Matinya Penguasa : bagian 2

KALAPA (MATINYA PENGUASA BAGIAN 2)
sebuah novel

      Riuh buruh pelabuhan terdengar seperti nyanyian, semua tangan semangat menarik tali-tali yang terjurai dari Jung yang tengah merapat.Pelabuhan Kalapa hari itu bermandikan cahaya matahari, panas demikian menyengat.Jung dari Cina telah tiba! Sorak sorai para buruh dan pedagang silih berganti terdengar. Sejak semalam pasar pelabuhan telah ramai. Para pedagang telah menjejerkan gerobak dan keranjang di tempat-tempat yang dipajaki, yang dijaga centeng dan buruh-buruh angkut yang siap mengekori kemanapun juragannya melangkah.
     Di bawah pohon ketapang yang rindang, agak jauh dari Balai tempat Syahbandar duduk mengawasi melabuhnya Jung dari Cina; Wari, istri Mungmang membuka dagangannya, tuak manis milik  Aki Burun, gula aren buatannya sendiri serta daging babi yang diasapi dengan bara unggun yang diratakan segi empat, terus menerus mengepulkanasap karena diumpan daun-daun waru kering. Mungmang tampak sibuk menyalakan api di tungkunya sendiri, bersiap membakar ikan dengan bumbu garam, terasi dan cabe rawit yang akan membuat lidah pembeli melengkung karena pedasnya.
     Riuh rendah suara buruh mulai menghilang, kini para awak Jung yang rindu daratan melompat satu per satu; nampak wajah-wajah itulegam berminyak, mata kuyup menahan lapar perut dan birahi.
     Pembeli pertama telah tiba dihadapan dagangan Wari. Langsung memesan sebungkus daging babi yang diasapi dan satu cekel tuak manis. Matanya menusuk menatap Wari yang tersenyum manis melirik ke arah Mungmang. Sebagai isyarat agar si pembeli jangan macam-macam. Para pelaut yang pulang ke daratan,kadang kehilangan akal bila melihat perempuan.
     Ki Juluk bertugas menerima bayaran dari setiap pembeli. Menghitung cermat kepeng demi kepeng. Berbeda dengan para awak laut yang tidak perhitungan saat berbelanja, para buruh sebaliknya, walau telah menerima upah menggotong barang-barang ke balai syahbandar, mereka penuh gerutuan saat berbelanja, meminta harga murah setiap bumbung tuak yang ditegak.
     Ikan bakar buatan Mungmang laris manis bahkan banyak yang membeli untuk di bawa pulang. Matahari makin terik. Masih ada dua paha kaki babi, tuak sudah hampir habis, Wari memeriksa dagangannya saat Mungmang memberi isyarat agar Wari merapikan diri.
      Ki Juluk mendongak, tercengang melihat rombongan kecil dengan seorang lelaki yangdipayungi, tengah berjalan dengan sorot mata begitu tajam. Lalu seperti mimpir ombongan itu berhenti di depan tempat Wari jualan.
      Wajah Mungmang memucat demikian pula Wari, Ki Julukdengan lugu menyapa, "adakah yang hendak di beli tuan-tuan?"
      Mungmang tercekat mendengar suara Ki Juluk dan dengan gelisah mendongak hati-hati, lalu  cepat Mungmang kembali menunduk saat melihat tatapan bayangkara yang seakan hendak menangkapnya, "hhe he…Juru bahasa, coba jelaskan apa yang dikatakan si penjual tuak…"
     Ki Juluk terpana. Seorang lelaki muda dengan bahasa yang aneh, bercakap dengan seorang lelaki bermata sipit, yang pakaiannya demikian aneh, diapit oleh beberapa lelaki dengan pedang di punggung.
      Oh,inikah saudagar cina itu? Belum selesai pikiran Ki Juluk menerka-nerka, "baiklah,ambil tikar. Kita mencoba tuak manis dan daging babi asap….Ikan bakar….."
      Mungmang dan Wari, bagai dua orang bodoh kehilangan akalnya. Berbedadengan Ki Juluk yang dengan ramah bertanya, apa mau minum tuak dalam cekel atau bambu? Mau daging asap atau ikan bakar? Akhirnya, Wari dengan tangan gemetar mulai menata daun-daun di atas piring tanah liat yang dibakar hitam.Yang minumtuak dan makan daging asap hanya dua lelaki, yang satu pastilah saudagar cinaitu, yang satunya mungkin seorang bangsawan! Namun tubuhnya terlalu kekar untuk disamakan dengan bangsawan, mungkin seorang pimpinan prajurit? 
     Para bayangkara yang tadinya berdiri, setelah tuannyaduduk segera menjauh, duduk dengan mata tetap awas. Hanya juru bahasa yangterus menerus sibuk bicara. Ki Juluk sungguh kagum kepada juru bahasa yang menyambungkan percakapan dua orang, yang sama-sama tidak mengerti bahasa satusama lain.
     "Tambah lagi…" Juru bahasa meminta kepada Ki Juluk untuk tambahan secekel tuak, ternyata juragan cina itu menyukai tuak manis. Kembali percakapan dilanjutkan, pelahan Ki Juluk paham, jadi inikah penguasa Kalapa? Syahbandar itu? Yang duduk dikelilingi bayangkara, yang biasanya ditandu itu?
     Tiba-tiba bulu kuduk Ki Juluk meriang, terasa mendingin wajahnya. Pantas Mungmang dan Wari ketakutan dan seperti orang bodoh saat rombongan ini mendekat.
      Ki Juluk meladeni dengan dada berdebar-debar. Setiap juru bahasa itu meminta tambahan ikan ataukah daging, jantung  berdetak kuat.    Ah, betapa lamanya mereka bercakap-cakap. Berbagai persoalan yang tidak dipahami Ki Juluk, dibicarakan dalam dua bahasa. Kedua bahasa itu tidak terlalu dipahaminya, bahasa sunda dan bahasa cina. Sampai akhirnya, keduanya berdiri dan para bayangkara segera mendekat, memapah agar keduanya tidak sempoyongan. Lalu seperti mimpi, satu bungkus, sebesar sekepalan tangan lelaki dewasa,  dilemparkepangkuan Ki Juluk sebagai bayaran tuak dan makanan.
      Ketiganya masih menunduk, walau rombongan  telah jauh dari jangkauan pandangan. Sampai pembeli  lain datang, barulah ketiganya berani saling menoleh, "sudah, sudah, mereka sudah menjauh…Masihtuakmu…?" Tegur si pembeli, memahami keadaan sambil tertawa kecil.
      Mungmang menyeringai jengah menatap Ki Juluk denganpenuh terima kasih. Wari segera kembali celotehnya meladeni pembeli dengan suara nyaring dan kadang-kadang genit galak. Telah lenyap rasa kecut di hati. Hinggasore barulah mereka menutup dagangan.
Setibanya di rumah, barulah Wari membuka bungkusan yang dilempar oleh Syahbandar ke pangkuan Ki Juluk. Mungmang melongok penuh ingin tahu, dan terpana matanya, di dalam bungkusan sekepalan tangan ituberisi  keping emas dan perak! 
Wari menatap setengah tak percaya sampai Mungmangmencubitnya pelahan,"Ini anugrah, Wari. Kita bisa membeli anak babi….Jugamembeli beberapa potong kain…"
     "Ini cukup membeli sepetak sawah Mungmang bahkan lebih…"Sahut Wari dengan suara gemetar,"Ah, sudahlah, besok kita bikin selamatan. Sekarangaku mau memasak untuk kalian, memanggang ayam dan sambel terasi pedas…"
      Mungmang tertawa mendengar suara Wari yang kembali riang lalu  menepuk pundak Ki Juluk, "apa yang kaupikirkan?"
      "Betapa kayanya Syahbandar…" Ki Juluk bergumam kagum.
      "Bukan kaya saja, berkuasa atas seluruh Kalapa ini.Memimpin kota pelabuhan tidak mudah, setiap hari harus cermat mengamati jung,perahu dan jukung yang merapat, kalau lalai, bisa-bisa musuh menyusup. Dulu,katanya pasukaan Sriwijaya tiba-tiba menyerbu pelabuhan ini…" Mungmang memangpemanting yang cermat. Pengamat yang tak akan melalaikan sepatah katapundisekitar telinganya.
      "Di musim seperti sekarang, saat angin tenang danhujan jarang, ombak tak terlalu besar, jung yang merapat tidak dari Malaka saja.Jung yang tadi itu sebenarnya dari Malaka, milik saudagar cina; biasanya jugadatang jung dari Sumatera, Palembang, Lawe, juga dari Jawa dan Madura…"
       Ki Juluk hampir melompat,"Kapan jung dari Jawamerapat?" tanyanya dengan suara tercekat.
       Mungmang tertawa,"Juluk, engkau harus belajar menahandiri. Tenanglah, bila tiba saatnya engkau akan menumpang Jung yang besar untukkembali ke Jawa…"
        Ki Juluk menunduk kelu.
       Mungmang mengerti perasaan Ki Juluk,"bersabarlah…Akansegera tiba kau kembali ke Jawa.Dulu, aku pun sama sepertimu, merasa terbuangdan dilupakan. Namun kini aku justru tidak betah di Jawa. Sesekali pulang,balik kembali ke sini…"
       "Aku tidak mungkin menetap di sini seperti engkau!" KeluhKi Juluk dengan suara parau. Mungmang menghela nafas,"Karena itu lakukantugasmu dengan semangat…"
       "Aku masih menunggu enam purnama  lagi, baru bisa memulai tugasku. Lontar-lontaritu masih belum kering…Belum direbus,…." Suara Ki Juluk seperti merajuk,membuat Mungmang tertawa, menertawai sikap kekanakan Ki Juluk,"Hayolah, enam purnama waktu yang pendek…Sibukkan dirimu dengan berbagai cara. Banyak yang bisa kaukerjakan atau engkau ingin…" setengah berbisik Mungmang menawari Ki Juluk untuk mengencani para perempuan, yang biasanya disaat musim seperti sekarang, mereka banyak berdatangan dari berbagai pelosok. Mereka banyak ada di sekitar tempat para pelaut menginap, mereka menyewa pondok-pondok milik nelayan, dekat sandaran jukung.."
       Ki Juluk menggeleng,"sudahlah Mungmang, aku belum tertarik dengan hal-hal semacam itu…"
Mungmang tertawa hebat, membuat Wari tertarik ingin tahu,"Kenapa kau tertawa seperti setan gila?"
       "ini, si Juluk…Kalau bosan di rumah kuperbolehkan jalan-jalan ke pondok-pondok dekat sandaran jukung…"
        "Aih, Mungmang, tak pantas engkau mengajari Juluk tabiat yang demikian, jangan ikuti ajaran buruknya.." Wari dengan gemas memukul pundak Mungmang,mengerti benar seperti apa pondok-pondok dekat sandaran jukungyang dimaksudkan Mungmang," hayo, sana, bantu aku memanggang ayam, nasi telah kutanak…" Wari mengusir Mungmang lalu menatap Ki Juluk,"jangan kau mencoba-cobake tempat semacam itu, sudah banyak yang kena masalah akibat ikut-ikutan bergaya seperti para pelaut itu…"
        Ki Juluk menyeringai, menganggukan kepalanya, laluberanjak menuju dapur, suara Wari kembali terdengar,"Setelah manggang ayam jangan lupa memilih kelapa, besok aku mau membuat minyak…"
        Malam itui Mungmang menyalakan beberapa obor,menancapkan di tengah halaman dan menyalakan pelita di depan dapur  dan pondok yang ditempati Ki Juluk.
         Setelah selesai makan, barulah Mungmang mengajak Ki Juluk memilih kelapa di bawah penerangan obor, sedangkan Wari merebus keladi dan air jahe sambil terus menerus mengingatkan Mungmang agar besok pergi melaut,"sudah musimnya menjemur ikan…"
        Di tengah kesibukan memilih kelapa, tiba-tiba Mungmang memberi isyarat dengan suara berdesis penuh tekanan,"Masuk ke dapur…"
