Ritus Dewi Sri

MUNGKINKAH MUARA TRADISI MADAHA?

Cukup lama, sungguh lama, pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepala, bila menyaksikan tari rejang dalam upacara-upacara besar agama Hindu di Bali.Selalu pertanyaan itu henti pada penjelasan; rejang sebagai tari wali atau sebagai gambaran penyambutan kepada turunnya batara-batar(?) Bahkan Tradisi Rejang hingga kini selalu dilakukan menjelang hari Kuningan di berbagai desa yang berkaitan jika dicermati adalah 'jejak ritus' peninggalan Mpu Kuturan.

Sebuah manuskrip cukup tua, dari kekayaan 'kosa kata'nya mengisyaratkan ketuaan: manuskrip itu berjudul Hempu Kuturan: berisikan tata upacara kepada sawah, kepada Dewi Sri, Rambut Sedana. Berisikan pula mengenai tata krama terhadap mrana (wabah hama) seperti tikus (termasuk mrateka tikus), burung, ulat, khususnya berbagai hal yang berkaitan pertumbuhan padi di sawah, termasuk empelan, bawungan, tata cara upacara alih fungsi sawah bahkan membangun sawah.  Manuskrip ini memberi gambaran bait-bait suci dari era Mpu Kuturan. Sejak pembacaan awal, misalnya,"yan angrawuhken Nini, hunggwaniya ring bale hagung, manguyu-nguyu, 3, dina. Subak ika, yan wus hangaci-haci, saha rentheng, hunggahakna ring lumbung, phalaniya murah ikang pari, mwang sadhana, sing tinandur padha wredhi" ---Kata 'Bale Agung'  adalah nama yang paling khas dari adanya tri kahyangan tiga. Pada Pura Puseh di desa-desa tua dan juga pada Desa Bali Kunaakan selalu ditemukan nama satu bangunan bernama Bale Agung. Dalam awalan ini penjelasan mengenai usabha desa begitu tegas menyampaikan tujuannya adalah untuk pemarisudha; pembersihan dan penyucian, namun yang menarik adalah seluruh inti upacara ini bermuara pada Dewi Sri sebagai pujaan.

Sejak lama sering terdengar nama lontar dharma pemaculan, mengenai soal persawahan dan hari-hari melakukan kegiatan di sawah dengan upacaranya. Jika dibandingkan dengan manuskrip ini, Hempu Kuturan memberi banyak jawaban mengenai ritus Ngusabha, ritus-ritus suci kuna di Bali yang sampai kini diwarisi, yakni pada desa-desa tua di Bali; Dewi Sri dan Rambut Sadana ( perhatikan pula pada manuskrip-manuskrip suci lainnya) dalam Agama Hindu di Bali adalah Btara-Btari yang sangat tua sebagai pusat tujuan upacara. Menjadi menarik kemudian bahwa dalam manuskrip ini; pelaksanaan piodalan dan upacara-upacara di Pura Puseh  memberi penjelasan bahwa kehadiran tari rejang itu sama dan sejajar kehormatannya dengan posisi perlengkapan banten. Jadi bukan hiburan atau dengan tujuanmenghantarkan ataukah menyambut; ini adalah kelengkapan persembahan.

Yang paling menakjubkan tentunya adalah Ritus kepada Dewi Sri; dari tata krama memperlakukan sawah, sungai, dari menanam hingga memotong padi; bahkan membersihkan pundukan dan memangkas rumput  ternyata ada bait sucinya. Isyarat yang dapat dipahami era Mpu Kuturan merancang- bangun Desa pakraman, bahwa pada era itu kemajuan pengairan telah mencapai tingkat yang sempurna, pengelolaan sawah juga demikian. Sebab sebutan aungan misalnya; lorong jalur air menembus bukit sungguh dijelaskan dengan detail.  Jadi, dalam manuskrip ini Ritus Dewi Sri menjadi dasar dan pengikat seluruh rangkaian upacara hingga ke Pura Puseh. Sejak lama, selalu dugaan bahwa budaya agraris adalah ibu religi agama bali ini juga seni budaya dan peradabannya, ketika membaca manuskrip ini menegaskan pernyataan-pernyataan itu tak hanya 'struktur' dan runutan juga bait-bait sucinya memberi pengetahuan suci yang menakjubkan bahwa kemungkinan pemujaan dewi sri dan bhatara sadhana adalah sungguh tua (bandingkan dengan Tantu Pagelaran atau manuskrip suci lainnya misalnya mengenai Canting Kuning).

Yang menarik adalah munculnya Puja Daha dalam manuskrip ini, dalam ritus Dewi Sri yang begitu runut dan detail; dari menanam padi (dalam manuskrip ini disebut; pari), perubahan sebutan nama Dewi Sri ketika dari padi di lumbung, ke alat tumbuk, kemudian ketika beras disimpan dalam penyimpan beras, hingga berbagai pantangan, hal-hal yang sifatnya tabu dilakukan-- dinyatakan dengan tak hanya sebagai peringatan suci, namun dengan argumen disertai mantra. Kemudian pemeliharaan ekosistem dalam sistem tahunan di sawah dan kelak berkaitan dengan Ngusabha desa, yang nantinya akan mengaitkan bagaimana keagunga Dewi Sri sebagai batara Nini disingasanakan di Bale Agung di Pura Puseh, setelah itu tata krama memperlakukan padi di lumbung, bagaimana tingkah pola manusia di sawah; niyan tingkah ing wong hasasawahan.  Bagaimana tata krama menyabit rumput, tata cara memanen, bahkan mantra memanennya disebutkan.  Jadi seakan kehidupan suci dewi padi ini dijelmakan dalam ritus daha. Yang selama ini posisi daha yang sekata artinya dengan remaja putri, sering disamakan dengan kegiataan pembinaan putra-putri ala gaya lama.

Di beberapa desa tua di Bali seperti Desa tenganan, Bungaya, Asak; dst tradisi madaha ini masih dilaksanakan begitu pula dengan ngarejang. Terbersit dalam pikiran saya, saat membaca bagian:  bagian Haji Pari Hangumbang Sri Mider.ketika Sang pujaan menjadi beras, perlakuannya tetaplah sungguh dengan hormat, ritus mencuci beras, kemudian memisahkan jelijih dari beras, lalu disebutkan Iti Puja-Daha, wenang gelarakna, maka pamali sumpah ring gaga sawah, bait sucinya sungguh panjang; Om Sang Tabe Pukulun, ling ira Bhatara Iswara, tumurun ring Kahyangan ira, hangastrenin pari pujakathan ing hulun maka landuh ing gumi, hangadekaken hudan, manadi tang sarwa tinandur, phala bungkah phala gantung, rame pakriya-kriya haneneng Prabhu Mantri, mangadohaken sasab marana, Ong Sri yawe namu namah swaha. O, Sang Tabe yata Pukulun, ling ira Bhatara Brahma, tumurun ring Dang Kahyangan, hangastrenin pari pujan ira, kretab ing gumi pretiwi, maka landuhan ing hudan, manadi kang sarwa tinandur, phala bungkah phala gantung, rame pakriya-kriya haneneng Prabhu Mantri, hangundurrakna sasab marana, Ong Sri Yawe namu namah swaha.......dst"

