MAKAN MEMAKAN....


Kelucuan akan terjadi ketika negara menatakramakan isi perut, dan barangkali kelak negara pun akan mengatur bagaimana cara mengunyah dan menelan makanan. Jam berapa boleh makan apa, jam berapa tidak boleh makan apa. Alasannya sudah barang tentu adalah kenyamanan, kesehatan dan soal 'sorga' bagi para pemakan makanan penghuni negaranya: selintas nampak negara penuh kasih sayang kepada 'umat'nya yang disebut rakyat itu, yang sudah jelas memiliki selera berbeda soal makan memakan, namun 'umat' yang penuh selera itu pastilah akan menyerah ketika dalil tata krama makanan itu disangkutpautkan dengan aturan suci; tata krama menuju sorga. Semua tahu (banyak juga yang pura-pura tidak tahu) : Hampir semua agama memiliki aturan soal makan memakan ini. Dan sudah barang tentu, latar bekalang aturan suci itu dikeluarkan tidak akan menyoal perbedaan musim; yang bersebab-akibat langsung dengan pengalaman pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit. Karena itu ada beda antara keyakinan dengan religius juga spiritual, dan pasti itu akan berbeda pula dengan aturan tata krama negara. Sebab tata krama negara adalah kesepakatan dari berbagai keragaman 'selera', tidak karena 'keyakinan' negara itu dibentuk. Keyakinan selalu berakibat adanya pengikut yang taat dan loyal; kecirian fanatisme, dan lingkungan sosial menguatkannya dengan solidaritas; lama kelamaan itu akan menjadi kebiasaan dan itulah mentradisi; menjadi pengikat. Seolah-olah itulah kesepakatan, tanpa boleh diuji lagi.

Makanan juga kemudian menandai kenyataan bahwa hidup manusia bergantungan kepada berbagai jenis kehidupan lain di bumi ini: jelas mendorong terjadinya berbagai upaya dan usaha agar soal makanan ini tidak membuat manusia itu brutal: Perladangan, pertanian, perternakan, sampai cloning, kemudian manusia pun berupaya mempersingkat pertumbuhan, mempersingkat waktu melalui jalan kemajuan teknologi : bahkan kemudian ketika makanan berlimpah soal penyimpanan makanan terpikirkan dengan serius mengakibatkan manusia menemukan pengawetan dan pengkemasan yang menakjubkan.

Namun kemudian manusia menyadari soal makan memakan ini memerlukan tata krama pula. Berbagai penyakit kemudian bermunculan: yang tertuduh sebagai penyebab adalah makanan. Dengan cepat dimulai dengan maag, tekanan darah tinggi, kolesterol, asam urat sampai penyakit jantung…dst. Berbagai macam diet dan pengobatan dengan cepat pula mengimbanginya. Dengan mudah manusia kini menghapalkan berbagai istilah dari kadar gula, kadar lemak, kadar garam…dst, semua ' kadar' bukankah disebabkan oleh manusia menginginkan hidupnya berkadar (?). Sering terlupakan bahwa perilaku makan memakan ini dapat menjadi penyakit disebabkan perubahan perilaku manusia itu sendiri; perubahan transportasi membuat perputaran 'makanan' dalam tubuh manusia menjadi endapan; tidak lagi tersalurkan ke luar: hampir pasti manusia pelahan jarang berjalan kaki, lebih banyak duduk, dst. Kemudian polusi…dst: namun kambing hitamnya adalah makanan! Bila seseorang mulai terjangkit penyakit: terdakwa pertama adalah makanan: entah itu pohon kopi, entah itu hewan, dari ayam sampai babi pun dapat menjadi terdakwa.