        Ki Juluk masuk ke dapur dan segera memberi isyarat Wari agar diam.Angin malam mendesau aneh. Mendatangkan aroma yang menekan. Warimengangguk paham. Mungmang telah memadamkan obor dan membiarkan hanya pelitayang menyala. Lalu ia berindap merapat di balik dinding dapur. Wari menarik KiJuluk ke bawah balai dapur. Mereka tiarap di sana,"Diamlah...Peganglah alu disebelahmu.."
         Ki Juluk meraba dan ada kayu sebesar lengannya, iatarik hati-hati. Tak lama terdengar seperti suara siulan burung yangbersahut-sahutan,"papanjingan…" DesisWari dengan gemetar.  Ki Julukmemasang telinganya baik-baik. Lamat-lamat memang seperti ada yangberindap-indap. Berapa orangkah? Ki Juluk merapatkan gerahamnya, ia percayakemampuan Mungmang, pelahan hatinya menjadi tenang.
          "Ssiuh…" Suara Mungmang tiba-tiba terdengar mengandunggeram. Lalu senyap yang asing. Mencekam perasaan. Dan langkah-langkah beratseolah terhenti di tengah halaman,"Aku Mungmang! Dari langkah kalian, kukenaliasal kalian…Pergilah sebelum darah jatuh…"
         Tak ada sahutan, yang terdengar keresaklangkah-langkah seperti berlari menjauh, dilanjutkan dengan suara desau-desauyang tidak dikenali oleh  Ki Juluk.Membuatnya tak tahan untuk diam, dengan tergopoh ia menarik diri dari bawahbalai, menarik alu kayu dan melangkah ke pintu dapur," Diam di situ Juluk…"Suara mungmang terdengar pelahan, namun penuh tekanan. Lalu obor-obor itumenyala.     Wari ternyata telah berdiri pula di belakang Ki Juluk, melihat kehalaman. Seorang lelaki tengah berjongkok di hadapan Mungmang, telah terikat keduatangannya.
         Wari segera memukul kentongan dengan ketukan tertentu,tangannya jelasnya gemetar. Tak lama terdengar sahutan. Makin lama dimana-mana suara kentongan terdengar. Mungmang menyuruh Ki Juluk menyalakan beberapa oborl agi dan memancangnya di depan pintu halaman. Tak beberapa lama Aki Burunbersama Si Bangu disusul oleh beberapa orang lainnya, yang tidak dikenali oleh Ki Juluk, segera mendekati lelaki yang tengah duduk terikat tali di halaman.
      "Papanjingan…"desis Si Bangu dengan wajah sedikit ciut.
Ki Juluk tak mengerti apa artinya papanjingan,"Mereka mau merampok?" Tanyanya setengah berbisikkepada Si Bangu.
       "Tidak hanya merampok, mereka bertabiat  tak senonoh kepada para perempuan…"jelas Si Bangu dengan suara berdesis.
       "Hm…Asal Jung mulai datang, mulai pula penyakit ini muncul kembali…" Aki Burun mengulurkan tangan, menjambak rambut lelaki yangmerunduk lunglai,"Perlihatkan wajahmu…"
        "Aiiih…." Tiba-tiba Wari menjerit,"Dia yang belanja kepadaku tadi siang…"
       Mungmang menarik obor mendekatkan cahayanya,"Iya…Kamu rupanya, dimana kalian bersarang? Siang menyaru jadi buruh…Malam nyantroni rumah?"
        Lelaki itu cuma diam. Membeku dengan wajah bagaitembaga. Ki Juluk baru memperhatikan dahi lelaki itu benjol, memar mengandung darah. Mungmang tak membawa senjata tajam. Dari mana memar itu berasal? Pelahan Ki Juluk memperhatikan pinggang Mungmang.      Ternyata sabetan katapel Mungmang telah melumpuhkan lelaki ini.
       "Dimana sarang kalian…?"
       "Pastilah dekat sandaran jukung…"
       "Bukan orang Kalapa…?"
        Lelaki itu tetap diam. Pastilah memilih mati daripada membuka mulut. Aki Burun memberi isyarat pada Mungmang,"Berapa orang tadi…"
       "Kira-kira enam orang…Menuju arah pantai.."
       "Pastilah di pondok-pondok itu…Menyaru dengan para pelacur…"
       "Kita serahkan ke bhayangkara?"
Aki Burun mengangguk,"Besok kita serahkan, sebaiknyamalam ini kita kumpulkan anak dan istri-istri kita di sini saja…Agar mudahmengawasi…"
       Tak disangka malam itu pondok Wari dan Mungmang jadiramai dan penuh sesak. Anak-anak ditidurkan di dapur ditemani ibunya, yanglainnya di pondok yang ditempati Ki Juluk, di halaman pun digelar tikar dandaun-daun kelapa, agar dapat menjadi tempat merebahkan diri. Wari menyalakanperapian membuat jahe aren, merebus kembali semua keladi dan ubi yang masih adadi keranjang.
       Malam itu Ki Juluk mendengarkan para lelaki dewasamembicarakan keadaan di Kalapa,"Kalau satu Jung tiba, para begal, maling,copet, perogoh…Mulai pula berdatangan. Ini mengherankan, baru satu Jung sudahada papanjingan…"
       "Masih untung kita belum pergi melaut…"
       "Iya..agaknya ini sudah mulai berbeda…"
        Si Bangu dan beberapa lelaki lain kembali memukul kentongan dan tak lama kentongan dikejauhan pun menyahuti,"Sepertinya, pondok ini yang pertama disasar, sudah kepergok…"
       "Kami baru memilah kelapa, jadi menyalakan obor…" Jelas Mungmang kenapa dalam keadaan siaga ketika para penyusup ini mendekati rumahnya," Teringat sayasiulan itu, Aki…"
       Aki Burun terlonjak,"Oh, jadi kamu bawaan si Bopeng…?"
       Lelaki itu kini merunduk dalam.
       Siulan itu! Mungmang teringat beberapa tahun yang laluketika baru mengawini Wari. Malam itu, beberapa tahun yang lalu, Ayah Warisampai tertebas perutnya saat disantroni oleh para penyusup. Untungnya, malamitu Mungmang dan Aki Burun tak jadi melaut dan berniat singgah untuk minumjahe. Selamatlah keluarga Wari. Mungmang teringat saat mendekati rumah, iamendengar siulan, yang saat itu Aki    Burun mengatakan,"Itu mungkin burungkesasar…"
        "Bukannya Si Bopeng sudah di hukum buang?" Aki Burunmendekati kembali lelaki malang yang duduk dengan tubuh terikat tali-talipenjaring ikan,"Kamu jika menjawab akan kami lepas…Apakah kamu bawaan si Bopengatau kamu diajak oleh anak buahnya si Bopeng?"
        "Nyalakan sabut kelapa, buat dia mengaku…"
        "….Ampun Aki…" lelaki itu kini bersuara," Ampun…"
        "Iya, katakan…Siapa saja kawan-kawanmu…"
         "…Ampun…"
         Akhirnya, lelaki itu mengatakan siapa-siapa kawannya dan siapa pimpinannya. Semua terdiam saat lelaki itu menyebut nama pimpinannya,"Hm…Jadi, kamu mau melibatkan seorang bhayangkara?…" Aki Buruntidak mudah percaya,"Sumpah demi lingga…Demi leluhur…" Lelaki itu mulaimeratap,"Kami berada di rumah jaga…"
        "Baiklah, besok kita hadapkan dia ke junjungan…"
        "Ampuuun…."
        Mungmang dengan cepat memberi isyarat pada Aki Burun,agar menjauh dari lelaki itu. Tak lama suara siulan terdengar. Semua wajah segera menegang dan serentak mematikan obor. Bangu memukul kentongan tanda bahaya. Siulan itu terdengar kembali walau masih jauh, mungkin diantara pohon-pohon kelapa. Mungmang membisikan sesuatu kepada Aki Burun.
        Dengan cepat Aki Burun menarik lelaki itu ke dekatdinding dapur dan Bangu menggelindingkan kelapa sebanyak mungkin ke tengahhalaman. Siulan itu tak terdengar lagi, semua kini terdiam beku. Keheninganmenyergap, membuat desah nafas terdengar jelas.
        Siulan itu terdengar lagi. Gelap gulita tak ada yang bisa melihatsiapapun. Ki Juluk tiarap sambil memegang alu kayu. Kini mereka datang untukmelepas kawan mereka atau membunuh kawan mereka agar tidak membuka rahasia. Hm,jadi benar ada petinggi bhayangkara yang terlibat?
        Belum selesai pikiran Ki Juluk bergerak menduga,lesatan angin menancap di tengah halaman. Kebentur kelapa tentunya sehingga menimbulkan suara melesak. Lalu desau lain terdengar, itu pasti lepasan batudari katapel Mungmang. Ki Juluk merayap hati-hati mendekati pintu halaman.Dalam gelap ia melihat samar-samar sosok yang berdiri. Belum rayapan Ki Juluk setengah dari tempatnya semula tiba-tiba terdengar jerit di dekat pintu halaman. Suara siulan terdengar menjauh dan kaki-kaki berlarian menjauh kini jelas terdengar.
        "Nyalakan obor…" Suara Aki Barun memecah keheningan. Segera obor-obor menyala, di depan ambang pintu halaman rumah sesosok tubuh nampak rebah terjengkang dan segera Aki Barun bersama para lelaki mendekati,menyeretnya membawa ke tengah halaman.
       "Mungmang mana.."
       Kegentingan tiba-tiba terasa, Mungmang tak tampak. Si Bangu membunyikan kentongan tak lama terdengar suara Mungmang di  kejauhan,"Cepat kesini…."
       Aki Barun ditemani beberapa orang melesak berlari ke arahsuara Mungmang. Tak lama mereka datang kembali menyeret seorang lelaki dengan kepala yang bocor terkena katapel. Ketiganya disiram air lalu diikat tali.Ketiganya kini di bawah obor, nampak meringis menahan perih akibat memar dikepala masing-masing.
Kentongan kini dipukul seriuh mungkin. Malam jadi ramaioleh suara kentongan sahut menyahut. Tak lama kemudian berduyun-duyunorang-orang berdatangan. Aki Barun segera menjelaskan kejadian demi kejadian.Ketiga lelaki itu kini diseret beramai-ramai menuju rumah Syahbandar.
          Malam kini terasa mencekam.
          Senyap yang aneh.
           Ki Juluk dan Si Bangu dan beberapa lelaki lain ditugaskanmenjaga anak-anak dan para perempuan. Sampai kokok ayam terdengar, barulah rombongan Aki Barun dan Mungmang kembali ke pondok.
          Ki Juluk bernafas lega dan Wari segera menyambut suami dan saudara-saudara yang lain. Ternyata hampir semua penghuni pondok-pondok disekitaran adalah keluarga Wari. Hanya dalam semalam Ki Juluk mengenali keluarga Wari. Keluarga yang sebagian besar menguasai ladang-ladang kelapa didekat pelabuhan kalapa. Keluarga yang turun temurun menjadi peladang sekaligus nelayan, yang menyaksikan dari satu kekuasaan berpindah ke penguasa yang lainnya.
           Kini, Ki Juluk memahami mengapa penting Mungmang mengawini Wari, andai tak mau mengawini Wari tidak mungkin Mungmang mendapatkanl adang kelapa sekalipun bersedia membeli dengan mahal.
          "Jadi, benar ada bhayangkara yang terlibat?"
          Ki Juluk menatap Mungmang dan Aki Barun silih berganti.
         "Dua yang tadi ditangkap Mungmang memang bhayangkaramuda…Sekarang sudah ditangani junjungan. Agaknya ada sesuatu yang dimainkanpimpinan bhayangkara di pelabuhan…"
Ki Juluk tak utuh mendengar penjelasan Mungmang. Ia mulai merasakan kantuk yang dahsyat menyerang matanya,  segera ia menuju pondok, merebahkan diri diantara para lelakilainnya yang telah mendahului lelap. Suara tangis anak-anak terdengar dari dapur. Ki Juluk segera jatuh lelap saat mendengar kokok ayam turun ke halaman.

