Tanggal 6 Pebruari 2010, hari ini, hari Sabtu, Umat Hindu Bali merayakan Tumpek Wayang, perayaan yang menandakan bahwa kelahiran ke dunia tak ubahnya bayangan di kelir pertunjukan wayang, karmalah yang menjadi sebab rupa bentuk waktunya. Tak ada yang dapat menghindar karma phala itu; manusia ketika lahir, tidak dapat memilih menjadi anak siapa atau menolak untuk menjadi keturunan siapa. Lahir itu rahasia; mengalir kemudian dalam waktu; memberi ingatan, bahwa hanya perbuatan baik yang menjadi kendaraan untuk melewati segala macam cobaan hidup: sattwam, rajah dan tamas, silih berganti memasuki hati dan pikiran. Hidup manusia tak akan lepas dari ketiga hal ini, pastilah: dengan pahit dinyatakan: tidak ada kelahiran yang demikian tulus, selalu ada kekurangannya!
Diceritakan, hasrat Dewa Siwa yang tak terkendali menjadi asal kelahiran Bhatara Kala, yang memburu adiknya, dewa kumara, yang lahir pada saniscara wuku wayang; sebab Dewa Siwa terlanjur berjanji mengizinkan Bhatara Kala memakan siapa saja yang dilahirkan di hari Tumpek Wayang. Tentu saja, buruannya yang pertama adalah adiknya sendiri, yang dijanjikan; boleh dimangsa apabila sudah remaja, seraya Dewa Siwa memagari putranya tak terpengaruhi oleh pertumbuhan. Sehingga tetaplah Dewa Kumara Balita. Mitologi ini dijadikan pegangan utama, yang tujuannya menjelaskan secara sederhana, mengenai waktu yang terus bergerak, terus berputar; manusia tak pernah terhindarkan dari pertumbuhannya: dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa lalu menua; tak ada manusia yang ‘diam’ dalam satu fase usia, seperti yang dialami Kumara. Bhatara Kala diniscayakan tanpa ampun, digambarkan berwajah seram dengan taring-taring tajam, memangsa semua mahluk yang diputar oleh janji waktu.
Tumpek Wayang, adalah salah satu ajaran akan kesadaran mengenai waktu yang membatasi kehidupan manusia. Tak ada manusia yang memenangkan ‘pertarungan’ dengan waktu. Manusia hanya dapat memahami, bahwa hidup di dunia ada batasnya; sekalipun manusia diberi kesempatan mengumpulkan kekayaan yang tak terbayangkan jumlahnya, dia tidak dapat menunda lajunya waktu. Tak akan juga dapat mengatur apa yang kelak akan terjadi kepada keturunannya. Perayaan Tumpek Wayang ini adalah puncak pengakhiran peringatan kepada manusia yang kerap lupa: mengira kemampuannya dalam artha dan kama, dapat menyisiati kehidupan, mengubah nasib kehidupan hingga keturunannya. Ambisi manusia untuk abadi itulah dijawab oleh Tumpek Wayang, bahwa kenyataan; itu hanyalah impian! Manusia pada dasarnya adalah ‘wayang’ yang akan kembali memasuki kotaknya, tidak akan mampu mengubah nasib keturunannya dengan hasil daya upaya apapun; apalagi bila mewariskan pula perilaku yang menyimpang dari kebenaran. Hukum Karma Phala tidak dapat diajak berdebat, tidak dapat diajak berkelat-kelit; sebab pengadilannya adalah hati nurani.
Tumpek Wayang, upacara ini, sering juga disebut puja Wali kepada Sang Hyang Iswara atau ada yang menyebutnya penghormatan kepada Sang Hyang Prajapati, perayaan yang ditaati dilakukan oleh para dalang serta dijadikan hari ruwatan bagi yang kelahirannnya pada wuku wayang. Namun yang terpenting, bukan pada upacaranya semata; namun kembali pada peringatan akhir itu!; hidup ini, yang dapat menolong dari nujum waktu hanyalah kebaikan hati. Kebaikanlah adalah sahabat yang terus menerus bersetia; murni bagaikan bayi, hanya itu yang dapat memberi harapan; bahwa selalu ada masa depan yang lebih baik, selalu manusia itu diajak untuk menghadapi kenyataan: hanya kebaikan yang utama, bukan yang lain, bukan limpahan harta, bukan jabatan yang tinggi; semua itu tak akan menolong kelahiran dari libasan waktu, hanya kebaikan pahlawannya!
