Berapa Jauh Kan Berlari Engkau Dari Cintamu



berapa jauh kan berlari engkau
engkau kan berlari berapa jauh
sembunyi dari kata hati
kata hati sembunyi
mengakrabi rasa rikuh, menjadikan senyum
menjadikan senyum,  menikmati rasa cemas  di tiap-tiap hela nafas
ketakutan bila terucap tak sengaja
tak sengaja kau menyebut satu nama
lalu karanglah kisah tentang risau hati
pernah sepi memberi waktu buat bercakap
"siapa yang kau rindu?"
menepis sahutan walau tak terucapkan
"bersama siapa kau merasa nyaman?"
gundah jawaban ditepikan tarikan nafas
dibalik matamu yang memandang
memandangi yang ada dibalik matamu
bayangan-bayangan samar menyahut tegas
tegas menyahut bayangan bayangan samar
bukan mengapa, ingatan hilang kejernihan
kejernihan hilang ingatan, mengapa bukan
"apa yang kau cemaskan?"
hingga sepi pergi, keriuhan membawamu masuki gundah
gundah masuki sepi membawamu pergi ke riuh
makin sembunyi dari kata hati
kata hati makin sembunyi
tapi tiap tiap tarikan nafas
bayangan itu melintas merambat dalam udara
dalam udara merambat bayangan
membekap hingga demam tiba
keluh rasa pening memeluk isi kepala
berapa tahan engkau memerlukan waktu
mengira disembuhkan bila saat tiba
ah, engkau lupa
jatuh cinta bukan sebangsa penyakit jantung
penyakit jantung bukan sebangsa jatuh cinta
jatuh rindu bukan salah ataukah benar
benar ataukah salah jatuh rindu

dalam kecut pun tanyakan ini pada sepi
sepi tanyakan ini dalam kecut
dengan siapa?
maka airmatamu kan meledak
meledak isakmu dalam sepi
sepi beban tangismu
menggukir duka pada sembab lingkar mata
berapa lama engkau akan berlari
berlari engkau akan berapa lama
menghindar sebagai sembunyi ?
sembunyi sebagai menghindar
"debur dadamu meracaukan pilu
kesanggupan sisa sesak nafasmu: itu!"

(SERI PUISI CINTA, BATANGHARI, 8 NOVEMBER 2015, COK SAWITRI)

Siapa Yang Berani Ucapkan Cinta (?)



yang bermain di lamunanmu
pantai yang lelah, jukung berjemur di bawah ketapang
daun-daun kering terinjak, berapa jejak disapu pasir

ah, lupakan tawa lepas membelah ombak
cerita ringan membebaskan kesumat pikiran
apa yang menjalin alasan buat berulang menyapa?
bahan cerita begitu riuh, tumbuh di lidah seperti barisan lumut
kini kering, matahari menyilaukan, jukung melaut pagi hari
merapat kebisuan, semua cerita kehilangan kisah

mencoba kau aku pernah seperti tangan penganyam tikar
temukan penyisip satu cerita tak masuk akal kalaupun!
jadi ombak gemuruh, penuh riak buat perjumpaan
mengayunkan lamunan, lalu seperti jukung lumpuh
mengering di atas pasir, menunggu gergaji membelah
adakah yang lebih pahit buat disesali
selain bertanya siapa yang tak berani
ucapkan; aku mencintaimu

pikiran menertawai seperti riuh camar kehilangan karang
lalu pilu mendekam di bawah telapak terbenam pasir kering
melambai tatapan adakala jarak pandang lebih menyatakan
tak lagi pantai bagi hati, bagimu kini hanya lamunan.

(SERI PUISI CINTA, batanghari, 8 November 2015, cok sawitri)

Menjauhlah Kau Dari Bujuk Rindu



angin tanpa desau tambah lekat dihati
pengap merayap kesepian bermain sendiri
hujan lupa janji pada musimnya, memilih perjalanan
menjauhlah menjauhlah dari bujuk rindu

terlalu muda kau buat menghela sayap langit
bangsa kupu kupu hanya bangga pada kepompong
lupa ranting bunga yang tak pernah mengeluh
terbanglah,  terbanglah
tinggalkan remah biarkan mengering
percakapan hanya pertukaran kata kata
hampa apa kabarmu, kosong kamu sedang apa
kesantunan memagari senyuman
siapa yang jemu dahulu?

angin kehilangan geraknya, seperti jukung hilang kemudi
pohon berdiri tegak, daun-daun berdiam bisu
jangan bicara, jangan bertanya
bukan buat lagi berpikir pikir
cinta tidak perkalian dalam hitungan perasaan

terlalu gundah kau buat memahami kediaman
mengira permainan dapat diulang
lupa, kebosanan menemukan keriangan
berdiam dalam angin
pergi kemanapun sekalipun tanpa desau

 (seri puisi cinta, batanghari, 7 november 2015, cok sawitri)

Salahkan Aku, Bila Kau Mencintaiku



malam bersayap terbang rendah
kelam hinggap di dahan
pernah kau berteduh
akal kita punya, tapi jatuh cinta perhitungan hati
kalah gemuruh ombak saat kau cerita kekasihmu,
pertengkaran dan risau risau
tak riuh tawaku menjangkau rembulan
percaya kita rasa, tapi rindu menyentuh kalbu

salahkan aku, bila kau mencintaiku

pernah kucari dalam gundah
dimana mulainya jantungmu berdegup
ingatan melukiskan mimpi-mimpi
ditelan bumi, kau sembunyi menghindar
desau menakik nafas
kupikir sama saja dengan yang lain
semua kenalan adalah kartu nama
lalu lalang melintas malam siang
hingga perih menikam
dalam kering gemetar benar ucapanmu
"saya sembunyi darimu"

malam makin terbang mendekati puncak gelap
salahkan aku, bila kau mencintaiku
semua sayap pernah lelah
begitu juga gundah hati
singgahlah, biarkan dirimu bertualang
bila gunung, lembah tak lagi tujuan tamasya
lalu tangismu malam-malam tersimpan
disisakan di pagi hari
sesal yang tak pernah harus ditanggung
apa salahnya mencintai: cuma mencintai!