Pada pertengahan bait suci ini, isyarat kebudhaan Mpu Kuturan disuratkan dengan indah: Om sang bragala, sang bragali, yan sira tan harep lukata, haja sira hing kene, haja sira hamangan parin ira Bhatari Sri, yan sira harep lukata, mati kita mangke, tinemah den ira Bhatara Nawangsang,mogha kita hembet bengkang, mati tan mati.....dst"

Barangkali patut direnungkan kembali, melihat kondisi Bali yang makin jauh dari tradisi pertanian, alih fungsi sawah yang begitu cepat, perubahan perlakuan terhadap padi dan beras itu hanya sebatas bahan pangan, keperluan informasi pariwisata yang membahasakan apa saja dengan kalimat eksostik; perlahan ritus Dewi Sri dengan rejang, ritus nangluk mrana sebagai penanganan hama yang ramah lingkungan, lalu pengasuhan sang manusia di pawongan dalam kaitannya dengan Parahyangan, yang sering dikaitkan seolah sebatas kegiatan hubungan sosial kemanusiaan; pelahan akan menjadikan ritus-ritus itu diwariskan dengan tanpa makna. Bahwa bagaimana ritus Dewi Sri ini mengikat manusia bali itu pada kesadaran akan kebutuhan dirinya sebagai mahluk hidup akan sandang,pangan dan papan. Bagaimana  ritus Dewi Sri ini bagaikan bayangan dalam cermin dengan ritus Rejang maupun Daha yangdihadirkan di pusat kekuasaan pakraman; yakni di bale agung ataukah dalam panggungan.

Berbagai pertanyaan bermunculan kembali, dan sesungguhnya,begitu banyak pengetahuan suci mengenai Bali dan agamanya, patut kini kembali bersama digali agar kelak tak terjadi kesalahpahaman yang bisa saja menjadi bumerang bagi diri yang termanjakan oleh puja dan puji, tanpa berani untuk terus merendahkan hati, belajar mengenai Bali, bagi orang Bali kini adalah bekal bagi masa depan.

( Cok Sawitri, singarsa, 25 maret 2015, semoga mendapatkan tambahan informasi lagi)

Ritus Air

TIRTHA NGARAN AMERTA

Air adalah salah satu dari Panca Mahabhuta (lima energi besar/agung) yang membentuk bhuwana agung juga bhuwana alit. Orang Bali dahulu menyebut agamanya secara karib dengan sebutan “Gama Tirta". Karena itu ada perilaku khas kepada air, yang tidak semata menempatkan air sebagai dua hidrogen dan satu oksigen.Tidak sebatas rumus H2O. Air (aik- we, juga sebutan air diwaktu lampau), yeh, toya, banyu, kemudian air yang dimaknai dan ditempat sebagai 'mahluk agung'  itulah disebut Tirtha.

Perilaku kepada air menyebabkan kosa kata mengenai air ini begitu melimpah; bedak (haus), ngelak (luarbiasa haus),  kasatan (bahasa halus untuk haus) dan situasi kondisi yang dialami melahirkan kata seperti kebus bahaang, tuh gaing, ngerintung,dll: suatu pernyataan kebutuhan akan air. Dan tentu saja menarasi air; perjalanan air, dari ngetel, ngericik, ngebyor, membah, makin mengisyaratkan betapa air begitu lekat dalam hidup keseharian. Peristiwa hujan dalam kosa kata Bali makin menjelaskan betapa air adalah bagian yang sangat naluriah; ujan, sabeh, ngerimis, bales, ngemongmong, nempias, dll, lalu air yang berlebih limpahannya disebut dengan kata medaluran, blabar, ngulung, nyereong (suara mirip raungan di hulu), ngebek, peres; dst. Dan sumber mata air disebut sebagai kelebutan, kata ini akan disamakan dengan 'denyut ubun-ubun' disebut siwadwara. Lalu akan dikenal kedokan ( cerukan kecil, biasanya berjejer ditepi pantai atau sungai), cibukan, semer: wanu, danu, segara, dll dan bali memiliki kekariban dengan groboyogan (air terjun), pancoran, pancuran, kecoran, kemudian air yang digunakan untuk menghitung waktu dari tluktak sampai penalikan, dsb; akan membawa pada gambaran bagaimana air menjadi batang hidup bagi bahan pangan, yakni persawahan.

Di sawah, air adalah senjata sekaligus juga nyawa. Karena itu air dalam tubuh manusia akan memberi isyarat kesehatan atau tengah kesakitan. Ngeyem (badan mendingin), mabuah-buah (semua pori mengeluarkan bintik air seperti embun kecil), leteg (luarbiasa basah disebabkan keringat ), kembah, kembung, lesit:dst. Perhatikan bagaimana ritus membangun 'empelan' ini sebagai lintasan jalannya air, dalam lontar Hempu Kuturan ada mantra yang indah dan mengisyaratkan, 'jalan' untuk air, 'menunda' jalannya air, membelokan air pun ada tata kramanya," Pukulun manusan paduka Bhatara, hatur minta lugraha, hatur huning hangaturin Bhatara, maka pangundang Bhatharii Gangga, malejeg hamor ing kukus ing menyan majagawu, Hyang Siwa Sadha Siwa Parama Siwa, katuran padha tumurun, tumuli tedhun bhatara Sakti, Sang Hyang Tleng ing Madanu, Sang Hyang Nini Gangga Dewi, hiniring den ing widyadhara-widyadhari, hakumpul ring kahyangan pangulun hempelan, mwang sang asedahan Tukad, padha katuran saring ing pamdehak canang banten sarwa suci, katuran hamukti sari, ngayab sarin waha".