(KALAPA (MATINYA PENGUASA/ COK SAWITRI, BAGIAN II)

Matinya Penguasa

KALAPA (Matinya Penguasa)
sebuah novel

 BAGIAN I
     Disambut tamparan ombak yang tak henti, Jukung yang membawa Ki Juluk merayap mendekati batas teluk, makin dangkal lautan, tamparan ombak menjadi tempias yang mengalir, seperti barisan riuh yang tak henti-henti  menyoraki badan jukung; seperti suara geraman angin yang kehilangan akal sebab Jukung jadi berayun-ayun seakan tak beranjak, diam tergantung di air, tak juga maju-maju bergerak; ah, jarak daratan seakan tetap demikian jauh; kadang Ki Juluk merasa jukung digeser kesamping ditarik tempiasan ombak atau terasa mundur seperti ada tali yang diseret seribu tanganyang kuat.
     Ki Juluk merapatkan kain yang bergerak mau lepas, kembali dirapatkan agar menutupi kepala sampai pusar, kain tenun berwarna hitam yang tidak kering lagi, telah lembab oleh percikan air laut. Di langit, masih penuh bintang. Sungguhlah menakjubkan kegelapan malam di laut, sebab dimata justru benderang; sebaliknya, yang membuat gigir hati adalah kesenyapan, yang sesekali  menyelinap, seperti sekat menahan kecipak air, lalu anginakan menjerit halus mengundang kembali gemuruh angin memekakan telinga; saat seperti itu, rasa asing menyergap pikiran; rasa sunyi mencekam hati mengundangrasa takut, membuat tubuh menciut, menjadi kecil dihamparan laut luas yanggagah melepas gemuruhnya.
     Ki Juluk melepas pandangannya, berusaha menembus kegelapan, mencari kerlip-kerlipcahaya  untuk menenangkan hati:itukah Kalapa? Dadanya berdebar penuh harap, mulutnya terasa demikian kering,kulitnya terasa kebas karena didera rasa dingin. Ki Juluk meluruskan kakinya, berusaha duduk tegak di selang kayu, lalu, dengan mata setengah memincing karena angindingin terus menerus menampar wajahnya. Ki Juluk berusaha menatapi  tukang jukung di ujung seberang yang damai tertidur ; hampir tidak perduli pada jukung ini, apakah  masih bergerak ataukah sudah terseretarus.
     Ki Juluk menghembuskan nafasnya kuat-kuat lalu mengedarkan pandangannya.  Dibuangnya gundah dengan memperhatikan airlaut yang mulai meriak meninggi seakan hendak berlomba melompat ke dalam jukung.Ini tanda-tanda pagi mendekat, pikir Ki Juluk  sedikit lega, makin lega saat mendengar kecipak air yang kianlama kian jelas terdengar, jukung mulai dihempas-hempas sehingga bergerak oleng,membuat air laut dengan tak henti menepias masuk ke dalam membasahi kaki.  Ki Juluk segera menguras air sambil mencari dari mana arah datangnya matahari; yang didapatinya angin kian rajin mendera wajahnya hingga berderit daun telinga; tak juga ada tanda-tanda dimanakah arah terbitnya matahari. Rasa dingin tak lagi membuat gigi gemeletuk tetapi membuat jemari kemas menahan gemetar. Ki Juluk mencari-cari pematik api di bawah selangkayu. Kini, ia mahir menyalakan api dalam hempas angin laut; dekatkan pematik ke permukaan air, maka hempas angin tak akan menepias percik api. Tak berapalama batang jagung kering itu terbakar, segera ia masukan ke dalam tungku,menimbuni dengan arang kayu.
     Isi jukung ini hanya gentong air ukuran sedang, yang dibebat tali rotan dan diikat erat secara terpentang kekiri dan ke kanan kemudian cekel-cekel dari buah wila kering  yang diisi penuh air, digantungkan berenteng disisi badan jukung lalu bekal yang lain adalah garam, gula aren dan arang kayubeserta tungku kecil yang dibebat sedemikian rupa agar tidak melompatkemana-mana; kini air di semua cekel telah habis;  isi gentong tinggal sedikit, masih ada gula aren dan garam.
Pastilah pagi kian mendekat.
     KiJuluk merasakan rasa dingin menusuki tulang, giginya mulai gemeletuk saat tungku mulai menghembuskan asap,"Mungmang…." Ki juluk menggoyangkan tubuh si tukang jukung dengan ujungkakinya,"banyak jukung di depan…."
Mungmang dengan malas menggeliatkan tubuhnya. Masih terpejam, ia sudah tersenyum lebar lalu membuka mata dan  menatap Ki Juluk dengan mesra.
     KiJuluk menghela nafas,menahan gejolak dalam hatinya. Tiga hari belakangan inisaat jukung  tak lagi merapat dipantai manapun, mulai mengarungi laut dalam, entah apa sebaabnya,  Mungmang merayu-rayu Ki Juluk sepertikemasukan setan,"apakah kita sudah dekat dengan Kalapa?" tanya Ki Juluk dengankaku.
     Mungmang tidak menyahut, ia malah melongokkan kepala ke luar, menarik satu utas tali lalu menghentakkannya ke atas menarik beberapa ekor ikan, yang tak sempat melepaskan diri telah menggelepar di dekat tungku,selalu mendatangkan rasa kagum di hati Ki Juluk, bagaimanakah caranya ikan-ikan itu tergoda mengikuti tarikan seutas tali milik Mungmang?
     "Sebaiknya kita makan dulu,nantilah kita akan tahu, di pelabuhan mana kita akan merapat…"suara Mungmang sayup terdengar karena ditindih angin. Kecipak air makin menderas meninggalkan percik di kulit. Ki Juluk mendengus menggetok kepala ikan dengan potongan arang kayu, kemudian meletakkan ikan-ikan di atas tungku. Mungmang mengeluarkan dayungnya,"bersikaplah sebagai nelayan…" memberi isyarat  saat beberapa jukung lain mulai mendekat.Dengan cepat Mungmang memunggungi Ki Juluk, menghadap  ke depan dengan dayung di kedua tangan, Ki Juluk menariknafas lega untuk sesaat bebas dari serbuan mata Mungmang, yang tiga haribelakangan ini menciutkan hatinya.
     Mungmangmelepaskan jaring dan tali-tali, menyalakan pelita yang minyaknya seakan takpernah habis. Sikapnya benar-benar sebagai  nelayan. Menarik jaring berulangkali, memenuhi badan jukung dengan berbagai macam ikan.
     "Untuk apa semua ikan ini?" Ki Juluk bertanya heran namun Mungmang menyahut dengankedikan kepala memberi isyarat untuk tak banyak bertanya. Tugas Ki Juluk terusmengayunkan dayung, menyisir diantara arus yang hendak menarik jauh Jukung untukkembali ke tengah laut. Pelahan rasa dingin berganti, desau panas mulai menyapakulit. Matahari ternyata terbit dari arah punggung. Mungmang mematikan pelitadan dengan satu tangan mencokot seekor ikan yang baru masak setengah matang,ikan segar memang terasa manis, jauh berbeda bila ikan-ikan ini sudah sempat disinggah di darat, tak ada lag icecap manisnya di lidah. Ki Juluk pun mulai menggigiti seekor ikan.
     Cahaya matahari mulai mendatangkan kemilau yang gemerlap, seolah memantul dari bawah laut.  Punggung Ki Juluk terasapanas walau dari kepala sampai setengah tubuhnya masih diselimuti kain.Mungmang mengayunkan dayungnya mengikuti arus yang menuju pantai. Lalu melompatdengan tangkas, mencebur ke air.
     Ki Juluk terpana saat melihat Mungmang dengan begitu kuat mendorong jukung mendekati tepi pantai. Tak lama sebelum Ki Juluk sempat berpikir apa yang mesti dilakukan, para pembeli ikan telah mendekat, melongok-longok ke dalam jukung.
Mungmang dengan cekatan menarik jukung hingga menjauh dari tempiasan air. Ki Juluk menangkap isyarat dari Mungmang agar bersikap sebagai nelayan, ia pun melompat dan segera menarik cekel-cekel memasukan ke dalam jukung.
     Para pembeli ikan mulai berlomba membujuk Mungmang untuk menjual ikan secara borongan. Mungmang awalnya pura-pura tidak setuju, membiarkan para pembelimendesaknya dulu dengan berbagai bujukan. Akhirnya, keranjang-keranjang ikan itu datang, dua lelaki muda dengan cekatan melompat ke dalam jukung,memindahkan ikan ke dalam dua keranjang dalam sekejap mata. Entah berapa kepeng Mungmang dapat jualan; di semua pelabuhan menggunakan mata uang kepeng, mata uang cina; seribu kepeng sama dengan satu kepeng perak, seribu kepeng perakmenjadi dua kepeng emas; bisa dipakai beli sepetak sawah.
     Mungmang mendekati Ki Juluk,"bawalah buntalanmu, masukan dalam keranjang…" Rasa gerah yang aneh mulai dirasakan Ki Juluk, matahari pagi lebih terasa menyengat sebab tubuh lekat oleh garam. Mata Mungmang tak lagi membuatnya ciut, kini datar dan beku seperti wajah nelayanyang baru pulang melaut.
    Dengan terseok Ki Juluk mengikuti langkah Mungmang, tak bisa memandangi barisan perahuyang  berjejer, bersandar rapidengan bayangan-bayangan di air ; indah sekali nampak dimata saat matahari menyeruak diantara pancang-pancang  tiangnya; dengan tangga-tangga tali yang dijulangkan kelangit. Ki Juluk tak sempat ternganga mengagumi, sebab harus bersikap sebagai nelayan, yang terbiasa melihat keadaan pelabuhan. Masih ada lain hari untuk melihat-lihat isi Pelabuhan Kalapa,"hati-hati membawa keranjangmu, di sini banyak perogoh dan  pencopet!" Mungmang  sigap menjejeri langkah Ki Juluk saat memasuki pasar pelabuhan, yang  keriuhannya disertai desir bau amis  menyengat.
     Mungmang memang bukan sembarang tukang jukung, ia seorang pemating laut yang telah teruji, prajurit penyerbu yang telah bersumpah mati, tanpa  ragu memasuki lorong diantara sesaknya para pedagang dan para pembeli.
     Akhirnya  langkah kaki ke luar dari keriuhan pasar, memasuki jalan sepi, menjauhi keriuhan dan sengatan bau amis.  Kini,Ki Juluk tertegun, betapa luasnya Pelabuhan Kalapa.
     "Kitamemutar…Kalau lewat gerbang, banyak Bayangkara …" Jelas Mungmang sambil terusmelangkah ke depan mendahului Ki Juluk yang masih tertegun.  Entah kapan Mungmang mengetahui selukbeluk jalan jalan pintas di Pelabuhan Kalapa; Ki Juluk di bawa melewati ladang-ladangkelapa, melompati parit-parit yang airnya rembesan air payau. Tanpa sempat banyak bertanya, saat Ki Juluk merasa sudah teramat lelah, Mungmang berkatapendek,"itu pondok istriku…"
     Ki Juluk menegakkan tubuh dengan nafas terengah, memandangi pondok yang ditunjuk Mungmang, yang satu pastilah dapur sebab atapnya hitam kelam, pondok yang lainbarulah pondok istri Mungmang.
     "Wari…..Wariii…"Sambil memanggil-manggil Mungmang mengajak Ki Juluk memasuki halaman pondok. Bautai babi menghembus sedikit menyengat dan kokok ayam yang terkejut sejenak mendatangkan suara riuh, tidak ada yang menyahut.
      Mungmang dengan cekatan menarik pintu bamboo dapur, melongok-longok ke dalam," Warimungkin ke pasar…" gumamnya menjelaskan mengapa tidak ada orang di dapur.Mungmang tak menemukan istrinya, pondok yang lain pintunya terikat tali.
KiJuluk hanya mengangguk, kakinya lemas dan mulutnya terasa kering. Dilepasnya keranjang dari punggungnya dengan gontai.
     "Masuklah…Aku nyalakan perapian, kita mesti makan yang benar…." Ajak Mungmang kepada Ki Juluk memasuki dapur, melihat balai tikar serta bantal yang menghitam, lalu satu balai yang lain dipenuhi berbagai barang; dari kuali, keranjang sampaitali-tali utas; bahan pembuat jaring,  bertumpukan hampir berantakan. Saat Mungmang menyalakanperapian, Ki Juluk ke luar dari dapur, kepalanya berdenyut, ia membutuhkan udara segar dan berusaha meredakan rasa penat di sekujur tubuhnya. Ki Juluk melangkah tak tentu arah di halaman pondok, mengamati pondok yang setengah bangunannya dibuat dari tanah lalu dinding atasnya disambung dengan anyaman daun rumbia. Lalu mengamati babi yang mendengus-dengus mencungkil tanah dengan ujung mulutnya. Ki Juluk tersentak, bagaimana caranya      Mungmang mendapatkan pondok dan ini?  Sambil terus melangkah, Ki Julukmenerka-nerka kehidupan Mungmang. Ah, upah pemating memang tinggi; walau nasib hidupnya tidak jelas; sumpah yang mengikat para pemating sampai tujuh turunan…Mungmang,entah berapa lama sudah dikirim ke daerat Barat, entah sebagai telik sandi,entah sebagai paku pendam, dan setiap enam bulan sekali harus melaporkan dirinya ke junjungannya. Seorang pemating keterampilannya berbeda-beda. Mungmang mungkin keturunan nelayan, pastilah bagian prajurit laut yang terpilih dan barangkali pernah melakukan kesalahan sehingga dijadikan pemating, prajurityang sesungguhnya sudah dianggap mati.
     "Mungmaaang…"
     Ki Juluk tersentak, suara nyaring itu, suara perempuan, pastilah istri Mungmang,segera ia membalikkan tubuh, melihat perempuan dengan tinggi tubuh sedang,berambut tebal, berkulit langsat yang setengah berlari dengan keranjang dipunggung menuju dapur.
Taklama kemudian wajah Mungmang telah nampak dari pintu bambu dapur, menyambut kedatangan istrinya,"kemana kamu…?" Suara  Mungmang begitu keras, menyentak  di telinga Ki Juluk, entah kenapaa membuat dadanya sedikit sengal, dihelanya nafas panjang; teringat sepanjang lima haridi jukung bersama Mungmang, teringat pula saat-saat Mungmang merayu-rayu bagai orang gila. Birahi  hampir membuat Mungmang hilang pikiran.
     Ki Juluk melangkah pelahan mendekati dapur,"nah itu, si  Juluk, dia masih keluargaku…dia seorang pelukis…akan kukirim ke Dayoeh…" Kata Mungmang mengenalkan Ki Juluk kepada istrinya.
     Wari menatap Ki Juluk dengan lama, tersenyum lebar dengan mata berkedip menggoda,"pasti belum disuguhkan apapun. Hayolah, masuk ke dapur…Ada oleh-oleh makanan pasar…"
     Mungmang tertawa melihat kerikuhan Ki Juluk,"Wari…jangan kau goda dia, dia masihperjaka…anak baik-baik dia…"
"Sudahketahuan dari baunya…" Wari mencubit perut Mungmang, yang tergelak-gelak sambil menjulurkan tangan meremas payudara Wari.
Ki Juluk membuang pandangannya. Duhai, kerikuhan sungguh-sungguh membekukan tubuh KI Juluk. Namun mata Mungmang memberi isyarat agar ia menguasai diri, segera ia mendudukkan tubuhnya di lantai dapur, terasa empuk dipantat.
      Ah,lantai tanah yang dipadatkan puluhan kali, pelapis dalamnya pastilah tai sapi,makanya padat empuk dan sejuk di pantat, Ki Juluk mulai merasa agak nyamanmemandangi Wari dan Mungmang silih berganti.
     "Akulelaki beruntung, Juluk. Aku ketemu Wari saat mau beli ladang kepada Aki-nya… Ehtidak tahunya, Akinya bilang, beli ladang tapi kawini cucuku!...Wah, aku waktuitu kebingungan tapi setelah melihat dia, aku mau saja…kubayar ladang ke Akinya,aku dikawinkan dengan cucunya!" Mungmang mulai menuturkan kisah perkawinannya dengan Wari. Ditimpali Wari dengan senyum dengan senyum lebar sambil sesekali tangannya mencubit paha Mungmang.