(Seri Puisi Cinta, batanghari, 5 november 2015, cok sawitri)

Oh, Sudikah Engkau Mencintaiku?



bunga kapas menyerahkan kelembutan di telapak
diterima pada suatu tepukan saat senja
pernah berjatuhan kelopak-kelopak bunga
bakal tunas bersukarela  menunggu musim berganti

permainan kelereng menyurut dihalaman ingatan
teriakan teriakan  canda menyusup jauh
lama sudah, dekat masih
kehangatan yang menujum saat bertukar tepukan

oh, sudikah engkau mencintai  aku?

hingga jatuh rebah ke lapis terbawah
kalah harkat pada peminta-minta
memohon kelembutan pada kapas-kapas
merepih tepi lingkar kelereng
pernah, aku menjentik, bergulir jauh

Oh, sudikah engkau mencintai aku?

kini, membungkuk hilang penyangga punggung
semua senyum meniru bunga layu
kumal benar bayangan saat berjumpa
lagi, kau bahkan lupa sekedar menyapa

Oh, hampa benar terbang kapas
membagi kelembutan tak lagi singgah
kesabaran mengubur diri di hari lalu

(SERI PUISI CINTA, batanghari, 5 november 2015, cok sawitri)

Tak Ada Cinta Dalam Mimpi dan Lamunan



tak ada cinta dalam mimpi
tak ada rindu dalam lamunan

embun tak sanggup menyentuh
tamasya jauh tidur
menemuimu dalam terawang
betapa hebat rindu
mengendarai awan biru
melesat kalahkan cahaya

aku bertamu dalam mimpi
duduk dekat jendela di ruang tamu
renyah suara penuhi  ketercengangan
hingga terjaga
gerimis tipis tiupkan dingin
tak sanggup tenangkan kegundahan
berapa lama kusimpan dalam diam
curahan air teresap kemarau
sejak kerikil terpijak
sajak-sajak  langkah kaki digumamkan jantung
tolehan kepalamu mengawang mata
membalas tatap seakan hampa

berapa lama kutimbang
mengukur jarak kekonyolan
menahan beban lamunan
bila kembali  hati remaja
sudikah, sekali saja tersentuh
embun  malang dimusim kemarau
pecah didaun gersang
angin tega meniupkan  kesangsian
bertamu sopan kabarkan kisah

tak ada cinta dalam mimpi
tak ada rindu dalam lamunan

(seri puisi cinta, batanghari, 4 november 2015, cok sawitri)

Telingaku Mimpi, Langkahmu Menjauh Sudah



rasanya sudah gelap
padahal terang lampu di halaman
hatiku kelam
hujan berlari menjauh
memasuki karang karang rahasia
dilangit pelangi tinggal kisah

rasanya sudah sunyi
riuh kendaraan terdengar mendekat
telingaku mimpi
panas menjulurkan sungutnya
layu tanah, hilang harum bunga bunga
lumut lelah melawan kilau
“aku melihatmu meliwati barisan pohon pohon
lalu terjal tebing bergerak
seperti layar cahaya
menjangkaumu dengan hati
menyapamu dengan harapan”

rasanya sudah gelap
terang lampu dihalaman
tubuhku tak lagi berbayang
desau angin meluluhkan keringat
perih saat sampai di bola mata
rasanya sudah senyap
hampa disiulkan gelap
aku mengingatmu duduk dekat kaki
bercerita tentang mimpi
berkendaraan macan kecil mengibarkan bendera
lalu perempuan-perempuan gila menebasnya
lalu lelaki lelaki pengecut mendadahnya

rasanya hampa
mendesau sampai jauh ke rumput-rumput
mengering hati
saat terang begitu nyata
langkahmu menjauh
gemanya menghujam telinga
rasanya benar sudah gelap!

(Seri Puisi Cinta, batanghari, 3 Nopember 2015, cok sawitri)

Kau Tak Boleh Tahu, Soal Ini



kau tak boleh tahu
memandangmu udara jadi bersih
sesak didada menemukan kelapangannya
segala hiruk pikuk benak
jadi senyum pagi hari

kau tak boleh tahu
duduk di sebelahmu kenyamanan senja
teh hangat manis, pisang goreng renyah
pemandangan yang melamunkan
terdengar bening kata
tak terucapkan walau tak sepatah
cerita cerita sedihmu
menjadi siul di hati
keluh kesah hari harimu
menjadikan aku penuh arti

kau tak boleh tahu
bertemu denganmu kelengkapan hati
sesaat ataukah berlama lama
genap  isi dada
hilang kisah dari tutur
riang mekar dalam kebisuan

kau tak boleh tahu
rasa hampa penuhi hari
bila kau tahu, hasrat hati
sebab kau, tak pernah menduga
aku diam-diam memikirkan
hijau daun ditangan
melayang layang di langit
kita berdua mengejarnya
dalam ledak tawa tersipu
menyimpan kemilau di bola mata
penuh cahaya biru langit pun tak boleh tahu!
juga kau
tak boleh tahu!

(seri puisi cinta, batanghari, 2 nopember 2015, cok sawitri)

Lepaslah Engkau, Jangan Kembali



lepaslah engkau. bebaslah engkau
kemana hati hendak singgah
remah remahnya berjatuhan ke tanah
tak jauh aku, menahan pandangan
saat ucapanmu membelah sunyi
berjatuhan geriam tak terperi.
 
bergeraklah lurus ayunkan nafas
pernah gigir jemari hilang kendali
hampir membuncah telaga matamu
betapa haru melihat susah payah
kau sembunyikan risaumu
bijak itu tumbuh ajaib di benak
ajarkan kekang  pada tanya
apa yang kau cemaskan?

hanya setipis benang kekaguman, mencintai
keduanya mengaduk seluruh akal sehat
jarum yang mengarah pasti salah waktu
haruskah menghakimi perjumpaan
beratus kali kudengar persembunyian itu
tentang kekasihmu
tentang tawa tangismu

keraguan itu berakar pinak
menghasut gelisah diraut wajahmu
beratus kali tanpa sebab kau terdiam
lepaslah engkau
mari rasakan ngilu menarik kejam isi dada
hapus ingatan dari lamunan
gelas tak harus selalu terisi
kosongkan. bebaslah engkau
bila kelak kepengecutan pergi
pilih jalan bijak, sampaikan padaku
aku dapat menari tanpa nyanyian
aku dapat bernyanyi tanpa syair
aku dapat bersyair tanpa kata
jika itu membuat bahagia
semua mata nyaman menerima
lepaslah engkau
bawa hatimu, jangan pernah kembali
tak ada yang menanti
tak ada yang menyesali

(seri puisi cinta, 30 oktober 2015, cok sawitri)