Bagaimana air yang melintas sungai-sungai, orang Bali memiliki rasa hormat yang luar biasa kepada sedahan tukad; mereka yang menjaga sungai. Perhatikan ritus yang berkaitan dengan sungai ini, ini dari tradisi Kuturan, jika mempersembahkan sesuatu kepada sungai, maka mantranya,"Pukulan sedahan tukad, kaki sedahan tukad pancing, kaki sedahan empelan, bantang buwah bantang nyuh, bantang tueuh hempelan ingsun. Poma. Poma.poma" perhatikan kemudian bagaimana posisi sang air dalam lanjutan ritus itu," Jeng nini Bhatari Gangga, manawi kurang manawa luput, hangaturan pasajin ingsun ring asedahan tukad, makadi paduka Bhatari gangga, puniki sasantun ingsun. Om AM Um Mam, Om bhur Bhuwah Swaha, sidhir astu ya namah" dan jika pernah mendengar bawungan, bendungan; yang posisinya sebenarnya menampung dan menunda sejenak perjalanan air, selalu ritus menempatkan sang air, agar sudi menolong, tidak menumpahruahkan, tidak menjadi ganas, tidak menjadi penyakit, selalu dimohonkan.
Air itu dalam keyakinan agama Hindu di Bali menjadi mahluk agung, 'tirtha ngaran amerta': air adalah hidup. Kalimat ini sungguh dalam, air itu mahluk, hidup itu tergantung benar kepada sang air. Tidak terbantahkan, tubuh manusia mendekati 80 persen adalah air. Membayangkan kerumitan dan kerahasiaan perjalanan air dalam tubuh, orang Bali membayangkan kesemestaan. Bahwa ada putaran perjalanan air itu tak pernah henti, tak pernah habis. Namun medianya, tubuh dan alam hanyalah media, air bisa datang, dapat juga pergi. Dapat sembunyi, dapat pula memperlihatkan kemegahannya. Air dapat merayu, juga dapat murka semurka-murkanya.  Itu sebabnya air kemudian ditempatkan sebagai tempat peleburan segala kotoran, segala mala, duka cita. Kesegarannya itulah yang menyentuh denyar kesadaran.  “U" Ngaran uddhakam ngaran gangga,ngaran tirtha suci. Uddhaka adalah kata yang tak semata merujuk sebutan pada samudera (laut) namun sebagai tempat suci. Karena itu Air suci atau yang disebut Tirtha, dikenal berjenis-jenis dan bertingkat-tingkat. Ritus perilaku memposisi air sebagai badan suci ini, jika untuk persembahyangan maka dikenal dengan tirtha pembersihan dan wangsuhpada. Keduanya akan hadir dalam awal dan akhir persembahyangan, yang tirtha pembersihan biasanya dibuat oleh Sulinggih atau karena permohonan oleh pemangku;dll.

Ritus 'membadansucikan' air ini membuka wawasan luas, mengenai ritus tua, yang memberikan dasar keyakinan kepada penganut agama Hindu
Bali. Pada tradisi kepamangkuan, terutama yang menjalankan permagin Sang Kul Putih, disebutkan jika untuk diri, dibenarkan membuat tirtha sendiri, " Ong surya maha gangga ya nama swaha, arung nala dewa maha gangga ya nama swaha, ong jagat karana ya nama swaha, ong bhang dewa sakti ya nama swaha, Ong Ah ksama karana ya nama swaha, Ong Ung prastawa ya nama swaha, Ong Pat paramasuka ya nama swaha". Bandingkan kemudian bagaimana para sulinggih membuat tirtha itu, disebut ngarga. Tentu ada proses persiapan yang teliti untuk menetapkan kemudian pengucapan kuta mantra ( etikanya saya tak dapat menuliskan isi mantranya), namun ada langkah-langkah yang menurut keyakinan, bahwa air itu adalah 'mahluk agung' yakni pada proses ketika Sang Sulinggih menulisi air yang diletakan dalam Siwambha, alat tulisnya adalah bunga; yang ditulis adalah tiga huruf suci disertai puja tri Purusa Mantra.  Jika dengan penuh meditatif memperhatikan maka gerakan penulisan itu melintang dari utara ke selatan, kemudian air dalam siwambha itu diputar tiga kali, searah gerak jarum jam dan biasanya akan disertai puja 'Amrta saptawaja'.  Perputarannya menyatukan huruf suci dalam pembayangan menjadi  lambang tuhan dan arah ke kanan itulah amrta: air kehidupan.  Ritus ini memberi pembayangan akan jalannya air, bahwa hulu-hilir, tidak serta merta karena ketinggian dan kerendahan, atau di atas atau di bawah, air memiliki langkah memutar. Hidup itu pun dalam keyakinan orang bali adalah putaran. Jantera. Dalam ritus lainnya, dikenal pula dengan sebutan 'nuur', memohon air suci, dilakukan oleh para pemangku, kadang disebut wangsuhpada, kadang disebut banyun cokor. Dan cara memercikannya pun tak sekedar memercikan air, dalam lontar kusuma dewa perilaku memercikan banyun cokor ini terutama kepada manusia," ong tirtha kamandalu, winadahan cacibuk mangga, asing inum ilang mala, ikang sudamala papa klesa, Ong sri we nama swaha"     

Agama air ini memang  sangat tua, menempatkan air sebagai yang suci, sebagai pengurip, pemberi hidup. Bahkan mendorong penciptaan, bahkan kemudian menyelesaikan tugas hidup. Dalam ritus ngaben misalnya, dikenal sebutan tirtha pemanah, penembak dan pengentas. Jadi lahir, hidup dan mati; air ini yang mengitari. Begitu rupa. Jika jelajah dibuka, dan kini dalam kondisi lingkungan hidup yang penuh dengan kerusakan dan keluhan. Maka kembali mempelajari isyarat-isyarat dari ritus air sungguhlah meyakinkan hati bahwa air itu adalah hidup. Tirtha ngaran Amerta. Karena itu, tidaklah mungkin menghindar untuk tidak melakukan pemeliharaan kepada air sang hidup.

(BAGIAN 1. MELIHAT ANAK KECIL BERMAIN HUJAN, cok sawitri, 2015)

Bali, me'nyepi' pada sebuah negeri republik

Bali, aku bertanya, tahun berapa engkau menjadi bagian negara Indonesia? Mungkin baru tahun 1950-an, saat kemerdekaan Indonesia diucapkan, Bali masih dalam kuasa-kuasa transisi antara Belanda dan Jepang. Sedang Nyepi telah lampau dilaksanakan di bali, bahkan sebelum kekuasaan raja-raja Bali. Dalam tradisi tatwa Bali, maka Nyepi adalah perintah Hyang Pasupati kepada tiga putranya Hyang Gnijaya berstana di gunung Lempuyang, Hyang Putranjaya berstana di Gunung Agung, Hyang DewI Danuh berstana di Gunung Batur, ketiganya disebut dengan penuh hormat sebagai Penyiwian Trilinggagiri. Selanjutnya diyakini kemudian Hyang Pasupati kembali mengutus empat putranya, agar ke bali, agar pulau itu stabil. Bali saat itu digambarkan dengan kalimat suci: Duk tan hana paran-paran. Dengan kedatangan empat putranya, maka dikenal kemudian dengan saptalinggagiri; kedatangan mereka itu bertepatan dengan Perwani Tileming Kasanga ( untuk refrensi mengcek kesahihan, silahkan cek Babad Bhatara Rarasa dan lontar Bhisama-Griya Buduk- tulisan Bapa Gede Sura-1992): disanalah salah satu perintah yang harus diemban adalah melaksanakan Berata penyepian. Izinkan saya mengutip," ....brata penyepian lwir sawung anggeram anda, yan tan panes awaknya tan lumekas ikang anda. Yan tan sepi ing idep, sepi ing pamrih, sepi ing gawe, tan molih yoganta. Iki ngaran penyepian. Ingon-ingon Dewi Mas Ayu Danu kang gineseng- dening apwining giri Tolangkir, mangke juga pamarisudha ning ingwang. Poma. Poma. Poma. Uluning bawi manadi mrana tikus, walungnya manadi walangsangit, jejeronnya manadi mrana tan pasangkan. Yan pageh samanta ratu ngamong rat, rong puluh taun sapisan hane mrana wangsangit hana mrana tikus. Yan tan pageh tan wilangan dina mrana pasangkan dateng. Iki rungwakna, kaki patuk nini patuk angadegaken maring pasar agung. Ni Bhuta kala katung pinaka pangsaranan pasar, soang karya ri basukih atakwan pwa ring pasar agung, yang tan prasisa kabehan, ke wala jejaten juga wenang...."-- peristiwa ini jauh lebih tua dari era Raja Marakata, jauh lebih tua dari kedatang Mpu Kuturan sang pendiri desa pekraman dan kahyangan tiga:dll, jauh lebih tua dari era Gelgel. Jadi tradisi nyepi, dapat dijenguk berkaitan dengan upacara Nangluk Mrana, di pasar hingga ada penyiwian untuk tiga jenis epidemik di Bali yakni; Jro Ketut, Jro walang sangit dan Jro kedis perit (silahkan cek ke pura pasar agung)