      Ki Juluk berusaha tetap nyaman, mengarahkan pandangan ke perapian dengan kayu yang menyala, membakar pantat kuali membuat air didalamnya bergolak melepas gelembung-gelembung tipis. Dengan cekatan Wari memotong-motong jahe dan gula aren lalu memasukan ke dalam kuali, mengaduknya dengan sendok kayu sampai gulanya hancur.
Membuat air jahe tidaklah lama, tak berapa lama Wari mengaduk, bumbung bambu mulai diraihtangan kirinya, lalu dengan hati-hati Wari menyendok isi kuali dengan batokkelapa yang telah diparas halus,"minumlah. Biar tubuhmu menghangat, sebentarl agi aku masakan nasi ubi dan ikan teri…"
      "Jangan lupa sambal pedas, Wari…" Mungmang menyeruput isi bumbung bambunya. Wari terkekeh sambil melepas kerlip birahi di ujung matanya, Ki Juluk sungguh rikuh melihatsikap Mungmang dan Wari, pelahan ia bangun,"aku mau mencari angin…" Pamitnya dengan suara lemah.
     "Aduuh,pakailah pondokku untuk rebahan…" Tiba-tiba Wari melesat lincah, menarik tanganKi Juluk hingga hampir oleng. Mungmang tertawa melihat kerepotan istrinyamengajak Ki Juluk ke luar dapur dan menarik-narik menuju pondok,"masuklah danrebahan…Nanti kalau sudah selesai makanan, aku bangunkan…"
      Akhirnya,Ki Juluk dapat sendirian, terbebas dari Mungmang, terbebas dari kerikuhan. Rasalelah itu merayap ke seluruh tubuhnya, sebelum sempat ia meluruskan tubuhdengan benar, ia telah jatuh lelap. Lelap tidur membawa ingatan melayang jauh,meresahkan hati di tubuh yang lelah. Ki Juluk terjaga dengan tubuh lengket dantak nyaman. Dibukanya mata, seluruh badannya terasa seperti habis dicambuki.Pelahan ia berusaha menggeliat. Sayup-sayup ia mendengar suara Mungmang, sudahsorekah? Ki Juluk berusaha bangkit, kini ia merasakan tubuhnya tak mengikutiperintah pikirannya. Dengan terhuyung ia melangkah menuju pintu.
     "Haa,sudah bangun rupanya…" Mungmang hanya dengan kain menutupi kemaluannya tengahmemotong-motong kayu untuk dikeringkan sebagai kayu bakar.
     KiJuluk masih oleng dan bingung. Ini rupanya mabuk laut itu, akhirnya ia terdudukdi ambang pintu pondok, Wari kemudian datang,"minumlah jahe hangat ini,sebentar lagi makanlah bubur ubi…Kamu mabuk laut…"
     KiJuluk hanya mengangguk, tanpa pikir meminum isi bumbung bambu, kemudian menyuapkan isi batok kelapa, rasa manis membuatnya berkerut di dahi, lalu tak lama Wari muncul kembali,"sini punggungmu, dibalur dengan boreh kencur, biarcepat keluar angin tubuhmu…" Mungmang menertawai keadaan Ki Juluk yang olengantara sadar dan tak sadar. Setelah menghabiskan sebatok bubur dan air jahe sebumbung, Ki Juluk dipapah ke balai oleh Wari, begitu rebah, mata Ki Juluk langsung terpejam, jatuh tertidur dan tak tahu berapa lama Wari membaluri seluruh tubuhnya dengan boreh kencur.
     Ada empat hari Ki Juluk seperti masih berada di atas jukung, kepalanya berputar-putar dengan denyut yang menyakitkan di pelipis.  Wari dengan cermat merawatnya dan Mungmang setiap saat mendampinginya memijat bahu dan betisnya. Mabuk laut memang penyakit aneh, begitu tiba-tiba menyerang kemudian lenyap seketika, Ki Juluk saat terjaga  pagi itu terpana sendiri, hanya merasa lemas,pusing yang berputar-putar itu entaha pergi kemana,nyeri di bahu dan betisnya pun lenyap tanpa sisa, sungguh ajaib.
     Begitu melihat Ki Juluk telah terbebas dari mabuk laut, Mungmang segera mengajak KiJuluk ke pancuran,"kamu harus berendam, mengguyur kepalamu, keramas dan bersihkan mulutmu; nanti siang kita mesti membuat upacara selamatan, Wari sudah menyiapkan perlengkapannya, biar nanti kamu tidak lagi diiikuti sama parapenghuni laut.."
      Mandi di pancuran dengan kucurannya sebesar pohon kelapa, berendam dan menggosoktubuh, melepas lekat air garam dan daki, kemudian keramas dengan santan kelapa berulangkali, hingga kulit Ki Juluk menjadi keriput barulah kaki terasa kembali menjejak tanah, pikiran bekerja dan menyadari dimana kini diri berada. Rasa asing kini mulai menyergapnya, tetapi ada Mungmang juga ada Wari. Lalu ia ingat buntalan bekalnya. Ki Juluk menenangkan dirinya, semoga isi bekalnya tidak hilang…
      Dengan gontai, ia mengikuti Mungmang kembali ke pondok disambut Wari yang telah menyiapkan sajen untuk doa keselamatan. Wari dengan cekatan memberi petunjuk apa yang mesti dilakukan oleh Ki Juluk kemudian doa pendek dipimpin oleh Mungmang. Setelah itu mereka bertiga makan dengan lahap sajen yang tadi telah dipersembahkan kepada hyang dan leluhur berupa tumpeng kuning dan ayam panggang, sambel pedas dan ketimun muda.
      "Nah sekarang, barulah kamu kembali ke darat, pulang ke bumi…" kata Wari setelahmelihat Ki juluk kekenyangan dan matanya mulai bercahaya, tidak kuyup lagi.
      Mungmang tertawa dan menepuk pundak Ki Juluk berulang-ulang,"sekarang kamu bisa mulai menyiapkan bahan-bahan melukismu…" Ki Juluk seperti tersengat hatinya. Pulihkini kesadarannya secara utuh, tugasnya ke sini adalah melukis. Duhai, iatersipu dan membiarkan tubuhnya digoyang-goyang oleh tangan Mungmang yangkekar.
      "Mungmang sebelum Kadasa berakhir, baik sekali mulai mencari daun lontar…"
      "Hanya di sekitar Kalapa adanya lontar, di tempat lain, hujan turun tak mengenal musim. Sudah kutahu dimana tempatnya, ladang-ladang itu milik Aki Burun, dia pembuat tuak yang terkenal… memiliki puluhan pohon lontar!"
      Mungmang memang pemating yang terlatih,kegilaannya di tengah laut tak berbekas, walau nampak kasar, Mungmang cerdikdan taat, juga kewaspadaannya tinggi, saat Wari pergi ke pancuran, Mungmang mengingatkan Ki Juluk,"tetaplah hati-hati kepada Wari sekalipun, tetangga terdekat itu kakak si Wari, semua orang di sekitar ini adalah kerabat Wari, kadang kemari singgah juga ada beberapa orang lain  datang membantu Wari membuat gula dan minyak, jika ditanya,buatlah cerita mengenai hubungan keluarga kita…Kamu mengerti yang kumaksudkan?"
      Ki Juluk mengangguk, sebelum berangkat ia memang sudah mendapatkan bekal mengenai gambaran daerah yang akan dituju: Negeri Sunda.
      Pelahan dadanya berdebar. Betapa jauh kini terasa kampung halamannya, jauh di sana di Jawa Timur, tepatnya di ibu kota Majapahit.      Oh, betapa malang kelahiran bila kegemarannya menggambar menjadi  hukuman bagi seluruhkeluarganya. Mata Ki Juluk berkaca-kaca, rasa pedih menusuk hatinya.
      Mungmang menepuk pundak Ki Juluk,"sudahlah, tenangkan hati, kamu tak sendiri mengalaminasib seperti ini, banyak yang lain…Serahkan kepada hidup, jalani…" Mungmang menenangkan Ki Juluk yang tiba-tiba terisak, kini nampak benar betapa masih belia Ki Juluk, yang bernasib malang justru karena bakatnya menggambar…
      "Sudah…Sudah,hapus airmatamu!..."
Jauh dari keluarga, jauh dari keriangan. Mungmang mengajak Ki Juluk memasuki ladang-ladang menjauhi wilayah pelabuhan Kalapa. Udara panas laut masih terasa namun tempat kian meninggi. Ki Juluk tersenyum saat mulai melihat barisan pohon lontar. Mungmang hanya menjadi penunjuk jalan mencari pondok Aki Burun, pembuattuak yang terkenal di Kalapa.
        "Itu Lontar betina…"
        Mungmang mendongak hampir tertawa,"Lontar betina?"
       Ki Juluk mengangguk,"Lontar itu ada yang betina dan yang jantan, yang ada buahnyaitu betina.."
Mungmang kini tersenyum lebar,"Ah, semua pohon lontar berbuah.."
       " Perhatikan Mungmang, buah yang jantan kecil-kecil, tidak bisa dimakan, kalau buah yangbetina bisa dimakan…"
Tiba-tiba suara Aki Burun terdengar,"Mungmaaang, kaukah itu….?"
      "Iya…..Aki, iyaaa…"
      Setengah berlari Mungmang melangkahi jalan tanah yang dibuat mirip undakan ditahan kirikanan dengan batu-batu.
Aki Burun masih tegap dan gesit, Ki Juluk diperkenalkan oleh Mungmang sebagai sepupunya,"Jadi kau pulang ke Jawa untuk jemput adik sepupumu ini?...Bagaimanakeadaan di Jawa?"
     Mungmang hanya tersenyum-senyum,"Juluk ini tukang gambar, jadi kalau di pelabuhan masihbisa gambar mendatangkan kepeng. Kalau di dusun, jadi bahan tertawaan, Ki…"
      Aki Burun tertawa mendengar penjelasan Mungmang,"Iya, kalau di pelabuhan, inimengadu peruntungan. Kalau Jung orang kocindatang, orang dari negeri-negeri jauh, biasanya mereka juga beli apa saja…Siapa tahu mereka juga nanti menyukai hasil gambarmu…"
KiJuluk hanya tersenyum tipis, mengalihkan pandangan, menatapi deretan cekel wiladi dinding pondok Aki Burun, dihirupnya bau nira yang tengah disadap di pohon.
      "Hayolah, cicipi tuak manis bikinan Aki Burun…"
Mungmang dengan senang hati menerima satu bumbung tuak manis, lalu menyampaikan niat untuk membeli daun lontar kepada Aki Burun.
      "Ah,tak usah dibeli…Nanti kalau gambar si Juluk ada yang beli, barulah membeli daun lontar. Tapi kau akan pakai yang pucuk atau yang batang?"
"Kalau bisa yang batang, lontar bulan, Aki…"
     Mungmang tersentak,"Lontar bulan?"
Aki Burun terkekeh,"kau mungmang, mana mengerti jenis lontar….Ada beberapa pohon lontar bulan, kau bisa manjat sendiri?"
      Ki Juluk mengangguk. Mungmang mengeryitkan alisnya,"biar aku saja yang manjat…"
     "Jangan,nanti kamu salah memotong…" Aki Burun dengan cepat mencegah niat baik Mungmang,"Biar kau tahu Juluk, si Mungmang ini tidak ada peruntungannya denganpohon, tak bisa bikin tuak, bisanya hanya minum. Jadi pohon jakamu siapa yangmengurus? Masih si Bangu?"
      Mungmangmengangguk, tersipu malu. Ki Juluk hanya tertawa, memang tidak mudah membuattuak, tidak sekedar memotong batang buah lalu menyadap. Harus rajin mengetuksetiap pagi batang buah pohon jaka yang terpilih untuk disadap tuaknya.
Hampir setengah hari Ki Juluk diawasi oleh Aki Burun memetik daun lontar. Mungmang mengumpulkannya dan merasakan bulu-bulu daun lontar menimbulkn gatal ditangan.Ki Juluk nampak cekatan memetik daun lontar dan tak nampak risau dengan bulu batangan lontar.
      "Ah,sekarang ada orang yang bisa kusuruh bersihkan pohon lontar…." Aki Burun terkekeh,"Aku sudah tua, banyak pohon kubiarkan tak dipotongi, sudah lama akutak menjual daun lontar untuk dianyam…"
      Ada dua pelukan Ki Juluk banyaknya daun lontar yang terkumpul. Mungmang dengan gesit segera memanggul satu peluk dan peluk yang lain dipanggul Ki Juluk,keduanya meninggalkan pondok Aki Burun yang lega memandangi pohon-pohon lontarnya yang kini nampak lebih ringan dan bersih; kelak batang bunganya akangemuk bisa disadap untuk menjadi tuak yang manis rasanya.
      Sambil bersisian memanggul daun lontar, Ki Juluk menerangkan cara membuat daun lontaryang akan digambari,"Dijemur dulu sampai kering Mungmang, kalau sudah kering benar baru diasapi di perapian…setelah itu baru direbus…"
Setibanya di pondok, Mungmang mencari galah bambu mulai memancangkan untuk tempat menjemur daun lontar. Wari yang sudah kembali dari pancuran melongok sejenakdari pintu dapur, melihat suaminya dan Ki Juluk sibuk menyiapkan tempat menjemur lontar,"Biar tidak diberaki ayam…belum lagi kalau babi lepas.."Mungmang memang cekatan, akhirnya ada pancang penyangga untuk menjemur daunlontar,"kalau malam, lontar ini dipindahkan ke dapur?"
      KiJuluk menggelengkan,"Biarkan saja, kena embun, kena hujan….itu membuat kuat lembarannya…"
"kapanmulai mengasapi?"
        "Setelah benar-benar kering, kita mesti membuat penyekat di atas perapian, jaraknya dengan tungku perapian dua lengan…pengasapannya lama Mungmang, enam purnama.."
Mungmang nampak terkejut, lalu tertawa,"Lama benar membuat lontar…."
      "Memang lama…" Ki Juluk tersenyum,"Kita juga harus mencari daun pudak.."
      "Pudak harum? Banyak di tepi pantai, di sebelah utara banyak betul…" Wari menyahut dari dalam dapur.
      Bagi Mungmang apapun perintah Ki Juluk, ia akan mematuhi dengan caranya sendiri,yang ia jaga adalah agar istrinya tidak curiga kalau Ki Juluk bukanlah keluarganya. Karena itu dengan suaranya yang meledak-ledak kadang ia terdengar seakan memarahi Ki Juluk, biasanya Wari akan mengingatkan,"Sabarlah Mungmang,Juluk masih muda…"
      Ki Juluk mengerti sikap Mungmang, sebab bila salah bersikap akan ketahuan siapa Mungmang sebenarnya dan akan menyulitkan dirinya menyelesaikan tugas.
     Akhirnya  daun-daun lontar itu berderet, mulai dijemur. Mungmang terkekeh puas dan mengajak Ki Juluk memasuki dapur. Wari mengingatkan Mungmang agar membersihkan kulit kelapa,"besok aku mau membuat minyak, sudah habis daganganku…"
Disamping membuat minyak, Wari juga kadang membuat gula aren, tetapi mendapatkan tuak untuk dijadikan gula tidaklah mudah, belum lagi Wari hanya mengandalkan sepupunya si Bangu untuk menyadap tuak, Mungmang tidak bisa diharapkan untuk belajar menyadap tuak, Mungmang lebih suka melaut, kini Wari berharap Ki Juluk bisa membantunya menyadap tuak,"Juluk kami bisa menyadap nira?"
     "Iya bisa sedikit, tapi mencampur lau saya kurang mahir…"
       "nanti tanyakan pada Aki Burun.." Mungmang tersenyum kecil, Aki Burun pasti senang adatenaga baru yang bisa membantunya membuat tuak. Musim panas akan segera tiba,tiga bulan ke depan pelabuhan akan ramai didatangi Jung-Jung dari berbagainegeri. Tuak akan laris manis. Pelepas dahaga dan pelupa beban hidup.
       Ki  Juluk merebahkan badannya, masih tersisa lemas dari mabuk laut itu. Sambil menerang memandang langit-langitkamar, airmatanya membuncah. Sayup ia mendengar suara Mungmang memanggil Wari,samar ia mendengar suara ayam-ayam yang berebut makanan juga dengus babi….kapan aku pulang? Ki Juluk tersengal menahan isaknya. Mengapa nasibnya harus merantau sejauh ini?   Mengapa bapanya tega menyerahkannya ke karang kepatihan? Ki Juluk tidak habis mengerti, mengapa dirinya yang terpilih di kirim ke negeri yang tak pernah ia bayangkan hanya karena ia  menggambar seorang puteri yang tak sengaja ia lihat?
Airmata Ki Juluk mengalir deras hingga dadanya tersengal menahan isak, lalu lelah pedih membawanya jatuh dalam tidur yang sedih, dengan bibir meracau memanggil ibunya.