Biarkan Cinta Meniru Cahaya



cahaya siang lepuhkan sayap  kupu kupu
sudah lama, hutan semak belukar di hati
jelaga-jelaga menggantung diri,
berayun kelam membawa sekotak sedih,
mirip kado di hari ulang tahun

cahaya siang membelah bayangan, tubuhmu bayang,
menembus batang- batang pohon,
tak ada jalan kecil tikungan memutar bagi diri
mengejar lalu bertemu  seolah tak sengaja.
gundah tertutup belukar,  duri-duri mengasah diri
jelaga panjangkan kelam,  menjulur meniru akar-akar
"banyak kali kesempatan mati bagi pertimbangan
hingga basi semua percakapan
hingga masai semua harapan
kerinduan kehilangan kecantikannya
berapa sanggup disimpan pernyataan mulia ini? "

katakanlah: suatu hari dalam gugup
terucap pelahan: aku mencintaimu!
kau berhak tahu, berhak pula menepisnya
seperti angin kepada daun dan debu
namun itu hanya dalam hati
menggantung di tiang angan-angan
cahaya siang meremukan semua jentik di selokan
lumut-lumut menemui akhir musim
beberapa kecebong tersengal diserang panas
nafasku mendekati putus asa
cara apa lagi memancingkan umpan
kolam dangkal di hati hilang penghuni
aku saksikan rindu seperti daun gugur
cinta seperti hilir mudik motor dijalanan
tak satu pun miliki alasan meminta tangan melambai
tumpangkan aku hingga ke tujuan
sekotak sedih kubuka bungkusnya
isinya segala macam pertemuan denganmu
"makan siang, makan malam, jalan-jalan ngobrol di hp, sms-an, bertukar buku, rencana pentas, demo, bergosip..."
sesak benar berhamburan terbang
riuh mengerubuti kepala
seperti nyamuk muda di senja hari
nguingnya cahaya siang lumpuhkan ayunan kelam

entah, pedihkah berayun menghantam kesabaran
ucapanku terasa kental; sudah cukup, biarkan cinta meniru cahaya
dalam kesenyapan hati
aku kehilangan bayanganmu
lepuh cahaya siang, melepuh cahaya di hati
remah sayap kupu kupu jatuh
mengusap pipi
jelaga mengayunkan hati,
saat pasti aku masukan cinta  dalam kotak berpita jelaga

(seri puisi cinta, batanghari, 30 oktober 2015, cok sawitri)

Kau Bertanya, Apakah Aku Mencintaimu



Ya.
Ya sesudah dan sebelumnya
Ya dari bermula dan sampai kapanpun
Seperti putaran matahari
Seperti putaran purnama
Tersipu malam
Tersenyum siang

Aku tak mau jadi anjing peladang
Menggonggong riuh tak miliki nyali
Seperti pejantan nyamuk hanya menguing
Kodok yang riuh di musim hujan
tubuh serangga repuh di dalam
aku tak mau jadi pengeluh
salahkan hujan, salahkan panas
peratap yang mengira diri pejuang
dikenang-kenang seolah sempurna
ya disaat dan selanjutnya
ya hari ini, esok dan nanti
sedalam samudera, sedalam hati
setinggi langit kalahkan gunung
cemburu angin
debu pun iri
ya.

(seri puisi cinta, batanghari, 29 Oktober 2015, cok sawitri)

Sampaikan Padanya, Jatuh Cinta Aku



sampaikan padanya
aku gemetar hilang pegangan
melayang hilang pijakan
saat kembali bertukar tatap

matahari, bulan, bintang-bintang
hilang cahaya bahkan pelangi hilang warna
kerikuhan ini menakutkan
pandir aku jatuh kikuk
sungguh, cemas menghujam dada
bila kau tahu, merambat api dalam jemari
menghanguskan seluruh pori
dipicu hulunya oleh senyummu

sampaikan kepadanya
bagaimana cara sembunyi
kemilau matamu serentak melepas anak panah
menghujam penuh penuh
hingga terhuyung siang malam
bahkan untuk berucap salam
seluruh nafas gemetar nyeri

jalanan, pasar, dermaga, senyap
hilang riuh sebab gemuruh laut berpindah
setiap kali bertemu kau
puncak panas matahari lepuhkan tenang

sampaikan padanya
dilapis terbawah dari bumi
tersisa padaku; pias wajah
menahan cemas bila kau tahu
terjatuh aku oleh cinta.
(seri puisi cinta, batanghari, 29  oktober 2015, cok sawitri)

Itukah kau Rupa Rindu



kaukah yang mengindap
dalam sepi malam?
meniti daun-daun
menyusup di kisi-kisi
Menjelma wajah sedih
itukah rupa rindu?

kaukah yang menginjak kerikil
gemericik tipis menolehkan lamunan
menggerakkan tangan buat melihat
lengang kelam di luar
itukah rupa rindu?

pejamlah mata
biarkan mata hati membayangkan
panggil seribu kali namamu
bayangkan dirimu menari pelahan
lalu terjaga
sepi sendiri
itukah rupa rindu?

apa dipertaruhkan buat menenangkan
tak ada keajaiban jatuhi malam
menduga kau lagi ingat
sama sekelam malam risau hati
makin cekam ingatan
tak ada dering telpon
hingga kering hati ucapkan namamu
mengindap di daun daun
matamu memandang
membiarkan lamunan melepas senyuman
itukah rupa rindu?
(Seri puisi cinta, batanghari, 28 oktober 2015, cok sawitri)

Cinta Ini, Itu Cinta



tak ada yang lebih mulia
membawa airmata dalam lelap tidur
kemarau hilang
rumput menghijau
diairinya
lagi, aku bertanya kepada hati
diajaknya bermain tebak-tebakan
diam apa yang banyak bicara?

lalu, aku bertanya kepada jantung
diajaknya berteka teki
degup apa yang tak dipukul
gemanya merobohkan mimpi?

tak ada yang lebih berat
memanggul rahasia rahasia ini
meniru airmata
keberanian berindap dalam isak
lidah menguburkan semua kata
berkali-kali perjumpaan adalah perpisahan
kedekatan adalah jarak
tutur sapa hanyalah ucapan hampa

lalu, aku bertanya kepada dada
diajaknya bertimbang
berapa berat penuh samudera menampung
mana lebih ringan rindu ataukah cinta
menyimpannya sebagai rahasia
atau ucapkan untuk luka?

lagi, kutanya benak bisu itu
diajukannya keraguan
cinta kadang memerlukan busana
buat memutuskan layak dipandang

tak ada yang lebih mulia
membawa airmata ke dalam lamunan
menghanyutkan hampa
kemuraman menyerung pandang
sebabnya; cinta tak kenal alasan
sialnya, padamu enggan dipantaskan.
(seri puisi cinta, batanghari, 28 oktober 2015, cok sawitri)

