Penyurutan Makna Ruwatan Oleh Sensasi


Tradisi Sastra Ruwatan Yang Dipanggungkan: Penyurutan Makna Ruwatan Oleh Sensasi

Hingga di penghujung tahun 2011; pertunjukan drama tari Calon Arang kembali (masih menjadi trend di Bali. Bahkan kini tayangan televisi stasiun lokal di Bali rajin menayangkan pula. Dari pengamatan, hampir semua pemeran dalam tradisi pertunjukan Calon Arang masih dalam pakem lama; selalu dihadirkan di atas panggung; Peran Matah Gede, Ratna Manggali, Balian, Patih, dst: pembagian peran ini dilengkapi 'sisia' dan sensasi-sensasi misalnya pengusungan 'mayat' ke kekuburan sebagai bagian tradisi 'ngundang leak' yang memang sejak dahulu merupakan bagian yang menjadi kekuatan dari pertunjukan Drama Tari Calon Arang.

Dalam konteks yang terbatas, di beberapa kesempatan, saat menonton pentas calon arang, memang jarang sekali dialog-dialog yang diucapkan pemeran di atas panggung pentas-pentas Drama tari Calon Arang merujuk ke teks lontarnya; kemiripan satu sama adalah pada cerita ringkas yang diwarisi secara lisan; sehingga kadang menjauh dari tujuan awal pementasan Calon Arang dalam tradisi ruwatan yang memang menjadi dasar adanya tradisi pementasan Calon Arang di Bali. Kesan penyeraman, semakin menakutkan semakin mendebarkan dianggap sebagai kesuksesan pentas atau semakin liar mengundang leak sebagai lambang keberanian; begitu menonjol. Namun pesan utama sebagai 'ruwatan' kerap lenyap oleh struktur pentas yang memang harus dipenuhi oleh para pemain; tak hanya menari, juga harus menembang dan konsentrasi menjaga diri; dst, membuat pentas calon arang; memang dikemas dalam sensasi.

Bali memang sejak era Kerajaan Gelgel memiliki tradisi sastra ruwatan: teks Calon Arang diduga dilontarkan pada era Watu Renggong, Raja Bali yang memang memiliki perhatian besar pada penulisan dan kodifikasi berbagai sastra di Bali: baik yang beurusan dengan adat, agama, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Bali. Dan tradisi pementasan berdasar sastra ruwatan ini berlanjut hingga sekarang bermuara tidak hanya pada teks Calon arang tetapi juga pada kisah Basur dan Dukuh Seledri (Suladri; variasi menyebutkan). Yang paling popular tentu saja adalah kisah calon arang.

Teks Calon Arang di bali memiliki tradisi yang panjang dan tak terputus dalam penulisan ulangnya dengan variasi yang kadang menakjubkan. Namun dalam pemanggungan justru tidak mengalami perubahan atau mencapai variasi yang memuaskan. Jika diperhatikan dengan baik dari satu pemanggungan ke pemanggungan lain di bali oleh berbagai sekeha drama tari calon arang dalam rentang dua tahun belakangan ini ; maka struktur, episode cerita; pemeran; nyaris tidak ada perubahan yang berarti kecuali perkembangan kostum.

Secara lisan, karena memang sulit menemukan bukti tertulisnya; teks calon arang memang dibedakan antara bentuk prosa dengan geguritan; namun dari cerita lisan yang berkaitan dengan perpindahan tradisi teks yang pindah dari jawa ke bali; awalnya konon berupa 'puisi' atau kidung yang awalannya pendek-pendek lebih menekankan kisah Mpu Bharadah: semacam kisah legenda. Rujukan historisnya tetap kisah di wilayah Kadiri; era airlangga, tetapi dituliskan di era Gelgel. Terjadi 'pembalian' baik dalam penulisan, maupun muatan kisahnya. Kebaruan memang terjadi, kisah ini secara lisan berkembang terutama setelah ditulis di zaman belanda: sehingga perdebatan nama tempat seperti 'lemah tulis' sampai kini belum terjelaskan. Namun di luar persoalan itu, teks calon arang justru melegenda di panggung pertunjukan khususnya di Bali walau sebenarnya menjauhi isi pesan teksnya yang terpenting yaitu; ruwatan. Yang muncul justru 'stigma' terhadap Calon arang sebagai tokoh perempuan yang menguasai ilmu black magic dan murka karena anak gadisnya tidak dilamar (?)