Maka ritus nyepi ini bergerak dari satu era ke era lainnya, dan dalam jajaran bentangan upacara-upacara di desa-desa bali kuna (bukan bali mula) ditemukan berbagai jenis nyepi dan di era selanjutnya nyepi juga dilaksanakan ditengah runutan upacara besar yang disebut nyuwung. Dan entah berapa kali pendatang tiba di bali, menjadi kemudian penduduk Bali, nyepi terus dilakukan. Sebab Saptalinggagiri itu tetap ada. tetap diyakini, tetap menjadi dasar dari kestabilan pulau ini. Berbilang-bilang kisah pertemuan tradisi budaya dengan budaya luar, dengan negeri cina, mesir, dst; jejaknya adalah pada karya seni, artefak, kuliner; dst. Dan selama itu, Bali adalah hati yang terbuka sekaligus kokoh pada komitmen awal yakni menjaga kestabilan pulau bali ini. Maka era Jayakesunu, lebih menegaskan (era Singamandawa, anak wungsu, dkk); ini adalah era penguatan pencerahan untuk tetap menjaga kejatimulaan bali itu dengan tetap merayakan Nyepi dan Kasang, galungan, kuningan, purnama, tilem, semua tumpek. Itu adalah sejatinya 'agama' yang disimpan dalam upacara-upacara. Bukan kali ini saja Bali didatangi oleh orang luar, bahkan setiap era. Dan semuanya tahu, bahwa Bali memang agamanya berbeda, tata caranya juga berbeda dalam memperilakukan keagamaannya. Sekalipun kemudian masuk agama budha, Hindu (siwait), dll, bahkan di era Belanda, penjajah ini pun memahami bahwa Bali ini memiliki tradisi yang sangat bagus untuk menjaga keharmonian; tidak hanya pada hubungan antar manusia, namun dalam menjaga alam (lingkungan). Lalu Jepang pun demikian. Maka peradaban Bali itu; sebagai negeri sudah mantap dan jauh dahulu kala telah memiliki hubungan internasional.

Maka ketika bergabung ke Indonesia, Bali pun sempat bargaining persoalan agamanya. Bali, pulau kecil ini tidaklah meratap untuk bergabung, tetapi dengan syarat bahwa agama, budayanya, dan seluruh keunikannya dihormati dan dihargai dalam tata negara Indonesia, maka Bali akan menjadi bagian yang setia. Jika kini, ada yang menyoal; apakah pelaksanaan nyepi itu memaksa warga yang bukan hIndu bali dan dikait-kaitkan dengan toleransi dan hak asasi; bahkan menjadikan kewilayahan NKRI memberikan kebhinekaannya kepada semua warga, sehingga seharusnya yang non Hindu Bali boleh tidak ikut nyepi (?)--Saya tidak menjawab, tetapi saya hanya akan menjelaskan; bahwa Bali ini memang memiliki perbedaan dan barang siapa yang hendak hidup di Bali, harus menyadari; bahwa di masa ini, salah satu asset ekonomi Bali, yang menghidupi kebanyakan bukan orang Bali adalah dari tradisi, agama, budaya dan seni. Bukan dari pemandangan!. Nyepi adalah ritus untuk Bumi dan semesta, ini sifatnya tidaklah untuk meagamakan, namun ini spiritnya kepada siapapun juga yang tinggal di bali adalah untuk mengajak dan menyadari; bahwa ada panca mahabhuta; lima energi besar, yang menjadi kekuatan kehidupan itu perlu diberikan ruang untuk mengobati dirinya. Nyepi adalah proses penyembuhan, air, udara, tanah, suara, dst; seluruh elemen lingkungan hidup ini dalam era masa ini apalagi; polusi, polutan; dst. itu perlu direhat sejenak; secara modern; nyepi adalah terapi terbaik bagi alam semesta ini. Karena setiap orang; mau agama apapun; dia perlu udara, dia perlu air, dia perlu keheningan; bukan kebisingan, dia perlu merasakan belajar dalam kegelapan, untuk menghargai energi cahaya; dst. Karena itu, Nyepi menjadi inspirasi kepada seluruh dunia mengenai hemat energi dan penyelamatan lingkungan. Ini jawaban saya untuk siapa saja yang menyoal nyepi dan merasa tak nyaman saat berada di Bali. Dan ingatlah, Bali dan peradabannya, jauh ada sebelum Indonesia ini ada, dan kami semua membagi keselamatan dengan perilaku nyata. walau tak sempurna, namun kami yakin, udara, air, telinga anda, dan banyak lagi yang lain, disegarkan dan menjadi bagian dari tubuh anda dalam menyehatkan diri anda secara lahir dan batin, sehingga anda bisa melakukan keyakinan anda masing-masing dengan lebih teguh dan kokoh. Inilah duka cita saya, saat membaca hinaan, caci maki serta protes mengenai nyepi di medsos, yang saya baca dengan kepedihan sekaligus merasa seharusnya; kita semua dapat saling menjelaskan apa tujuan dan hakekat dari nyepi. Salam damai. (cok sawitri, Singarsa, 2015, 22 maret)

Ibu, kapan nyepi itu kapan mulainya?

Menikmati gelap di serambi, ibu saya dengan ingatan berayun-ayun, sekelebat entah apa yang melintas dalam ingatannya," Nyepi itu kapan mulainya? dahulu pastilah tidak seperti sekarang rasanya, dahulu belum ada listrik, kita semua mengenal malam sebagai gelap, hanya sentir...obok...kadang obor di halaman...sundih!" --Entah. Saya berusaha membiarkan ibu mengingat, agar ingatannya berjalan pelahan. Lalu terdengar hela nafasnya,"dulu, ya...saat putra=putra Batara Pasupai dikirim ke Bali ya....itu cerita yang kita tahu ya..."-- Mungkin, saya cukup takjub, dalam gelap saya tak mungkin melihat ekspresi wajah ibu. Lalu disaat saya merasa ingatan ibu akan mencair dari kepadatan kepikunannya,"kenapa listrik mati? PLnnya rusak lagi?"

"Nyepi, bu..." saya menyahut. Ibu saya kembali tenggelam dalam diamnya. Saya kembali memancing, kira-kira kapan bu, Nyepi itu mulai dilakukan? Ibu saya tidak menyahut, kemudian tiba-tiba berkata," sejak lama, sejak kepit komaknya bali ini...Pedande Nabe dulu pernah cerita, sejak lama....sejak Bali belum ada banyak manusia..." --Saya memilih diam, takut ibu saya beralih lompatan ingatannya,"sejak tahun berapa? abad berapa? Raja siapa?"