Pohon Mati, Ngilu Hatiku



kali itu sedih benar

kemarau mata hilang genangnya

malam seperti perahu

merayap diatas gelap

bersiap siap kehilanganmu

sejak mula kutanam di halaman

pohon mati

kusiram saban hari

Setiap percakapan, setiap perjumpaan

suburlah; jadilah perindang

berteduh minum teh, menukar tawa

kelak bila kehilangan kau

kecipak kelam tak memilukan hati

aku selalu bersiap saat jatuh hati

sama riang bila patah hati tiba

kali itu pedih benar

seperti siang silau cahaya

dua tangan ini tak cukup pejamkan

gelombang perih menderapkan ngilu ke dada

memar pohon mati itu merimbunkan daunnya,

akarnya berkecambah lalu menguning

saat tangan  melambai ke langit

sempat kudatarkan ucapan

beban di bahu hampa

tak ringan lagi lewati tujuan

kali itu sedih benar

berdiri di halaman menatapi

pohon mati

mencabut akar dari dirinya sendiri

tanpa keluh remuk menjadi abu malam.

ditanamnya ngilu di hati

tanpa kusiram  menjulang rimbun menutup mata.

(seri puisi cinta, batanghari, 27 Oktober 2015, cok sawitri)

Tanya Padaku, Benarkah Aku Jatuh Cinta Padamu



dimana senyummu kusimpan

bila senja tiba

matamu ada genang kelopak embun

mirip pagi yang memaksa terjaga

lembar lembar melukis tawamu

lapis lapis mengariskan batas

dimana rikuhmu kusimpan

saat kulewati bahumu

menegurmu dalam bisik

menyapa sekadar ucap

jalan ke kanan ataukah ke kiri

engkau lelaki ataukah perempuan

tak cukupkah waktu bersarang

untuk membiarkan rindu kalah

gelanggang yang riuh

panggung tak berbatas waktu

lalu

mari maki perasaan perasaan ini

mari caci kerinduan kerinduan ini

dimanakah rasa salah kusimpan

mencintaimu diam-diam

membiarkanmu dihembus angin

ikuti debu yang menghamburkan pandangan

nyeri senjaku

perih ingatanku

bagaimana mungkin embun meniti daun daun

menyongsong matahari

lalu mati di hatiku

bila kau baca sajak ini

isi dadamu ditikam ngilu

pikirkan hal mustahil

tanya padaku

benarkah aku jatuh cinta padamu?

(seri puisi cinta, batanghari, 26 oktober 2015, cok sawitri)

Sanggup Kau Sepikan Hatiku



di dalam dadaku

pilu menemukan musim semi

burung-burung kembali dari balik benua

warna warni sedih menghulu-hilir

muara dikatup jantung ini

justru pengap.

berapa lama sanggup kau sembunyi

dari lecutan lecutan ingatan

hitunglah satu dua tiga empat lima enam...

tak sengajakah dalam percakapan

telapak tanganmu berbagi hangat?

menitip lembut ke pori pori
tawamu meledak berkisah impian-impian

berkeping-keping cahaya bintang

malam sabtu, malam minggu, malam selasa

para pemuja yang pucat

kembang luruh di musim semi

tak kau sesali bila kering seketika

padaku mengeluh seluruh sumbatan kepala

tak bikin sendat

dukacita menetesi landainya hamparan

sabana meranggas

didalam dadaku

menguap asap panas bertungku

cerita cerita memagari kau dan aku

kekasihmu yang bebal atau

pengumpan di telaga keruh

buat memancing kenekadanku

ya, aku mencintaimu tiba-tiba

tak perlu mencari alasan sebab

hingga luruh musim musim

tak akan kuingat

sebabnya mencintaimu

didalam dadaku masih

musim semi meninggikan ranting cabang

gagah menandakan batang kepedihan.

(seri puisi cinta, batanghari, 26 oktober 2015, cok sawitri)

Umpama Kau Cinta Aku



Tak ada umpama bagi kita

Bagi kau bahkan bukan kita!

Hanya aku, aku juga

Membiarkan siang malam kan bertemu

Berharap sandikala di hati

Pandir itu milik pecinta

Mengkhayalkan perasaan yang sama

Aku sibuk mengalahkan sangsi

Membatinkan namamu beribu-ribu ucap

Sekalinya; satu sapa pun tak darimu

Berkutat pikiran dan hati

Setiap lamunan membayangkan; Suatu hari kau akan temui harapku

Berbincang tentang kaos kaki, selop tangan

Ransel, sepatu teman-teman yang asing

Hingga hening menyela

Hitam matamu menatapku

Kilau bayangan membuatmu berkedip

Menunduklah bunga-bunga teratai di waktu malam

Betapa indah; usah ucapkan kan kurasa getaran hati

Setengah gila aku.

Aku senyum pada sepi

Sepi tak miliki bibir

Ngilu selalu

Tak ada umpama bagi kita

Sebab bertegur sapa sekali

Pun kita tak

Lalu kurang bodoh apa

Mencintaimu segala rupa

Menidurkan diri dalam khayalan

Terhibur untuk umpama yang aku ciptakan

Tersendat menelan kengiluan

Hatiku kamar rawat kegilaan

Semua obat lambungkan aku

Umpama kau cinta aku.

(seri puisi cinta, cok sawitri, batanghari, 26 oktober 2015)

AKU INGAT KAU. KAU PASTILAH TAK


Ini malam

Aku ingat kau. Kau pastilah tak

Hatiku cemas berharap

Mimpimu

Tiba senyum dihadapanmu

Mengeluhlah pada telinga

Nyaman tidurmu hingga terjaga

Pagi kemudian Aku ingat kau. Kau pastilah tak

Degup menanti

Kau menyapaku; tentang mimpimu

Ah, kekasihmu warna warni

Aku tak hitam putih dalam mata

Disimpang jalan mana

Cara menemui kepekataan ini

Keberanian terbunuh di hati

Buat ucapkan cinta

Lalu cemas tiba.

Ciut seluruh bibir

Tiap-tiap kali ingat kau. Kau tak

Malamku sesak.

Penuh harap cemas

Pahit pijakanku berucap: Kau tak cinta.
Aku tak berani berucap sama.

Malam itu. Aku ingat kau. Kau ingat tak padaku.

