Teater Bali: Di Era NARAMANGSA - Manusia Memakan Kemanusiaannya (bag.III): "Membandingkan Monolog Dengan Topeg Pajeg"


"Membandingkan Monolog Dengan Topeg Pajeg"
By. Cok sawitri

Seni pertunjukan Topeng Bali  memiliki tempat yang khusus; tak semata sebagai seni pertunjukan, yang menghibur, namun juga seni topeng ini menjadi bagian dari perlengkapan upacara agama. Dalam tradisi seni topeng Bali dikenal Topeng Panca dan Prembon, yang biasanya ditujukan sebagai seni hiburan; kemudian Topeng Pajeg; yang salah satu pemerannya akan menjadi bagian pelengkap penyempurnaan upacara yakni pada peran Topeng Dalem Sidhakarya.

Teater Bali: Di Era NARAMANGSA - Manusia Memakan Kemanusiaannya (bag.II)


lanjutan dari : Teater Bali, di Era Manusia Memangsa Kemanusiaannya (Bag.I)

Teater Bali atau dalam bahasa yang karib; seni pertunjukan; disebut demikian dalam rangka membedakan dengan jenis dan bentuk seni lainnya; disebabkan karena ada kisah dengan pemeranan; dari Topeng, Gambuh, Wayang Wong, Parwa, Arja, Drama gong, Sendratari; ini kelompok seni pertunjukan yang masih hidup di Bali hingga kini, yang merupakan warisan masa lampau dari rentang masa tahun yang berbeda-beda; yang tetap akan memberi gambaran jelas tentang panggung (stage), penonton dan proses kreatifnya. Selalu pijakan itu akan dimulai dengan pemahaman desa, kala, patra.

Teater Bali: Di Era NARAMANGSA - Manusia Memakan Kemanusiaannya (bag.I)


Di Bali, sejak tahun Caka 818, teater atau drama telah ada. Tidak sebatas sebagai kegiatan pengisi waktu, namun ditempatkan sebagai profesi, yang mendapatkan perlindungan hukum dari penguasa. Juga drama atau teater telah terorganisir sebagai kelompok yang menerima upah serta diduga telah memiliki tradisi kurasi yang berdasarkan track record dan proses kreatif- pengalaman pentas di depan penonton dan penguasa.

ADAPTASI NASKAH THE DANGERS OF TOBACCO KARYA ANTON CHEKOV


BAHAYA 'RACUN' TEMBAKAU

Panggung dibangun sebagai ruang seminar yang khas mengesankan sebagai ruang seminar  klub intelektual, atau di sebuah klub elit social di sebuah kota kecil. Ical Nyukhin melangkah masuk dengan penampilan yang mengesankan; berkumis rapi dengan cabang yang seperti disisir serta jenggot yang jelas terawat, kumisnya rapi dan dia mengenakan mantel, celana panjang yang kencang dan dasi yang nampak dibalik rompi. Langkah-langkah Ical Nyukhin seperti meniru bentuk salib: maju mundur, ke kiri dan ke kanan, sebelum akhirnya terhenti di ujung tengah ruangan, di dekat sebuah mimbar, dengan meja kecil di sebelahnya, sebuah laptop dan layar lcd setengah menyala dan ical nyukhin segera membuka mantelnya dan menyesuaikan rompinya agar jasnya nampak tak kusut.