(BAGIAN I, (MATINYA PENGUASA, sebuah novel, by cop sawitri/ 2007)

GERURITAN I KOCONG MAJU PILKADA : hayooook.......belajar mageguritan....


ampura, kantun ngabagin niki: mangde malih semangat mageguritan...mangde wenten anggen pakandel manah. yening iwang ampurayang, titiang wau malajah puniki
katur; raris cawisang

GERURITAN I KOCONG MAJU PILKADA
GURITAN KAPARTAMA
Olih cok sawitri

DURMA
gumi wayah keneh buduh manyinahang
I kocong nyalonang diri
sai-sai  masuluh mameka
bala ngelah pipis membah
I kocong mangetek kanti
marasa menang
ngantungang blakas matali

timpal tuak calegak  cleguk nyaratang
mai jani tangkil ka partai
matur kwangen sasembahan
mapan keto kasiur orta
amun kar nyalonang diri
lagasang mayah
mula maal hargan korsi

I kocong kedek katudun masemita
nelektang sane mamunyi
I Nyamprut kasub madaya
bilang pemilu matanja
ngaku liu ngelah pamilih
alah sodagar
amun cocok kude bani

dayane  Nyamprut suba makejang nawang
munyi manis buin mandi
tosing takut yan getarang
liu gati ngelah jawaban
dapin mayah kar kalilih
mula inan celang
bilang menang kaakuin

matur nyunyur sambilang makakedekan
I Nyamprut ngaraos manis
kudang rupiah kar bayahang
bli mangde mapawilangan
uli neken administrasi
ngumpulang massa
bilang song  nagiang pipis

I Nyamprut mahbahang politik pilkada
yen pusat anggon pamargi
gampang susah mapaitungan
asan inggas acepokan
nanging beten lakar ketil
makejang layah
sing barenin lakar brangti

Yan mamilih pamargine cenik lantang
uli beten dalit pipis
alah mikat anak bajang
apang boh matua sayangang
tosing ade ngaremikin
nang bli ngitungang
sing dikori manyelselin

GINADA
I kocong kenyemne jengah
suba mebo dayan dungkil
i Nyamprut bungutne makuah
angob mase nu kagugu
suba samah anak punyah
kena dalit
nugtugin dayan ane corah

nang  bahbahang teken icang
dija tongosne kantin cai
apang melah icang mayah
apang tusing masang bubu
tukad ngetuh ape amah
care jani
timpal seken mase lawan

I kocong silib manantang
ane suba kaketekin
dajan pangkung dauh tukad
watek soroh suba suluh
gria puri dadia pura
alah lidi
anggo ikat keneh melah

ane suba kajalanang
bli tangar ken dayan cai
cai ngarit mase ngabas
nyemak pipis dini ditu
ane menang kasuryakang
ne kalilih
karaosang mayah kuang

apang sumeken nawang
bli maju ulian nurani
suba tegep duang tiban
bli sayaga lakar maju
wiadin kalah lakar tohang
sing mapipis
nirdon menang dipayudan

DEMUNG
I nyamprut makeliab masahut bangras
dados  lagas nungi-nungi
apang galang teken sulur
tiang ne anggota partai
kapala cabang nto ipah
ajak sai medem bangun
ape raos keto oraang
amun bogbog sander tatit
ne melah-melah kanehang
de malu masolah kaku

Buin I nyamprut jantur ngaraos napnap
kudang gubernur bupati
nang sambatang keras aukud
bidang kauh bidang kangin
ade suba ngaremonang
kalah ulian kena uluk
I nyamprut bani masumpah
ngacorang didalem puri
melahang bli nganikaang
apa tusing biut malu

Matur adeng halus mata kalem galak
mula pakembar sujati
suba mumbi nguluk-uluk
patuakane jani sepi
I nyamprut ngalegar sanga
nyangih tiuk uli hulu
mai jani mapitungan
nyongklak dayan reformasi
ne pantes ento entungang
ulian jujur tosing payu

Nang jejerang ane madan wakil rakyat
apa saje nawang politik
maan pangkat ulian guyu
ne cen masekeha partai
ne rajin nekot atasan
dadi panjak dueg ngajum
ento madan loyalitas
maan gelar politisi
elah maju maan pangkat
apan ento ne kagugu

Yen meled ngarebutang pangkat pilkada
ane  makelas bupati
pipis menang gede bayu
dueg ngalemuhang ati
konden nagih apang maang
alahan ken punyan kayu
menek tuun anak wayah
mun gerit matoh nurani
pingkel-pingkel nyan i dongkang
‘to jabatan sing paunduk

Selediang makejang para manggala
Sajan ke ngadut nurani
Makejang magandong bubu
Ane lepet juk pulisi
Amun aget makapangan
Manakang pipis seket siu
Panak korsi ‘to milyaran
De matimbang beneh pelih
Jani patuh jak makejang
Patuh daya patuh saru

I nyamprut ngaprusang tuakne manantang
mun bli ngawala nurani
Tiang lagas mahang pur
Montor tiang pijer bukti
Petoh tiang yan bli menang
I koncong tangkahne siur
Petuakanne telah tegak
Makejang pade manganti
Alahan siap kakembar
I koncong wales mangadu

(JAGI KALANTURANG…..MALIH PIDAN MINAB)

Kisah Negara Tetangga Saya


KISAH NEGARA TETANGGA SAYA
By Cok Sawitri

Halaman pertama

Seperti layaknya politisi muda yang naik daun, entah mengapa kalau karier membaik itu disebut naik daun. Saya pun membuka halaman pertama dari rencana mulia dalam kepala saya, yaitu melahirkan genre baru dalam sastra; sastra prosa fisbuk. Karena itu, dengan wajah berminyak menahan gejolak ide-ide yang berlompatan dibalik dahi, jadi jelas tidak akan nampak dan tidak akan teraba, saya cukup tersenyum, bersuara santun, teratur untuk menjelaskan, bahwa saya bukan mata-mata, bukan penulis sejarah, bukan juga orang yang suka bergosip. Saya di negara saya, termasuk warga negara dengan nomor induk yang tidak cantik, jadi kategori pelengkap derita, kelas bukan menengah, juga bukan berat-ringan. Tetapi karena itulah, saya memiliki kesempatan banyak mengamati negara tetangga saya. Itu sejak lama, kalau saya boleh berkata; lamaaa sekali itu terjadi, tanpa saya sengaja, tanpa saya rencanakan, sebab hampir sejak saya sadar mulai ingat bahwa ada negara yang sibuk sekali mengurus agama warga negaranya, setiap berita kenegaraan yang disiarkan secara internasional, saya sukaa tertegun-tegun, betapa religiusnya negara tetangga saya itu. Sedangkan negara saya, yang luasnya cuma satu setengah are, bangun dengan batako kualitas tiga, bukan kategori hak guna pakai ataukah hak guna bangunan; saya itu mengontrak wilayah negara saya itu, hampir sekitar sepuluh tahun; sukurlah hak tanah dan air yang saya tempati, yaitu pemiliknya, bukan penguasa, bukan presiden, gubernur, bupati, camat, lurah, ketua kampung, RW, RT, kelompok, semuanya itu tidak ada dalam tata negara rumah kontrakan saya. Negara saya itu memang jauh dari riuh rendah investasi, lebih banyak riuh rendah suara nyamuk, kodok, dan hubungan-hubungan dengan pihak luar; dengan negara-negara tetangga sebelah menyebelah juga sangat santai, kadang peduli, kadang tidak. Oh, saya hampir melantur. Kembali ke soal mengapa saya akan menulis kisah negara tetangga saya, itu disebabkan dimotivasikan oleh ketidakmampuan saya untuk mengisi waktu sebagaimana dituntut oleh zaman; pekerjaan saya tidak jelas, jelas banyak waktu saya menonton tivi, membuka internet. Oh, saya harus mengembalikan ke wajah politisi muda itu; wajah santun, perutnya bulat, jalannya ngangkang, dan tutur katanya sopan, sekali lagi teratur.
Bagi saya, sungguh menarik berbagai berita di dunia ini, semua negara berlomba-lomba mengabarkan kejadian atas dirinya; kejadian olah raga, kejadian bintang film cerai, dukun hebat, tokoh agama yang maksiat; segala macam berita bermunculan dan biasanya, saya takjub, karena ternyata tugas media itu adalah memberitakan apa saja.
Sekali waktu mediaa negara tetangga saya itu begitu getol sangat semangat memberitakan seorang lelaki muda dengaan rambut yang nampak aneh, mirip wig, dan ternyata wig, kata berita itu dia itu koruptor. Luarbiasa, masih sangat muda, pangkatnya tidak tinggi, tetapi luarbiasa jumlah korupsinya bahkan kemudian bisa jalan-jalan saat ditahan. Bagaimana saya tidak takjub. Sejak tahun 1997, sekitar bulan Juli, saya sudah takjub dengan negara tetangga saya itu. Waktu itu belum trend HAM, belum, baru segelintir orang yang ribut soal HAM. Juga waktu itu belum fasih sekali orang bicara gender dan politik, baru draft pembicaraan, kata kolega saya dari tetangga negara yang lain. Nah, halaman pembuka ini, halaman pertama ini, semacama uji nyali ingatan. Bahwa peristiwa itu, suasana sangat terik, di bawah lampu yang tidak terlalu terang, saya membaca berita yang menurut saya itu; sesuatu yang mengejutkan, sebab selama saya tahu mengenai negera tetangga saya itu, jarang sekali ada berita sedahsyat dan sepertinya sedang ada proses goyangan politik kepada pemimpin negara tetangga saya itu, ya, maklumlah, saya selalu takjub, bahwa negara tetangga saya itu tampilannya tidaklah semencekam kisah negara-negara eropa timur dan beberapa negara yang dipimpin otoriter, negara tetangga saya itu, malah kesannya manis, banyak senyum, sekali lagi religius. Aduh, saya mau mengembalikan tujuan halaman pertama saya ini; melahirkan genre baru; prosa status fisbuk. Lalu perut saya mengembung, saya mesti makana banyak buah, minum susu, makan makanan sehat. Ya, tujuan mulia itu membuat saya teringat struktur negara itu mempengaruhi watak penghuninya; di negara daripada tetangga saya, siapa saja merasa di ibukota sepertinya merasa lebih maju, lebih tahu, lebih modern, lebih prihatin, lebih boleh gila; sindrom ini saya sebut, sindrom merasa dipusat, macam naik gunung, mencapai puncak menancapkan bendera, berada di pusat, merasa mencapai puncak. Nah, puncak di negara tetangga saya ada namanya Monas, itu tugu, dan sepertinya jadi banyak berita saat ini, saya memikirkan genre sastra baru. Lalu lalang pikiran saya ini selalu menyiksa, saya ingin segera memasuki halaman kedua, apapun kelak ceritanya, tetapi kepengaruhannya akan menjadi catatan penting di dunia maya.
HALAMAN KEDUA
Entah tanggalnya berapa itu, saya lupa, saya bukan pencatat yang baik itu rasanya hari minggu, dan semampu saya ingat, itulah pertamakali saya memperhatikan wajah ibu negara daripada tetangga saya itu; bulat dan cantik. Ibu negara yang sepanjang saya tahu selalu memakai kain dan kebaya, dan sesekali memakai rok terusan, warna bunga-bunga dengan kacamata, wajah umumnya nenek-nenek yang bersih dan penyayang. Nah, katanya ibu negara tetangga saya yang sekarang, kurang saya perhatikan, walau ada yang percaya, menurut artikel di internet; wajah bulat, wajah rembulan, wajah hoki buat kekuasaan suami. Tetapi itu hari apa ya, hari Minggu, saya mulanya agak malas menghidupkan televisi, sambil mata meremang, mata menahan kantuk, terhuyung ke kamar mandi.
Duduk melepas kencing dengan mata setengah menerawang, lalu mencuci muka berulang-ulang, sayup-sayup terdengar; ibu negara tetangga saya dinyatakan wafat! Meninggal; pergi ke dunia lain. Dengan mengerutkan dahi, saya berdiri di depan televisi, mencari stasiun yang lebih bisa dipercaya, kabar itu ternyata kategori breaking news, segera menjadi berita utama disemua televisi yang bisa antene jangkau. Saya teringat bahwa dalam kepercayaan-kepercayaan kekuasaan yang abadi, klenik adalah satu menjadi gosip utama. Para dukun adalah juru siar secara diam-diam mengenai bagaimana memberi tips kepada siapa saja yang ingin berkuasa. Dari puasa ini-itu, pantangan ini-itu, tumbal ini-itu, menanam pohon jenis tertentu bahkan dalam memilih menantu; hari lahirnya harus diteliti, bukan latar belakang keluarga, pribadi alias watak. Ah, watak kata ini sudah lama saya tak dengar. Watak! Watak manusia itu memang jerih pada sesuatu yang sulit dibayangkan, sulit dijangkau, selalu mencurigai kegelapan, lebih nyaman di suasana terang. Asal muasal lampau ketika listrik belum ditemukan, kegelapan justru menyilaukan, justru menginspirasi. Aduh, mulai lupa, melantur, kembali saya melihat televisi; iya benar, duka cita yang dalam, teka-teki nasib penguasa itu pun dimulai, itu dimulai di hari minggu, rasanya itu bulan april, saya lupa-lupa ingat.
Bapak tua itu, pemimpin negara tetangga saya sesungguhnya ganteng, manis dengan suara yang meyakinkan. Rapi, cermat juga tidak emosional. Menurut saya pandai mentatakramakan berbagai hal, menjadi sesuatu yang berjarak dan dingin. Hari itu pun nampak berwajah tenang, penguasaan diri yang luarbiasa. Menakjubkan. Didampingi putrinya yang menurut gosip internasional akan menjadi penggantinya, nampak jauh kualitas dalam berbagai hal. Seperti umumnya anak-anak yang dimanja dan dalam asuhan kekuasaan yang lama dan rigid, nampak rawan bahasa tubuhnya. Oh, barisan orang-orang yang datang itu, televisi selalu pandai membuat pertannyaan di hati. Tetapi itulah pengaruh visual. Saya ke dapur, menyalakan kompor, memanaskan air. Berpikir untuk beberapa hal, apakah saya akan makan di luar atau masak ala kadarnya dan menonton televisi. Televisi adalah hipnotis sejak keberadaannya makin tak terkendali.
Jangan-jangan benar ya, istri itu berpengaruh kepada kekuasaan lelaki. Saya mengaduk kopi, mencicipi dan mencoba memahami logika yang dirasakan seorang lelaki tua setelah puluhan tahun hidup dengan istrinya. Tiba-tiba saya terharu, dapat mengerti jika ada salah satu komentator yang culas mulai menganalisa mengenai hari-hari akhir seorang pemimpin. Saya menghela nafas. Itulah hidup, itulah.
Lalu entah kapan kemudian, saya merasa negara tetangga saya tidak menarik lagi, untuk ditontoni beritanya, saya membeli setumpuk film serial kungfu dan serial detektif, tidak ingin lagi mengetahui kisah negara tetangga saya itu. Hingga suatu hari, lupa lagi saya tanggalnya, itu bulan juli, dan ada berita mengenai kisah orang-orang hilang. Ah, negara tetangga saya memang menarik, tidak ada yang bisa menebak, tidak yang bisa meramal, ketika suatu hari dollar melambungkan dirinya ke harga yang luarbiasa, negara-negara tetangga saya; mulai berhitung soal biaya impor dan biaya eksport. Menjadi lucu, ahli ekonomi baru menyadari ternyata membayar dengan dollar bisa mengambrukkan ekonomi dalam negeri apalagi jika itu menyangkut bahan baku untuk barang-barang konsumen. Itulah kisah para naga dihanguskan oleh harga paman sam. Itulah alasannya, saya kembali menontoni negara tetangga saya, mengamati apa yang mendorong keberanian-keberanian itu muncul, entah berupa komentar, entah demo....
saya lapar.