(seri puisi cinta. Batanghari, 25 Oktober 2015-cok sawitri)

Benarkah Disaat Susah Kau Panggil Namaku




Benarkah Disaat Susah Kau Panggil Namaku
 


Ingatkah kau sore kemilau

Mata kita menghindari tatap

Mengingat diri lampau jauh

Bila harus kusentuh lengan bahu

Kenyerian di hati lebih

Jantung meredakan debarannya

Malam malam bila bebaring

Melintas yang segera dihela nafas

Jangan sampai tertanam

Lamunan selalu riang untuk mekar

Menjadi kembang duka cita

Ingatkah kau siang redup

Bibirmu hilang gemetar

Pilih senyum masai sembunyi risau

Kapan mulainya

Musim musim bintang berkelip

Pikiranmu pisau tajam

Menebas tiap tunas

Meletup kadang tak tertahan

Pilu di dada ditenangkan nafas

Bila kusentuh bahu menatap tegas

Hilang ingatan memasuki sepi

Gema dari gurun senyap

Jangan sampai. Jangan sampai

Tapi malam. Tapi mimpi

Ingatan lamunan tak henti

Disaat susah

Diam-diam angin berbisik; Benarkah kau memangil namaku?


(SERI PUISI CINTA : batanghari, 25 Oktober 2015)

Sebab Kau Hanya


SEBAB KAU HANYA
Menyapamu dalam diam. Menyebutmu. Dalam diam.

Tak cukup beraniku. Sebab kau hanya

Lintasan-lintasan dalam hati.

Dalam pikiran.

Menganyam risau.

Kau tak tahu. Tak tahu aku

Pernah engkau bayangkan

Ada yang mencintai dalam diam

Tak menyapamu. Tak menemuimu.

Keheningan-keheningan. Hanya sebab kau

Tak pernah menduga. Tak perlu juga

sebab hanya kau



batanghari, 24 oktober 2015)

Membayangkan Kau Kini

Kini

Kubayangkan padang terhampar

Berbaring berjejer berbantallkan tangan

Sesekali kepalamu menoleh

Mencari langit dalam diamku



Padang-padang risau menyapa pikiran

Ruam yang menyapa tarikan nafas

Apa yang lupa kita ucapkan

Sebelum akhirnya jarak menipu



Desau dalam hati

Mengalah pada kemungkinan

Tak ada alasan untuk kembali

Sebanyak akar yang menyangga

Begitu lengkap kemustahilan




Kini

Aku melucu untuk diri

Jika saja aku berani menyatakan

Cukup kuat untuk hadapi ledakan sakit hati

Mungkin

Aku tak menulis puisi ini.


(batanghari, 2015)

Kubaca Pesanmu, Sembunyilah Pilu

kubaca pesanmu: dimana kamu

aku menjawab: aku di rumah

                       bagian mana yang menderak

sepasang matamu memandang

selalu susah payah sembunyikan

betapa riuh debur ombak didalamnya

tempias garam menjangkau pori-pori

maafkan, bila pantai membisukan pasirnya

kubaca risau berulang

berulang seolah tak direncanakan

                      "tiap-tiap kata lambungkan kita jauh-jauh
                     
                      tentang kekasihmu,
                     
                      tentang sukadukamu"

sesekali bila bahumu mendekat

kalimat pendek di layar

membawa kerlip menjauh

dibalik batas pandangan

pernah engkau ingat

kapan mulainya bunga-bunga mekar

walau ingatanmu menanam?

                       kubaca pesanmu, selalu

dibalik tanya menderu angin yang kukenal

badai yang pernah membawa jung-jung berkeping

sebab bukan waktuku lagi

untuk berbagi dukacita

menakik kata ditelinga: aku tahu, isi hatimu!

                      pernah engkau ingat?

gemetar yang terburu disimpan dalam tawa

atau menatap kesenyapan

seolah lamunan membawaku ke langit tinggi

melayarkan angan dalam samudera

                       ah, kubaca pesanmu

selalu: agar kau kira

aku tahu apa-apa

tentang gelisah hatimu

setiap pesanmu kubaca!

kujawab juga seperti biasa



(batanghari, 2015, menunggu tiket)

Tahukah Kamu, Ketika Kamu Pergi

seberapa sanggup memandang bayangan di cermin

mencari kerut di dahi

tahukah kamu

saat engkau pergi

udara hilang angin, hampa berumah di dada

langkah hilang detak, jantung menangisi denyutnya

diam-diam kecewa menari

kulapisi dengan keriangan

berapa tebal lagi bedak harus kupulas ke wajah?

kuas yang mana mengarsir sembab di dada


tahukah kamu

gerimis tak henti di hati

musim berganti berkali. Berkali-kali

kesat dilidah, penat dinafas

benteng terindah itu, setia sembunyikan aku

memetakan perjalanan; satu kota ke kota lain

satu terminal ke terminal lain

ditiap jendela kaca

tahukah kamu

aku butakan pandangan

agar tak kulihat; kecewa yang menari

membayangi aku kemana pun pergi.

hadapkan tanya

siapa yang kupandangi setiap hari?

asing itu tersenyum riang

berapa gores lagi agar nampak bahagia?

merah, biru, hijau...

merona pipi meniru alur tangis

ah, tahukah kamu

bahkan bayangan pun tak kumiliki, lagi

ketika kamu pergi



( batubulan, ngantiang baju liku-2015)

Cintailah Aku Kemudian

Berjingkat keraguan pada malam-malammu

Aku tak bersalah, aku tak bersalah

Mencintai itu bukan soal

Suara-suara yang mendera

Melecut hati

Aku tak sudi berlari, aku tak sudi sembunyi

Tuhan maha kuasa



Berindap pilu didalam-dalamku

Matamu menyimpan risau

Aku pergi, aku pergi

Semua damai, damai semua

Tuhan puas, hati tak

Bersidekap mabuk dalam tubuhku

Bayangkan tatapanmu

Aku bisa,bisa melaju,henti ataukah diam

Airmata, tawa itu sama

Berjingkat mauku buat tak peduli

Matilah tatakrama, matilah

Aku menggantung leher di langit

Kemudian meledak dalam perapian

Bolehlah, cinta diucapkan, sesal digumamkan

Aku mencintaimu, kemudian

Setelah bosan dengan kemunafikan

Lalu. Lalang, lalu...

Biarlah demikian.