Itu zaman betare....jawaban ibu membuat saya tersenyum, itu artinya gugur sudah hitungan zaman, era, arkeologi, dan lain sebagainya. Sebab tak terbayangkan awalnya jika itu menyangkut awal kedatangan putra=putra batara pasupati. Artinya sejak lampau benar, nyepi itu diaadakan. Dan saya pernah membacanya, tentang catatan tua, mengenai nubuat suci mengapa nyepi dilakukan, itu memang perintah batara pasupati, leluhur dari penguasa- saptagiri. Ibu saya kembali diam, menikmati gelap,"sampai kapan listriknya mati?" tanyanya dengan kembali. Saya menyahut, "Ini nyepi, bu..."--saya tersenyum, ibu kembali bergumam dalam gelap di serambi.

SENGUE

senyap senyaplah aku
berenang dalam gelapmu
pantai tak jauh
gelombang beri buih
tanda tanda
bintang berbalap kerlip
hilang suara, hilang riuh
kau dan aku pernah mengira jalan terang itu
gelap tak menutup mata
hati miliki api yang menyala
melihat tepian
buih-buih kemilau
cemburukan bintang
kini senyap senyaplah aku
berkecipak dalam terangnya gelap
percayakah kau
jalan terang itu
sesungguhnya senyap
(SERI PEMBURU BATU, 2015, cok sawitri, sisian)

Ibu saya mengintip nyepi

Pagi sekali ibu saya bertanya pelan,"sekarang nyepi ya?" saya menjawab, ya. Ibu saya memang sudah sangat pikun, tak lama kemudian ia bertanya lagi,"hari apa ini?" saya menjawab,"nyepi..." Lalu ibu saya melangkah mendekati jendela, menyingkap korden dengan pelahan, ia mengintip ke jalan. Rumah kami memang letaknya di pinggir jalan dan di sebelahnya balai banjar." Tidak boleh ke jalan?" tanyanya kepada saya,"Ya, tidak boleh. Nanti ditegur sama pecalang..."

"Tidak ada yang jualan. Pasar tutup..." kata ibu saya sambil melangkah kembali duduk, minum kopi dan tersenyum,"tidak boleh menyalakan lampu nanti malam?" Ibu saya asyik sekali dengan dirinya,"artinya sipeng....dulu boleh ke luar, jalan-jalan tapi tidak boleh membawa apapun ditangan...kapan mulai pemerintah menjalankan sipeng?" tanya ibu saya. Saya tersenyum," sudah lama..."

Di siang hari, kembali ibu saya bertanya,"hari apa ini?" kembali saya harus menjawab,"Hari nyepi..." kembali ibu saya mengintip dari balik korden, melihat ke jalan,"Tidak boleh ke jalan ya?"

"ya, tidak boleh. Nanti ditangkap pecalang..." jawab saya. Ibu saya tertawa,"pecalang tidak menangkap, hanya menegur dan memberi denda, kalau dahulu di bawa ke jaba pura puseh, itu yang melanggar ke jalan saja, kalau di rumah, pecalang hanya boleh menegur...."--- Saya mengangguk, mengiyakan. Ibu saya dengan kepikunannya nampak mulai berpikir," ternyata mengalah juga kuasa pemerintah ya dengan tradisi kita....jalan sepi, pasar tutup...tapi kita di rumah hanya puik sama listrik, tidak mengeluarkan uang..." ibu saya tertawa sendiri, seolah dalam perasaan menang. Saya mencoba memancing agar ibu tetap dalam kondisi jernih diajak bercakap,"airport juga ditutup...semua toko ditutup..."

"Iya, jumah jak umahe ten kapiutangan sekenne jak duwen pemerintah-e..." ibu saya tersenyum, makan dengan nyaman. Mengangguk-anggukkan kepala. Dan saya tersenyum, mencoba memahami apa yang dipikirkannya. Bagi ibu saya, nyepi pemerintah, nyepi nasional sekarang ini mungkin sesuatu yang baru diikutinya, apalagi dengan gaya sipeng. Sebab dahulu ibu tahu banyak desa melakukan nyepi desa, dan nyepi desa sangatlah ketat. Tergantung jenis nyepinya. Jika desanya punya tradisi nyepi luh muani, maka akan terjadi perubahan arus relasi ke publik bahkan kewajiban domestik.Kalau nyepi desa, artinya sawah, ladang, dst akan tidak boleh dikunjungi. Semua diam di rumah, hanya disekitaran rumah. Namun brata penyepian yang sifatnya 'brata ke dalam diri' dibandingkan brata nyaraswasten, brata galungan, dst; lebih sifatnya kepada menjaga bhuwana agung. Ibu saya kembali mendekati jendela, kembali mengintip ke jalan," ibu mau melakukan brata penyepian?"

Ibu saya tersenyum," kan sudah, tidak jalan, tidak menyalakan listrik..." lalu dahinya berkerut," lentikan api di kayun ane pademang, ampunang ngae-ngae mantra...mapitulung ke gumi, apang buin mebayu, nak mula ngoyong di jumah... muspa ten dadi, batarane mase perlu istirahat. Nak mula patut; Ngoyong...oyongan ragane..." lanjutnya, ketika saya katakan, ada beberapa teman melakukan puasa, mirip monabrata hari ini...ibu saya baik bertanya,"gegodan napi? uli pidan nangun-ne?"

Serius, saya kehilangan kekuatan menjawab. Ibu saya paham tata krama brata, dan paham mengenai tata krama brata gumi. Jadi ada yang untuk dilapis luar diri, kembali ke dalam rumah, kembali ke dalam diri, membiarkan bumi, jalan, memahami ketiadaan terang benderang; dst, sebagai suatu hal yang membedakan tegas secara bayangan; dimana posisi bhuwana agung dan alit. Ibu saya sudah terlalu pikun, untuk menemukan suatu penjelasan mengenai brata gumi dan brata dalam diri; yang menurut ibu; dalam kepikunannya, anak nyepiang jagat, ten uyut, ten melali, ten ngujang-ngujang. Di jumah, ngerasaang elah ngelah umah. Ampunang ngartiang lebih, napi buin kanti matenget-tengetan...nyanan bingung idup-e. Nyanan makejang tepuk salah...

Kembali ibu saya mengintip jendela, melambaikan tangan, karena ada pecalang liwat,pecalang itu menoleh dan tersenyum,"sudah makan?" ibu saya menyapa dan tersenyum, menikmati sekali. Kuasa diri, kuasa rumahnya. Di luar sana kuasa publik terdiam. (MENIKMATI HARI NYEPI, TAHUN 2015)

Renungan Nyepi, Bagai Telur Yang Dierami

BANYAK TEMAN & KENALAN, MENJADI PEMANGKU

Selalu saya harus terkejut bila pulang kampung atau saat sembahyang ke beberapa Pura Sad Kahyangan juga bila pergi kondangan, tiba-tiba bertemu teman, yang sudah berbusana menciri-cirikan telah melakukan pewintenan Eka Jati, otomatis saya bertanya," sampun ngiring, puniki?" dengan sumringah selalu saya mendapat jawaban,"inggih..." disertai cerita mengapa dirinya melangkah melompat, usianya masih cukup muda untuk memutuskan memasuki tahap yang menurut saya; sulit saya laksanakan. Dan tentu saja saya harus mengubah cara memanggil: Jro! Tetapi menjadi pemangku memang tidak lagi semata-mata panggilan hati, kadang terkesan seperti trend; kadang-kadang karena ikut arus lingkungan. Semula ikut kelompok tirtayatra, kemudian mewinten, kemudian melangkah memasuki tahap menjadi pemangku.