Tumbal, Bunga Mawar Turun dari Kahyangan

catatan pementasan parade teater SOUND GARDEN- DENPASAR

TUMBAL DEWI COKEK;  kisah sedih di malam minggu, bunga mawar turun dari kahyangan
oleh. cok sawitri.

Tidaklah bisa disebut alkisah, apa yang dijadikan narasi dalam pentas 18 Januari 2014 di Sound Garden oleh Herlina Syarifudin tetapi itulah kenyataan-kenyataan getir, penuh linangan darah dan airmata yang kerap menimpa rakyat di negeri ini, kerap pula terlupakan buat dicatatkan dalam sejarah, terlupa pula sebagai kabar berita. Disitulah momentum ketika teater menjalankan kewajibannya; menyuarakan yang terbisukan, menerangkan yang digelapkan.

Pembantaian terhadap kelompok minoritas di berbagai pelosok wilayah negeri ini selalu terjadi dan (akan dipelihara untuk terjadi lagi dan lagi) dan selalu didorong alasan-alasan politik sempit dan ganas, selalu pasti memakan korban; kematian seorang gadis bernama Romlah misalnya, anak keturunan Tionghoa yang ketiban pulung dalam tradisi Cokek, bintang panggung; penari dan penyanyi di rumah kawinan seorang babah, menjadi kenyataan yang tak terbantahkan; negeri ini terlalu banyak memiliki halaman-halaman kisah berlinang darah dan airmata.

Melalui pentas yang menawan; satire dan bergaya lenong yang interaktif dengan penonton mengungkapkan  bagaimana tradisi gambang kromong di wilayah Batavia di masalalu, sejarah kelahiran seni pertunjukan di era kekuasaan Belanda oleh warga keturunan Tionghoa. Jenis kesenian ini sempat berjaya sebagai seni pentas elitis dan bergelimang uang, kemudian seni cokek ini dibrangus entah oleh siapa di awal kekuasaan orde baru.

Romlah, yang diyakini titisan Dewi Cokek serta  banyak orang lainnya, yang tak bersalah telah terimbas keganasan kekuasaan dan membenamkan begitu banyak kenangan indah. Kini hanya meninggalkan jejak ingatan yang menyakitkan.

Herlina Syarifudin telah membangun naskah dan pola pemanggungan yang tumbuh dalam 14 kali pemanggungan, pematangan pentas dilakukannya dalam proses perjalanannya dari satu panggung ke panggung yang lainnya, menjadi perjalanan proses kreatif yang menarik dan menginspirasi. Pentas Tumbal Dewi Cokek malam itu dimulai dengan sapaan gaya khas seni pertunjukan tradisi Betawi; kisah pun dimulai dengan gambaran mengenai bagaimana tradisi cokek itu  di masa lampau; sang bintang, dewi cokek akan selalu ditemani beberapa gadis lainnya yang disebut wayang cokek.

Alunan lagu pantun ritual, yang kata-katanya sangat indah, unik dan menyentuh yang mendengar mengalir dengan kecanggungan yang mengundang senyum, kemudian dilanjutkan dengan musik ‘sayur’ untuk memberi peluang penonton ngibing. Interaksi yang dibangun ini memang terpola dan suasana terasa makin menyentuh hati, saat syair khas gambang kromong menggema memenuhi halaman SOUND GARDEN: bunga mawar turun dari kahyangan…sayang di sayang…dst

Herlina memiliki pengalaman yang cukup untuk mensiasati beban kisah yang berat, yang harus dibawakannya sepanjang satu setengah jam. Pada adegan razia oleh kelompok ormas yang telah dimaklumi akan mengatasnamakan demi kepentingan ‘religius’ penonton mulai dijebak untuk masuk dalam wilayah panggung tanpa batas.  Tawa akibat penonton yang didaulat menjadi ‘wakil’ penjaga kesucian dan menafikan kegiatan seni cokek hampir tak putus sepanjang setengah jam, dialog dadakan, kerikuhan dan suasana kagok menjadi cermin; betapa sebetul kecanggungan itu telah terjadi pada hubungan keberagaman di negeri ini, lalu  ketercenungan silih berganti bermunculan dalam pentas itu ketika Herlina mengisahkan  ketragisan pembantaian di komunitas seni cokek itu.

Herlina berupaya untuk menjaga beberapa ciri gestur dari tradisi tua seni cokek seperti gerakan tarian; lalu menjaga kekhasan ‘cengkok’ saat menyanyikan lagu-lagu  gambang kromong versi cokek, sangat terasa ‘jeda’ pembedanya dan walau memang  akan banyak varian ‘style’ gambang kromong di wilayah Batavia kala itu, terutama dalam masalah dialek dan idiolek, malam itu pertunjukan Tumbal Dewi Cokek menjadi permenungan yang membuat semua orang terkesima, bahwa kekayaan seni tradisi di seluruh nusantara itu begitu banyaknya, begitu rupa terlupakan dan apalagi jika diberangus dengan kekerasan, maka keberadaannya pun seakan ‘tak pernah ada’.

Maka Herlina harus cukup cermat untuk tidak terjebak pada gaya lenong pop, yang sempat menjadi trend di wilayah audio visual ditahun 90-an, harus hati-hati masuk dan keluar dalam jebakan lawakan yang memang akan menyeret ke luar alur dan plot kisah menjelaskan kegetiran dan kesakitan dibalik warna-warni selendang dan busana sang Dewi Cokek. Kegamangan Herlina hanyalah satu, yakni eksploarasi naskah yang nampaknya belum tuntas dan improvisasi yang kadang membenamkan narasi penting mengenai ketragisan nasib komunitas cokek.


Namun malam itu, Sound Garden di bawah pimpinan Gung Anom, membukukan kurikulum programnya Tumbal Dewi Cokek  sebagai pentas ketiga (triwulanan) parade teater Indonesia, dengan warna-warna pementasan yang berbeda. Kelegaan lainnya, penonton teater di seputar Denpasar kini telah tahu, Sound Garden sebagai salah satu tempat untuk menonton teater yang mengasyikan.  Malam itu, di bayangi mendung tebal bergayut di langit kota Denpasar, halaman SOUND GARDEN dipenuhi  penonton dari berbagai kalangan;  penuh gelak tawa bercampur lecutan pedih untuk memasuki perenungan; bahwa komunitas seni di negeri ini, kerap menjadi sasaran keganasan peralihan kekuasaan, dan bahkan kini pun masih berlangsung  oleh kepentingan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan keyakinan tertentu, kerap melakukan pelarangan dan pembubaran bahkan disertai kekerasan,  hasilnya seperti biasa adalah linangan darah dan ingatan yang getir, lalu ekspresi itu pelahan dimatikan, kemunafikan pun disuburkan disemua lini.

(sound garden, denpasar, 2014)

EKS-PERI-MENTAL NANOQ : PENTAS DIKUJUR TUBUH, INSTAL TANPA KONEKSI


Catatan pentas Parade Teater Indonesia-Sound Garden

Hampir dipastikan penonton pasrah menerima pementasan Nanoq  Da Kansas untuk memasuki situasi yang diperlukan yakni; situasi mau tak mau harus memilah dan memutuskan, bertanya dalam hati atau mengerutkan kening.  Pentas Rek-lama-si(h)  diawali oleh pidato Nanoq yang tentu berupaya keras tidak dimasukan dalam kaitan keutuhan pentas, tetapi dalam teater instalatif apapun yang terinstal dalam panggung; itu bagian pementasan. Nanoq bercerita berusaha untuk tidak naratif, berusaha untuk sedemikian hingga terganggu oleh lalu lalang para pemain yang usianya masih muda-muda, generasi kelima dalam Komunitas Bali Eksperimental Teater yang tahun ini berusia duapuluh, generasi  yang ada dalam era-teknologi dan globalisasi; yang telah terbiasa menjadi penyampah; gerenasi yang rajin membeli dan rajin membuang; pabrik sampah itu adalah setiap orang, tidak siapa, kita semua.

Nanoq tidak akan membiarkan narasi pidatonya itu menjadi narasi menjelaskan kemana kisah akan bergulir; dan inilah bagian paling menarik dalam pentas ini, yakni  bagaimana narasi dalam pentas itu dihindari namun kisah itu harus terjalin. Instal selanjutnya adalah dua anak remaja mengusung bendera merah putih diantara tali, baskom penuh cat putih, gelayutan kardus, karung, baju seragam hansip; mengucapkan kalimat yang sebenarnya kalimat kesukaan Nanoq; ‘dikujur tubuhku’…..kalimat ini juga ditemukan dalam pentas Nanoq dengan  judul yang berbeda, begitu pula aksi menyiram tubuh, memandikan diri dipanggung; sesuatu yang paling 'dikhaskan' oleh BET.

Namun kali ini digunakan untuk menjadi motiv menggerakan proses pembentukan symbol dari awalan sebuah lagu wajib dari radio kecil, pidato yang seharusnya aneh, kemudian manusia sebagai pabrik sampah dalam abad kemodernannya, dan merah putih yang berupaya tegak dalam upacara yang  selalu kosong; kami bangsa udang…..(otak udang adalah perlambang kebodohan)…kemudian kami bangsa tempe…..dan kebiasaan mengenang kepada pahlawan, kekagumam kepada hero, terasa tepat diinstal dalam suara sumbang.