Pentas Teater End Game Diperasaan Remaja


CATATAN DRAMATUR; SEBELUM LAYAR DIBUKA DI TANGGAL 16 SEPTEMBER 2015, END GAME- DI PAMERAN TUTUR NYATUR

Proses kreatif teater modern di Bali atau mungkin Indonesia, dipastikan proses yang kesepian dan sendiri, terutama tak ada proses kritik pentas teater yang memadai. Kalau ada tulisan tentang pentas teater bahkan di koran dan majalah utama di Indonesia, biasanya sifatnya informatif kalaupun berusaha mengkritisi kebanyakan sangat jauh dari apa yang dimaksud dengan penulisan kritik. END GAME, naskah karya teater Samuel Beckett, pemenang nobel kelahiran negeri Irlandia. Dikenal dan dihormati tak hanya sebagai penulis yang handal tapi juga dalam jajaran filsuf. Naskah ini menjadi syarat bagi proses untuk memasuki salah satu jenis teater absurd. Tidak mengherankan, beberapa kelompok teater tak hanya di Indonesia dan di belahan dunia lainnya, yang pernah mencoba mementaskan naskah ini akan tanpa sadar (atau sadar) melakukan 'peniruan' pada pentas pertama END GAME yang konon disutradari langsung oleh Samuel Bekcett sendiri, terutama pada tafsir setting: tengkorak dan drum-drum besar. Padahal, tafsir terhadap terhadap naskah, artinya proses memahami secara menyeluruh untuk menuju apa yang diungkapkan oleh Esslin mengenai teater absurd :  "Dunia yang masih dapat dijelaskan meskipun dengan penjelasan yang keliru merupakan dunia yang kita kenal. Namun, sebaliknya di dunia di mana ilusi-ilusi dan harapan tiba-tiba direnggutkan, manusia merasa terasing, merasa sebagai seorang asing. Pelariannya tidak merupakan pengobatan bagi dirinya karena kenangan terhadap dunianya yang telah hilang dan pengharapannya terhadap negeri yang penuh harapan, telah direnggutkan. Perpisahan ini antara manusia dengan kehidupannya, antara aktor dengan lokasi ceritanya, merupakan perasaan absurditas"

Ada setahun saya berupaya mempelajari naskah END GAME ini, kemudian dengan tertatih-tatih menerjemahkannya ditemani sahabat saya Suliati Boentaran, lalu mencari orang yang saya syaratkan dalam kondisi alami berada dalam absurditas ketika diminta bermain teater. Dewa Ayu Eka Putri, dalam profilenya dituliskan seperti ini:  DEWA AYU EKA PUTRI, PANGOSEKAN 13 OKTOBER, SMA 1 UBUD, ANTROPOLOGI UDAYANA. Mengikuti Sanggar Cudamani dari usia 5 tahun, mulai dari belajar menari dasar dan tradisi kemudian usia 8 tahun mulai belajar gamelan dengan belajar semua jenis gamelan, gangsa, ugal, jegogan, kemudian menetap menjadi tukang kendang sampai sekarang dengan group gamelan bajang-bajang Cudamani, kedua orang tua seniman, Ibu guru tari dan pemain kendang dan ayah pelukis. Pengalaman pentas luar negeri di Jepang, Eropa, Amerika, Australia, pengalaman kerja sama kolaborasi dengan Ragamala Dance (India) Minnesota 2009, kerja sama dengan seniman Jepang (Taiko group) tahun 2010, kerja sama dengan seniman Belanda dalam garapan Sekala Niskala di Tong Tong Festival 2010 (SEMUANYA BERSAMA SANGGAR CUDAMANI) mendapatkan Andrew Fellowship di Canada pada tahun 2011 (mengikuti kelas Tari Afrika, Musik Korea dan Musik Afrika), Scholarship ke Perth (pernah mengikuti Aborigin class) (SENDIRIAN) Pada tahun 2013 mengikuti International Body Music Festival bersama Cudamani. Mendapatkan banyak pengaruh musik dan tari dari seniman berbagai negara, karena Cudamani seringkali bekerja sama dengan seniman luar negeri, pengaruh musik dan tari tradisi kuat didapat dari keluarga (karena memang hampir semuanya seniman, tari, musik dan komposer). Tahun 2007 pernah menggarap Tari Bungah bersama teman2 Cudamani. Pengalaman karya sebelumnya hanya sekedar menyumbangkan ide. Pengalaman Teater pertama di Jepang pada tahun 2010, kemudian pentas Jirah  karya Dayu Arya Satyani dan Cok Sawitri dalam Deklatari.

Perasaan absurditas itu menjadi dasar memasuki pentas teater absurd. Eka Putri latar belakangnya bukan pemain teater, namun menguasai beberapa kebutuhan dari proses kreatif teater. Karena itu, suasana absurditas itu otomatis muncul ketika menjawab akan bagaimana bentuk pementasan itu yang akan dipilihnya. Memilih medium teater gerak dan body music, mengisyaratkan kemana akan proses tafsir dalam tempo permainan, bagaimana timing antara gerak dan dialog itu menjadi pertunjukan absurd. Dan bagaimana nanti reaksi penonton. Jarang dalam konteks apresiasi teater di Bali dan Indonesia, membekali akan kisah riwayat pementasan teater absurd yang paling mengesankan dalam dunia teater adalah penantangnya sekelompok narapidana di penjara San Quentin, yang menonton pertunjukan Menunggu Godot dan ternyata penonton didalam penjara lebih menikmati secara cerdas bahkan ekspresif terhadap tontonan yang ditahun 1953- itu dalam partitur musik jazz, menggegerkan para penikmat seni di seluruh eropa dan amerika; sebab sikap penonton di penjara itu menjadi tandingan kepada mereka yang berada situasi kondisi katanya lebih siap menonton pertunjukan avant garde, ternyata justru menjadi kerdil dengan bentuk pementasan baru.

END GAME ditangan Eka Putri, bersama dua kawannya (Eka Kusumayani dan Yu Dek), masih belum jauh dari perasaan remaja. Perasaan yang dalam siklus psikologis itulah perasaan absurd dalam pertumbuhan manusia. Biasanya keutuhan pentas teater akan dirujuk pada plot, perkembangan perwatakan, dialog; dstnya. Tapi dalam END GAME itu semua dapat dihakimi oleh para penonton seintelek apapun akan segera mengenali; apa saja yang dibutuhkan kenyamanan menonton teater (yang normal) itu semua dikurangi.  Pada dasarnya akarnya adalah pada Albert Camus dengan Mitos Sisipusnya, yang bisa saja kita jejerkan nama-nama lain untuk belajar memahami absurditas ini. Kita kerap melupakan bahwa unsur murni teater abstrak dalam teater absurd merupakan satu aspek sikap yang antisastra dan sikap penolakan terhadap bahasa sebagai alat ekspresi makna. Hal inilah yang sering kali dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh teater absurd seperti Genet, Ionesco, Adamov, Tardieu, dan Beckett. Landasannnya suatu kesadaran bahwa teater bukanlah sekedar bahasa. Bahasa  dapat dibaca, akan tetapi teater sejati hanya dapat mewujud dalam "pertunjukan".

