan malam turisme. Dalam era masa kini, era Kali, era naramangsa, dimana semangat hidup manusi adalah manusia memakan kemanusiaannya, masih amat diperlukan rasa keakraban, solidaritas juga kompetisi. Bukankah rasa kemanusiaan yang kuat akan mampu menghangati hati dan kepercayaan terhadap kehidupan antar manusia? Bukan sebaliknya, membiarkan ruang-ruang penindasan dan pemisahan serta prasangka menjadi panggung kreativitas yang tak jelas penguasanya.

Menggugah pengembalian kepada proses rasa dan pertukaran gagasan, sebagai tanda mulainya dilakukan proses kreatif yang berhubungan dengan masyarakat kemudian juga keharusan mempertanggung-jawabkan 'dana' dalam proses kreatif dalam bentuk pertunjukan yang berdaya pikat dapat dijadikan sebagai perlawanan terhadap mental korupsi. Bahwa organisasi teater harus menjadi teladan dalam keterbukaan dan kebenaran dalam menggunakan dana masyarakat yang akan mencatat mereka dalam track dan waktu yang kemudian akan menguji mereka. Apakah mereka akan menjalaninya dengan semangat berpihak kepada hati nurani atau sebagai batas persinggahan (?)

Introspeksi teater di era manusia memakan kemanusiaanya ini, adalah bahan renungan untuk mendorong semangat yang kuat kembalinya proses kreatif. Bahwa kesabaran, kerendahan hatian, serta kejujuran tidaklah soal dalam pemeranan dan pemanggungan namun bagaimana kemudian dapat mempengaruhi ke dalam keseharian menjadi persoalan kata hati, dialog batin manusia, yang tentunya akan memberi kesejukan dan denyar baru di negeri yang tengah murung oleh berbagai keterpurukan masalah sosial.

Maka mengenang riwayat teater di masa lalu dan bagaimana kontribusinya kepada kehidupan. Juga kemudian bagaimana sikap penguasa dan masyarakatnya, bagaimana membentuk identitas seni teater dimata dunia. Maka tawarannyam hanya satu yang memenangkannya adalah semangat kembali ke hati nurani agar masa depan generasi dan alam, berada dalam hubungan yang saling menghormati; dimana segala perbedaan hendaknya menjadi keindahan, karena demikianlah ketika dalam yoga sastra, dalam proses diri, akan memberitahukan; apakah batin makin kaya atau bertambah miskin usai menikmati karya seni atau prosesnya? Bukan pada apa yang kita miliki dan tidak dimiliki sebagai tanda kuasa keberhasilan.

Maka spirit Bali dari masa lalu dan sampai kini mengajarkan semangat menjaga hidup, hendaknya sama dengan kerinduan menghadapi kematian, begitulah olah batin dibalik panggung para seniman teater itu. Nah, selamat berkarya dan semoga Batara Taksu hadir dan menyaksikan karya-karya yang indah dan menghantarkannya dalam ujian sang waktu. Dan hendaknya berguna bagi batin kita. (Cok Sawitri)

No comments:

Post a Comment