Penginstalan, meminjam istilah dalam ilmu tukang, dalam ilmusosial berusaha ditandingkan dengan ‘doktrin’ dalam dunia tanaman; cangkokan.Dalam bahasa produk massal; instan! Nanoq berupaya memberikan gugahan mengenai penimbunan sumpah serapah; kebauran, jungkar jungkir, serta ketidakjelasanberbagai komunikasi; sesakral apapun dalam hubungan kemanusiaan, kini komunikasi adalah sebatas ucapan; gerakan mulut.

Selebihnya, pentas malam itu, 14 December 2013, pentas kedua dalam parade teater Indonesia di Sound Garden Denpasar Bali; menjelaskan mengenai jebakan kepada semua pemain mengira ‘pentas’ yang seolah tak peduli dialog, tak peduli gestur….dst; justru yang diperlukan Nanoq adalah para pemain  yang memiliki kemampuan melewati rata-rata kebutuhan normal pementasan teater.Jika tak maka pentas instalatif ini tak akan menginstal tanpa koneksi istilah listriknya; konsleting; terutama kepada penonton; untuk berhak memilah, memilih dan mendebatkan gagasan itul;sebagaimana layaknya tujuan dari hampir semua pentas teater instalatif;penonton tahu dan berjarak, gagasan, ide, symbol…akan terpilah sepanjang durasi yang berupaya menginstalisaikan berbagai perenungan itu. Ruwet ataukah tidak tulisann ini, ini adalah tatakrama dalam menonton instalasi, namun setidaknya warna teater di Bali sungguh masih penuh pukau, setidaknya sepanjang durasi 55 menit.

(by. cok sawitri, agar tak putus semangat menulis soal teater, sebab menulis soal teater itu selalu semangatnya musiman….)

Epik dari Putu Satria Kusuma di Sound Garden Denpasar


Catatan pementasan TEATER KAMPOENG BANYOENING BULELENG

Epik dari PUTU SATRIA DI SOUNDGARDEN


Akhirnya 30 November 2013, dimulai tepat pukul 20.00, SoundGarden Denpasar di bawah pimpinan Gung Anom berhasil menghadirkan Sukreni Gadis Bali, dalam pentas teater besutan Putu Satria Kusuma.  Sukreni Gadis Bali adalah salah satu karya Panji Tisna,diterbitkan tahun 1936, konon pada mulanya berbahasa Bali. Di tahun 2013 saat Buleleng, Bali Utara mulai tergugah untuk membuat festival seni dikenal sebagai BUlfest, Putu Satria merasa tidak nyaman, jika sebagai orang Buleleng tetapi tidak membaca karya sastra orang Buleleng. Maka terpilihlah Sukreni Gadis Bali untuk dijadikan pentas teater; peralihan dari teks ke konteks ini kemudian mengalami perubahan muatan; ketika di Bulfest Putu masih merasa harus dalam irama ketika drama modern memasuki Bali melalui singaraja, kala itu di era Belanda masih disebut tonil sebelum disebut sandiwara. Ketika ditampilkan di Sound Garden, dalam program Festival Teater bulanan penuh warna ini, Putu mendorong pentas Sukreni Gadis Bali seperti yang disebut oleh teorinya Brecht,yakni epik suatu antitesis terhadap gaya dramatiknya Aristoteles.

Brecht berpendapat kurang lebih (saya tidak ingat secaradetail) bahwa tujuan utama pertunjukan teater tidaklah sebagai katarsis, tetapi menyadarkan orang-orang yang terlibat di dalamnya,  para pemeran dan penonton mengenai kondisi sosial masyarakat tempat mereka hidup yang niscaya selalu berubah. Nasib manusia, situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya, bukanlah sesuatu yang sudah terberi,  itu semua dalam keyakinan Brecht merupakan suatu konstruksi, buatan manusia, dan karena itu kalau manusia mau,ia dapat mengubahnya. 

Dalam pentas Putu Satria Kusuma kali ini, berulangkali Putu menyatakan di belakang panggung bagaimana mengembalikan ideology tujuanpementasan teater itu dan menjadikan proses dan pementasan teater itu sebagaiupacara. Dan dibentuknya kemudian adalah suatu upaya membawa teks ke dalam konteks kekinian. Kisah Sukreni Gadis Bali adalah kisah klasik, melihat tahun penerbitannya yakni tahun 1936, dapat diperkirakan situasi dan kondisi apa yangterjadi di Bali saat itu ketika Panji Tisna menulis. Isu kelas dalam masyarakat, bahwa yang diuntungkan di era transisi dari era penjajahan ke era kemerdekaan itu tetaplah yang memiliki kekuasaan dan yang dekat kekuasaan;tokoh ibu dan Gusti Tusan, mantri polisi yang dalam situasi kondisi saat itu teramat ditakuti tokoh antagonis yang dalam ramuan pentas gaya lama akan menjadi ‘alat’ sutradara menimbulkan daya cekam dan simpati, empati kepada tokoh sukreni, Ida Gde Suamba, serta tokoh abu-abu yang seorang anak jadah,hasil pemerkosaan, yang didorong tragedik ketika membunuh ayah kandungnya sendiri, tanpa ia ketahui siapa ayah kandungnya, sebaliknya tokoh ibu tak tahu jika Sukreni adalah putrinya sendiri, dan tidak tergugah ketika tahu bahwa gadis yang diumpannya untuk kekuasaan adalah putrinya sendiri yang ditinggalkannya di desa asalnya; desa manggis Karangasem.

Pentas yang hanya berdurasi 40 menit, dengan pengaturan cahaya yang belum maksimal, namun Putu Satria Kusuma mensiasati benar kondisi panggung Sound Garden yang memang relatif kecil. Dari awal pentas dibuka; Putu benar-benar memanfaatkan daya siasat dari memkomposisi semua pemain dalam titik-titik blocking yang rawan, dalam diam dan jika para pemain tidak disiplin karena dekat dengan penonton maka fundamen awal pentas itu akan keropos. Putu berhasil berkat sebelumnya menerapkan keberanian memecat pemain yang tidak disiplin,maka adegan pembuka ini terlewati dengan penyalaan lampu yang jelas nampak terburu-buru, percakapan antara Negari dengan pelanggan, lalu monolog-monolog yang dimainkan oleh seluruh pemain; memberi warna yang menjelaskan posisi epik dimana teks itu dijaga putu sebagai narasi dalam pertunjukan, dengan cerdas mensiasati segala ketidakmampuan memindahkan teks ke dalam konteks pertunjukan. Sebuah novel dibawa ke pentas teater tidaklah mudah. Maka Putu harus utuh menyajikan kisah Sukreni Gadis Bali. Yang paling menarik adalah figur  Ida GdeSuamba, orang kaya pemilik kebun dan diisyaratkan kaya raya, yang menjadi idola para gadis itu, tidak dimunculkan,namun terasa benar justru menjadi tokoh yang konteks mewakili kekinian; tokoh yang memiliki uang, selalu berjarak dengan sekitarnya, dan penguasa adalah centengnya pengusaha.

Jalinan yang menempatkan Putu tengah menggelar epik adalah  ketika Sukreni sebagai teks gadis cantik, diirikan Negari, diincar oleh kaum hidung belang, harus mewakili situasi kondisi saat ini, situasi kondisi Bali;inilah yang kerap disebut bagaimana membawa bentuk (form) ke dalam pola gerak dan narasi bergerak menjauhkan situasi kondisi kelampauan teks (kisah sukreni versi novel) bergerak ke dalam tafsir putu, dan penonton digugah untuk multi menghayati, merasakan, siapa sukreni itu, yang merasa dirinya adalah kintamani,besakih…hutan di jembrana, seluruh pesona bali yang kini menjadi perebutan kelas-kelas penguasa dan pengusaha ini dikoreo dengan khas oleh Putu, dan emosi dijaga untuk tidak menjadi nyinyir. Kemudian figur Gusti Tusan dan Ibu, Negari,dan kakak lelakinya, secara potensi sebagai pemain mereka bertiga bagus,memakai pendekatan konservatif; vokal, kesadaran ruang, pengalaman menjaga tempo permainan, serta taat pada dialog, ketiganya sangat kuat dan justru Putukali ini nampak terjebak untuk menjaga teks itu utuh sebagai tutur dan nyarisjatuh nyinyir ketika Gusti Tusan menuntut balas budi atas kemurahan hatinya kewarung milik tokoh ibu, meminta putri si ibu untuk dikawini. Dan tanpa harus menebak kedatangan Sukreni menjadi bagian adegan yang hampir mementahkan bangunan epik yang tengah dibangun oleh Putu, sukurnya ketika adegan pemerkosaan, gergaji mesin dan kehadiran anak jadah itu dengan digayuti plastik menjaga epik ini terjaga, membawa pada kalam Brecht, bahwa sekalipun ada satu figure tragedik dalam suatu pentas, namun situasi kondisi yang diciptakan itu haruslah tidak membuat penonton larut emosinya, namun penonton harus berpikir, memilih,memilah, benarkah Bali tengah dijual oleh ibu kandungnya sendiri, benarkah parakelas atas bali pengusaha dan penguasa tengah memperkosa Bali itu? benarkah situasi kondisi bali dari alam sampai kemacetan adalah situasi dan kondisi yang diciptakan? Itu semua bukan ciptaan para dewa. Dan artinya dapat dirubah, makaepik putu berharap akan adaa perubahan.

Sound Garden tahun 2013 ini telah memulai suatu tahap penting dalam ketidakmerdekaan berbagai ruang publik di bali dengan membuka ruang pentas teater, dan benar estetika itu adalah personal, namun seni pertunjukan selalu akan menjadi penggugah kesadaran atau dibiarkan menjadi bagian budaya massa, tidak menyadari tujuannya. Dan Sound Garden dengan hati-hati mengawali festival teaternya dengan mengundang Putu Satria Kusuma,dan itu berhasil; sebuah epik telah dihadirkan.

(ampura, bli putu, terpaksa tiang menulis, sebab kitasama-sama tahu, tak akan ada yang menulis kritik teater, dimedia manapun diBali ini)


(by. cok sawitri/2013)

PEMBRATAYAAN


Ditengah arus trend spiritual berlabel universal, ditengah upaya rasionalisasi apa saja mengenai tindakan keagamaan; kemeriahan penerbitan berbagai buku agama dan kemegahan perlengkapan upacara agama; Kritik terhadap umat Hindu Bali selalu adalah pada banyaknya upacara yang dilakukan.
Padahal, upacara bagi umat Hindu Bali adalah salah satu bentuk 'brata', pelaksanaan dari tapa; upaya pengendalian diri, meluangkan waktu, mengorbankan kesenangan diri untuk menumpahkannya pada proses menyiapkan hingga mempersembahkan sesuatu yang diyakininya.

Setiap agama memiliki keciriannya. Tentu saja, yang berkutat pada argumen itu masih saja akan dipertanyakan oleh yang tengah dilanda trend spiritual universal ataulah yang memasuki fase bulan madu dengan rasionalisasi agama, pertanyaan mereka : lalu bagaimana ' pengisian kedalam diri?', sebab upacara dengan proses persiapannya lebih banyak didikannya pada 'sekala',  sedangkan yang kelahiriah begitu rapat ribetnya, lalu bagaimanakah dengan pengisian yang kedalam diri? Yang kebatiniah? Hampir dipastikan, banyak yang hebat mejejahitan, rajin menghaturkan sajen, tetapi tidak tahu maknanya.Begitulah silang pendapat, kritik dan jawaban sahut menyahut. Bahkan seringkali yang hanya berbekal pengetahuan buku 'penerbitan' akibat rasionalisasi agama,yang berupaya meniru pola dogmatis; kadang mencetuskan bukan hanya kritik tajam, tetapi kadang mencela agama hindu bali. (maaf, saya jujur saja mengungkapkan ini).

Dalam rangkaian Galungan Kuningan, saya sengaja meluangkan waktu menemui beberapa orang tua dan membaca secara hati-hati beberapa refrensi (salinan lontar) petunjuk pelaksanaannya mengenai 'pengisian ke dalam diri' yakni yang dalamtradisi spiritual agama Hindu bali disebut tapa brata, yang sebenarnya kategori jarang dibicarakan, jarang diungkapkan kepada umum, sehingga pewarisannya menjadi sangat terbatas, namun menghadapi gejala trend maraknya laku spiritual universal ataukah yang spiritual kesurupan; ada baiknya, saya pikir; menggugah dengan tulisan kecil ini, bahwa Hindu Bali sangat kaya dengan jenis tapa brata;jadi tidaklah elok jika dicari-cari pada kebiasaan agama lain ataulah sekte lain. Agama Hindu Bali telah memiliki tradisi puasa, yang berjenis-jenis dengan kuta mantra, aturan, tata krama; yang memang itulah jalan keyakinannya.

Tapa demikian diartikan sebagaiupaya untuk mengendalikan diri; ada enam musuh dalam diri yang akan terusmenerus memusuhi diri manusia dan kemanusiaannya; itu dari  moha, krodha, lobha, mana, mada danharsa. Keenam musuh ini diterjemahkan sebagai nafsu, amarah, lobha,kesombongan, mabuk, dan bersenang-senang secara berlebihan. Keenam musuh  tersebut akan selalu menggoda manusia,itulah keyakinan Hindu Bali; bahkan disaat akan melaksanakan upacara sekalipun;keinginan membuat upacara besar-besaran tanpa mengukur kemampuan diri,atau  mabuk akan jabatan hinggamelupakan etika: dst; sekalipun nampak indah dan mengagumkan dihadapanpandangan orang lain, namun jika tidak berhati-hati; akan memasuki areakekalahan oleh sad ripu itu sendiri.