Eka Putri mengikuti intuisinya yang dekat dengan seni tradisi, janganlah lupa elemen-elemen pertunjukan absurd itu adalah tumpang tindihnya inspirasi dari pertunjukan-pertunjukan seni pentas kuno. Dalam tulisan Esslin (1961:xix), dikutip pendapat Ionesco mengenal absurditas dalam karya-karya Kafka yaitu "absurd adalah, apabila tanpa tujuan... terenggut dari akal religi, metafisik, dan transendental, manusia menjadi kehilangan; segala tindakannya tidak masuk akal, absurd, sia-sia "

Sebagai dramatur dengan saran membiarkan proses tumbuh keutuhan END GAME ditangan Eka Putri dari proses pengalaman mementaskannnya dengan membaginya halaman per halaman. Maka ini melawan tradisi pentas dilakukan apabila seluruh naskah telah dihapal dan dilatih atau  meringkasnya agar menjadi pendek (terfragmen). Absurditas yang di hati remaja ini menjadi penambahan baru mengenai apa yang terjadi dalam proses mengenalkan teater absurd . Teater absurd (Beckett dan Ionesco) berusaha mengekspresikan keadaan manusia itu dengan cara yang lepas bebas dan acak. Inilah yang kemudian dipresentasi oleh Eka Putri dari Sanggar Cudamani. Tantangan baru bagi kalangan seni di Bali, untuk tidak menjadi 'jebakan' bahwa bisa kita ucapkan: teater absurd tidak lagi membicarakan absurditas keadaan manusia, akan tetapi langsung menyajikannya dalam sebuah bentuk, yaitu ungkapan-ungkapan panggung yang kongkret. Dan itu pun akan berlawanan dengan harapan kebiasaan menonton pentas konvesional.

Maka selayaknya menghadapi absurditas dari perasaan remaja ini, mengingatkan bahwa sungguhlah berbeda dengan teater konvensional (pentas teater modern), sebabnya teater absurd menampilkan perilaku tokoh yang tidak diarahkan melalui silogisme yang logis.  Teater absurd tidak berjalan dari A ke B (kecuali karya Sarre dan Camus), melainkan bergerak dari premis yang tak dapat diketahui untuk menuju konklusi Y. Sangatlah wajar jika akan muncul keluhan pada tanggal 16 September 2015 nanti;  bahwa  penonton akan banyak merasa tidak mengetahui maksud naskah  atau sutradara. Sebab  mereka tidak merasakan kenyamanan seperti yang biasanya sangat menonton  teater konvensional. Sebaliknya, hal-hal yang paling tidak diharapkan dan tidak diperkirakan betul-betul terjadi. Kebosanan, ketidakmengertian, hilangnya kenyamanan, berada dalam situasi absurditas dalam menonton. Namun keremajaan Eka Putri, pendekatan sosiologis dan psikologis terhadap naskah tetaplah mendorongnya untuk 'mengurangi' eksterimitas dari kebutuhan teater absurd, mengingat penonton di Bali dan lingkungan seni yang terbiasa 'dimanjakan' dengan pertunjukan 'utuh' serta celoteh-celoteh yang mengira ada dalam kesepahaman akan teater dan seni pertunjukan, mengimbangi proses Eka Putri untuk masih akan berpegang pada ritme yang patah, dialog yang dipendam, artikulasi yang diucapkan secara datar. Hampir seluruhnya karakternya flat! Datar tanpa ekspresi. Maka ini mungkin tanjakan atau dalam kelak proses selanjutnya Eka Putri akan mengalah pada ketidaktahuan penonton, yang akan menuntutnya untuk me'utuh'kan pementasannnya dalam 'bingkai pertunjukan' yang menyenangkan dari kebiasaan dan selera agar mudah bertepuk tangan. Tapi sebelum memusingkan, mari menonton BAGIAN 12 HALAMAN PERTAMA DARI NASKAH END GAME pada tanggal 16 september 2015, jam 19.00 wita dalam rangkaian PAMERAN TUTUR NYATUR, di bentara budaya bali.

Bila Kau Tahu, Ingatanku Yang Sial, Pisahkan Kamu

Bila Kau Tahu, Ingatanku Yang Sial, Pisahkan Kamu



ingatanku yang sial

pada senja di tepi lamunan

bunga-bunga kamboja luruh

luruh-luruh daun daun kering

kering-kering hati

setapak  menjanjikan

desir ditiap langkah mengayun jauh

aroma tubuhmu terselip

menghentikan tarikan nafas

berkali-kali saat jalan sendiri

berkali-kali aku mengherani

didada bersiap pentas satu pertunjukan

menanti layar dibuka, kegelisahan menyepikan diri

lampu-lampu dipadamkan

suaramu mencariku

demam yang meruap dalam kulitmu

tiba-tiba menebarkan kehangatan

ingatanku yang sial

sampai tepuk tangan itu meledak

sorak sorai menyilaukan mata

hati dapat berlari, tubuhku diserung keriuhan

saat sepi, tinggal aromamu

sebaris pesan dari banyak orang:

kami pulang duluan, sampai jumpa lain kali

ada yang lenyap, sudut tempatmu berdandan

kosong benar di sana

kosong benar hatiku

ah, ingatanku yang sial

aroma yang tenggelamkan aku

kau tak akan tahu

sebab aku tak banyak menyapa

sebab aku tak banyak waktu

sebab aku kehilangan canda

lampu padam, kehangatan didahimu

demam yang asing itu

meruap jauh ke denyar sepi sepiku

ingatanku yang sial

kau tak akan tahu

sampai kini,

bahkan sekalipun lampu kembali dipadamkan

dahimu kembali hangat

jatuh dibahuku

ingatanku yang sial

menjadikanku jauh darimu selalu



(batubulan, tahun 2015)

PLATONIK

PLATONIK



jalan-jalan sepi tanpamu

lampu merah, patung polisi

aku diingatkan tak boleh melaju mendekati garis batas

nyanyian selamat pagi dari mesin di tiang-tiang

menghela namamu pergi jadi gumam

                matamu pendongeng bagi tatapan

                menerbangkan aku

                sampan kayu, tenda, meja-meja

                tak ada camar, telor penyu tak butuh purnama

menangkar kali pertama hangat di hati

di teras saat hari memiringkan cahaya mentari

kerap engkau datang, berjalan-jalan hati

lampu-lampu seakan dibawah ombak; kemilau matamu

mau kemana? itu siapa, ini apa!

                tak ada tempat bagi hati menguji

                semua cerita memasuki telinga, hati, ingatan

                rahasia impian menjadi rumah sembunyi

                lembah,gunung, rumput hangus

                asapnya membuat kita batuk bersama

terasa kanak saat engkau berucap

aku mencintaimu hanya dalam hati

nyali itu berwarna gelap

jantung, hati, entah apa lagi tersangkut

dikemas dalam kantong plastik

berbaring penat, bantal, selimut

           seperti buku menuliskan apa saja

           pernah aku membatin, agar kau suka aku

           pernah aku menduga, kau akan suka aku

           lalu deru telpon menjerit mengusir tidur


jalan-jalan makin sepi tanpamu

di perempatan lampu merah menyala

tawamu masih hangat dalam dada

tangismu masih kagumi kecemasanku

aku mencintai dalam hati; juga.