Mewinten untuk pemangku berbeda dengan mewinten yang dilakukan pada umumnya banyak orang yang beragama Hindu- Bali. Jika untuk pribadi, tujuannya untuk menenangkan diri dan memperdalam ilmu keagamaan, memang melalui tiga tahapan, pawintenan saraswati, ini proses yang disebut membuka (inisiasi) sederhana untuk tujuan memperdalam ilmu pengetahuan, kaum pelajar biasanya melakukan hal ini. Jika kemudian dilanjutkan untuk ke langkah belajar yang menuju keagamaan maka dilakukan pewintenan Marerajahan, ini akan mulai memahami  langkah-langkah persiapan untuk memahami niyama dan nyama brata. Selanjutnya, akan dilanjutkan dengan Pawintenan dengan panugrahan, ini biasanya dalam konteks; menetapkan sang guru spiritual. Sedangkan untuk winten kepmangkuan akan dimulai dengan pewintenan sari; atau sering disebut mawinten ka widhi, yakni memohon langsung ke tempat-tempat suci yang akan diabdinya. Winten sari ini dilaksanakan tanpa pendeta, namun harus disaksikan keluarga, pengempon pura yang menyungsung pura yang akan diabdi, dan harus melalui tahapan upacara yang diyakini oleh pengempon pura tersebut.  Kemudian ada winten pemangku dengan Mepedamel; ini dipimpin oleh seorang pendeta, upacaranya mengikuti tata krama  yang ditradisikan sang pendeta dan disepakati oleh warga yang akan menjadikan pemangku itu sebagai pemuka.

Pewintenan juga dapat dilihat dari tingkat upacaranya, perhatikan bunyi dari lontar pewintenan ini," Nihan tingkahing pewintenan di bunga, nista ngaranya, kramania: angadegaken Sanggar Tutuan 1, genep sakraming Daksina sarwa bungkulan, artanya 1725, canang tubungan maarepan atanding, mwah canang gantal, burat wangi Lenga wangi atanding, rakania nyahnyah gula kelapa aceper, biu mas mwang bubuh perecet winadahan keraras pisang tahen 22 takir, bubur saraswati winalunan roning wadira 22 siki, sami dados atamas......dst"—jadi memang ada jelas perintah aturan dalam tatakrama bantennya. Secara singkat, jika memperhatikan upacara tingkat nista saja, maka sarana bantennya akan mensyaratkan prayascita,pengulapan, kemudian ada banten untuk Sanggah Surya; daksina dua buah, peras dua tanding, suci dua soroh, kelungah dikasturi, dan apabila itu untuk pura-pura dengan persyaratan tertentu, kebiasaan yang disyaratkan akan disertai pula kelengkapan banten pajati, sudamala, pengambian, dll. Boleh kemudian bayangkan untuk tingkat madia dan utama.

Namun syarat upacara ini kerap terlewati, dengan mudah, dengan cepat. Teman, kenalan, dan juga beberapa keluarga tiba-tiba berstatus menjadi pemangku; sebab merasa telah melewati proses upacara. Sehingga kesannya mudah menjadi pemangku asalkan sudah hapal mantra pemuspaan, ngatebang banten; dll, semua mantra-mantra yang diperlukan untuk ngatebang banten sekarang mudah diunduh bahkan atau dibeli secara mudah di berbagai toko buku. Namun yang terasa kemudian ada kesan; kedangkalan dan penyeragaman, ketika ditelisik dengan cermat. Seringkali yang muncul dihadapan banyak orang adalah; mudah kerauhan, mudah seolah-olah mendengar suara-suara, mudah melihat ‘sesuatu’,  mengartikan semua hal sebagai paica: dll. Kemudian begitu sibuk mencari tempat-tempat suci dan menterjemahkan diri sebagai yang siap menerima pawisik dan juga merasa ‘disayangi’. Kesannya memang atraktif sekali apalagi jika pergi berombongan dengan baju putih, kain putih, bija memenuhi dahi;dll.

Seperti biasa setiap kesempatan, saya selalu menyempatkan diri menemui para cendikia dan tentu dengan perasaan untuk meraihkan kebaikan

bersama. Beberapa waktu lalu, trend menjadi pemangku ini menjadi pemikiran, bahwa itu sangat bagus namun harus kemudian didorong agar menjadi;  ngaruruh ka jero, tan makeplag ka jaba. Harus disertai kemauan untuk memasuki diri, lapisan-lapisan tujuan dari dalam diri, tidak dibungakan hanya dengan penampilan dan kesibukan wara-wiri mencari tempat-tempat suci, menjungjung banten daksina, riuh murnama-tilem, namun sejatinya belum melakukan hal yang sebenarnya telah lampau ditawarkan oleh Yogin tertua di Bali dalam soal kepemangkuan oleh Sang Kul Putih.  Meski varian salinan lontar Sang Kul Putih bersisian dengan Kusuma Dewa begitu rupa banyaknya yang tersebar. Namun ada yang sepatutnya dijalankan sebagai dharma ing awak, yakni langkah-langkah Niyama Brata, bagian dari Yogan ning Yoga, yang mendasari sebagai latihan pengendalian diri. Sifatnya sungguh ke dalam diri, menata perilaku diri yang berkaitan dengan tujuan menjadi pemangku itu, yakni penyerahan diri dalam bentuk melayani sesama yang akan melakukan persembahyangan ke tempat suci.

Dalam pengamatan yang sederhana, ini juga ditemukan tata cara pengendalian diri pada para calon dalang, undagi; dll. Jadi memang ada

langkah-langkah melatih diri yakni; " Iti Sangkulputih.....Om Awighnamastu ya nama swaha. Nyan kramaning agem-ageman pamangku. Iti rumuhun kedehepakna ring sarira"  bahwa melatih ke dalam diri ini sangat diutamakan, sekalipun nanti kelak akan menggunakan tradisi puja yang beraneka ragam; tergantung nabe atau guru, atau desa, kala, patranya, namun untuk diri, penyucian diri inilah yang menurut hemat saya, sangat indah dan menggetarkan. Siklus kehidupan pribadi dalam pelatihan ini dimulai saat menjelang tidur," ri kala maturu, mantranya: Ong Sang Hyang Rambut Katomboh ngumandeling awah sarira ning hulun, guruning comma umanis, guruning suryya turu, swapna jagra ya nama swaha". Perhatikan kemudian bahwa hal-hal yang teramat pribadi pun disertai mantra; mawarih, makoratan, malamurud, masigsig (sikat gigi, dll), makramas, masuri (menyisir rambut), membuka pakaian, memakai busana, bahkan bila meludah, mencuci muka, atau akan berendam; mausuhan (menggosok badan), jika memakai kampuh, selendang, jika mengunyah sirih atau merokok, bila makan, memetik bunga, dst.