Semoga direnungkan, jika Moralitu adalah kesepakatan sosial; kesepakatan bersama mengenai hidup dalam kebersamaan, namun meningkatkan moral dan mengendalikan dirilah; itulah tujuan keagamaan Hindu Bali dalam kerangka keharmonian. Karena itu dikenalkan apa yang disebut diksa, jalan kesucian dan brata, yaitu pengendalian indria; bahwa tidak ada satu orang pun akan luput dari kesalahan, tak satu orang pun akan terbebas dari janji karmaphala. Karena itu upaya untuk menjalani kehidupan dengan optimis di jalan suci dikenalkan tapa brata.

Dalam tradisi Hindu di Bali;dikenal pembratayaan, ini adalah tindakan dari tapa; brata; jadi jika dalamkisah-kisah suci itihasa, dikisahkan seseorang menyepi ke gunung, ke suatutempat, menjauhi keramaian untuk bertapa, maka itu setanding dengan jika denganpenuh kesadaran dan berkeyakinan; menuangkan keinginan tapa itu dengan'tindakan' brata.  Ada sekitar 36jenis brata yang saya teliti, yang jelas-jelas menjawab pertanyaan kaumspiritual universal maupun yang merasionalisasikan keagamaannya; bahwa tradisiHindu Bali memiliki tatacara bahkan tatakrama dalam mewujudkan 'sang ayat' suciitu dalam tindakan dalam kerangka menyucikan batiniahnya, yaitu kesadaran akandiri bahwa pastilah tidak mungkin menghindari kesalahan, maka brata adalahpenyeimbangnya.

Dari 36 jenis brata itu, yangmenarik perhatian saya adalah brata nyarining galungan; hampir ada di tiga refrensi kategori pitutur, artinya kategori ajaran suci yang saya baca; bahwa perayaan galungan yang begitu panjang rangkaiannya juga ada yang disebut dengan brata nyarining galungan; saya kutip  dalam kesempatan ini tetapi tanpa kuta mantranya; “Ana bratanyarin galungan. Abanten sarimpen. Sawiji sowang. Henah-akena ring harepingsanggar Kadi kramaning banten kang lagi. Kang ring tengah wuhana burat wangi,lenga wangi. Mwang beras kalih catu, harttha, 225. Pinuja sapari krama.Angabhakti. Wusing angabhakti, amangan sarimpen. Ryuwusing amangan sarimpen,amangan sakawana…dst” Brata ini menjelaskan bahwa bukan hanya persiapan persembahan sajen dan prosesi upacara saja yang dilakukan namun juga ada yang dimaksud dengan brata galungan yaitu dalam bahasa gaul; bagaimana menghisapsari pati kesucian galungan itu, untuk kebaikan diri, manusia, kemanusiaan, dan jagat raya. Dalam pelaksanaannya brata ini juga disertai pengucapan kutamantra; proses inilah yang biasanya memerlukan konsentrasi, keiklasan dankesabaran. Dalam tradisi Bali, kuta mantra tidak dapat disebarluaskan secara terbuka kecuali kepada yang meyakini dan akan melakukan kesadaran untuk bersetia melakukan brata tersebut.

PADA  brata yang lain, saya pikir ini sifatnya umum dan penting bagi generasi muda yaitu brata AjiSasrawasti: “byasakena teka ning dina, saniscara, umanis, watugunung; CA,wetoning Saraswati, saprakara ningbanten, sarwwa suci, tan kari bubur precet,bubur prajnan, bubur cendol, saraswati saha hasep, menan cendana, prasiddha prajnan kita, ping 7 anjadma, tan kahilanganing saraswati, byasakna, ping 7,ring dina samangkana;…dst lalu petunjuk ini dilanjutkan dengan kuta mantra.Dalam lontar yang lain akan ada tata caranya melaksana brata ini. Biasanya,sekolah-sekolah di Bali pada Hari saraswati melaksanakan persembahyangan bersama; ini seperti umumnya persembahyangan yang dikenal, sehingga kemudian menimbulkan pula sikap kritis dari kaum spiritual universal, seolah-olah itu semata kegiatan formal semata.

Sederet brata lainnya;hampir 36 jenis banyaknya, memberikan gambaran mengenai betapa meriah dan mendalamnyaperilaku spiritual agama Bali, yang kini memang jarang dilakukan bahkan mungkinbanyak yang tidak dikenal lagi atau jarang dilakukan. Ini disebabkan oleh prosesmembawa ajaran agama ke sekolah, kegugupan menghadapi rasionalisasi keagamaan yang dirasa berkemajuan dan modern,yang memang membuat tradisi; kebiasaan lama tersingkirkan, apalagi ketika dalamkurikulum pendidikan hal-hal yang dipentingkan bukanlah 'laku spiritual'tetapi hapalan-hapalan untuk pengetahuan umum mengenai kehinduan.

Maka tidaklahaneh, jika enam musuh dalam diri itu kian lama justru kian mengendalikan diriatau banyak pihak berupaya mencari dengan 'cara lain' salah satunya adalah dalam pola 'kesurupan spiritual' yakni menyerahkan diri pada kegiatan-kegiatan spiritual model baru atau perilaku spiritual dalam bimbingan seorang guru, yang belum tentu memahami pembratayaan; akhirnya; justru menimbulkan; tradisi klenik baru atau kultus tokoh suci baru, yang sebenarnya dalam tradisi Hindu Bali, itu tidak dikenal. Sebab di bali hanya dikenal maguru sisia dan masurya! : hubungan sang umat dengan pemimpin spiritualnya, hubungan umat dengan guru spiritualnya,dalam konteksnya yang sangat berbeda dengan tradisi hubungan guru-murid, atau umat dan pemimpinnya yang kini kadang membuat banyak orang tertegun dan terheran-heran; diakibatkan munculnya; perilaku fanatik, kecirian baru yangsecara tidak langsung membuat model perilaku spritual yang mendekati fashionable; fanatisme yang kadang justru mendangkal pengetahuan dana perilakuspiritual; inilah bagian dari nujum itu; bahwa mega trend spiritual, keelokan agama timur, dieksploatasi ke ruang-ruang jelajah yang mendekati kapitalisasi;dimana dominannya adalah munculnya sang guru yang kadang tidak lebih dariseorang pengajar kursus atau semacam artis penghapal ayat suci dan lagu-lagurohani.

 Sangatlah penting,ketika kritik, dan pertanyaan mengenai tradisi spiritual Hindu Bali ditanyakan;maka, jawabannya bukan hanya tradisi upacara yang Hindu Bali miliki, Hindu Balipun memiliki tradisi puasa, tradisi tapa brata; hanya saja memang tidak untuk diinfotainmentkan, tidak untuk dipublikasikan; sebab dasarnya, pertama dari kesadaran, kedua keyakinan (sraddha) dan yang terpenting, kesiapan diri untuk memasuki pelaksanaan brata itu; sebab dalam tradisi Hindu Bali; tidak diperkenankan sang amangkurat (Negara, sekolah, bahkan guru) mengintervensi kesadaran itu; entah dengan cara himbauan apalagi dengan menjadikan dogma; dan jika berkaitan dengan keyakinan, itu tidak diperbolehkan. Karena itu, tradisi inihanya akan menemui yang diketuk kesadarannya,  bagi yang menyadari ada sesuatu dalam dirinya kurang, barulah jantera laku spiritual itu akan berdentang, memintal kemauan untuk memasuki pengisian diri.

Demikian, selamat hari raya  galungan dan kuningan2013

(By. Cok sawitri/ media Facebook).

Lelaki Tua di Hari kemerdekaannya


Cerpen
LELAKI TUA DI HARI KEMERDEKAANNYA

BY. Cok Sawitri

Sebagai pelanggan, dia terlalu tua buat ingat segala macam hal di masa lampau dengan rinci.Kadang kami curiga dia sebenarnya masih muda, namun tubuhnya menua sebab ingatannya masih terlalu bagus dan ceritanya tak pernah berulang. Pikirannya masih tajam dan masuk akal, jauh dari kesan itu obrolan orang pikun. Dia mengaku berusia 90tahun bahkan dia pernah curiga bahwa usianya mungkin lebih dari 90 tahun,"sebab aku tak ingat tahunnya, tapi dinyatakan merdeka, aku telah menikah…"  Sayangnya, anak dan istrinya telah mati karena suatu sebab yang tak pernah dia ceritakan.

Naskah Drama PENDEK

NASKAH DRAMA PENDEK
REKLAMASI
by. Cok Sawitri


Di TENGAH-TENGAH PANGGUNG BERJEJER DRIM-DRIM BESAR, DIBELAKANGNYA TALI TEMALI SENGKARUT, BERGELAYUT, SUASANA GELAP, LAMPU PADA TITIKTITIK TERTENTU MENYALA SALING IKUTI, MENYOROT SELURUH ISI PANGGUNG. SUASANASEPERTI CAHAYA MENJELANG SENJA. LALU KEMBALI GELAP. SEJENAK GELAP, SEPI. LALULAMPU MENYALA KEPADA DRIM-DRIM YANG BERJEJER, DARI LOBANG MASING-MASING DRIMNAMPAK KEPALA-KEPALA, DITIAP BADAN DRIM DITULISKAN ARSITEK, MANDOR, CALO,INVESTOR, ORMAS, CENDIKIAWAN, WARTAWAN, FOTOGRAPHER, SENIMAN, AGAMAWAN, KEPALAKAMPUNG, CAMAT, GUBERNUR, PRESIDEN, HAKIM, POLISI, TUHAN, SETAN, PENYANYI,GUIDE, KASIR, AKTIVIS…YANG LAIN TAK TERBACA; DRIM-DRIM ITU BERJEJER-BERJEJER,BERHIMPITAN LALU SEMUA WAJAH DARI KEPALA DI MASING-MASING DRUM ITU BERUCAP,DATAR, INTONASI TENANG; REKLAMASI….

DRIM 1             :Kesejahteraan itu adalah ketenangan. Kita mencapai sudah kesejahteraan.
DRIM 2             :Tapi ini terlalu gelap, juga terlalu sesak!
DRIM  3            :Jangan mengeluh, jangan ikuti perasaan tidak puas; ini pencapaian…tenang,gelap, diam…moksa!
MEREKA BERSUARA BERSAMA: tenang, gelap, diam…moksa!
DRIM 3            :mati dalam gelap?...
DRIM 1            :Gelap adalah terang, awal terang, menuju terang, gelap ajari melihat terang!
DRUM 2            :sesak dan gelap
DRIM  3            :kita sepakat; gelap, sesak…itu jalan terang
DRIM 2            :susah bernafas
DRIM 1            :masih bernafas, masih bernafas…
DRIM 3            :seperti buta…
DRIM 3            :masih ada terang..
DRIM 2            :haus…
DRIM 1            :Haus tak dikenal
DRIM 3            :Lapar juga
DRIM 2            :sesak, gelap..
DRIM 1            :kesalahan merasakan, ini fase awal, setelah itu terang, nyaman, lega, banyakruang. Sesudah itu, lampu-lampu tak pernah padam, makanan, minuman, udarabersih…..surga, kemajuan, pencapaian…(TERBATUK-BATUK LALU CEGUKAN BEGITU LAMA)

DRIM 3            :aku ingin liburan, beli rumah, beli mobil
DRIM 1            :lakukanlah
DRIM 3            :sudah.
DRIM 2            :sesak, gelap, gelap
DRIM 1            :sesak itu menuju kelegaan, lega itu tamasya…gelap itu, sedikit, banyak, kurang,lebih…
DRIM 2            :Mengambang
DRIM 3            :seperti kerapu laut, teratai, kesucian…
DRIM 2             :lumpur! Lumpur
DRIM 3            :aku ingat, kami mancing lalu berenang
DRIM 1             :kolam biru, kaporitnya aku tidak suka, air tawar, tawar!
DRIM 3            :tawar air, air tawar…..(TERTAWA LIAR, MEMBELAKAKAN MATA)
LAMPU UTAMA MAKIN REDUP, KEPALA-KEPALA ITU MAKIN JELAS,NAMPAK DENGAN MATA MEMBELALAK, MULUT MENGANGA LALU SERENTAK BERUCAP: REKLAMASI
DRIM 1             :kau ingat temanku yang wartawan itu?
DRUM 2            :Release, pernyataan, kata-kata….wacana
DRUM 3            :aku ingat centeng itu, kaya….juga tukang poto itu, dia rajin, rajin memesan….
DRIM 1             :pasir, kapur, semen…
DRIM 2            :besi..kerangka besi
DRIM 2            :aku beli rumah dan apartmen di tempat lain…
DRIM 1            :kita semua begitu…(TERTAWA TERGELAK-GELAK)
DRIM 3            :komisi
DRIM 1            :komisi
DRIM 2            :pasir, batu, besi, tanah…kapur, kerikil..
DRIM 1            :kita kaya
DRIM 2            :aku suka bagiannya
DRIM 3            :aku suka saat kita tertawa
DRIM 1            :aku tertawa saat..
DRIM 2            :SMS
DRIM 2            :Facebook
DRIM 3            :ancam! Gertak! Bangsat-bangsat melarat itu!
LAMPU PADAM SUARA-SUARA SEPERTI MENIMBUN, SEKOP DISERET,DERIT BESI, SUARA CANGKUL
DRIM 1: gelap
DRIM 2: seperti pemakaman
DRIM 3: dalam makam
DRIM 1: pencapain hidup
DRIM 2: dalam gelap…
DRIM 1: kita mengapung?
DRIM 2; seperti teratai suci di atas lumpur

KETIGANYA TERBAHAK, TERTAWA LIAR.
DRIM-DRIM ITU TERSOROT LAMPU NAMPAK KUSAM, KEPALA-KEPALA ITUTAK ADA LAGI DI SANA. PELAHAN SANGAT PELAHAN LAMPU DIREDUPKAN, LAYARDITURUNKAN.
LALU ADEGAN TADI DIULANG DARI AWAL SAMPAI AKHIR DENGAN UTUHTIGA KALI BERTURUT-TURUT.

SELESAI.