Entah apa alasannya

sampan kayu menjadi meja-meja

gelas-gelas telah kosong lama

pelayan berganti, di laut anak-anak mendayung kano

sampan tak tahu, penyu dan camar kemana

kau tahu, aku juga tahu

cukup dalam hati mengucapkanya berkali-kali




(batu bulan, tahun 2015)

Aku Tak Kan Mengirimi Kau Bunga

Aku Tak Kan Mengirimi Kau Bunga



kau

tersanjung puisi ini

bulan di pucuk cemara

bukit-bukit menggigil

       aku

       tak cemas pikiran-pikiran

       mengusik perasaan dengan kata manis

       melambungkan perkiraanmu

       mengundang tawa kecil

       jadikanlah berita seakan dikejar petaka

kau

mendaki langit berundakan lehermu

dagumu membelah kening

candi yang rubuh

oleh puja-puji

           aku

           tak akan tertawa

           tetap menjaga mata duka

           merana menatap rembulan

           saat sepi

           semut memindahkan remah

           meminangmu memasuki gegar

Aku

pasti, hanya kata

rayuan tak seikat bunga

tak akan kukirim

walau kau

            menjinjit cerita

            seakan aku jatuh cinta

            sebab karena kata-kata

aku lupa

mabuk yang keberapa

memujamu bak berhala



(batubulan, 2015)

Testimoni (1)

Testimoni (1)



pernah

aku seperti yang lain, yang lain seperti aku

sembunyi dari patahati

membungkus sedih dengan puisi

mendandani dukacita dengan tawa


pernah

lautan temanku berkisah

sunyi karibku bercakap

melapisi tatapan dengan senyuman


pernah

hampa mengenalkan dirinya

nyeri menggariskan jejaknya

pernah

seperti tangan pelukis

mengubur kisah dengan warna

gelap menyala dilubuk duka

tak ada airmata. Keluh kesah pun: tak!


seperti yang lain, yang lain seperti

aku dustakan perih luka, perih luka dustakan aku

meledakkannya dalam tawa, tawa menghanguskannya

membiarkan, segalanya tak terduga.



(batubulan, tahun 2015)

Suatu Waktu Mengenangmu

Suatu Waktu Mengenangmu


kaukah yang melintas

desau angin dalam keriuhan jalan

ingatkan aku pada satu menu:

udang dililit bacon, roti dibalut butter

matamu lembut berkerjap:

menepuk punggung tangan

kopi dengan rasa asing di lidah

ah, perapian di seberangku duduk

menceburkan ingatan ke lamunan

asap itu tenggelam aku!

malam-malam pernah berbaring beratap ilalang kering

mengejar jarak ubud-denpasar-airport

cerita menjadi kata-kata beku, kini

hampir tengah malam

beberapa toko menunda langkah

baju hangat, kemeja dan topi

memanjangkan hari jalan di sisimu

payung, akar-akar remang dari dinding tanah

memekik dalam diam hati:

mengapa kita berpisah?



kaukah yang memintas

dalam potongan sayur di piring salad

anak-anak itu mengangsurkan tiket

malam senyum, gerimis tipis

turun tepuk tangan di waktu kita menyeberang

memegang lengan kelam, tinggalkan keriuhan

kelam melelahkan hati,

malam menyimpan kenang

jalan-jalan memungut ingatan sepanjang malam

sempat, aku simpan sehelai daun kering

lalu remuk oleh amarahku



riuh tepi jalan, kini

memberiku tempat buat sembunyi

berkali-kali memandangi setapak

diseberang pasar telah berdandan

menyisakan bayang di pohon pohon

berdirilah di sebelahku menukar senyum

lalu kini menjadi sunyi yang pedih



kaukah yang melintas

menyapa dalam desau angin

memurungkan cahaya lampu lampu

mengherani aku: mengapa tak sanggup lupa

kenangan telah uzur, kalender puluhan kali diganti

kaukah yang memintas?

malam-malam ditepi jalan, menegur rahasia hati ucapkan selamat tinggal, kini

yang tak pernah sempat kita ucapkan.


(batubulan, tahun 2015)

BILA 1/2 CINTA, 1/4 NYALI PATAHKAN AKU

BILA 1/2  CINTA, 1/4 NYALI PATAHKAN AKU

masih,

aku lamunkan kau

tamasnya ke tepi pantai

ketapang-ketapang murung

cangkang-cangkang kerang

lukai jari manismu

'ceritalah tentang kekasihmu

bahagia ataukah dukacita

ombak berkali kali menyalami

perpisahan dikering matahari

keringatku menyerikan lukaku ’



aku cemas, menjadi pandir

berdiri rikuh karang-karang

sembunyi ikan dalam genang

menyurut laut purnama menjauh

ganggang tumbuh di rahasia waktu

lumut jatuhkan keberanianku



masih

aku menarik nafas mengusir sengal

apa yang dilukis hujan?

derai sedih warna-warni

sebab aku bisu, hilang ucap

buat membilang jumlah rindu

genangan dimataku menjelma gulma

tenggelamkan lamunan lamunan


masih,

membenam dibalik pasir

dihempas angin, dihempas takutku

patah, patahlah aku.

sekali itu masih di khayalanku

(batubulan, 2015)

KAU TAK BOLEH TAHU, AKU JATUH CINTA

padamu

lupakan jalan jalan bersisian

setapak berliku penuh bunga

dibahu kiri melihatmu senyum



kudongengkan kurcaci-kurcaci kecil

agar kau tertawa

lupa di bahu kananmu

kesedihan hati melelehkan perih

ikut melangkah ditiap-tiap tawa



di bidang lidahku terpahat kisah

dalam dada perahu-perahu sunyi

menepi menjauhi pantai

kau tak boleh tahu

pasir-pasir memasuki mata

debur ombak mencuri nafasku



padamu

kubikin langit jatuhkan hujan

membasuh keluh kesah

hingga kini kusimpan simpan tatapan

bila berkali-kali

kau tak boleh tahu

dalam igauku

kecemasan berbaring pilu

dekat telingamu, di hati:

"aku cinta, semoga kau tak tahu"

 (tahun 2015, batubulan)