Langkah-langkah Niyama ini, pengendalian diri bagi  pemangku masa kini ini sering diabaikan, yang didorongkan justru penampilan phisik dan kesemangatan muspa ke berbagai tempat suci. Padahal, kunci dasar dari kebeningan kesadaran kemungkinan terletak pada fundamen ini.

Kebungahan hasrat untuk mendekatkan diri, dalam laku spiritual memang tidaklah mudah, namun kerap dikesankan mudah.  Kedamaian itu sesungguhnya sederhana, ke dalam diri, itu perlu proses yang panjang, jatuh bangunnya hanya diri yang tahu. Banyak sekali kitab penuntun untuk hal ini, dan memang seringkali banyak pihak mengira ini milik untuk golongan tertentu, sesungguhnya tidak. Yang membuat para guru suci enggan berbagi adalah sikap kita yang kadang hangat-hangat tai ayam, apalagi jika karena didorong oleh persoalan-persoalan pribadi; mewinten, menjadi pemangku, bukanlah katalis untuk melepas persoalan duniawi.  Persoalan duniawi harus dihadapi, harus pula dengan proses dan setiap saat disertai keinginan mendengarkan, bahwa perjalanan karma memang tidak terduga bagi siapa saja. (RENUNGAN NYEPI, seperti telur dierami kini, 2015)

Teater Adalah Kita






CATATAN TENTANG WORKSHOP TEATER ADALAH KITA


Tahun 2002 lalu, saya mulai memikirkan mengenai modul workshop teater yang tidak ala kadarnya. Sebab saya kerap mengamati dan mengalami, banyak pengetahuan mendasar mengenai teater tidak terbagi dalam proses pelatihan. Sebab kebanyakan pelatihan teater urusannya selalu disebabkan oleh tujuan target pementasan. Karena itu, workshop teater seharusnya berbagi akan pengetahuan teater, tidak terjebak dalam kisah-kisah definisi, mengulang penjelasan mengenai sejarah teater atau ceramah-ceramah yang diselipi contoh-contoh yang sepintas lalu, yang kesannya lintasan riuh, bergerombol dan berteriak-teriak. Akhirnya, pada tahun 2004 bekerjasama dengan Taman Budaya Bali, saya membuat workshop yang cukup panjang dengan sejumlah komunitas di Bali dan itu dengan ikatan hasil : yakni peserta didorong agar mau melakukan penulisan naskah dan disertai dengan janji, naskah yang terpilih akan didorong menjadi pementasan (sebagai produksi). Memang, proses yang panjang  itu memerlukan dana yang tak sedikit. Teater bukanlah jenis kesenian yang mudah mendapatkan dana, dan karakter yang harus dihadapi adalah keengganan untuk mau belajar dan berbagi pengetahuan, apalagi jika sudah merasa senior. Dan memang, harus berani menulikan telinga, menjalankan proses penawaran pembelajaran semacam ini pun pastilah tak lepas dari rasa suka dan tidak suka. Gratis sekali pun, akan tetapsaja ada prasangka.

Kegiatan tahun 2004 itu- pada tahap tertentu- berhasil melahirkan satu buku naskah karya anak-anak muda remaja dan kemudian mereka pun berproduksi dan pentas di Taman Budaya Bali. Dan setelah itu, saya memutuskan untuk melihat dari jauh, apa sebenarnya dampak proses workshop itu untuk beberapa kawan muda. Sebagian memang terus berkarya diberbagai kesukaan mereka, sebagian akhirnya lenyap menjadikan workshop tahun 2004 itu hanya sebagai kenangan. Namun sejak tahun 2009 ketika saya kembali ke Bali setelah perjalanan keliling ke luar daerah, saya kembali mengamati; bahwa proses latihan teater tidak memberi perbandingan yang jauh dengan apa yang saya amati sebelum tahun 2002.  Namun saya memutuskan untuk lebih banyak menulis dan berkarya lebih individual dengan beberapa teman dan komunitas yang secara kenyamanan bisa membuat saya lebih nyaman. Dan saya hampir melupakan modul workshop teater saya itu, hingga tanpa sengaja ketika saya menonton launching album svara semestanya Ayu Laksmi di Jakarta, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Aceh.

Dan tahun ini, tahun 2015, saya digugah oleh sahabat saya, begitu tiba di Aceh, sahabat saya meminta saya mengenalkan teater melalui workshop, tentu saja saya harus menjelaskan lebih awal, sebelum menyanggupinya; workshop yang saya rancang untuk teater tidaklah berbentuk ceramah, namun proses kreatif; bahasa kerennya itu seperti orang punya motor pergi ke bengkel, sudah bisa naik motor tetapi harus distune-up mesinnya. Sebab saya percaya, semua orang walau tidak pernah berlatih teater sekalipun, namun pastilah pernah menonton seni pertunjukan; dari pentas tari sampai musik, bahkan pastilah pernah ditugaskan oleh gurunya baca puisi, bernyanyi atau membaca Pancasila disaat upacara bendera. Berdiri di depan banyak orang atau menonton adalah elemen pengalaman yang paling kuat untuk mempercayai; proses belajar itu sebenarnya tidaklah sulit, semua orang mempunyai potensi untuk 'berkeinginan' pentas. 

Itu sebabnya, saya percaya melalui workshop teater sebenarnya adalah kebersamaan dalam waktu-waktu untuk menggugah potensi dalam diri atau talenta yang tak terduga, yang sebenarnya tidak tersadari atau tersimpan oleh ketiadaan kesempatan.

Sejak lama, saya percaya naskah teater (lakon, drama) adalah alat belajar dan pembuka bagi proses belajar teater juga membuka wawasan latar belakang peristiwa dan karakter, riwayat penulis dan penulisan naskah teater selalu memberi pengetahuan yang mengejutkan. Untuk Workshop berjangka waktu 6 hari, naskah harus dipilih kategori naskah drama pendek. Naskah yang teruji selalu menyediakan petunjuk-petunjuk untuk berpentas. Saya memilih naskah untuk 'workshop teater adalah kita'  empat naskah yakni: Lawan Catur, Kereta Kencana, Salah Paham dan Pinangan. Keempatnya itu akan dibedah dengan terukur. Teknik membedah naskahnya akan mengalirkan dampak pengenalan mengenai stop and go, top-tail; ini memberi peluang menjelaskan apa perbandingan perintah dalam neben teks dengan kemudian arahan sutradara saat melatih naskah. Seringkali sutradara dalam komunitas remaja dipilih karena dianggap lebih rajin atau lebih berpengalaman pentas. Padahal, naskah adalah sutradara terbaik dalam berlatih teater dan secara bersama sebenarnya jika bedah naskah berlangsung dengan baik akan terjadi penyutradaraan secara alamiah.