Yang hilang dalam proses pemanggungan sebagai fungsi ruwatan dalam tradisi Drama tari calon Arang dapat ditandai hilangnya: sebutan manca desa; dalam konteks ringkas catur desa dengan arah mata anginnya dan bergesernya ajaran Siwa tantric- Buddha; menjadi kesannya Siwait sekali. Kebingungan yang fatal terhadap figure Rangda; ida bhatari; yang sebenarnya sang ibu dalam tradisi penyusunan silsilah yang berakar tradisi kadiri, kaum buddhis tantric. Begitu pula peran mpu Bharadah; adalah tokoh Buddha, yang seharusnya memegang peran penting nanti menjelaskan perkara 'pecaruan' dalam tradisi 'manca desa' dan 'catur desa'. Begitu pula dikaitkan dengan pengobatan yang harus didahului dengan pengetahuan sebab-sebabnya penyakit.

Dalam konteks pemanggungan, murid-murid calon arang justru nampak bodoh: atau diseram-seramkan yakni berupa tari sisia yang ditampilkan dengan tarian para gadis dengan rambut terurai dengan cara memakai kain bertapis (berlapis) di atas dengkul; tanda 'kamen duuran entud' ; yang kini justru menjadi trend di bali digunakan dalam sehari-harinya ketika memakai kain. Padahal, jika diperhatikan dengan seksama, teks calon arang yang religius spiritual itu: posisi para murid ; Si Larung, Si Guyang, si Weksirsa, Mahisawedana, Si Lenda dan Si Gandi; ada dalam tata krama posisi arah mata angin dengan posisi Calon arang ditengah-tengah; Jika jeli; posisi dari teks ini justru akan menjadi koreografi yang menarik dan megah, tidak seperti yang muncul seperti sekarang; sekedar menari dan tanpa makna ruwatan. Kemudian soal tujuan ke kuburan; tidaklah sekedar unjuk keberanian mirip test keberanian balapan liar; makin berani bawa mayat ke kuburan di waktu yang dianggap rawan; antara jam 1-2 malam, dianggap makin sakti (?) Padahal, makna kuburan itu adalah mengingatkan akan asal/sebab penyakit dan pengobatannya; kisah ini merujuk akan posisi Kalika dan Uma di Kuburan, kemudian di  Pura Dalem sendiri adalah Brahma: peciptaan; perhatikan posisi Prajapati! Jadi pergeseran yang mendangkal ini; menggerus sesungguhnya geletar mistiknya, sebab sensasi 'mayat-mayatan' menuju kuburan dengan dikawal beramai-ramai plus lampu-lampu: obor maupun senter. Apa boleh buat justru kehabisan daya sensasi panggungya.

Tradisi ruwatan di bali berkaitan dengan epidemic beberapa penyakit yang menimpa masyarakat; disebut gering; seperti muntaber; yang berkaitan dengan kebersihan air, berkaitan pula dengan musim. Pementasan dengan tujuan ruwatan; sesungguhnya tidak sekedar menabur sensasi; tetapi justru meraih ingatan penonton mengenai kemungkinan epidemic yang berjangkit, dan bagaimana mengatasinya. Kini dalam era modern, penyakit epidemic banyak jenisnya; karena itu sangatlah menarik tradisi ruwatan dipentaskan dan mengembangkan pola yang kontekstual: tanpa menjauhkan pesan ruwatannya dengan sensasi yang memberi kesan, seakan Rwa bhinneda itu harus diganti dengan 'eka' cara pandang. Keluhuran utama yang lain adalah bahwa puncak pergulatan hidup adalah hadapan manusia dengan takdir kematian dan sebab-sebabnya.

Sastra ruwatan memang seharusnya kembali dijadikan rujukan; jika berkeinginan, proses pemanggungan mengalami tanjakan di era Bali seperti saat ini.

(tulisan ringkas ini, adalah bagian kecil dari tulisan mengenai Calon Arang: by cok sawitri)

No comments:

Post a Comment