Hubungan manusia dengan makanan pun kemudian melahirkan strategi: sebab tak ada satu pun di dunia yang tak butuh makanan. Peluangnya berawal dari capital, namun kemudian gaya hidup, yang menggantikan posisi solidaritas; tak pelak, hampir mengejutkan seluruh dunia ketika makanan cepat saji mendunia, menyeragamkan lidah manusia, kemudian minuman: semua itu tak hanya berdampak ke persaingan ekonomi juga perubahan secara radikal mengenai keterampilan mengolah makanan. Masih terbayang bagaimana seluruh pelosok negeri tiba-tiba dilanda berbagai makanan cepat saji; bersanding dengan warung di pinggir jalan (sari laut); yang merebak cepat;perhatikan pertandingan jual-beli makanan ini: dimana berjangkit jenis kue; maka akan merebak pula jenis kue yang lain. Makanan memasuki tahap politik: yang mendapat nama keren: politik kuliner. Penyeragaman selera bersaing dengan keinginan menjaga kecirian dalam soal makanan. Hampir semua daerah terdorong memiliki maskot makanan. Semua itu bergerak cepat, tak terpikirkan. Tak akan terhentikan. Sebab manusia adalah mahluk yang sangat bergantung dengan makanan.

Tata krama apa kemudian yang akan diberlakukan oleh sebuah negeri apabila kemudian makanan-makanan itu menjadi kepanikan baru karena berjubel-jubel produknya? Beraneka kemasan bahkan kemudian untung rugi melahirkan taktik-taktik mengolah makanan yang membahayakan kesehatan (?) Dari sisi tata krama agama jelas hubungan makanan dengan manusia itu memiliki 'perjanjian' mengenai keharmonian, namun ketika menjadi produk, menjadi barang dagangan, menjadi kebutuhan bahkan gaya hidup bahkan kini makanan dengan gaya memakannya menjadi ' kasta' baru bagi manusia telah membuat bentangan yang meluas dan kompleks ketika disuatu pagi wakil rakyat terjaga mengira dengan membuat Rancangan mengenai Jaminan “kesucian' dan ;tidak sucinya makanan akan menyelamatkan kehidupan 'umatnya' yakni rakyat yang beraneka selera lidah,motivasi dan gaya hidupnya jika berurusan dengan makanan. Belum lagi soal ketidakseimbangan antara kebutuhan makanan, persaingan penjualan dan keterampilan pengolahannya; yang jelas tidak dimodali oleh negara. Siapakah yang memodali manusia sehingga terampil membuat gudeg? Membuat rendang balado? Membuat pepes ikan? Dst…Ketika semua itu menjadi produk, negara mendapatkan cukai dari tata krama jual beli. Ketika seseorang muntah dan keracunan karena disebabkan makanan, biaya pengobatannya, bukankah ditanggung yang memakan (?).

Kerancuan tata krama negara berdalih atas nama keyakinan untuk menjaga rakyatnya menjadi sentakan dan kejutan untuk memeriksa isi perut seluruh manusia di negeri ini. Kearifan yang telah diberikan contoh oleh pendahulu negeri ini: mengenai tata krama keyakinan soal makanan, kemudian adanya berbagai lembaga yang mengurus 'sehat atau tidaknya makanan' tiba-tiba harus tertegun di pojok kertas yang kumal. Kemudian sebuah tata krama negara ketika dinyatakan sebagai perarturan ketika menghadapi keragaman selera dan keyakinan kembali akan mendalilkan pengecualian dan kekhususan. Artinya, negara memang membedakan sejumlah dan sekelompok warganya (?). Persoalan makanan bukanlah soal kecil, bukan soal negara tetapi ini menyangkut manusia dengan proses hidupnya: banyak kisah keruntuhan negeri yang disebabkan oleh kisruh makanan. Karena itu, tidaklah terlambat untuk arif menimbang; bahwa pengalaman manusia berhadapan dengan makanan jauh lebih tua dari usia negara! Juga pengalaman manusia dengan keyakinannya dalam soal kereligusan jauh lebih cerdas dari kesalehan para pembuat aturan negara itu. Karena itu: mari makan! Dan biarkan tubuh dan keyakinan yang memeriksanya! Dan jangan terjebak seolah tata krama negara tengah menjaga jalan menuju sorga!

No comments:

Post a Comment