Dalam Halaman Lamgapang

jika cerita mulaikan tumbuh sebatang pohon
siapa berteduh di bawah cabang rimbun?
asam sunti, temurui, belimbing buluh
peracik kau itu lentik jemari
mengayuh sendok kayu memutar waktu
di belanga belanga lautan kerinduan
telah hidang siap diucapkan

lebih sembilan ratus kilometer jarak tempuh
dilangit aku berani mengukur lamunan
pada saat awan matahari mengadu warna
kau menari, bekali gigir desah nafas
dalam halaman ini
membawa langkah langkah ke balik arah
kerap kutengok rasa sakit itu
jangan tanya, mengapa putaran debu melangit
jauh sauh dari tanah dan air
dekat kecipak santan dan minyak

Jika mulainya dari sebatang pohon
ke dalamnya aku berhalaman
diam diayunan, merasakan derai dalam dada
walau tak harus engkau paham
bila lagi menari, hantam hantamlah telapak
agar kerinduan tak tepat tujuan
sebab kini segalanya hilang alamat
kecuali sebuah halaman di lamgapang.
( SERI PUISI PEMBURU BATU, pebruari, 2015, Bandaaceh)

Ibu, Tradisi Megalungan CIna

Keluarga ibu saya punya kisah indah dengan perayaan tahun baru Imlek, sebab dahulu kala di desa kelahiran ibu saya, di dekat kaki gunung agung ada toko kopra yang sangat besar. Dan itu mungkin tahun-tahun awal kemerdekaan, ingatan masa kecil ibu saya bahwa jarak dari desa ke pelabuhan, saya perkirakan itu ada di Tulamben; bahwa kapal-kapal menuju Singepur (maksudnya Singapura) dan Makasar membawa kopra. Dan betapa takjubnya saya bahwa saat itu, segala permainan termasuk sepur mini (entah apa bedanya dengan kereta api) dijadikan oleh-oleh disamping kain dan emas singapur; segala permen berkelas, dari cokelat sampai kemudian sutera. Keluarga ibu saya termasuk keluarga saudagar yang bahu membahu bersama keluarga Jen yang menyewa tanah sebagai toko dan gudang kopra di depan rumah.

Ibu saya juga bercerita bahwa bakso, tahu, capcay, babi kecap; segala kecap dan taoco adalah pengajaran masak dari keluarga saudagar nyame kelihan ini, orang bali menyebut orang cina dengan nyame kelihan. Nak cina artinya saudara lebih tua.

Dan ibu saya tidak mengenal Imlek, hanya tahu nak cina patuh (sama) jak nak Bali, megalungan mase; merayakan penghormatana kepada leluhur dan bumi. Itu sebabnya saya sejak kecil mempunyai imaji tentang betapa meriahnya galungan cina itu, dengan makanan, kapal-kapal yang berlayar dan kembali membawa oleh-oleh. Sedemikian eratnya hubungan keluarga ibu saya dengan keluarga cina di desa yang makmur itu, sehingga kakak ibu saya diberi nama kecil Jen, mengikuti nama salah satu putri keluarga saudagar itu. Nah, kisah berlanjut, entah tahun berapa toko dan gudang kopra tak boleh di desa-desa, pelabuhan-pelabuhan tiba-tiba disenyapkan, disatukan ke pelabuhan yang lain. Ibu saya hanya mengherani, kenapa setelah merdeka, semuanya harus ke suatu tempat untuk menjadi saudagar; padahal dahulu, walau di kaki gunung, pelabuhan hanyalah beberapa kilometer saja; dan perekonomian tidaklah tunduk pada kekotaan.

Ibu saya kini berusia melewati usia 90-an lebih, jika Galungan cina tiba, tandanya adalah hujan angin dan ibu saya selalu tersenyum;mengingat legitnya rasa taoco dan enaknya babi kecap serta bau dupa yang meledakan hidung karena harumnya. Selamat datang kemakmuran! Hormat pada leluhur dan bumi! (MINUM KOPI DAN BERSIAP MANDI)