(by. Cok Sawitri)
Diceritakan, hasrat Dewa Siwa yang tak terkendali menjadi asal kelahiran Bhatara Kala, yang memburu adiknya, dewa kumara, yang lahir pada saniscara wuku wayang; sebab Dewa Siwa terlanjur berjanji mengizinkan Bhatara Kala memakan siapa saja yang dilahirkan di hari Tumpek Wayang. Tentu saja, buruannya yang pertama adalah adiknya sendiri, yang dijanjikan; boleh dimangsa apabila sudah remaja, seraya Dewa Siwa memagari putranya tak terpengaruhi oleh pertumbuhan. Sehingga tetaplah Dewa Kumara Balita. Mitologi ini dijadikan pegangan utama, yang tujuannya menjelaskan secara sederhana, mengenai waktu yang terus bergerak, terus berputar; manusia tak pernah terhindarkan dari pertumbuhannya: dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa lalu menua; tak ada manusia yang ‘diam’ dalam satu fase usia, seperti yang dialami Kumara. Bhatara Kala diniscayakan tanpa ampun, digambarkan berwajah seram dengan taring-taring tajam, memangsa semua mahluk yang diputar oleh janji waktu.
Tumpek Wayang, adalah salah satu ajaran akan kesadaran mengenai waktu yang membatasi kehidupan manusia. Tak ada manusia yang memenangkan ‘pertarungan’ dengan waktu. Manusia hanya dapat memahami, bahwa hidup di dunia ada batasnya; sekalipun manusia diberi kesempatan mengumpulkan kekayaan yang tak terbayangkan jumlahnya, dia tidak dapat menunda lajunya waktu. Tak akan juga dapat mengatur apa yang kelak akan terjadi kepada keturunannya. Perayaan Tumpek Wayang ini adalah puncak pengakhiran peringatan kepada manusia yang kerap lupa: mengira kemampuannya dalam artha dan kama, dapat menyisiati kehidupan, mengubah nasib kehidupan hingga keturunannya. Ambisi manusia untuk abadi itulah dijawab oleh Tumpek Wayang, bahwa kenyataan; itu hanyalah impian! Manusia pada dasarnya adalah ‘wayang’ yang akan kembali memasuki kotaknya, tidak akan mampu mengubah nasib keturunannya dengan hasil daya upaya apapun; apalagi bila mewariskan pula perilaku yang menyimpang dari kebenaran. Hukum Karma Phala tidak dapat diajak berdebat, tidak dapat diajak berkelat-kelit; sebab pengadilannya adalah hati nurani.
Tumpek Wayang, upacara ini, sering juga disebut puja Wali kepada Sang Hyang Iswara atau ada yang menyebutnya penghormatan kepada Sang Hyang Prajapati, perayaan yang ditaati dilakukan oleh para dalang serta dijadikan hari ruwatan bagi yang kelahirannnya pada wuku wayang. Namun yang terpenting, bukan pada upacaranya semata; namun kembali pada peringatan akhir itu!; hidup ini, yang dapat menolong dari nujum waktu hanyalah kebaikan hati. Kebaikanlah adalah sahabat yang terus menerus bersetia; murni bagaikan bayi, hanya itu yang dapat memberi harapan; bahwa selalu ada masa depan yang lebih baik, selalu manusia itu diajak untuk menghadapi kenyataan: hanya kebaikan yang utama, bukan yang lain, bukan limpahan harta, bukan jabatan yang tinggi; semua itu tak akan menolong kelahiran dari libasan waktu, hanya kebaikan pahlawannya!
(by. Cok Sawitri)
No comments:
Post a Comment