Langkah pertama adalah mendorong seluruh peserta menjadi kelompok kecil, empat naskah ini tak memerlukan banyak pemain. Jadi, idealnya jumlah peserta yang ikut  workshop memang 20 orang, di bagi menjadi empat kelompok. Setiap kelompok mendapat satu jenis naskah; yang segera dibaca

dengan cara seluruh dialog dibaca bergiliran- secara terus menerus. Dari sini, agar tidak jenuh dikenalkan kemudian Olah Vokal, Olah Tubuh; jadi setiap hari, naskah ini dijadikan pegangan, mengenalkan latihan berbisik, latihan senyap atau uji volume suara. Setelah itu mengenalkan rancang blocking, semua pemain harus melakukan perancangan blocking, sebelumnya dikenalkan mengenai apa itu area panggung, bagaimana membagi area panggung besar, sedang dan kecil. Dari naskah yang terbaca, kemudian berselang-seling dengan upaya memindahkan ke dalam rancang blocking dari komposisi sampai pose;dst. Baru kemudian mengenalkan tata krama pemanggungan, gesture, timing, dll; semua itu mengalir dari naskah masing-masing. Rancang Blocking akan sangat membantu semua peserta membayangkan posisi dirinya, pergerakannya di panggung; kemunculan dan

kepergiannya dari panggung;  rancang blocking ini akan sangat membantu untuk membuat semua peserta tidak kebingungan; sebab ada peta dirinya saat membaca dialog. Rancang blocking sebenarnya draft yang kelak akan terevisi oleh perkembangan latihan. Jika telah final akan menjadi informasi bagi penata panggung, penata lampu; dll.

Modul disusun dengan cermat,  walau sebenarnya sangat fleksibel jika memang telah terbiasa dengan tradisi membaca naskah atau memiliki pengalaman memainkan beragam naskah, namun tiga hal seperti Olah tubuh, Olah Vokal dan Olah Rasa menjadi menu harian yang dikenalkan; variasinya sangat luas untuk hal ini. Jadi pembagian waktu; dan memahami kemampuan peserta sangat akan membantu lancarnya workshop; terbukanya kemungkinan untuk menginformasikan berbagai teknik; seperti teknik berimaji, teknik muncul, sehingga proses mengenalkan pemeranan akan mengalir alami,  sementara naskah terus menerus menjadi tumpuan dan tanpa disadari ketika diajak berdiskusi mengenai isi cerita, alur dan plot, semua peserta dalam jangka waktu tiga hari akan dapat menjadi teman diskusi yang asyik, tidak akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan atau keluar jalur.

Dengan desain 6 hari workshop ini, walau dengan berbagai kemungkinan daya tahan peserta seperti gangguan barier psikologis, rasa enggan, merasa diri 'minder' ternyata akan diketahui tidak mampu tampil, menjadi salah satu kendala paling penting untuk diamati dan diatasi dengan pendekatan. Disiplin waktu kedatangan, istirahat harus diberlakukan ketat; dengan tujuan; pementasan di panggung memang tidak bis memaafkan ketidakdisiplinan.  Proses worskhop model ini mendorong semua peserta membangun kerjasama antar kelompoknya. 

Banyak yang bertanya, apa lalu pencapaiannya? Bahkan ketika saya meminta tolong beberapa teman untuk membantu proses workshop ini; tidaklah mudah menjelaskan bahwa workshop ini gratis  dan anak-anak ini setiap hari, dari jam 9 hingga jam 5 sore harus ada dalam proses pelatihan, dan anak-anak tidak semuanya orang mampu, pertanyaan mereka adalah:  apa out put-nya? Jika saya menjawab gagah; kalau mau revolusi mental, mulailah dengan mengubah stigma workshop-workshop itu dari ceramah sporadis menjadi pembelajaran praktek, maka pencapaiannya adalah minimal ketika hari terakhir, peserta siap melakukan  play reading; itu pertanda peserta sebenarnya telah siap pentas. Pertanda punya keterampilan public speaking, mengalami perubahan perilaku dalam mengelola kebersamaannya, sebab jika menjawab hanya dengan tujuan pelatihan teater secara murni, pastilah kerap seakan teater itutak ada gunanya dalam kehidupan ini. Padahal, pembelajaran teater tidaklah hanya untuk pertunjukan, pembelajaran teater justru memberi kesempatan untuk semua orang bercermin dengan kenyataan hidup disekitarnya, asalkan proses pembelajarannya itu berpihak kepada tahapan-tahapan yang sesuai kadar.

Kemudian mengenalkan manajamen, tata kelola pelatihan misalnya, sangatlah penting, ini bagian mengorganisasikan dari itu perencanaan pertemuan akan selalu bertujuan. Dari rancangan pelatihan akan diketahui kapan sebenarnya pemain misalnya dapat 'Lepas naskah' dan untuk drama pendek tidaklah memerlukan waktu yang panjang untuk hapal naskah dan lepas naskah. Dua minggu seharusnya pemain mulai memasuki tahap stop and go. Atau dicek dengantop and tail jika telah mulai melibatkan property dalam berlatih.

Pelatihan teater di sekolah misalnya, kerap mendapatkan pertanyaan dengan tanda tanya besar; sebab pelatihan hanya hidup jika akan ikut perlombaan. Padahal, jika basis naskah dan pelatihnya membuka wawasan seluas mungkin; proses berlatih teater ini akan menemukan relevansinya dengan banyak ilmu di sekolah; belum lagi nantinya elemen pendukung untuk pentas; dari manajemen produksi sampaipun tata panggung,

busana, dll.  Pelatihan teater berkemungkinan untuk terbuka bagi banyak pelatihan keterampilan dari menjahit, make-up sampai kelistrikan.

Itu sebabnya, saya agak enggan diminta memberi workshop teater, jika cuma sehari, apalagi setengah hari. Lebih baik tidak usah. Sebab citra pelatihan teater, workshop teater yang tidak disertai dengan kemauan untuk  berbagi pengetahuan ilmu praktek teater akan membuat pelatihan teater terkesan asal-asalan dan tanpa tujuan. Jika itu hanya untuk seolah-olah ada workshopteater, saran saya mungkin agak keras, sebaiknya tidak usah dilakukan.

Bagi saya, tahun ini keberuntungan buat saya, sebab sahabat saya Anisa di Aceh, telah mendapatkan dukungan lingkungan kampusnya ( Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip Unsyiah- Banda Aceh) untuk menjalankan proses workshop teater yang cukup padat dan mengejutkan tentunya, karena suasananya memang akan berbeda dengan workshop-workhop yang biasanya terjadi.  Workshop teater adalah kita, tahun ini, memberi banyak perenungan bagi saya juga mendapat pengalaman tambahan dan yang tetap hanyalah bahwa kita semua memerlukan katalis untuk mengenali hidup ini. Proses pelatihan teater akan memberikan hal itu, apabila dibekali oleh semangat berbagi pengetahuan dan tentu adalah modalnya penuh sabar mendorong peserta mengikuti tahap-tahapannya. Sekian laporan saya dari daerah paling barat di nusantara ini. Semoga bermanfaat. (cok sawitri, musafir pencari gagal mencari batu)